1
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Kesehatan adalah sesuatu yang berharga bagi seluruh makhluk hidup di dunia karena tanpa kesehatan, manusia tidak akan dapat menjalani kegiatan hidupnya dengan optimal. Selain itu kesehatan merupakan keadaan sejahtera dari badan, jiwa dan sosial yang memungkinkan setiap orang hidup produktif secara sosial dan ekonomis. Pada dasarnya, setiap manusia menghendaki hidup dan kehidupan yang tenang, tentram dan bahagia, meskipun tidak selamanya kemauan dan keinginan tersebut tercapai. Sebab sudah menjadi sunatullah bahwa kegundahan, kekalutan, kegelisahan dan berbagai bentuk gangguan psikologis lainnya merupakan bagian yang akan selalu menyertai kehidupan manusia. Problematika individu yang sering dihadapi ialah kegagalan seseorang dalam menghadapi kenyataan hidup seperti sangat sulit untuk menghadirkan rasa takut, rasa taat, dan rasa bahwa Dia selalu mengawasi perbuatan dan perilaku setiap individu. Problematika individu dengan dirinya sendiri, ialah kegagalan bersikap berdisiplin dan bersahabat dengan hati nuraninya sendiri, yakni hati nurani yang selalu mengajak, menyeru dan membimbing kepada kebaikan dan kebenaran kepada Tuhannya. Sehingga muncul sikap was-was, ragu, prasangka buruk lemah motivasi dan tidak mampu bersikap mandiri dalam melakukan segala hal yang berujung terjadinya gangguan kejiwaan (Hamdani, 2004). Kesehatan Jiwa adalah keadaan jiwa yang sehat menurut ilmu kedokteran sebagai unsur kesehatan, yang dalam penjelasannya disebutkan bahwa
kesehatan
jiwa
adalah
suatu
kondisi
yang
memungkinkan
perkembangan fisik, intelektual dan emosional yang optimal dari seseorang dan perkembangan itu berjalan selaras dengan keadaan orang lain. Makna kesehatan
jiwa
mempunyai
sifat-sifat
1
yang
harmonis
(serasi)
dan
2
memperhatikan semua segi-segi dalam kehidupan manusia dan dalam hubungannya dengan manusia lain (Irma, 2009). Gangguan jiwa adalah gangguan dalam cara berpikir (cognitive), kemauan (volition, emosi (affective), tindakan (psychomotor) (Yosep, 2007). Gangguan jiwa menurut Depkes RI (2000) adalah suatu perubahan pada fungsi jiwa yang menyebabkan adanya gangguan pada fungsi jiwa, yang menimbulkan penderitaan pada individu dan atau hambatan dalam melaksanakan peran sosial. Menurut Townsend (1996) mental illness adalah respon maladaptive terhadap stressor dari lingkungan dalam/luar ditunjukkan dengan pikiran, perasaan, dan tingkah laku yang tidak sesuai dengan norma lokal dan kultural dan mengganggu fungsi sosial, kerja, dan fisik individu. Konsep gangguan jiwa dari PPDGJ II yang merujuk ke DSM-III adalah sindrom atau pola perilaku, atau psikologi seseorang, yang secara klinik cukup bermakna, dan yang secara khas berkaitan dengan suatu gejala penderitaan (distress) atau hendaya (impairment/disability) di dalam satu atau lebih fungsi yang penting dari manusia (Maslim, 2002). Gangguan jiwa erat hubungannya dengan tekanan-tekanan batin, konflik pribadi itu sering sangat mengganggu ketenangan hidup seseorang dan seringkali menjadi pusat pengganggu bagi ketenangan hidup. Jika gangguangangguan emosional dan ketegangan batin tersebut berlangsung terus menerus atau kronis hal itu pasti menimbulkan macam-macam penyakit mental atau penyakit jiwa. Penyakit jiwa ditandai dengan fenomena ketakutan, hambar hati, pahit hati, ketegangan hati yang kronis dan lain-lain (Maslim, 2002). Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2007 menyebutkan 14,1% penduduk Indonesia mengalami gangguan jiwa dari ringan hingga berat. Data dari 33 rumah sakit jiwa di seluruh Indonesia menyebutkan hingga kini jumlah penderita jiwa berat mencapai 2,5 juta orang. Di Indonesia prevalensinya sekitar 11% dari total penduduk dewasa . Menurut penelitian WHO di beberapa Negara berkembang menunjukkan bahwa 30 – 50 % pasien yang berobat ke fasilitas pelayanan kesehatan umum ternyata menderita gangguan
3
kesehatan jiwa. Hal ini sejalan dengan penelitian Depkes RI pada tahun 1984 di puskesmas Tambora Jakarta Selatan yang menunjukkan bahwa dari jumlah pasien yang berobat ke Puskesmas, 28,73% (pasien dewasa) menderita gangguan kesehatan jiwa yang sering muncul sebagai gangguan kesehatan fisik/jasmani (Depkes RI, 2002). Menurut harian Suara Merdeka, 19% penduduk kota-kota besar di Indonesia, seperti Jakarta, Bandung, Semarang, Surabaya, Medan, dan Makassar, mengalami gangguan mental. Data terbaru dari World Health Organization (WHO), seperti yang dikutip oleh Albert Maramis (2004) menyatakan bahwa sekitar 26 juta jiwa penduduk Indonesia mengidap gangguan jiwa, dan 13,2 juta jiwa diantaranya mengalami depresi. Profil status kesehatan kota Semarang (2006), menunjukkan bahwa angka gangguan jiwa serius adalah 4.096 pasien atau sekitar 0.29% dari total penduduk Kota Semarang. Data tersebut masih bisa bertambah karena dihitung berdasarkan pasien yang berkunjung ke puskesmas. Sementara pasien gangguan jiwa masih banyak yang belum terdata di Dinas Kesehatan Kota Semarang karena keluarga lebih memilih merawat sendiri di rumah, membawa ke orang pintar dan membawa langsung ke Rumah Sakit Jiwa.(Mubin, 2008). Dari hasil survey peneliti diwilayah kerja puskesmas gayamsari di dapatkan data penderita gangguan jiwa dikelurahan Tambakrejo tercatat kurang lebihnya sekitar 6 orang , jumlah ini dimungkinkan bisa lebih banyak lagi karena banyaknya warga masyarakat yang langusng membawanya ke rumah sakit jiwa tanpa melapor dulu kepuskesmas,selain itu banyak juga yang hanya di bawa ke dukun atau orang pintar tanpa melalui puskesmas. Kesadaran dan persepsi masyarakat terhadap kesehatan mental berbeda di setiap kebudayaan. Dalam suatu budaya tertentu, orang-orang secara sukarela mencari bantuan dari para profesional untuk menangani gangguan jiwanya. Sebaliknya dalam kebudayaan yang lain, gangguan jiwa cenderung diabaikan sehingga penanganan akan menjadi buruk karena tak ada perawatan khusus, atau di sisi lain masyarakat kurang antusias dalam mendapatkan
4
bantuan untuk mengatasi gangguan jiwanya. Bahkan gangguan jiwa dianggap memalukan atau membawa aib bagi keluarga penderita gangguan jiwa (Team IT RSJ. Dr. Radjiman Wediodiningrat Lawang). Gangguan jiwa dapat dipersepsi secara holistik, dan memperhitungkan adanya kesulitan mental dan spiritual yang dialami klien yang dapat menyebabkan gangguan jiwa. Apabila seseorang tidak sampai pada tingkatan ini, mereka seringkali tidak berani mencari bantuan sehingga diagnosanya akan menjadi jelek (Team IT RSJ. Dr. Radjiman Wediodiningrat Lawang). Persepsi yang timbul di masyarakat disebabkan oleh gejala-gejala yang dianggap aneh dan berbeda dengan orang normal. Adanya persepsi ini juga berkaitan dengan faktor tradisi atau kebudayaan dalam masyarakat yang masih percaya takhayul dan tindakan-tindakan irrasional warisan nenek moyang. Selain itu, persepsi tersebut muncul karena penyebab gangguan jiwa itu sendiri dirasa sulit ditemukan. Bahkan, para ahli jiwa masih sering berdebat tentang etiologi gangguan jiwa (Mubin, 2008). Berdasarkan penelitian kejiwaan yang dilakukan oleh Mubin (2008) yang meneliti tentang stigma masyarakat dan stigma pada diri sendiri memberikan dampak pada keluarga dengan konsekuensi positif dan negatif. Dengan hasil penelitian adalah Terdapat makna stigma yang dapat diambil oleh keluarga diantaranya adalah makna yang bersifat positif dan negatif. Makna positif berupa terbentuknya koping keluarga yang konstruktif dengan keluarga semakin kompak dan rukun. Selanjutnya makna negatif berupa pengalaman yang tidak menyenangkan, aktivitas harian terganggu dan keluarga menjadi rendah diri. Terdapat beberapa kesamaan hasil penelitian dengan penelitian sebelumnya, hal ini dikarenakan terdapat sebagian makna yang bersifat universal/ dirasakan oleh seluruh keluarga yang mengalami stigma. Dampak yang ditimbulkan oleh stigma masyarakat dan stigma pada diri sendiri membuat keluarga berharap pada warga dan petugas kesehatan. Harapan kepada warga berupa: sikap warga yang mau mengerti, tidak mengejek dan tidak membikin sedih orang lain. Harapan terhadap perilaku
5
warga adalah memberi kesempatan anaknya untuk bermain, tidak didiamkan dan mau membantu kesulitan klien. Fakta yang ditemukan penulis, di Kelurahan Tambak Rejo terdapat dua orang penderita gangguan jiwa yang berada di tengah masyarakat. Salah satunya terkadang bersikap biasa layaknya orang normal dan satu lainnya terkadang marah-marah tidak jelas. Masyarakatpun bersikap menerima dan tidak mengucilkan hanya saja masyarakat menjaga jarak dari penderita gangguan jiwa dengan tidak melakukan komunikasi dan aktivitas sosial lainnya. Masyarakat bersikap demikian terhadap mereka dengan berbagai alasan. ada yang beralasan bahwa mereka tidak pernah mengganggu masyarakat, ada yang beralasan sudah terbiasa karena hal itu terjadi sudah sangat lama, tapi ada juga yang merasa takut dengan keberadaan mereka. Berdasarkan latar belakang tersebut diatas maka penulis merasa tertarik untuk melakukan penelitian lebih lanjut tentang bagaimana persepsi masyarakat terhadap penderita gangguan jiwa di Kelurahan Tambakrejo Kecamatan Gayamsari Kota Semarang.
B. Rumusan Masalah Persepsi masyarakat tentang gangguan jiwa sangat beraneka ragam, tidak sedikit ditemui bahwa persepsi masyarakat tentang gangguan jiwa sangatlah negatif, mispersepsi itu yang menimbulkan berbagai macam dampak baik untuk sang penderita gangguan jiwa itu sendiri maupun masyarakat, Salah kaprah pengertian dan pemahaman penyakit jiwa ini mungkin karena ketidaktahuan masyarakat pada masalah-masalah kejiwaan dan kesehatan mental. Ketidaktahuan ini mengakibatkan persepsi yang keliru, bahwa penyakit mental merupakan aib bagi si penderita maupun bagi masyarakat. Sehingga si penderita harus disembunyikan atau dikucilkan, bahkan lebih parah lagi ditelantarkan oleh keluarganya. Melihat dari dampak persepsi masyarakat yang dapat memperburuk kondisi kesehatan penderita gangguan jiwa sehingga peneliti merumuskan permasalahan
dalam
penelitian
ini
adalah
“Bagaimanakah
persepsi
6
masyarakat terhadap penderita gangguan jiwa di Kelurahan Tambak Rejo Kecamatan Gayamsari, Semarang Jawa Tengah?”
C. Tujuan Penelitian 1. Tujuan Umum Mengetahui persepsi masyarakat terhadap penderita gangguan jiwa di Kelurahan Tambakrejo Kecamatan Gayamsari Kota Semarang. 2. Tujuan Khusus a. Menguraikan pendapat masyarakat tentang gangguan jiwa b. Menguraikan sikap masyarakat terhadap penderita gangguan jiwa c. Menguraikan perilaku masyarakat terhadap penderita gangguan jiwa d. Menguraikan harapan masyarakat terhadap penderita gangguan jiwa
D. Manfaat Penelitian 1. Bagi Peneliti a. Menambah wawasan bagi peneliti tentang persepsi masyarakat mengenai gangguan jiwa b. Sebagai bahan pertimbangan untuk perbaikan metodologi penelitian berikutnya c. Sebagai gambaran informasi bagi peneliti berikutnya 2. Bagi Masyarakat Memberikan pandangan kepada masyarakat tentang penderita gangguan jiwa dan bagaimana selayaknya memperlakukan penderita gangguan jiwa secara manusiawi. 3. Bagi Universitas Menambah bahan bacaan bagi mahasiswa dan memberikan tambahan acuan bagi mahasiswa yang pada akhirnya nanti akan melakukan penelitian yang sama atau menyerupai dengan penelitian ini.
7
4. Bagi Perawat / praktisi Hasil penelitian ini dapat dijadikan reverensi bagi teman sejawat dalam menjalankan praktik keperawatan terutama pada saat melakukan asuhan keperawatan terhadap klien dengan gangguan jiwa.
E. Ruang Lingkup Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian dalam bidang ilmu kesehatan masyarakat khususnya keperawatan jiwa dan keperawatan komunitas.