BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Usia remaja merupakan masa terjadinya berbagai macam perkembangan baik dari segi fisik, emosi maupun kognitif. Fase perkembangan tersebut merupakan fase pencarian identitas yang dapat dipengaruhi oleh faktor dari luar. Beberapa faktor dari luar tersebut antara lain adalah tali persahabatan dengan teman seusia serta hubungan pada anak dengan orang tua yang dapat menjadi sumber cara penyesuaian perkembangan mereka terutama pada perkembangan emosinya (Boudreault-Bouchard et al., 2013). Jumlah penduduk di Indonesia pada tahun 2012 adalah 245 juta jiwa dimana 52 juta dari jumlah tersebut adalah anak-anak (UNICEF, 2012). Data terkini menyatakan bahwa dari 250 juta jiwa pada tahun 2013, nilai dependency ratio yang tercatat adalah sekitar 48% (Tabel Dependency Ratio, n.d) dan 28% pada populasi 0-14 tahun (Indonesia, n.d). Dilihat dari data tersebut diperkirakan masih akan terjadi peningkatan jumlah penduduk di usia 0-14 tahun. Usia tersebut merupakan fase kunci pembentukan identitas diri berdasarkan pengalaman emosi masing-masing individu. Era globalisasi saat ini memberikan stressor pada para remaja. Tuntutan orang tua mengenai prestasi yang bagus maupun tekanan dari teman dalam pergaulan
merupakan
pengalaman
emosi
remaja
yang
mempengaruhi
pembentukan identitas dan karakteristik emosi mereka. Gangguan mental emosional (GME) baik depresi, agresivitas, maupun mood disorder lain akan
1
dialami 20% remaja setiap tahunnya di Indonesia (Budijanto, 2014). Hasil Riskesdas 2013 mencatat dari 598.078 jiwa remaja di Yogyakarta, sekitar 8,1% mengalami gangguan mental emosional. Marah merupakan salah satu ekspresi emosi yang sering terjadi dalam kehidupan manusia. Ekspresi yang digunakan untuk menyalurkan marah dapat menggambarkan masalah kesehatan utama pada orang dewasa maupun anak-anak (Blake & Hamrin, 2007). Emosi marah selalu dikaitkan dengan kondisi maladaptive pada individu yang mana tergambar sebagai masalah eksternal maupun internal. Beberapa masalah tersebut antara lain penggunaan obat terlarang, bullying, keikutsertaan dalam geng, dan penurunan nilai akademik (Konishi & Hymel, 2014). Laporan CDC (2006) menyebutkan bahwa kemarahan yang tidak dapat dikendalikan remaja berkontribusi terhadap tiga masalah utama timbulnya kematian remaja yaitu: pembunuhan, bunuh diri dan timbulnya luka. Tindakan menarik diri atau menghindari masalah juga merupakan salah satu cara remaja bereaksi terhadap emosi marah (Mayasari, 2013). Teknologi yang semakin berkembang diiringi dengan munculnya berbagai macam media sosial menjadi cara yang nyaman bagi mereka yang tidak berani mengungkapkan emosinya secara langsung. Tingkat agresivitas maupun intensitas kemarahan yang tinggi pada remaja seperti ditunjukkan pada tawuran antar pelajar yang sering terjadi menggambarkan bagaimana emosi yang dicoba ditunjukkan oleh remaja. Bentuk perilaku agresivitas remaja juga semakin bervariasi dalam era modernisasi ini yang ditunjukkan dengan semakin banyaknya remaja menggunakan senjata tajam bahkan pistol dalam melakukan tindakan kekerasan. Kejadian tawuran antar pelajar pada tahun 2013 mencapai 255 kasus di seluruh Indonesia yang didominasi wilayah Jakarta (Aji, 2013). Kasus tawuran di Daerah Istimewa Yogyakarta tidak banyak muncul, namun begitu
2
perkumpulan (geng) banyak terbentuk di kota ini (Saputro, 2013). Menurut laporan dari POLDA DIY selama bulan Januari hingga Oktober 2014 terdapat 20 kasus kenakalan remaja yang beberapa diantaranya yaitu tawuran. Jumlah tersebut meningkat dari tahun 2013 hanya tercatat 12 kasus. Kejadian tawuran tersebut dapat dipengaruhi oleh faktor pergaulan, peran pendidik maupun masyarakat (KPAI, 2013). Novaco cit. Howells et al. (2005) menjelaskkan bahwa tindakan kriminal pada remaja khususnya kekerasan dapat muncul diakibatkan oleh pengaruh emosi marah yang tidak terkendali. Ekspresi marah yang tidak dapat ditunjukkan dengan cara yang tepat mungkin akan menimbulkan efek pada kesehatan seseorang berupa fisik maupun psikologis yang negatif (Baldacchino, 2012). Safaria dan Saputra (2009) menjelaskan bahwa ekspresi marah seseorang dapat memicu timbulnya somatisasi apabila individu tersebut kurang dapat mengendalikan marahnya sehingga ekspresinya meluap-luap atau justru ditekan. Penelitian Koh (2003) mempertegas pernyataan ini dengan menjelaskan bahwa masalah psycho-physiologist berhubungan dengan cara mengekspresikan marah yang dipendam. Emosi yang terpendam tersebut selanjutnya dapat menimbulkan gangguan dalam pola tidur atau insomnia serta depresi (Engin et al., 2010). Salah satu hal yang dapat mempengaruhi perkembangan emosi anak yaitu pola asuh orang tua (Meeus et al., 2005) serta hubungan orang tua dengan anak. Hubungan anak dengan orang tua dapat mempengaruhi sikap anak dalam kesehariannya. Dampak negatif dari ketidakseimbangan hubungan orang tua dengan anak dapat mempengaruhi nilai akademik serta memicu munculnya perilaku destruktif pada tahap perkembangan anak selanjutnya, misalnya penyalahgunaan narkoba.
3
Pola asuh yang diberikan orang tua dengan cara memberikan dukungan emosi terhadap anak dapat membentuk pengalaman emosi pada mereka (Aknicar & Baydar, 2014). Pola asuh yang cenderung mengekang kreativitas anak ternyata mampu meningkatkan gejala depresi, sedangkan pada anak yang menerima pola asuh yang benar akan menurunkan stress psikologis tersebut (Aquillino & Supre 2001). Penjelasan di atas dapat sekilas menggambarkan bahwa ekspresi marah remaja dapat ditunjukkan sebagai perilaku destruktif yang akan beresiko kurang baik terhadap kesehatan. Mengingat keluarga merupakan lingkungan utama pembelajaran dari anak maka penyusun tertarik untuk meneliti mengenai hubungan pola asuh dengan ekspresi marah yang timbul pada remaja. B. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang di atas, maka rumusan masalah penelitian sebagai berikut ”Adakah hubungan antara ekspresi marah remaja dan kecenderungan pola asuh yang diterapkan orang tua?”.
C. Tujuan Penelitian 1. Tujuan Umum a. Mengetahui hubungan kecenderungan pola asuh otoriter dengan ekspresi marah remaja. b. Mengetahui hubungan kecenderungan pola asuh demokratis dengan ekspresi marah remaja. c. Mengetahui hubungan kecenderungan pola asuh permisif dengan ekspresi marah remaja. 2. Tujuan Khusus a. Mengetahui karakteristik ekspresi marah yang timbul pada remaja di Kota Yogyakarta. 4
b. Mengetahui kecenderungan pola asuh orang tua terhadap remaja di Kota Yogyakarta. D. Manfaat Penelitian 1. Manfaat Teoritis Penelitian ini diharapkan mampu memberikan penambahan khasanah pengetahuan tentang pola asuh orang tua terhadap perilaku marah yang timbul pada remaja. 2. Manfaat Praktis a. Bagi remaja, hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi sumber pengetahuan guna mempermudah memahami resiko timbulnya kemarahan yang tidak terkendali serta sebagai sumber bacaan guna mengetahui karakteristik tipe ekspresi marah yang timbul pada masing-masing individu. b. Bagi keluarga, hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi penambah informasi mengenai pola asuh yang tepat pada anak remaja, dikarenakan melihat pentingnya peran hubungan orang tua dengan anak terhadap perkembangan anaknya. c. Bagi sekolah, penelitian ini diharapkan dapat menjadi sumber pengetahuan bagi para pendidik mengenai pentingnya pola pendidikan dan pengajaran yang tepat guna menurunkan kejadian kekerasan pada remaja. d. Bagi profesi keperawatan, hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah ilmu
pengetahuan khususnya keperawatan keluarga mengenai peran penting dari pola asuh orang tua terhadap pembentukan emosi pada anak. Selain itu guna menambah khasanah tentang emosi khususnya marah yang menjadi pokok pembahasan dalam penelitian ini. E. Keaslian Penelitian
5
Sepengetahuan penulis sejauh ini penelitian mengenai “Hubungan Pola Asuh dan Ekspresi Marah pada Remaja” belum pernah dilakukan, namun terdapat beberapa penelitian mengenai pola asuh dan ekspresi marah, di antaranya adalah: 1. Trisnaningsih (2011) dengan judul “Hubungan Pola Asuh dengan Derajat Depresi pada Siswa SD Negeri di Kota Yogyakarta”. Penelitian ini menggunakan rancangan crosssectional dengan pendekatan kuantitatif. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa terdapat hubungan bermakna antara pola asuh otoriter dan pola asuh permisif terhadap derajat depresi anak. Persamaan dengan penelitian ini adalah rancangan penelitian serta sama-sama ingin mengetahui dampak pola asuh yang diterapkan orang tua terhadap anak. Perbedaannya terdapat pada sampel penelitian dimana pada penelitian ini respondennya adalah anak remaja pada usia 12-14 tahun serta variabel terikat yang diteliti juga berbeda. Penelitian ini ingin mengetahui tipe ekspresi marah yang muncul sedangkan pada penelitian Trisnaningsih variabelnya adalah derajat depresi. 2. Sukmawati (2012) meneliti mengenai “Hubungan Pola Asuh Orang Tua dengan Kecemasan pada Remaja di SMP Negeri di Kota Banjarsari, Ciamis”. Penelitian ini menggunakan rancangan cross-sectional dengan metode kuantitatif didukung dengan kualitatif melalui wawancara. Melalui analisis yang dilakukan didapatkan hasil adanya hubungan bermakna antara kecemasan pada remaja dengan pola asuh yang dilakukan ibu otoriter. Apabila dilihat melalui analisis bivariat jenis kelamin, maka remaja perempuan memiliki kecemasan lebih tinggi dibandingkan laki-laki. Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa hubungan remaja dengan ibu lebih dekat dibandingkan dengan ayah serta remaja kurang memiliki suara untuk berpendapat dalam lingkup keluarga. Persamaan dengan penelitian ini adalah dalam hal rancangan penelitian berupa cross-sectional dan sampel penelitian yaitu remaja. Perbedaan
6
dengan penelitian ini adalah berada pada variabel terikat dimana pada penelitian Sukmawati yang diteliti adalah tingkat kecemasan sedangkan penelitian ini mengenai ekspresi marah remaja yang timbul akibat pola asuh yang diterapkan oleh orang tua. 3. Konishi dan Hymel (2014) dengan judul “An Attachment Perspective on Anger Among Adolescence” yang meneliti mengenai gambaran emosi marah yang timbul pada remaja dilihat dari sudut pandang bagaimana hubungan yang terbentuk antara orang tua dan remaja. Hasil penelitian ini menjelaskan bahwa intensitas marah remaja dapat timbul dikarenakan pengaruh hubungan mereka dengan orang tua. Persamaan dengan penelitian ini adalah variabel terikat yaitu marah dan subjek penelitian berupa remaja. Sedangkan perbedaannya terletak pada variabel bebas dimana dalam penelitian Konishi dan Hymel ini adalah melihat gambaran hubungan orang tua dan anak sedangkan penelitian ini adalah kecenderungan pola asuh yang diterapkan orang tua.
7