2
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Tuberkulosis (TB) masih menjadi masalah kesehatan utama dunia. Tahun 2012, diperkirakan 8,6 juta penderita mengalami TB dan 1,3 juta meninggal dibesabakan oleh TB dengan HIV-positif (WHO 2014). Tuberkulosis merupakan salah satu indikator keberhasilan Millenium Development Goals (MDGs). Indikator pencapaian keberhasilan TB dapat diukur dengan prevalensi, mortalitas, penemuan kasus dan keberhasilan pengobatan. Tahun 2013, ditemukan jumlah kasus baru BTA positif (BTA+) sebanyak 196.310 kasus, menurun dibandingkan dengan kasus baru BTA+ yang ditemukan tahun 2012 sebesar 202.301 kasus. Jumlah kasus tertinggi yang di laporkan terdapat di provinsi dengan jumlah penduduk yang besar yaitu Jawa Barat, Jawa Timur, dan Jawa Tengah dengan jumlah kasus baru BTA+ hampir 40% dari jumlah seluruh kasus baru di Indonesia. Proporsi pasien baru BTA+ belum mencapai standar minimal 65% (Kemenkes RI 2014). Salah satu upaya untuk mengendalikan TB yaitu dengan pengobatan. Indikator yang digunakan sebagai evaluasi pengobatan yaitu angka keberhasilan pengobatan (success rate). Angka keberhasilan pengobatan ini didapat dari angka kesembuhan dan angka pengobatan lengkap. Menurut hasil Riset Kesehatan Dasar (2013)
rata-rata tiap 100.000 penduduk Indonesia terdapat 400 orang yang
didiagnosis kasus TB oleh tenaga kesehatan. Hasil Riskesdas 2013 tersebut tidak berbeda dengan hasil Riskesdas 2007 yang menghasilkan angka prevalensi TB paru 0,4%. Provinsi dengan prevalensi TB paru berdasarkan diagnosis tertinggi yaitu Jawa Barat sebesar 0,7%, DKI Jakarta dan Papua masing-masing sebesar 0,6% sedangkan untuk Lampung sebesar 0,1%. Penanganan dan penanggulangan TB di Indonesia masih lemah. Pemerintah berupaya melakukan penanganan secara terpadu di tingkat nasional dengan membentuk
pengurus Komite Nasional (Komnas) dan Komite Ahli
3
(Komli) Gerakan Terpadu Nasional Penanggulangan Tuberkulosis (Gerdunas TB). Menurut Dirjen P2PL (2011) strategi utama penanggulangan TB di Indonesia diantaranya; a) meningkatkan pengembangan dan pendayagunaan SDM kesehatan yang merata dan bermutu, b) Meningkatkan manajemen kesehatan yang akuntabel, transparan berdayaguna dan berhasil guna untuk memantapkan desentralisasi kesehatan yang bertanggung jawab. Program pengendalian dan pengobatan TB paru nasional telah berhasil mencapai target yaitu angka pengobatan 70% dan angka kesembuhan 85%, namun penatalaksanaan TB sebagian besar rumah sakit dan praktek dokter swasta belum sesuai dengan strategi DOTS dengan penerapan International Standart for Tuberculosis Care (ISTC)/ standar pelayanan Publik Private Mix (PPM) dimulai dengan kegiatan Hospital DOTS Linkage (HDL) yang melibatkan rumah sakit dengan pertimbangan potensi yang besar dalam pengendalian TB selanjutnya penguatan dan ekspansi implementasi HDL guna memastikan seluruh penderita TB yang kerumah sakit mendapatkan pelayanan DOTS yang berkualitas. PPM di Indonesia dimulai dengan kegiatan HDL yang menekankan upaya untuk memastikan peraturan/ regulasi terkait akreditasi rumah sakit agar mengakomondasi standar layanan TB diterapkan secara nasional. Ekspansi kegiatan PPM pada saat ini membutuhkan pembentukan kelompok kerja PPM atau tim DOTS yang komprehensif di tingkat kabupaten/kota dan provinsi. Kemitraan Public private partnership (PPP) untuk meningkatkan kesehatan masyarakat sangat menarik perhatian di banyak negara dengan sumber daya yang terbatas. The Publice Private Mix untuk Tuberculosis Control adalah contoh PPP didukung secara internasional yang bertujuan untuk melibatkan semua penyedia, termasuk rumah sakit, untuk menerapkan standar diagnosis dan pengobatan. Terutama pandangan para aktor lokal dan pengalaman proses PPP dalam memberikan perawatan TB di rumah sakit di Provinsi Yogyakarta. Konsep PPP juga telah diadopsi untuk melibatkan semua penyedia layanan kesehatan dalam memberikan tuberkulosis standar (TB) peduli. Ini telah disebut pendekatan Publice Private Mix untuk TB Control (PPM Pengendalian TB).
4
PPM pengendalian TB adalah konsep kemitraan Internasional tetapi pelaksanaannya adalah umum lokal. Diantara berbagai model PPM pengendalian TB, yang keterlibatan rumah sakit umum di banyak negara beban tinggi, termasuk Indonesia. Pada rumah sakit umum dan swasta dokter spesialis yang umumnya enggan untuk melakukan prosedur diagnostik dan pengobatan seperti strategi DOTS, karena mereka cenderung percaya pada pengalaman klinis mereka sendiri lebih dari diagnostik dan pengobatan prosedur dari strategi DOTS, ada visi yang berbeda antara klinisi dan staf program (Probandari et al, 2011). Organisasi dapat dipandang sebagai wadah, sebagai proses, sebagai perilaku, dan sebagai alat untuk mencapai tujuan. Direct Observe Treatment Short Course (DOTS) merupakan strategi penanganan TB yang direkomendasikan WHO yang sudah teruji keampuhannya di berbagai negara dalam mendeteksi dan menyembuhkan penderita Tuberkulosis (Situmeang, 2004). Secara fungsi, program TB pada banyak negara umumnya masih terlaksana secara vertikal sebagai bagian dari sistem pengendalian penyakit menular, yang terlaksana di luar struktur sistem kesehatan yang ada. Ini menjadi landasan bagi WHO dan International Union against TB and Lung Disease (IUATLD) untuk merekomendasikan pentingnya integrasi antara program TB dengan sistem kesehatan (Atun at el, 2004) Penderita TB paru BTA positif untuk Propinsi Lampung tahun 2012 sebanyak 6.165 penderita, pada 2013 sebanyak 6.411 pederita dan pada 2014 sebanyak 6.267 penderita (Kemenkes RI 2014). Jumlah kasus BTA+ di Kabupaten Lampung Barat pada tahun 2012 sebanyak 194 penderita, pada tahun 2013 mengalami penurunan 140
penderita dan pada tahun 2014 mengalami
penurunan menjadi 124 penderita. Menurut hasil pelaporan tim DOTS di RSUD Liwa, penggunan strategi DOTS pada
tahun 2012 sebanyak 27 kasus, pada tahun 2013 mengalami
penurunan menjadi 14 kasus, dan tahun 2014 penderita TB sebanyak 52 kasus namun yang menggunakan pengobatan DOTS sebanyak 16 kasus, 15 kasus selesai pengobatan dan satu orang meninggal dunia karena penyakit lain,
5
sedangkan 36 kasus diantaranya tidak menggunakan DOTS, dan ada yang dirujukan balik ke puskesmas. Pengorganisasian adalah rangkaian aktifitas menyusun suatu kerangka yang menjadi wadah bagi segenap kegiatan usaha kerjasama dengan jalan membagi dan mengelompokkan pekerjaan yang harus dilaksanakan serta menetapkan dan menyusun jalinan hubungan kerja diantara satun organisasi atau para pejabatnya (Wijono, 1997). Pelaksanaan pelayanan kesehatan kabupaten, yang pada dasarnya melibatkan desentralisasi operasional dan administrasi, sering secara signifikan terhalang oleh struktur organisasi yang tidak sesuai dari departemen kesehatan. Dengan menerapkan kerangka analisis Mintzberg sistem kesehatan kami mengidentifikasi kekurangan struktural yang membuat mereka tidak layak untuk mencocokkan lingkungan kebijakan atau menghasilkan hasil yang diharapkan dari layanan fungsional dan desentralisasi. Kami mengusulkan tipologi cenderung menghasilkan strategi untuk desentralisasi yang lebih efisien dari administrasi kesehatan (Unger at el, 2000). Desain organisasi dikaitkan dengan pengambilan keputusan manajerial yang menentukan struktur dan proses yang mengkoordinasikan dan mengendalikan pekerjaan organisasi. Desain organisasi akan berpengaruh pada pembentukan suatu superstruktur di dalam kerja dari organisasi tersebut. Cara manajemen mendesain organisasi harus mengingat dimensi struktur organisasi ini. Kombinasinya mempunyai dampak langsung atas efektivitas individual, kelompok dan organisasi itu sendiri. Manajer harus mempertimbangkan sejumlah faktor ketika mendesain organisasi, diantaranya satu yang sangat penting adalah teknologi, sifat kerja itu sendiri, konfigurasi organisasi serta faktor faktor konstektual yang mempengaruhi kinerja dalam penatalaksanaan penderita TB paru (Ismail Fahmi, 2007). Pelaksanaan pelayanan TB di rumah sakit melibatan berbagai bidang disiplin ilmu kedokteran serta penunjang medik, baik di poliklinik maupun bangsal bagi pasien rawat jalan dan rawat inap serta rujukan pasien dan spesimen.
6
Maka dalam pengelolaan TB di rumah sakit dibutuhkan manajemen tersendiri dengan dibentuknya Tim DOTS di rumah sakit (Kemenkes RI 2010). Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Liwa merupakan RSUD di Kabupaten Lampung Barat yang melaksanakan program TB DOTS sejak tahun 2011. Hal ini disebabkan karena diberlakukannya program Hospital DOTS Linkage (HDL). Pengobatan TB di Lampung Barat tak hanya dilaksanakan di puskesmas saja tetapi juga di rumah sakit. Rumah sakit merupakan bagian atau salah satu pelaksana penemuan dan pengobatan tuberkulosis. Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Liwa telah membentuk tim P2TB. Pembentukan tim P2TB dalam upaya kelancaran pelaksanaan penemuan dan pengobatan kasus TB di RSUD Liwa. Tim kerja P2TB RSUD Liwa terdiri dari dokter spesialis dalam, dokter umum, perawat, petugas laboratorium, petugas pencatatan pelaporan TB dan Kepala Bidang Pelayanan serta Direktur RSUD Liwa juga adanya Wasor dari Dinas Kesehatan Kabupaten Liwa. Berdasarkan studi pendahuluan yang dilakukan oleh peneliti, tim DOTS rumah sakit sudah terbentuk sejak 2011 namun angka penderita TB dengan strategi DOTS masih rendah. Oleh karena itu peneliti ingin mengetahui desain organisasi strategi DOTS di RSUD Liwa di Kabupaten Lampung Barat yang merupakan program nasional untuk menurunkan angka TB. B. Perumusan Masalah Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah bagaimanakah konfigurasi organisasi implementasi strategi DOTS di RSUD Liwa di Kabupaten Lampung Barat. C. Tujuan Penelitian 1. Tujuan Umum Menganalisis konfigurasi organisasi implementasi strategi DOTS di RSUD Liwa di Kabupaten Lampung Barat. 2. Tujuan Khusus a. Menganalisis peran manajer dalam implementasi strategi DOTS di RSUD Liwa di Kabbupaten Lampung Barat.
7
b. Menganalisis peran pelaksana inti dalam implementasi strategi DOTS di RSUD Liwa di Kabupaten Lampung Barat. c. Menganalisis proses pengawasan dalam implementasi strategi DOTS di RSUD Liwa di Kabupaten Lampung Barat . d. Menganalisis faktor-faktor kontekstual yang mempengaruhi kinerja dalam implementasi strategi DOTS di RSUD Liwa di Kabupaten Lampung Barat. D. Manfaat Penelitian 1. Bagi Pemerintah Daerah sebagai masukan dalam perencanaan dan pelaksanaan program TB di daerah 2. Bagi RSUD Liwa sebagai masukan dalam perencanaan dan pelaksanaaan kebijakan khususnya program TB 3. Penulis meningkatkan pengetahuan dan keterampilaan dalam penelitian terutamaa yang berhubungan dengan program TB paru E. Keaslian Penelitian Beberapa penelitian tentang tuberkulosis yang pernah dilakukan yaitu : 1. Syafrizal (2007) meneliti tentang “Pengelolaan dan Penanganan Pengobatan Tuberkulosis di RS dr M. Djamil Padang” Tujuan penelitian untuk mengetahui bagaimana pengelolaan dan Penanganan pengobatan TB di RS dr. M. Jamil di Padang. Hasil penelitian menyatakan sebagian besar pasien ditherapi dengan OAT pemeriksaan penunjang tidak semua kasus diberlakukan sama. Persaamaan penelitian tema penelitian TB di rumah sakit. Perbedaan pada lokasi penelitian dan fokus penelitian pada pelayanan 2. Ismail
Fahmi
(2007)
meneliti
tentang
“Desain
Organisasi
Dalam
Implementasi Program Penanggulangan Tuberkulosis Dengan Strategi DOTS di Kabupaten Tapanuli Selatan” tujuan penelitian untuk Mengetahui Desain Organisasi dalam Implementasi Program Penanggulangan TB dengan Strategi DOTS di Kabupaten Tapanuli Selatan. Hasil penelitiannya Pemerintah daerah kurang antusias terhadap program penanggulangan TB dengan strategi DOTS. Penanggulangan TB bukan prioritas serta sudah memiliki pendanaan bersumber dari funding luar yaitu GFATM. Penyusunan kebijakan dilakukan
8
masih bersifat top down. Kemitraan penanggulangan TB juga belum berjalan optimal. Karakteristik spesialisasi, formalisasi dan sentralistik cukup tinggi dalam mengimplementasikan program penanggulangan TB dengan strategi DOTS di Kabupaten Tapanuli Selatan 3. Yulianus
Weng
(2002),
meneliti
tentang
“Manajemen
Program
Penanggulangan Penyakit Tuberkulosis di Puskesmas Kabupaten Manggarai” tujuan
penelitian
mendeskripsikan
pelaksanaan
fungsi
Perencanaan,
pengorganisasian, pelaksanaan dan pengawasan pada program P2TB di Puskesmas
Kabupaten
Manggarai.
Dengan
hasil
penelitian
fungsi
perencanaan, pengorganisasian dan pengawasan pada program P2TB belum dilaksanakan dengan baik di puskesmas Wae Nakeng dan Carep, sedangkan pelaksanaan kegiatan program P2TB di kedua puskesmas telah dilaksanakn dengan baik sesuai dengan pedoman yang telah ditetapkan Departemen Kesehatan. Persamaan penelitian ini adalah terdapat pada topik yang diteliti yaitu Tuberkulosis, sedangkan untuk perbedaannya terdapat pada fokus yang diteliti yang kemudian dideskriptifkan tentang desain organisasi penatalaksanaan penderita TB paru dengan strategi DOTS di RSUD Liwa belum pernah dilaksanakan.