1
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Merokok
merupakan
permasalah
global,
karena
rokok
dapat
meningkatkan faktor risiko penyakit tidak menular seperti penyakit kardiovaskuler yang berujung pada kematian. Merokok dapat mengakibatkan faktor risiko penyakit pada sistem pernafasan dan sistem kardiovaskuler. Faktor risiko penyakit yang muncul akibat rokok, di antaranya adalah kanker paru, asma, atherosklerosis, penyakit jantung, stroke, gangguan aliran darah pada organ vital, schizophrenia, kegelisahan, depresi, dan chronic obstructive pulmonary disease (COPD) (Center for Public Health and Tobacco Policy, 2012). Edwards (2004) dalam artikelnya menyebutkan bahwa rokok dapat menyebabkan faktor risiko munculnya penyakit jantung koroner, osteoporosis, penyakit periodontal, impotensi, kemandulan, katarak, keguguran, kanker paru, dan stroke. Pada tahun 2030, menurut Edwards (2004), prediksi kematian yang disebabkan penyakit yang berkaitan dengan rokok lebih dari 10 juta per tahun. Eriksen, et al. (2015) dalam The Tobacco Atlas 2015 menyebutkan bahwa di abad ke 20 rokok menjadi penyebab kematian 100 juta orang di dunia. Menurut data The Tobacco Atlas (2015), Indonesia berada di urutan ketiga dengan jumlah 50,6 juta perokok pria terbesar di dunia, setelah Cina dan India. Hasil Global Youth Tobacco Survey (GYTS) mengatakan bahwa prevalensi perokok usia di atas 15 tahun di Indonesia pada tahun 2010 mencapai 34,7%, kemudian Riskesdas 2013 juga menunjukkan rerata proporsi perokok saat ini di Indonesia adalah 29,3% dengan rentang usia 10 tahun ke atas. Data yang dirilis WHO tahun 2015 dalam Atlas Global Adult Tobacco Survey (GATS) menunjukkan bahwa prevalensi perokok dewasa usia di atas 15 tahun Indonesia menduduki peringkat pertama pada perokok laki-laki, yaitu 57%, sedangkan prevalensi perokok dewasa perempuan usia di atas 15 tahun 3%, tertinggi ketiga di Asia Tenggara setelah Filipina dan Thailand. Masalah prevalensi perokok terbanyak di Indonesia pada rentang usia 25 - 44 tahun (38%) dan rentang usia 45 - 64 tahun (40%). Data SEATCA (2014) juga menyebutkan bahwa prevalensi perokok dewasa laki-laki di Indonesia 67%,
1
2
urutan pertama atau tertinggi dibandingkan dengan negara-negara ASEAN. Data Riskesdas (2013) menunjukkan kecenderungan perokok di tahun 2007, 2010, dan 2013 data gabungan antara perokok hisap dan pengguna tembakau kunyah pada kelompok umur ≥ 15 tahun cenderung meningkat, berdasarkan Riskesdas 2007 sebesar 34,2%, Riskesdas 2010 sebesar 34,7% dan Riskesdas 2013 menjadi 36,3%. Berdasarkan rilis data Riskesdas 2013, pada usia ≥ 15 tahun proporsi perokok laki-laki 64,9%, sedangkan perokok perempuan 2,1% (Riskesdas, 2013). Permasalahan pada perokok remaja di Indonesia, berdasarkan data WHO yang dirilis Global Youth Tobacco Survey pada tahun 2014, prevalensi perokok remaja laki-laki pada rentang usia 13 - 15 tahun 36,2% dan perempuan 4,3% pada rentang usia yang sama, yaitu 13 - 15 tahun. Data Riskesdas 2013 juga menunjukkan perokok remaja dengan usia 10 tahun ke atas di Indonesia prevalensinya 24,3%. Dalam hal pengendalian tembakau, WHO dalam sidang majelis kesehatan dunia yang dilakukan pada bulan Mei 2003 menghasilkan sebuah naskah sebagai acuan dalam penanggulangan tembakau di dunia, yaitu Framework Convention on Tobacco Control (FCTC). FCTC terdiri dari 11 bab dan 38 pasal yang berisi tentang : a. Kebijakan harga dan cukai rokok, b. Iklan, sponsorship dan promosi, c. Pelabelan: peringatan kesehatan dan pernyataan yang menyesatkan, d. Undang-undang uadara bersih, e. Pengungkapan dan pengaturan kandungan produk, 6. Penyelundupan (Prabaningrum, 2008). Kebijakan mengenai pengendalian tembakau di dunia berdasarkan data WHO dalam Framework Convention on Tobacco Control (FCTC) hingga Desember 2014 sudah ada 180 negara yang menjadi anggota WHO dan menandatangani kesepakatan FCTC. Namun, meskipun telah ditandatangani sekian banyak negara, Indonesia merupakan salah satu negara yang belum menandatangani kesepakatan FCTC untuk menanggulangi masalah tembakau di negaranya (GATS, 2015). Di Indonesia, kebijakan mengenai produk tembakau sebenarnya telah diatur dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 109 Tahun 2012 tentang pengamanan bahan yang mengandung zat adiktif berupa produk tembakau bagi kesehatan yang terdiri dari 8 bab dan 65 pasal yang sebenarnya telah merepresentasikan dari FCTC. Kebijakan selanjutnya tertuang dalam
3
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, khususnya masalah produk tembakau dan lingkungan yang tercantum pada bab 17 pasal 113, 114, 115 dan 116. Terakhir adalah kebijakan tentang pedoman pelaksanaan kawasan tanpa rokok yang tercantum pada Peraturan Bersama Menteri Kesehatan dan Menteri Dalam Negeri Nomor 188/MENKES/PB/2011 Nomor 7 Tahun 2011. Dalam peraturan bersama tersebut terdapat 5 bab dan 10 pasal yang menjelaskan pedoman pembuatan dan pelaksanaan kawasan tanpa rokok di daerah. Dari 3 kebijakan yang dimiliki oleh pemerintah, semestinya Indonesia ikut serta menandatangani kesepakatan FCTC dalam upaya pengendalian produk tembakau untuk melindungi masyarakatnya dari bahaya rokok, terutama para generasi muda penerus bangsa di masa yang akan datang. Beberapa wilayah provinsi, kota dan kabupaten di Indonesia, melalui kepala daerah, sudah ada yang menerbitkan peraturan kebijakan pengendalian produk tembakau, baik dalam bentuk peraturan kawasan tanpa rokok (KTR) yang dituangkan dalam peraturan gubernur, peraturan walikota, peraturan bupati maupun peraturan daaerah. Hal ini dilakukan untuk melindungi derajat kesehatan masyarakat di wilayah masing-masing. Tercatat hingga tahun 2013 ada 10 provinsi
yang
memiliki
peraturan
KTR
dan
127
kabupaten/kota
yang
melaksanakan peraturan KTR (Profil Kesehatan Indonesia Tahun 2012, Pusdatin Kemenkes RI, 2013). Penelitian mengenai kebijakan penerapan kawasan tanpa rokok (KTR) di wilayah Indonesia cukup banyak dilakukan, di antaranya : Apriwal (2009), meneliti efektivitas kebijakan kawasan bebas rokok di Rumah Sakit Umum Daerah Sulthan Thaha Saipuddin Kabupaten Tebo Provinsi Jambi dengan hasil penelitian penerapan KTR memberikan pengaruh positif pada kesadaran perilaku merokok petugas kesehatan di rumah sakit. Gafar (2011), meneliti evaluasi proses penerapan kebijakan kawasan tanpa rokok di kota Padang Panjang Sumatera Barat, hasil penelitian menunjukkan bahwa masyarakat mendukung penerapan kebijakan kawasan tanpa rokok, tidak merokok di tempat ibadah, pelayanan kesehatan, tempat kerja, dan terjadi penurunan jumlah perokok di angkutan kota, serta adanya kepedulian perokok pasif menegur orang yang merokok pada tempat yang dilarang. Efraldo (2014) meneliti implementasi Peraturan Daerah Kota Pontianak Nomor 10 Tahun 2010 tentang Kawasan Tanpa Rokok di Kecamatan Pontianak Tenggara. Kesimpulan dari hasil
4
penelitian adalah implementasi Perda Kota Pontianak tentang Kawasan Tanpa Rokok belum berjalan dengan baik. Hal ini ditunjukkan dengan masih banyak ditemukan perokok di tempat-tempat yang dilarang, belum adanya pembinaan dan sosialisasi oleh pihak dinas kesehatan selaku pembina, pengawasan dan penegakan perda yang semestinya dilakukan oleh satuan polisi pamong praja juga belum berjalan. Dari beberapa penelitian yang telah dilakukan, penelitian yang khusus meneliti periklanan media luar ruang untuk produk tembakau kaitannya dengan implementasi peraturan di Indonesia masih sedikit dilakukan, sehingga peneliti tertarik untuk melakukan penelitian tentang implementasi peraturan daerah tentang KTR yang berkaitan dengan periklanan media luar ruang produk tembakau. Iklan rokok media luar ruang mulai dari ukuran besar hingga kecil sangat banyak ditemukan terpasang di jalan-jalan di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), baik di wilayah kota maupun kabupaten. Terkait dengan peraturan daerah yang mengatur tentang iklan rokok media luar ruang, di Daerah Istimewa Yogyakarta yang pertama memiliki peraturan daerah adalah Kabupaten Kulon Progo yang telah memiliki Perda KTR sejak tahun 2014. Dengan adanya perda KTR di Kulon Progo, peneliti mencoba untuk melihat implementasi Perda KTR tersebut terutama terhadap iklan rokok media luar ruang. D.I. Yogyakarta merupakan salah satu provinsi yang memiliki proporsi perokok aktif cukup banyak di Indonesia (21,2%), hanya sedikit di bawah ratarata nasional yang 24,3% (Riskesdas, 2013). Dari data yang ada pemerintah selaku pemegang kebijakan perlu membuat
regulasi untuk
melindungi
masyarakatnya dari bahaya paparan rokok bagi kesehatan tubuh. D.I. Yogyakarta memiliki 4 kabupaten dan 1 kotamadya, yaitu Kabupaten Sleman, Kabupaten Bantul, Kabupaten Kulon Progo, Kabupaten Gunung Kidul dan Kota Yogyakarta. Di antara 4 kabupaten dan 1 kotamadya, Kabupaten Kulon Progo merupakan kabupaten yang lebih dulu memiliki perda tentang kawasan tanpa rokok (KTR) di tahun 2014 untuk melindungi masyarakatnya dari bahaya rokok terhadap kesehatan, kemudian Kabupaten Gunung Kidul di tahun 2015. Kabupaten Kulon Progo, berdasarkan data Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil, registrasi penduduk pertengahan tahun 2014 sebanyak 409.568 jiwa. Dengan jumlah penduduk laki-laki sebanyak 204.149 jiwa (49,08%) dan perempuan sebanyak 205.419 jiwa (50,2%), serta jumlah rumah tangga
5
sebanyak 139.451 KK dengan rata-rata penghuni rumah tanggga sebanyak 3 jiwa. Struktur penduduk di Kabupaten Kulon Progo tergolong produktif, artinya proporsi penduduk usia 15-64 tahun mempunyai proporsi terbesar (70,48%). Angka beban ketergantungan, yakni rasio antara jumlah penduduk usia produktif (15-64 tahun) dengan jumlah penduduk usia tidak produktif (0-14 th dan > 65 tahun lebih) adalah 29,52% yang berarti setiap 100 penduduk usia produktif menanggung 30 penduduk usia tidak produktif. Review PHBS tatanan rumah tangga tahun 2014 memperoleh hasil 32,92% yang telah melaksanakan PHBS dari 94.997 rumah tangga yang dipantau. Dari 10 penyakit terbanyak yang ada di Kulon Progo ada 3 penyakit tidak menular yang termasuk di dalamnya, yaitu nasofaringitis akut, hipertensi, dan diabetes mellitus yang menenpati urutan pertama, kedua dan keempat (Profil Dinkes Kulon Progo, 2015) Proporsi penduduk produktif di rentang usia 15-64 tahun (70,48%) ini berpotensi menjadi sasaran produsen rokok untuk menjajakan produknya, sehingga pemerintah daerah mengeluarkan Peraturan Daerah Kabupaten Kulon Progo Nomor 5 Tahun 2014 tentang Kawasan Tanpa Rokok pada tanggal 19 Mei 2014, yang dimaksudkan untuk memberikan jaminan perolehan lingkungan udara yang bersih dan sehat bagi masyarakat, melindungi masyarakatnya agar dapat terhindar dari bahaya asap rokok terhadap kesehatan tubuh dan mengurangi jumlah perokok aktif dan perokok pemula, serta meningkatkan kesadaran dan kewaspadaan masyarakat terhadap bahaya merokok dan manfaat hidup tanpa merokok. Penerapan kawasan tanpa rokok sendiri meliputi : a) Fasilitas pelayanan kesehatan, b) Tempat proses belajar mengajar dan kawasan belajar mengajar, c) Tempat anak bermain, d) Tempat ibadah, e) Angkutan umum, f) Tempat kerja, g) Tempat umum dan tempat lain yang ditetapkan. Cahyo, dkk. (2012) menyatakan bahwa pengaruh paparan iklan terhadap remaja SMA di Kota Semarang, berasal dari televisi, iklan di pinggir jalan dalam bentuk spanduk, promosi penjualan produk rokok secara langsung dari sales promotion girl (SPG) hingga pembagian sampel produk rokok gratis pada acara musik. Diakui hal ini dapat berpengaruh dan membangkitkan keinginan remaja untuk merokok. Ariani (2011) juga mengungkapkan adanya pengaruh hubungan yang kuat antara iklan rokok dengan sikap merokok remaja SMA di Semarang. Kemudian, Kustanti (2014) mengungkapkan, dalam penelitiannya pada remaja
6
SMP di Wonogiri, tentang adanya hubungan yang kuat antara iklan rokok dengan perilaku merokok pada remaja. Sejalan dengan penelitian yang ada, Capella, et al. (2011) dalam review artikelnya juga mengungkapkan adanya hubungan yang erat antara pengaruh iklan rokok terhadap konsumsi rokok. WHO (2003) dalam Framework Convention on Tobacco Control (FCTC) pada pasal 13 menyerukan pelarangan secara menyeluruh segala aktivitas iklan, promosi, dan sponsor rokok yang lebih dikenal TAPS (tobacco advertising, promotion and sponsorship). Berkaitan dengan pengaruh iklan dan promosi untuk inisiasi penggunaan produk tembakau, data Global Adult Tobacco Survey (GATS) tahun 2011 mengungkapkan sebanyak 47,6% orang dewasa melihat iklan rokok di toko atau penjual, sedangkan 82,5% orang dewasa melihat iklan atau promosi rokok di luar toko, seperti sponsor di acara olahraga dan lain sebagainya. Di Indonesia sendiri iklan rokok sangat bebas terpampang di sudutsudut jalan raya negeri ini dan juga di media-media, baik visual maupun audio visual. Centers for Disease Control and Prevention (CDC) 2012 dalam artikelnya tentang kesadaran orang dewasa terhadap iklan, promosi, dan pemberian sponsor tembakau pada 14 negara mengatakan bahwa tobacco advertising, promotion, and sponsorship (TAPS) paparannya berkaitan erat dengan merokok pada usia muda. Framework Convention on Tobacco Control (FCTC) WHO membutuhkan negara-negara untuk melarang semua nama dari TAPS. Berkenaan dengan masalah iklan produk rokok pada media luar ruang, pada survei pendahuluan yang dilakukan peneliti dengan mengambil beberapa sampel jalan yang ada di Kabupaten Kulon Progo, masih ditemukan beberapa iklan rokok media luar ruang yang terpampang, padahal Pemerintah Kabupaten Kulon Progo pada tanggal 24 Maret 2015 secara simbolis telah melakukan penurunan iklan rokok pada media luar ruang sebagai tanda penerapan implementasi perda KTR secara utuh di sana dan melarang segala bentuk iklan rokok pada media luar ruang. Berkenaan dengan hal tersebut, peneliti mencoba untuk meneliti implementasi penerapan Perda KTR Kabupaten Kulon Progo Nomor 5 Tahun 2014 yang berkaitan dengan iklan produk tembakau pada media luar ruang yang tertera pada pasal 7 ayat 1, 2 dan 3.
7
B. Perumusan Masalah Rumusan masalah pada penelitian ini adalah : Bagaimana implementasi Perda KTR Kabupaten Kulon Progo Nomor 5 Tahun 2014 pada pasal 7 ayat 1, 2, dan 3 oleh Pemerintah Daerah Kabupaten Kulon Progo dalam melakukan pengendalian iklan produk tembakau yang dilakukan pada media luar ruang ?. C. Batasan Masalah Dalam penelitian ini, implementasi terhadap Perda KTR Kabupaten Kulon Progo Nomor 5 Tahun 2014, terutama pada pasal 7 ayat 1, 2, dan 3 dibatasi hanya pada iklan produk rokok pada media luar ruang. Alasan pembatasan tersebut adalah untuk lebih menekankan dan memfokuskan pada iklan produk rokok yang dapat mempengaruhi khalayak banyak, baik perokok aktif, pasif, pemula maupun anak-anak, yang dapat terpapar oleh iklan rokok secara berulang-ulang. D. Tujuan Penelitian 1. Untuk mengidentifikasi adanya pelanggaran terhadap Perda KTR Kabupaten Kulon Progo Nomor 5 Tahun 2014 pasal 7 ayat 1, 2, dan 3 pada iklan produk rokok media luar ruang di Kabupaten Kulon Progo. 2. Mengetahui atau mengeksplorasi isi pesan dan gambar dalam iklan produk rokok media luar ruang di Kabupaten Kulon Progo. E. Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan akan memberikan manfaat, yaitu : 1. Bagi pemerintah daerah Hasil penelitian ini dapat bermanfaat bagi pemerintah daerah agar dapat menginformasikan kepada masyarakat tentang penelitian ilmiah yang dilakukan guna menurunkan jumlah perokok aktif dan mencegah munculnya perokok pemula di Kabupaten Kulon Progo akibat dari bahaya iklan rokok luar ruang. Selain itu, sebagai bahan pertimbangan untuk lebih melakukan pengawasan terhadap segala bentuk periklanan dari produk rokok, terutama pada media luar ruang. 2. Bagi peneliti Memperoleh pengalaman dalam menyusun karya tulis ilmiah dan pengamalan dalam penelitian langsung di lapangan, terutama tentang iklan
8
rokok media luar ruang dan dengan pengalaman ini peneliti dapat mengaplikasikan hasil penelitian di tempat kerja peneliti, khususnya untuk melakukan advokasi dalam upaya pembentukan Perda KTR di daerah. 3. Bagi peneliti lain Sebagai sumber informasi bahwasanya penelitian ini dapat digunakan sebagai pembanding dengan penelitian yang berkaitan dengan masalah implementasi terhadap perda KTR, terutama yang berkaitan dengan masalah periklanan produk rokok pada media luar ruang yang dilakukan oleh peneliti, sehingga dapat dikembangkan lagi penelitian-penelitian yang berkaitan dengan implementasi terhadap perda KTR. F. Keaslian Penelitian Penelitian implementasi perda KTR di Kabupaten Kulon Progo, terutama yang berkaitan dengan iklan produk tembakau pada media luar ruang, sepengetahuan penulis, belum pernah dilakukan. Penelitian tentang kebijakan kawasan tanpa rokok yang pernah dilakukan antara lain : 1. Rhoades, et al. (2015), melakukan penelitian pada komunitas unggulan dalam pengendalian tembakau menggunakan perubahan kebijakan lokal dan kunci keberhasilannya pada komunitas di Oklahoma. Hasil penelitian menunjukkan terjadi peningkatan yang signifikan dalam upaya berhenti merokok dengan menggunakan kebijakan lokal. Kebijakan lokal yang digunakan adalah : a. Pelarangan merokok di tempat umum dan di dalam ruangan tempat kerja, b. Pencegahan terhadap anak muda untuk bisa mendapatkan rokok, c. Kawasan bebas rokok di sekolah (baik untuk staf, pelajar, pengunjung di halaman sekolah, propertinya ataupun acara yang terkait dengan sekolah), d. Kebijakan tempat kerja bebas rokok, dan e. Peraturan daerah, resolusi atau kebijakan setempat yang menyatakan tempat rekreasi bebas asap rokok. Metode yang digunakan adalah kuantitatif dengan disain studi sebelum dan sesudah melihat hasil dari kebijakan lokal pada komunitas unggulan perkotaan dan pedesaan di Oklahoma dari tahun 2003-2013. Persamaan dengan penelitian yang dilakukan adalah sama-sama melihat hasil
9
implementasi kebijakan kawasan tanpa rokok dan penggunaan metode penelitian kuantitatif. Perbedaannya pada tempat penelitian dan disain studi yang digunakan. 2. Efraldo (2014) meneliti implementasi peraturan daerah Kota Pontianak Nomor 10 Tahun 2010 tentang Kawasan Tanpa Rokok di Kecamatan Pontianak Tenggara. Hasil penelitian menunjukkan bahwa implementasi perda KTR belum berjalan dengan baik, ditunjukkan dengan masih banyaknya yang merokok di tempat-tempat yang dilarang. Pembinaan, pengawasan dan penegakan perda KTR juga belum berjalan. Persamaan dengan penelitian yang dilakukan adalah sama-sama meneliti implementasi kebijakan perda KTR, perbedaannya pada metode kualitatif dan tempat penelitian. 3. Gafar (2011), melakukan penelitian tentang evaluasi proses penerapan kebijakan kawasan tanpa rokok di Kota Padang Panjang Sumatera Barat. Hasil penelitian menunjukkan masyarakat mendukung penerapan kebijakan kawasan tanpa rokok, tidak merokok di tempat ibadah, pelayanan kesehatan, tempat kerja dan terjadi penurunan jumlah perokok di angkutan kota, serta adanya kepedulian perokok pasif menegur orang yang merokok pada tempat yang di larang. Persamaan dengan penelitian yang dilakukan sama-sama tentang kebijakan kawasan tanpa rokok, perbedaannya pada metode dan tempat penelitian. 4. Apriwal (2009), melakukan penelitian tentang efektivitas kebijakan kawasan bebas rokok di Rumah Sakit Umum Daerah Sulthan Thaha Saipuddin Kabupaten Tebo Provinsi Jambi. Hasil penelitian menunjukkan kebijakan kawasan bebas rokok dengan menggunakan media billboard, warning sign, folder, poster, area merokok dan SK Direktur memberikan pengaruh positif pada kesadaran perilaku merokok petugas kesehatan di rumah sakit. Persamaan dengan penelitian yang dilakukan sama-sama tentang kebijakan kawasan tanpa rokok, perbedaannya pada sub tema kebijakan, subjek penelitian, pembuat kebijakan dan lokasi penelitian. 5. Yulianto (2007), meneliti efektivitas area bebas rokok terhadap sikap dan perilaku merokok pegawai puskesmas. Hasil penelitian menunjukkan ada perbedaan signifikan pada sikap dan perilaku dalam merokok antara sebelum dan sesudah pemberlakuan area khusus merokok pada kelompok intervensi
10
yang menerapkan area khusus merokok. Persamaan dengan penelitian yang dilakukan adalah tentang area bebas rokok, sedang perbedaannya penelitian tersebut menggunakan metode eksperimen semu, rancangan pretest dan posttest serta tempat penelitian. 6. Fatimah (2006), melakukan penelitian tentang persepsi pejabat Kantor Pelayanan Pajak Daerah dan Dinas Pemukiman Prasarana dan Wilayah tentang iklan rokok dan dampaknya terhadap kesehatan masyarakat di Kota Yogyakarta. Hasil penelitian menunjukkan tidak adanya kepedulian pejabat Kantor Pelayanan Pajak Daerah dan Dinas Kimpraswil terhadap dampak iklan rokok pada kesehatan. Persamaan dengan penelitian yang dilakukan adalah tentang iklan rokok, sedangkan perbedaannya adalah metode penelitian, tempat penelitian dan subjek penelitian. Kebaruan pada penelitian yang peneliti lakukan dibandingkan dengan penelitian-penelitian yang sudah dilakukan di atas adalah peneliti melakukan penelitian yang berfokus langsung pada iklan rokok pada media luar ruang, bukan pada kebijakan perda KTR secara keseluruhan. Fokus penelitian dilakukan khususnya pada masalah implementasi kebijakan kawasan tanpa rokok dalam Peraturan Daerah Kabupaten Kulon Progo Nomor 5 Tahun 2014 pasal 7 ayat 1, 2, dan 3 tentang iklan rokok pada media luar ruang. Sepengetahuan peneliti, belum ada penelitian lain yang melakukan penelitian tentang implementasi kebijakan tentang iklan rokok pada media luar ruang.