BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Tuberkulosis (TB) paru merupakan satu penyakit menular yang dapat menyebabkan kematian. Tuberkulosis paru adalah penyakit infeksi kronis yang disebabkan oleh infeksi bakteri Mycobacterium tuberculosis. Walaupun obatobatan anti tuberkulosis yang poten telah ditemukan sekian lama, tetapi hingga saat ini penyakit TB paru masih merupakan masalah kesehatan utama di seluruh dunia. Munculnya pandemic HIV/AIDS di dunia menambah permasalahan TB. Koinfeksi dengan HIV akan meningkatkan risiko kejadian TB secara signifikan. Pada saat yang sama, kekebalan ganda kuman TB terhadap obat anti TB (multidrug resistance = MDR) semakin menjadi masalah akibat kasus yang tidak berhasil disembuhkan. Keadaan ini membuat terjadinya epidemik TB yang sulit ditangani (Depkes RI, 2008). Penanggulangan tuberkulosis di Indonesia mengalami kemajuan yang sangat bermakna, ditandai dengan pencapaian target penemuan penderita TB dan turunnya peringkat TB Indonesia. World Health Organization (WHO) melaporkan bahwa pada tahun 2012, mencatat peringkat Indonesia menurun dari posisi tiga ke posisi empat dengan jumlah penderita TBC sebesar 321.000 orang. Lima negara dengan jumlah terbesar kasus insiden pada tahun 2012 adalah India, Cina, Afrika Selatan, Indonesia dan Pakistan (WHO, 2012). Target ke-6 Millennium Development Goals (MDGs) 2015 mempunyai tujuan mengendalikan dan menurunkan penyakit HIV/AIDS, malaria dan penyakit menular lainnya termasuk penyakit TB paru. Berdasarkan laporan dari Kemenkes RI bahwa pada tahun 2011, target MDGs ke-6 dalam kegiatan pengendalian penyakit TB paru sebagian besar sudah tercapai, diantaranya angka penemuan kasus TB paru (case detection rate/CDR : 83,48%, target 70%) dan angka keberhasilan pengobatan TB paru (success rate/SR : 90,29%, target 85%) serta angka prevalensi TB paru sudah mendekati target (289/100.000 penduduk) dari target 221/100.000 penduduk (Kemenkes, 2012). 1
2
Peningkatan jumlah kasus TB di berbagai tempat pada saat ini, diduga disebabkan oleh berbagai hal, yaitu (1) diagnosis tidak tepat, (2) pengobatan tidak adekuat, (3) program penanggulangan tidak dilaksanakan dengan tepat, (4) infeksi endemik HIV, (5) migrasi penduduk, (6) mengobati sendiri (self treatment), (7) meningkatnya kemiskinan, dan (8) pelayanan kesehatan yang kurang memadai. Tuberkulosis anak merupakan faktor penting di negara berkembang karena jumlah anak berusia < 15 tahun adalah 40%-50% dari jumlah seluruh populasi (Kartasasmita, 2009). Penyakit tuberkulosis (TB) masih merupakan penyebab utama morbiditas dan mortalitas pada anak di Indonesia dan dunia, namun kurang mendapat prioritas dalam penanggulangannya. Data surveilans dan epidemiologi TB pada anak juga jarang di dapat. Hal ini disebabkan berbagai faktor antara lain sulitnya diagnosis TB anak, meningkatnya TB ekstra paru pada anak, tidak adanya standar baku definisi kasus dan prioritas yang kurang diberikan pada TB anak dibandingkan TB dewasa. Berbagai penelitian menunjukkan prevalensi TB anak tinggi, namun umumnya tanpa konfirmasi pemeriksaan bakteri tahan asam (BTA) positif. Salah satu indikator untuk menilai situasi TB paru di komunitas dengan Annual Risk of Tuberculosis Infection (ARTI) yaitu indeks epidemiologi yang dipakai untuk evaluasi dan monitor keadaan tuberkulosis di suatu komunitas atau negara (Kartasasmita, 2009). Tuberkulosis paru anak merupakan aspek yang sering dilupakan dari epidemi TB. Penyakit TB paru anak merupakan bayang-bayang dari TB paru dewasa dan merupakan masalah kesehatan anak yang signifikan, tetapi dilalaikan karena biasanya hasil pemeriksaan BTA negatif dan dianggap berkontribusi kecil terhadap penyebaran TB paru di masyarakat (Donald et al., 2007). Pada anak komplikasi biasanya terjadi pada 5 tahun pertama setelah infeksi terutama 1 tahun pertama. Penyebaran limfohematogen menjadi TB milier atau meningitis TB atau efusi pleura biasanya terjadi 3-6 bulan setelah infeksi primer. TB tulang dan sendi terbanyak terjadi dalam 3 tahun pertama. TB ginjal dan kulit terbanyak setelah 5 tahun dari infeksi primer (Setiawati et al., 2006)
3
Faktor risiko yang erat hubungannya dengan terjadinya infeksi TB antara lain adalah anak yang terpajan dengan orang dewasa dengan TB aktif (kontak TB BTA positif ), daerah endemis, kemiskinan, lingkungan yang tidak sehat (higiene dan sanitasi tidak baik), dan tempat penampungan umum (panti asuhan, penjara, atau panti perawatan lain), yang banyak terdapat pasien TB dewasa aktif. Sumber infeksi TB pada anak yang terpenting adalah pajanan terhadap orang dewasa yang infeksius, terutama dengan BTA positif (Kartasasmita, 2009). Kabupaten Banyumas merupakan salah satu wilayah kabupaten di Jawa Tengah bagian barat. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2012 bahwa Kabupaten Banyumas menempati peringkat ke-4 jumlah penduduk terbanyak di Jawa Tengah dengan jumlah sebanyak 1.570.598 orang (BPS 2012). Penemuan penderita TB paru di kabupaten Banyumas tahun 2012 sebanyak 1.161 kasus case detection rate (CDR) sebesar 69,0% (target >70%) menempati urutan ke-10 kabupaten terbanyak di Jawa Tengah (Dinkes Provinsi Jawa Tengah, 2012). Penemuan penderita TB Paru anak tahun 2012 sebanyak 427 kasus dan tahun 2013 sebanyak 448 kasus dengan proporsi 14,1% . Case notification rate (CNR) tahun 2011 sebesar 176/100.000 penduduk, tahun 2012 sebesar 179/100.000 penduduk dan tahun 2013 sebesar 195/100.000 penduduk. CNR Nasional adalah sebesar 85/100.000 penduduk (Dinkes Kabupaten Banyumas, 2014). Penemuan penderita TB paru di Kabupaten Banyumas tahun 2010 sampai dengan 2013 terus mengalami peningkatan. Peningkatan penemuan TB paru ini disamping dilaksanakan oleh puskesmas juga ditunjang penemuan penderita di rumah sakit pemerintah dan swasta yang ada di Kabupaten Banyumas serta klinik praktek swasta. Tahun 2013, jumlah Puskesmas yang melaksanakan Directly Observed Treatment Short-course Therapy ( DOTS) sebanyak 39 puskesmas (100%), rumah sakit sebanyak 12 rumah sakit (85,7%) dan klinik praktek swasta sebanyak 3 klinik (25%). Data tahun 2012 angka kesembuhan sebesar 89,95% dan pengobatan lengkap 93,43%. Target angka kesembuhan adalah >85% dan pengobatan lengkap >90% (Depkes 2010). Penemuan TB paru anak di Kabupaten Banyumas tahun 2010-2013 berkisar 400-500 kasus per tahun. Penemuan TB paru anak tahun 2013 sebesar
4
443 anak, dengan perincian anak umur <5 tahun sebanyak 209 anak dan anak umur 5-15 tahun sebanyak 234 anak. Penemuan penderita TB paru anak di Kabupaten Banyumas dilaksanakan dengan uji tuberkulin dengan mantoux test. Komplikasi TB paru anak biasanya terjadi pada 5 tahun pertama setelah infeksi terutama pada tahun pertama. Penyebaran limfohematogen menjadi TB milier atau meningitis TB atau efusi pleura biasanya terjadi 3-6 bulan setelah infeksi primer. TB tulang dan sendi terbanyak terjadi dalam 3 tahun pertama. TB ginjal dan kulit terbanyak setelah 5 tahun dari infeksi primer (Setiawati et al., 2006). Sistem surveilans dapat mengidentifikasi faktor risiko kejadian TB paru dengan mengidentifikasi sebaran kasus TB paru hingga tingkat individu. Identifikasi lokasi penderita TB paru sampai tingkat lokasi individu sangat dimungkinkan karena dalam register TB terdapat alamat penderita yang dapat dipetakan menggunakan pendekatan Geographic Information System (GIS) atau sistem informasi geografis (SIG). Sistem
ini
dapat
digunakan
untuk
menentukan distribusi geografis, variasi penyakit, prevalensi dan kejadian penyakit.
Informasi
pemberantasan
tersebut
penyakit
sangat
sehingga
penting untuk
mampu
menyusun
strategi
memperkuat sistem surveilans
epidemiologi (Johnson & Johnson 2001). Berdasarkan hasil penelitian Niha, (2011) ada empat clustering positif kasus TB paru BTA positip di Kabupaten Dili. Berdasarkan
hasil
penelitian
Ruswanto,
(2010)
analisis
spasial
dapat
menyimpulkan dan mengidentifikasi wilayah yang berpotensi tinggi untuk terjadinya penyakit tuberkulosis paru di Kabupaten Pekalongan. Berkaitan dengan hal-hal tersebut di atas, maka peneliti ingin mengetahui faktor-faktor yang berhubungan dengan kejadian TB paru anak serta bagaimana sebaran spasialnya agar dapat diupayakan cara pencegahan dan pengendalian sehingga tidak menjadi masalah kesehatan masyarakat di Kabupaten Banyumas.
5
B. Perumusan Masalah Berdasarkan uraian pada latar belakang tersebut di atas dapat dirumuskan masalah penelitian sebagai berikut : 1. Apakah faktor risiko kejadian penyakit TB paru anak di Kabupaten Banyumas tahun 2014? 2. Bagaimanakah sebaran penderita TB paru anak di Kabupaten Banyumas tahun 2014? C. Tujuan Penelitian 1. Tujuan Umum Mengetahui faktor risiko dan sebaran spasial TB paru anak di Kabupaten Banyumas tahun 2014. 2. Tujuan Khusus a. Mengetahui hubungan lingkungan fisik rumah (kepadatan rumah, luas ventilasi, jenis lantai) dengan kejadian penyakit TB paru anak di Kabupaten Banyumas tahun 2014. b. Mengetahui hubungan status imunisasi dengan kejadian penyakit TB paru anak di Kabupaten Banyumas tahun 2014. c. Mengetahui sebaran spasial penyakit TB anak di Kabupaten Banyumas tahun 2014. D. Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi: 1. Bagi Peneliti a. Dapat dijadikan sebagai tambahan pengetahuan dan wawasan yang luas dalam pengendalian penyakit TB paru anak. b. Dapat dijadikan sebagai dasar untuk pengembangan penelitian lebih lanjut tentang analisis spasial yang berhubungan dengan penyakit TB paru anak. 2. Bagi Masyarakat Sebagai bahan masukan kepada masyarakat dalam upaya kewaspadaan dini terhadap penularan penyakit TB paru anak sehingga masyarakat dapat
6
berperan aktif dalam mencegah dan menanggulangi penyakit TB paru anak serta upaya peningkatan kesehatan lingkungan. 3. Bagi Dinas Kesehatan Kabupaten Banyumas Hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai salah satu pertimbangan dalam pengambilan kebijakan dan alternatif cara intervensi di dalam mengendalikan dan menanggulangi penyakit TB paru anak. E. Keaslian Penelitian Penelitian-penelitian sejenis yang pernah dilakukan tetapi berbeda dengan penelitian sebelumnya adalah sebagai berikut : 1. Susilawati (2012), tesis tentang faktor risiko tuberkulosis paru BTA positif daerah dataran tinggi Kabupaten Temanggung Provinsi Jawa Tengah. Persamaan dengan penelitian sebelumnya adalah rancangan penelitian, variabel bebas luas ventilasi, jenis lantai dan kontak serumah dengan penderita TB paru. Perbedaannya adalah penelitian sebelumnya tidak melakukan analisis spasial, variabel terikatnya adalah TB paru anak, variabel bebasnya tidak meneliti status imunisasi. 2. Satria, (2011), tesis faktor risiko dan distribusi spasial tuberkulosis paru BTA positif di Kabupaten Tapin Provinsi Kalimantan Selatan tahun 2011. Persamaan
dengan
penelitian
ini
adalah
rancangan
penelitian
dan
menggunakan analsis spasial, variabel bebasnya kontak serumah dengan BTA positif, luas ventilasi dan kepadatan penghuni. Perbedaannya adalah varibel terikat TB paru anak, variabel bebas tidak melihat status imunisasi dan jenis lantai. 3. Djaya et al. (2009), jurnal tentang determinan upaya pengobatan tuberkulosis pada anak di bawah umur 15 tahun. Persamaannya adalah variabel terikat TB paru anak, variabel bebasnya adalah riwayat kontak penderita TB paru, riwayat imunisasi dan rumah sehat. Perbedaannya adalah rancangan penelitian dan tidak melakukan analisis sebaran spasial. 4. Karim et al. (2012), jurnal faktor risiko TB masa kanak-kanak kasus kontrol studi dari pedesaan Bangladesh. Persamaannya adalah rancangan penelitian,
7
variabel terikatnya adalah TB paru anak dan variabel bebasnya kepadatan rumah. Perbedaannya variabel terikat usia, komposisi keluarga serta tidak ada analisis sebaran spasial. 5. Nakaoka et al. (2006), penelitian tentang risiko tuberkulosis anak. Persamaannya adalah variabel terikat, variabel bebas riwayat kontak TB paru dewasa. Perbedaannya adalah rancangan penelitian dan tidak menggunakan analisis sebaran spasial.