BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sumber daya manusia adalah kemampuan terpadu dari daya pikir dan daya fisik yang dimiliki individu, perilaku dan sifatnya ditentukan oleh keturunan dan lingkungannya, sedangkan prestasi kerjanya dimotivasi oleh keinginan untuk memenuhi kepuasannya.Sumber daya manusia merupakan aset dalam segala aspek pengelolaan terutama yang menyangkut eksistensi organiasi. Sumber daya manusia atau biasa disingkat menjadi SDM merupakan potensi yang terkandung dalam diri manusia untuk mewujudkan perannya sebagai makhluk sosial yang adaptif dan transformatif yang mampu mengelola dirinya sendiri serta seluruh potensi yangterkandung di alam menuju tercapainya kesejahteraan kehidupan dalam tatanan yang seimbang dan berkelanjutan.Dalam pengertian praktis sehari-hari, SDM lebih dimengerti sebagai bagian integral dari sistem yang membentuk suatu organisasi. Mengenai perkembangan Sumber Daya Manusia dalam suatu organisasi, Greer menyatakan bahwa dewasa ini, perkembangan terbaru memandang SDM bukan sebagai sumber daya belaka, melainkan lebih berupa modal atau aset bagi institusi atau organisasi. Karena itu kemudian muncullah istilah baru di luar H.R. (Human Resources), yaitu H.C. atau Human Capital.Di sini SDM dilihat bukan sekedar sebagai aset utama, tetapi aset yang bernilai dan dapat dilipatgandakan, dikembangkan (bandingkan dengan portfolio investasi) dan juga bukan sebaliknya sebagai liability (beban,cost).Di sini perspektif SDM sebagai investasi bagi institusi atau organisasi lebih mengemuka. Berdasarkan hal di atas, maka SDM memegang nilai yang sangat penting dalam manajemen keorganisasian.Meskipun teknologi banyak dilibatkan dalam roda organisasi, namun tetap saja organisasi memerlukan SDM sebagai daya penggerak dari sumber daya lainnya yang dimiliki oleh organisasi dalam bentuk apapun.
1
2
Pada berbagai organisasi pemberdayaan SDM merupakan main strategi yang dirancang dengan cermat dan berlangsung secara berkesinambungan. Hal ini yang tercantum dalam Undang-undang aparatur sipil negara nomor 5 tahun 2014 pasal 16 berbunyi "Setiap jabatan sebagaimana dimaksud ditetapkan sesuai dengan kompetensi yang dibutuhkan”. Beberapa jabatan yang dimaksud adalah jabatan administrasi, jabatan fungsional dan jabatan pimpinan tinggi (Presiden RI, 2014). Terkait dengan pelaksanaan peningkatan reformasi birokrasi khususnya reformasi sumber daya aparatur dilingkungan Kementerian Kesehatan, maka sangat diperlukan adanya perubahan manajemen kepegawaian yang mampu mendukung pembangunan tata pemerintahan demokratis, desentralistis dan dinamis. Sehingga perlu dibangun aparatur sipil negara (ASN) yang memiliki kekuatan dan kemampuan serta daya saing semakin tinggi dan mampu melaksanakan pencapaian tujuan maupun program pemerintah khususnya di Kementerian Kesehatan (Kemenkes RI, 2012). Dalam melaksanakan tugas pokok dan fungsi kementerian kesehatan, aparatur sipil negara dituntut untuk memiliki tidak hanya kemampuan manajerial, administrasi dan kepemimpinan saja, tetapi juga pemahaman maupun penguasaan pengetahuan serta keterampilan substantif bidang kesehatan. Hal ini sesuai dengan salah satu strategi Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) tahun 2015-2019 di Badan Pengembangan dan Pemberdayaan Sumber Daya Manusia Kesehatan (Badan PPDM Kesehatan) Kementerian Kesehatan yaitu peningkatan mutu tenaga kesehatan melalui peningkatan komptensi, pendidikan dan pelatihan dan sertifikasi tenaga kesehatan. Oleh karena itu, maka pusat pendidikan dan latihan aparatur Badan PPSDM Kesehatan melalui satuan kerja yang ada melaksanakan pendidikan tinggi dan peningkatan mutu SDM Kesehatan serta peningkatan pendidikan dan pelatihan aparatur (Badan PPDSM Kemenkes RI, 2014). Amaluis (2014)menyatakan pelatihan program saat ini merupakan fitur penting kehidupan suatu organisasi. Karena itu, organisasi harus merencanakan program pelatihan dan untuk mengetahui program pelatihan seberapa efektif bagi
3
karyawan dan organisasi.Al-Ajlouni et al. (2010)menyebutkan bahwa pelatihan bertujuan untuk meningkatkan kemampuan dan pengetahuan karyawan untuk melaksanakan pekerjaan. Berdasarkan hasil laporan penyelenggara pendidikan dan pelatihan kepemimpinan tingkat IV Tahun 2013 di Balai Pelatihan Kesehatan Cikarang sebagai satuan kerja di bawah Pusat Diklat Aparatur Badan PPSDM Kesehatan bertugas salah satunya melaksanakan pendidikan dan pelatihan kepemimpinan tingkat IV menghadapi beberapa kendala. Hal tersebut dengan diterbitkannya peraturan Kepala LAN Nomor 13 Tahun 2013 tentang Pedoman Penyelenggaraan Pendidikan dan Pelatihan Kepemimpinan Tingkat IV, yaitu: perubahan struktur kurikulum, disain modul serta waktu pelaksanaannya yang seharusnya dilakukan sesuai dengan ketentuan tersebut (Lembaga Administrasi Negara, 2013). Oleh karena belum tersedianya semua fasilitas yang diperlukan untuk melakukan penyelenggaraan Diklatpim Tk IV sesuai peraturan tersebut, maka Balai Pelatihan Kesehatan Cikarang tetap menyelenggarakan Diklatpim Tk. IV tahun 2013 tetap sesuai Keputusan Kepala LAN Nomor 541/XIII/10/2001. Tulung (2014), mengemukakan hasil evaluasi peserta Diklatpim IV, kemampuan Widyaiswara, dan kinerja penyelenggara. Jika didasarkan hasil rekapitulasi nilai secara total dengan kriteria ketuntasan yang ada, maka dapat dikatakan diperoleh baik oleh peserta, Widyaiswara maupun penyelenggara, telah memenuhi kriteria sebagaimana yang tertera pada panduan Diklatpim IV. Menurut Kemenkes RI (2013) menyatakan salah satu hasil Laporan Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah (LAKIP) adalah penilaian kinerja Pusat Pendidikan dan Pelatihan Tenaga Kesehatan (Pusdiklat Nakes) tahun anggaran 2012 bernilai cukup. Oleh karena tiga target indikator yang ditetapkan, hanya dua target indikator tercapai. Pencapaian realisasi anggaran tahun anggaran 2012 adalah 82,34%. Kegagalan Pusdiklatnakes mencapai target indikator disebabkan hasil pelaksanaan kegiatan yang tidak sesuai perencanaan dan kurangnya alokasi anggaran terhadap pemenuhan pencapaian target indikator. Pada pelaksanaan selanjutnya tata kelola sumber daya manusia dalam melakukan perencanaan agar
4
lebih matang serta peningkatan kerjasama dan koordinasi baik internal maupun eksternal Pusdiklat Tenaga Kesehatan. Hasil penelitian Lapolo et al. (2015) di Badan Kepegawaian Daerah, Pendidikan dan Pelatihan Kabupaten Gorontalo bahwa efektivitas pengelolaan pendidikan dan pelatihan secara umum sudah berada pada kategori efektif dengan hasil persentase 83,9%, artinya evaluasi program pendidikan dan pelatihan telah terlaksana secara efektif, meskipun ada beberapa hal yang masih perlu diperbaiki oleh pihak penyelenggara. Bagi para aparatur pemerintah Yustiono (2009), tidak sedikit yang berpandangan bahwa keikutsertaan dalam pendidikan dan pelatihan hanya dilihat sebagai kegiatan penyerapan anggaran dan sebuah “tiket” untuk menduduki jabatan tertentu, baik struktural maupun fungsional dengan mengesampingkan arti pentingnya penguasaan pengetahuan dan keahlian yang seharusnya dicapai selama pelatihan. Ostroff (1991)menyatakan bahwa evaluasi untuk mengukur efektivitas pelatihan merupakan komponen penting untuk membuktikan bahwa anggaran training yang dialokasikan untuk peningkatan kompetensi pegawai berdampak pada peningkatan kinerja organisasi. Kementerian Kesehatan sebagai unit organisasi pemerintah yang memiliki keanekaragaman pekerjaan, perlu didukung oleh pendidikan dan pelatihan yang memadai agar PNS dapat lebih profesional di bidangnya. Disamping itu pendidikan dan pelatihan jabatan PNS, diklat struktural merupakan persyaratan bagi PNS yang akan diangkat dan atau telah menduduki jabatan struktural eselon IV diwajibkan mengikuti diklat yang dipersyaratkan, yaitu diklat kepemimpinan tingkat IV. Hal ini sesuai dengan peraturan pemerintah nomor 100 tahun 2000 tentang pengangkatan pegawai negeri sipil dalam jabatan struktural (Presiden RI, 2004). Berdasarkan ketentuan di atas, maka Biro Kepegawaian Sekretariat Jenderal sebagai satuan kerja di lingkungan Kementerian Kesehatan diberikan tugas dan tanggung jawab dalam rekrutmen dan seleksi peserta pendidikan dan pelatihan kepemimpinan berkoordinasi dengan Pusat Pendidikan dan Pelatihan Aparatur Badan PPSDM Kesehatan. Untuk itu setiap tahunnya Biro Kepegawaian
5
melakukan updating data pejabat struktural terutama data pejabat struktural yang yang sudah menduduki jabatan namun belum mengikuti Diklat Kepemimpinan. Dalam rekapitulasi jumlah pejabat struktural diperoleh pejabat struktural eselon IV yang sudah dan belum mengikuti diklat kepemimpinan tingkat IV, sebagai berikut: Tabel 1.Rekapitulasi Jumlah pejabat struktural eselon IV yang sudah dan belum mengikuti Diklat Kepemimpinan Tk. IV di lingkungan Kementerian Kesehatan Tahun 2014 No 1 2 3 4 5 6 7 8
Unit Kerja Sudah Diklat Sekretariat Jenderal 95 Inspektorat Jenderal 11 Ditjen Bina Upaya Kesehatan 438 Ditjen Bina Gizi dan KIA 52 Ditjen PP dan PL 42 Badan Litbangkes 227 Badan PPSDM Kesehatan 39 Ditjen Binfar dan Alkes 102 Jumlah 1006 Sumber: Data Biro Kepegawaian 2014 (Kemenkes RI, 2014)
Belum Diklat 35 2 252 18 6 91 28 40 472
Dari tabel diatas dapat dilihat bahwa masih banyak pejabat struktural eselon IV dilingkungan kementerian kesehatan yang belum mengikuti diklat kepemimpinan
tingkat
IV.angka
tersebut
menunjukkan
bahwa
diklat
kepemimpinan tingkat IV masih sangat dibutuhkan dalam menunjang kompetensi jabatan struktural eselon IV dilingkungan kementerian kesehatan. Untuk mendapatkan suatu sistem pelatihan yang tepat guna dan memenuhi tuntutan organisasi, di setiap pelatihan senantiasa dilakukan evaluasi.Meski demikian, berbagai kegiatan pelatihan tersebut tidak jarang telah menjadi aktivitas rutin dari kegiatan suatu organisasi.Esensi dan tujuan awal dari pelatihan telah terbiaskan oleh berbagai kerumitan dan dinamika yang mengiringi pelaksanaan dari pelatihan tersebut. Sedangkan penilaian terhadap keberhasilan pelatihan perlu dilakukan secara sistematis dan tepat sasaran (Werther and Davis, 1996).Titik lemah dalam penyelenggaraan pelatihan seringkali ada pada tahap evaluasi, karena evaluasi yang dilakukan tidak mencakup evaluasi terhadap dampak pelatihan.Akibatnya umpan balik yang diperoleh tidak lengkap, sehingga tahap perencanaan pada siklus berikutnya tidak mendapat informasi tentang keberhasilan
pelatihan
yang
lalu.
Kurang
tepatnya
evaluasi
pelatihan
6
akanberdampak sangat serius bagi perbaikan dan pengembangan pelatihan di masa yang akan datang. Berdasarkan uraian latar belakang diatas dan fenomena reformasi birokrasi bagi setiap Lembaga maupun Kementerian di Indonesia, sehingga peneliti bermaksud untuk melakukan penelitian di Kementerian Kesehatan dengan judul penelitian “Evaluasi Pelaksanaan Program Pendidikan dan Pelatihan Tingkat IV terhadap Kinerja Aparatur Sipil Negara di lingkungan Kementerian Kesehatan.”
B. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang yang telah dijelaskan sebelumnya, walaupun pelaksanaan program Diklatpim Tk. IV sudah diselenggarakan cukup rutin setiap tahunnya, namun penyelenggara belum dapat mengetahui dampak pelatihan secara menyeluruh akibatnya umpan balik yang diperoleh tidak lengkap, sehingga tahap perencanaan pada siklus berikutnya tidak mendapat informasi tentang keberhasilan pelatihan yang lalu. Dengan mengasumsikan bahwa aspek input dan aspek proses dalam kegiatan pelatihan yang diselenggarakan sebagai faktor yang sudah baku, maka dapat penulis formulasikan rumusan masalah adalah ingin menganalisis mengenai evaluasi pelaksanaan Diklatpim Tk. IV tahun 2013 terhadap kinerja Aparatur Sipil Negara di lingkungan Kementerian Kesehatan.
C. Tujuan Penelitian Berdasarkan rumusan permasalahan tersebut, maka ada beberapa hal yang kiranya dapat menjadi tujuan penelitian ini. Adapun tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah: 1.
Tujuan umum Menganalisis evaluasi pelaksanaan Diklat Kepemimpinan Tingkat IV tahun 2013 terhadap kinerja Aparatur Sipil Negara dilingkungan Kementerian Kesehatan.
7
2.
Tujuan khusus a. Menggambarkan bagaimana evaluasi pelaksanaan Diklatpim Tk. IV tahun 2013 yang dilaksanakan di Balai Pelatihan Kesehatan Cikarang. b. Mengukur hubungan antara evaluasi pelaksanaan Diklatpim Tk. IV tahun 2013 pada tingkat reaksi (reaction level) dan tingkat pembelajaran (learning level) dengan kinerja pegawai pasca Diklatpim Tk. IV. c. Mengukur hubungan penilaian sikap dan perilaku dengan kinerja pegawai pasca Diklatpim Tk. IV.
D. Manfaat Penelitian 1.
Manfaat teoritis Penelitian ini diharapkan dapat menambah pengembangan konsep atau teori administrasi pemerintahan dan dapat dijadikan acuan dalam melakukan penelitian di bidang pengembangan sumber daya manusia khususnya dalam kegiatan pendidikan dan pelatihan.
2.
Manfaat praktis a. Memberi masukan bagi pengambil kebijakan dalam upaya pengembangan Sumber daya manusia di lingkungan Kementerian Kesehatan khususnya, dan lembaga pemerintah atau organisasi lainnya yang ada di Indonesia. b. Memberi masukan bagi pengelola sumber daya manusia yang bertanggung
jawab
menyusun
dan
mengelola
perencanaa
dan
pengembangan karir pegawai sehingga konsep pengembangan karirnya jelas dan para pegawai akan lebih terarah dalam usaha mencapai tujuan karir yang telah direncanakan. c. Memberi masukan bagi pengelola sumber daya manusia yang bertanggung jawab menyusun dan mengelola analisa kebutuhan diklat pegawai dan instansi diklat sebagai penanggung jawab penyelenggaraan diklat sehingga program-program diklat telah direncanakan dengan baik dan sesuai dengan kebutuhan pegawai. d. Bahan masukan bagi perbaikan penyelenggaraan Diklatpim tingkat IV di lingkungan kementerian kesehatan di masa yang akan datang.
8
E. Keaslian Penelitian 1.
Rustam and Hadna (2009),melaksanakan penelitian yang berjudul “Evaluasi kepemimpinan Diklatpim Tk. III di lingkungan pemerintah Provinsi Kepulauan Riau”. Pokok pikiran penelitian ini menjelaskan bahwa kurikulum, metode dan kapasitas widyaiswara merupakan komponen pelatihan dan dalam proses belajar mengajar sebagai alat diharapkan mampu mencapai tujuan diklat. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa kurikulum, metode
dan
kapasitas
widyaiswara
dengan
indikator
peningkatan
pengetahuan, peningkatan keterampilan dan perubahan sikap cukup baik walaupun belum maksimal, yaitu: 1) peningkatan pengetahuan menunjukkan kemampuan dalam menganalisasehingga mampu mengambil keputusan dan memberi solusi; 2) peningkatan keterampilan menunjukkan kemampuan menyelesaikan tugas tepat memanfaatkan/menggunakan teknologi; dan 3) perubahan perilaku sikap menunjukkan tingkat disiplin ketika jam masuk kantor selain itu juga adanya sikap yang mampu bekerjasama dalam tim. 2.
Penelitian yang dilakukan olehSurya (2012), tentang “Evaluasi program pelatihan ICT terhadap guru-guru di LPMP Jawa Barat: Penelitian evaluasi dengan menggunakan model evaluasi kirkpatrik terhadap pelatihan intel teach getting started di daerah terpencil di Kabupaten Garut”.Pokok pikiran penelitian ini menjelaskan bahwa pelaksanaan penelitian dilakukan dalam tiga tahap, yaitu pada saat pelatihan berlangsung, setelah pelatihan berakhir dan enam bulan setelah peserta pelatihan untuk menerapkan hasil pelatihan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa: 1) ada perbedaan dalam keterampilan antara kelompok eksperimen dan kelompok control; 2) ada perbedaan hasil belajar siswa antara siswa kelompok eksperimen dengan siswa kelompok kontrol; 3) ada reaksi terhadap pengaruh pembelajaran; 4) ada efek belajar terhadap perilaku; dan 5) ada pengaruh perilaku pada hasil pelaksanaan diklat.
3.
Rafli (2011), melaksanakan penelitian yang berjudul “Analisis kepuasan peserta program pendidikan dan pelatihan di PT. PLN (PERSERO) unit
9
pendidikan dan pelatihan Bogor”. Penelitian ini dilakukan untuk mengukur tingkat kepuasan peserta pendidikan dan pelatihan terhadap penyelenggaraan diklat di unit pendidikan dan pelatihan Bogor dan bagaimana saran tindak lanjut atas dasar kepuasan peserta diklat. Jenis pelatihan ini adalah survey deskriptif, sedangkan prosedurnya dengan metode evaluative. Penelitian ini bersifat kuantitatif. Teknik evaluasi program diklat ini memakai model evaluasi empat level Kirkpatrick, khususnya pada level 1 (reaksi). Metode pengumpulan data dilakukan dengan metode survey. Hasil analisis menunjukkan bahwa kepuasan peserta pelatihan yang diteliti relatif sama. Tingkat kepuasan peserta terhadap pelatihan sangat diperlukan untuk dianalisis. Perlu dilakukannya penilaian kompetensi jabatan yang terkait dengan tingkat kepuasan di area yang lebih luas. Dari penelitian tersebut dapat disimpulkan bahwa sarana penyelenggaraan khususnya bagian perpustakaan belum maksimal. 4.
Yuniva (2014)melakukan penelitian yang berjudul “Evaluasi Program Pendidikan dan Pelatihan Tingkat IV angkatan IV di lingkungan Pemerintah Provinsi Kepulauan Riau”.Pokok pikiran penelitian menjelaskan bahwa evaluasi program pelatihan mencakup empat level evaluasi yaitu reaction, learning, behavior dan result. Evaluasi perilaku ini berbeda dengan evaluasi terhadap sikap. Ditambah evaluasi CIPP terdiri dari konteks evaluasi, input evaluasi, proses evaluasi, produk evaluasi. Hasil analisis menunjukan bahwa mayoritas responden menyatakan bahwa evaluasi program pada ketiga penilaian konteks, masukan dan rekasi dinyatakan dalam kategori cukup. Ketiga penilaian tersebut dinyatakan belum optimal. Sedangkan pada penilaian evaluasi learning dan result menunjukkan kategori kurang baik. Hal ini berkaitan dengan kendala-kendala yang dihadapi dalam proses pembelajaran yang dinilai melalui metode pembelajaran yang masih banyak berupa satu arah system pembelajaran yang seharusnya andragogy dan keterampilan
peserta
dalam
penyerapan
materi
pembelajaran
serta
keterampilan yang masih belum optimal. Sementara penilaian hasil-hasil yang didapatkan masih kurang baik diterima oleh peserta. Penilaian pada result
10
dilakukan pada dimensi penilaian manfaat, perubahan perilaku dan hasil-hasil pekerjaan yang masih kurang optimal. 5.
Penelitian yang dilakukan oleh Meitaningrum et al. (2013)tentang “Efektivitas pendidikan dan pelatihan dalam meningkatkan kinerja pegawai (Studi pada Badan Kepegawaian Daerah Kabupaten Malang)”. Hasil analisis menunjukan bahwa, pendidikan dan pelatihan yang diikuti oleh pegawai Badan Kepegawaian Daerah Kabupaten Malang sudah cukup efektif, dilihat dari hasil evaluasi setelah pendidikan dan pelatihan yaitu terjadi perubahan sikap dan perilaku pada diri pegawai dalam menyelesaikan pekerjaannya jauh lebih baik daripada sebelum mengikuti pendidikan dan pelatihan. Faktor yang menghambat efektifitas pendidikan dan pelatihan adalah terbatasnya anggaran pendidikan dan pelatihan. Dari beberapahasil penelitian diatas, maka dapat diambil kesimpulan
bahwa sangat pentingnya evaluasi suatu program pelatihan mulai dari perencanaan program pelatihan, proses program pelatihan dan hasil yang dicapai dari program pelatihan sehingga dapat mengukur keefektivitasansuatu program pelatihan tersebut.Perbedaan dari peneliti-peneliti diatas dengan penelitian yang akan dilakukan yaitu adanya analisispengukuran evaluasikinerjapegawai pasca diklat ditinjau dari Disiplin, Kepemimpinan, Kerjasama dan prakarsa. Penelitian ini sebagai suatu cara dalam melakukan evaluasi terhadap prestasi kerja para pegawai dengan serangkaian tolak ukur tertentu dan berkaitan langsung dengan tugas seseorang serta dilakukan secara berkala.