BAB I PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Masa remaja merupakan masa transisisi anak-anak menuju masa dewasa. Di sebagian masyarakat dan budaya, masa remaja pada umumnya dimulai pada usia 10 – 13 tahun dan berakhir pada usia 18 – 22 tahun (Notoatdmojo, 2007). Di Indonesia, masa remaja dengan rentang usia tersebut, dimulai ketika anak-anak duduk di sekolah menengah pertama hingga mengenyam perguruan tinggi. Remaja mengalami perubahan biologis, kognitif serta sosial menuju ke arah yang lebih matang. Salah satu perubahan sosial yang dialami remaja adalah timbul keinginan yang besar dalam diri remaja untuk memperluas hubungan personal di luar lingkungan keluarga. Pada masa remaja, pengaruh kelompok teman sebaya dalam kehidupan mereka meningkat. Kelompok teman sebaya memiliki peran cukup signifikan bagi perkembangan remaja, terutama bagi remaja awal. Dalam pengalamannya bergaul dengan teman sebaya, aspek-aspek kepribadian remaja akan berkembang. Salah satu aspek kepribadian remaja yang berkembang melalui hubungan dengan teman sebaya adalah sikap konformitas (Syamsu Yusuf, 2007: 59). Anak pada masa remaja mayoritas memiliki kebutuhan yang besar untuk diterima dan diakui oleh kelompok teman sebayanya. Hal ini yang mendorong mereka untuk conform atau bersikap dan berperilaku sama sesuai dengan norma yang diinginkan kelompok teman sebaya. Kemajuan pesat teknologi komunikasi memungkinkan remaja berinteraksi dan berkomunikasi dengan kelompok teman sebaya melalui computer-mediated communication. Remaja menggunakan instant messaging –sebagai salah satu bentuk komunikasi yang termediasi– untuk membuat komunikasi kelompok teman sebaya lebih mudah dicapai. Mereka memanfaatkan fitur group chat atau 1
chat room yang tersedia dalam instant messaging untuk melakukan komunikasi kelompok dalam satu ruang percakapan. Anggota kelompok remaja yang bergabung dalam group chat instant messaging dapat saling berbagi berbagai informasi dari penjuru dunia dengan format beragam seperti gambar, video, pesan suara yang dapat dilakukan secara langsung kapanpun dan dimanapun. Salah satu kelompok remaja yang berkomunikasi dan berinteraksi dengan teman-teman sebayanya melalui group chat adalah siswa-siswi kelas VIII 2 di Sekolah Menengah Pertama Negeri 5 Yogyakarta. Mereka menamakan group chat kelas mereka sebagai “Just Export”. Para remaja ini memanfaatkan fitur group chat aplikasi LINE Messenger untuk mengumpulkan teman-teman satu kelas di kelas VIII 2 SMP Negeri 5 Yogyakarta. “Just Export” aktif berinteraksi melalui group chat instant messaging. Ketika peneliti melakukan pra-riset, group chat “Just Export” adalah group chat yang paling aktif bertukar pesan diantara tiga group chat remaja lainnya1. Anggota kelompok “Just Export” saling mengirim pesan di group chat pesan instan LINE rata-rata 400 hingga 600 pesan setiap hari. Percakapan terjadi di setiap waktu, seperti pada pagi, siang, sore dan tengah malam ketika remaja masih terjaga dari tidur. Secara sadar atau tidak, kegiatan interaksi dan komunikasi kelompok yang terjadi terus menerus melalui group chat akan membentuk sebuah norma atau aturan yang disepakati bersama kelompok. Norma yang dinyatakan secara implisit atau eksplisit akan mengatur perilaku para anggota kelompok dalam group chat tersebut. Karakter masa remaja yang memiliki keinginan diakui kelompok dengan konformitas tinggi akan cenderung mengadaptasi norma dalam komunikasi kelompok sebayanya. Hal tersebut dapat tercerminkan dari pola pesan yang terkirim dan nampak dalam group chat. Terdapat pola pesan yang diikuti dan diadaptasi yang nampak dalam group chat “Just Export”. Salah satunya adalah terkadang ada salah satu remaja yang 1
Tiga group chat tersebut diantaranya adalah “Fantersix” yang merupakan group chat LINE yang beranggotakan kelas VIII 6 SMP Negeri 5 Yogyakarta, “FanFirection Lounge” yang merupakan group chat Whatsapp kelas VIII 6 SMP Negeri 5 Yogyakarta, dan “Extraordinary Class” yang merupakan group chat Blackberry Messenger kelas VIII E SMP Negeri 1 Kalasan, Yogyakarta.
2
mulai mengirimkan pesan yang berisi ejekan pada salah satu teman lain. Sering terdapat
foto-foto
teman
yang ditambahkan
kata-kata
dengan
maksud
membuatnya sebagai bahan lelucon atau hiburan di dalam kelompok tersebut. Walaupun foto-foto itu tidak ingin disebarkan oleh si pemilik foto, namun bagi group chat “Just Export” hal demikian merupakan sesuatu yang lumrah dan tidak perlu mengkhawatirkan perasaan empunya foto. Kemudian remaja lainnya dalam satu kelompok juga mengikuti dan melakukan hal yang sama. Remaja meniru sikap yang sama karena beranggapan bahwa mengirimkan pesan ejekan teman untuk bahan candaan
dalam group chat tersebut menyenangkan dan
diperbolehkan. Padahal mungkin bagi kelompok lain dengan situasi berbeda, sikap semacam ini sangat mengganggu dan dengan tegas dilarang. Sikap konformitas remaja terhadap norma kelompok teman sebaya ini dapat berpengaruh terhadap pembentukan karakter anak pada masa perkembangan berikutnya. Jika seorang remaja mengikuti aturan kelompok yang tidak menghiraukan perasaan teman atau orang lain, maka kemudian terdapat kemungkinan resiko anak tersebut kurang memiliki perasaan simpati dan akan beranggapan bahwa merupakan hal yang sah dan biasa untuk bahagia di atas perasaan tidak menyenangkan orang lain. Namun jika seorang remaja tumbuh dan berkembang di lingkungan kelompok yang kondusif dan memberikan kontribusi nilai dan norma baik, remaja juga akan cenderung memiliki kepribadian baik. Berlatar belakang pentingnya norma yang diadaptasi remaja awal bagi perkembangannya, riset ini ingin memahami norma-norma kelompok remaja dalam group chat “Just Export”. Penelitian ini secara spesifik bermaksud untuk mengidentifikasi norma komunikasi kelompok remaja yang dianut dalam group chat –salah satu bentuk computer-mediated communication– melalui observasi pertukaran pesan dan opini anggota-anggota kelompok mengenai norma komunikasi yang mereka lakukan dalam kelompok. Di Indonesia, komunikasi melalui group chat banyak dipraktikkan oleh para remaja saat ini. Riset ini dilakukan untuk memberikan referensi beragam norma komunikasi kelompok remaja melalui computer-mediated communication yang berbeda dengan norma komunikasi kelompok tatap muka. 3
B. RUMUSAN MASALAH
Sesuai dengan latar belakang di atas, maka rumusan masalah pada penelitian kali ini adalah bagaimana norma komunikasi kelompok teman sebaya remaja dalam group chat LINE “Just Export”?.
C. TUJUAN
Penelitian ini memiliki tujuan untuk: 1. Mengetahui norma-norma komunikasi kelompok teman sebaya remaja dalam group chat. 2. Mengetahui manfaat dan resiko komunikasi kelompok teman sebaya melalui group chat instant messaging remaja.
D. MANFAAT
1. Akademis Dapat digunakan untuk memperkaya referensi kajian komunikasi kelompok melalui teknologi komunikasi group chat. 2. Praktis Dapat digunakan sebagai pedoman orang tua dan guru dalam membimbing dengan bijak anak remaja yang menggunakan teknologi komunikasi.
4
E. KERANGKA PEMIKIRAN
1. Komunikasi
Kelompok
Melalui
Computer-Mediated
Communication (CMC) Komunikasi kelompok merupakan komunikasi yang terjadi ketika tiga orang atau lebih bertatap muka berinteraksi, biasanya di bawah pengarahan seorang pemimpin untuk mencapai tujuan atau sasaran bersama dan mempengaruhi satu sama lain (Curtis, Floyd,& Winsor, 2005: 149). Komunikasi yang berlangsung dalam suatu kelompok kecil terjadi seperti dalam kerja kelompok, rapat, pertemuan, dan sebagainya. Para pakar komunikasi memiliki pendapat berbeda-beda mengenai jumlah anggota komunikasi kelompok kecil, ada yang memiliki batas anggota maksimal 20-30 orang dan 50 orang. Seperti menurut Kumar (2000: 331) dalam Wiryanto (2004: 45), ukuran kelompok kecil berkisar antara 15-25 orang. Dalam era kecanggihan teknologi masa kini, cara berkomunikasi manusia bergerak pesat dari komunikasi tatap muka tanpa perantara hingga komunikasi melalui media internet yang disebut dengan computer-mediated communication (CMC). Computer-mediated communication pada dasarnya adalah komunikasi yang dicapai dengan bantuan teknologi komputer (Thurlow, Lengel, Tomic, 2004: 15). Segala bentuk komunikasi antar individu, individu dengan kelompok melalui komputer dalam suatu jaringan internet dapat disebut sebagai komunikasi yang termediasi komputer (Wood dan Smith dalam Noegroho Agoeng, 2010). Individu atau partisipan CMC dalam menjalankan komunikasi yang termediasi harus melibatkan tiga komponen, yaitu komputer, jaringan internet dan program atau aplikasi
yang
memungkinkan
komunikator
untuk
berinteraksi
dengan
komunikannya. Terdapar sejumlah fenomena dinamika yang terjadi dalam komunikasi kelompok melalui computer-mediated communication. Thurlow, Lengel, & Tomic menyoroti beberapa dinamika kelompok online dan mengkaraktegorikannya dalam istilah-istilah yang mewakili interaksi kelompok „upside‟ atau „donwside‟. Mereka memberikan gambaran dinamika kelompok yang termediasi komputer 5
dari perspektif proses sosial psikologikal yang menopang cara individu-individu mengkonstruksi identitas, mernjalin hubungan, dan membangun komunitas bersama. Beberapa dinamika komunikasi memberi penekanan kecendurungan negatif yang memberikan efek yang mengganggu dalam kelompok. Sementara yang lain menunjukkan kecendurungan efek positif yang mempersatukan kelompok. Thurlow, Lengel, & Tomic menyajikan „alat‟ konseptual yang menggambarkan
dan
juga
menjelaskan
sifat
dasar
computer-mediated
communication yang dimanfaatkan oleh kelompok. Di bawah ini merupakan konsep dinamika „upside‟ dan „donwside‟ interaksi kelompok online melalui mediasi komputer:
Downside
Upside
Anonymity Disinhibition
Cohesion
Deindividuation
Interactivity
Polarization
Identity
Conformity
Tabel 1.1 The Ups and Downs of Group Dynamics Sumber: Thurlow, Lengel, & Tomic. 2004. Computer Mediated Communication: Social Interaction and The Internet. London: SAGE Publications Ltd. Hal. 61 – 67.
a. Anonymity Adam Joinson (1998) dalam Thurlow, Lengel, & Tomic (2004: 62) menyatakan bahwa anonymity memiliki makna not identifiable atau identitas tidak dapat teridentifikasi. Individu yang menggunakan internet sebagai salah satu bentuk komunikasi termediasi komputer dapat tidak mencantumkan identitas aslinya pada akun yang ia gunakan secara online. Thurlow, Lengel, & Tomic mengatakan bahwa memang dalam CMC seringkali terdapat anonimity visual (tidak dapat melihat secara langsung orang yang ia ajak 6
bicara secara online). Namun bukan berarti semua pengguna CMC tidak dapat terdeteksi, tergantung pada situasi dan kondisi. Thurlow, Lengel, & Tomic menekankan bahwa akan selalu ada tingkatan anonimitas yang akan sangat beragam dari situasi satu dengan yang lain. b. Disinhibitation Disinhibitation
adalah
perilaku
yang
dikarakteristikkan
berdasarkan
kurangnya memperhatikan atau memikirkan representasi diri sendiri dan penilaian orang lain (Joinson, 1998: 44). Individu yang menggunakan CMC dengan tanpa menampilkan identitas asli memiliki kesempatan untuk melakukan segala aktivitas online tak terbatas, baik positif maupun negatif. Hal tersebut salah satunya dapat diesebabkan karena individu tersebut merasa aman, dirinya tidak akan dikenali di dunia nyata. c. Deindividuation Deindividuation ialah penundukan pada kelompok dan secara serentak luluhnya identitas diri sendiri. Deindividuation contohnya seperti seorang remaja memiliki pendapat bahwa tawuran itu buruk dan ia sama sekali tidak ingin melakukannya, namun karena tekanan kelompok yang kuat maka ia mengikuti kelompoknya melakukan aksi tawuran dengan mengindahkan pendapat dalam diri remaja tersebut. d. Polarization Polarisasi dalam kelompok merupakan sebuah gejala mengumpulnya pendapat anggota kelompok pada suatu pandangan rata-rata yang sama. Polarization terjadi untuk menyesuaian perilaku dan pendapat anggota-anggota kelompok yan g sangat beragam agar dapat berorientasi atau sesuai pada satu sisi dari dua sisi yang berbeda. e. Conformity Reber dalam Thurlow, Lengel,& Tomic (2004: 64) memaknai konformitas sebagai kecenderungan mengikuti opini, perilaku, tindakan, dan bahkan persepsi orang lain yang dipengaruhi oleh pendapat, perilaku, tindakan, dan persepsi yang berlaku umum dalam sebuah kelompok. 7
f. Cohesion Kohesi yaitu kecenderungan untuk tetap bersatu baik secara fisik. Kohesi anggota-anggota dalam kelompok dapat mempengaruhi kekuatan, persatuan, serta keutuhan kelompok tersebut. Semakin tinggi kohesivitas anggotaanggota kelompok, semakin mudah kelompok mencapai tujuan bersama dan semakin tidak terpecahkan kelompok tersebut. g. Interactivity Rafaeli & Sudweeks dalam Thurlow, Lengel, & Tomic (2004: 66) menyatakan interaktivitas ialah rangkaian pesan panjang yang saling berhubungan antara satu dengan lain, terutama keberlanjutan pesan kelak menceritakan keterakaitan rincian pesan-pesan terdahulu disebut dengan interaktivitas. h. Identity Identitas merupakan ciri-ciri, sifat-sifat khas yang melekat pada suatu hal, menunjukkan keunikkan serta membedakannya dengan yang lain. Dinamika komunikasi kelompok yang termediasi menggunakan konsep identitas untuk merujuk pada karakteristik atau sifat khusus spesifik masyarakat atau kelompok tertentu. Identitas dapat berisi atribut fisik, keanggotaan dalam suatu komunitas, keyakinan, tujuan, harapan, dan prinsip moral atau gaya sosial (Kellner, 2010: 317). 2. Group Chat: Media Komunikasi Kelompok dalam CMC Computer-mediated communication memberikan peluang terjadinya komunikasi kelompok. Dalam perkembangannya, komunikasi kelompok yang termediasi komputer dapat terjadi ketika tiga orang atau lebih berinteraksi tanpa harus bertatap muka dan tidak terbatas waktu dan ruang secara fisik. Salah satu bentuk komunikasi termediasi komputer yang popular dan memungkinkan komunikasi secara berkelompok adalah melalui instant messaging. Instant messaging merupakan sebuah bentuk aplikasi layanan komunikasi melalui internet yang sangat popular yang memungkinkan individu membuat ruang chat (percakapan) pribadi atau kelompok (Ramirez, Dimmick, Feaster, & Lin, 2008).
8
Pui-Lai To, Chenchen Liao, Jerry C. Chiang, Meng-Lin Shih, Chun-Yuan Chang (2008: 149) meringkas ciri-ciri instant messaging, antara lain sebagai berikut: a. Synchronicity merupakan ketersediaan fasilitas pertukaran informasi yang sangat
tersinkronisasi.
Pengirim
dan
penerima
informasi
dapat
berpartisipasi dalam proses komunikasi secara real-time (pada saat yang bersamaan saat itu juga) yang membuat penggunaan instant messaging dapat menghemat banyak waktu dalam berkomunikasi. Fasilitas ini merupakan ciri khas utama instant messaging. b. Presence awareness yaitu status kehadiran seseorang sebelum memulai percakapan. Pengguna instant messaging dapat mengetahui status penerima pesan atau panggilan dengan ditunjukkan dalam profil kontaknya seperti online, offline, absent, busy, dan sebagainya. c. Chosen mengartikan bahwa semua kontak dalam daftar kontak dipilih dan dikonfirmasi oleh pengguna. Instant messaging menyediakan transfer informasi secara langsung tanpa tercampur spam dan isu-isu privasi lainnya yang terdapat dalam e-mail atau aplikasi internet. d. Interoperability adalah kemampuan beberapa penyedia pelayaan perangkat lunak aplikasi instant messaging kompatibel atau dapat saling bertukar pesan satu dengan yang lain satu dengan yang lain dengan aplikasi yang berbeda. Contohnya, pengguna Blackberry Messenger tidak dapat berkomunikasi dengan pengguna LINE karena pada platform aplikasi yang berbeda. Selain ciri-ciri pesan instan, terdapat pula perbedaan karakteristik percakapan instant messaging dengan bentuk computer-mediated communication yang lain. Isaacs, Walendowski, Whittaker, Schiano, & Kamm (2002, 16-17) menyebutkan karakteristik tersebut antara lain pertama, percakapan yang terjadi singkat dan terdiri dari satu topik pembicaraan. Laju pertukaran pesan melalui instant messaging sangatlah cepat berganti, misalnya terdapat pertanyaan, kemudian dijawab dengan singat, dan begitu seterusnya. Yang kedua, pergantian 9
penggunaan media lain lazim dilakukan ketika memanfaatkan instant messaging untuk bercakap-cakap. Instant messaging adalah media komunikasi yang cepat dan efisien untuk interaksi singkat, namun ketika diskusi menjadi pelik, individu lebih berinisiasi untuk berkomunikasi melalui telepon atau secara langsung bertatap muka. Kemudian, yang terakhir, multitasking umum dilakukan ketika bercakap menggunakan instant messaging. Penelitian Grinter & Palen (2002) melaporkan bahwa remaja melakukan beberapa percakapan secara serentak melalui pesan instan selagi menonton televisi, browsing web, berbicara melalui telepon, dan membalas e-mail. Branzburg (2002) dalam Y. A. Putranto (2014: 11) menyebutkan fitur-fitur yang tersedia dalam instant messaging dan dapat dimanfaatkan penggunanya, beberapa diantaranya ialah sebagai berikut: a. Chat merupakan ruang percakapan privat untuk tukar menukar pesan dengan orang yang dalam daftar kontak. b. File transfer ialah kemampuan untuk mengirim dan menerima file komputer, seperti foto, video, dokumen word processing, dan sebagainya. c. Talk atau sering disebut voice call yaitu fitur yang disediakan instant messaging
agar
penggunanya
dapat
berbicara
secara
langsung
menggunakan komputer kepada teman dalam daftar kontak secara personal. d. Video messaging atau video call ialah fitur yang memungkinkan melakukan kontak langsung melalui video dengan orang lain. Selain fitur-fitur yang telah disebutkan di atas, instant messaging juga memiliki fitur group chat atau chat room yang membuat penggunanya dapat melakukan komunikasi kelompok dalam satu ruang percakapan (chat). Anggota kelompok yang menggunakan instant messaging dapat saling berkomunikasi, berbagi informasi dari seluruh penjuru dunia dan bertukar file dalam berbagai format seperti gambar, video, pesan suara secara langsung dan bersamaan dalam group chat.
10
3. Norma Kelompok dalam Computer-Mediated Communication (CMC) Sarwono (1998: 171) mendefinisikan norma sebagai kesepakatan bersama yang lebih banyak menyangkut baik-buruk dan benar-salah yang relatif dalam suatu kelompok masyarakat tertentu. Norma di dalam kelompok mengidentifikasi anggota kelompok dalam berperilaku, misalnya tentang cara-cara menurut pertimbangan kelompok adalah benar (Wiryanto, 2004: 49). Norma yang mengatur perilaku dalam menjalin interaksi dan komunikasi anggota-anggota dalam kehidupan kelompok tertentu ini bersifat relatif tidak tetap. Norma kelompok dapat berubah sesuai dengan keadaan dan kebutuhan kelompok. Seiring dengan perkembangan situasi dan kondisi kelompok, norma baru dapat berlaku dan norma lama tidak digunakan. Sherif dalam Postmes, Spears, & Lea (2000: 367) mengkonseptualisasikan norma secara situasional yang berbeda dengan perspektif norma secara tradisional seperti adat istiadat, hukum, dan tradisi. Norma secara situasional terbentuk melalui interaksi dan norma tersebut terdapat serta berlaku dalam spesifik kelompok atau situasi tertentu. Di dalam sebuah kelompok, berkembang norma atau aturan-aturan kelompok yang berbeda dengan kelompok lain. Norma terbentuk melalui proses akumulatif interaksi dan komunikasi anggota-anggota kelompok tersebut. Setiap kelompok memiliki pola interaksi dan komunikasi yang berbeda-beda, sehingga norma kelompok yang terbentuk dan berlaku di tiap kelompok masyarakat tidak sama. Oleh karena itu setiap individu perlu menyesuaikan diri pada norma kelompok-kelompok dimana ia tergabung di dalamnya. Dari definisi norma kelompok yang telah dikemukakan di atas, dapat disimpulkan terdapat beberapa ciri yang digunakan sebagai indikator untuk menandai berlakunya sebuah norma kelompok. Pertama, norma merupakan hasil kesepakatan bersama anggota-anggota dalam kelompok. Semua anggota kelompok atau paling tidak mayoritas suara anggota kelompok menyetujui suatu perilaku yang dianggap pantas atau tidak pantas. Kedua, perilaku seragam yang ditaati dan dapat diamati. Norma muncul dan terbentuk dari interaksi akumulatif 11
para anggota. Perilaku yang paling banyak dilakukan, diadaptasi, serta diikuti oleh anggota kelompok, kemudian dapat diambil simpulan sebagai norma yang terdapat di dalam kelompok tersebut. Ketiga, teradapat penghargaan akan perilaku tertentu dalam kelompok. Penghargaan yang dimaksud adalah apresiasi bagi perilaku yang dianggap baik dan layak mendapatkan penghargaan serta terdapat sanksi bagi perilaku yang dianggap tidak baik dan layak mendapat hukuman. Identifikasi jenis norma dalam komunikasi kelompok yang termediasi komputer (computer-mediated communication) dapat dilakukan dengan cara mengamati interaksi anggota-anggota kelompok melalui pertukaran pesan. Pesanpesan diamati melalui isi pesan dan bentuk pesan manifes yang terdapat dalam proses komunikasi. Isi pesan dianalisis dengan penggabungan dua skema kategori untuk komunikasi elektronik. Isi pesan dikelompokkan dengan skema kategori yang dikembangkan oleh Kiesler, Zubrow, Moses, dan Geller dengan adaptasi yang disarankan oleh Lea dan Spears dalam Postmes, Spears, Lea (2000: 349). Isi pesan dapat dikelompokkan dalam sembilan kategori norma. Satu pesan dapat masuk dalam lebih dari satu kategori diantara sembilan kategori yang tersedia. Sembilan kategori tersebut antara lain pertama, topik yang merupakan pokok pembicaraan. Terdapat satu topik pembicaraan yang terkandung dalam satu pesan, seperti sociopersonal mengenai hubungan mereka, percakapan mengenai pelajaran umum yang dipelajari, serta percakapan yang berhubungan dengan tugas atau pekerjaan. Kategori yang kedua, request merupakan pesan yang mengandung permohonan atau permintaan, seperti pesan permintaan bantuan yang terdapat kata “tolong”. Kategori selanjutnya, complaint ialah pesan yang bermakna keluhan, ungkapan kekesalan akan suatu hal seperti “aduh lama”. Kategori yang keempat, reaction merupakan pesan yang menanggapi percakapan yang sedang atau baru saja terjadi. Kemudian kategori humor merupakan pesan yang berisi kejenakaan atau candaan, yang dianggap lucu. Pesan juga dikoding dengan kategori yang memperlihatkan ekspresi emosi/ perasaan dan kasih sayang yang ditunjukkan pada seseorang, contohnya pesan yang menggambarkan kesedihan, kebahagiaan atau perasaan jatuh cinta. 12
Kategori yang ketujuh mengindikasikan sudut pandang waktu dari pesan, seperti pesan yang dimaksudkan untuk dibaca sesegera mungkin, contohnya ungkapan “Diam sekarang!”, dan pesan yang berisi rencana yang akan datang, misalnya “Kita akan membicarakannya lagi besok”. Kategori selanjutnya adalah personal revelations yang merupakan saran personal, pesan pendekatan untuk menjadi pacar, dan pesan yang mengindikasikan persahabatan/ pertemanan karib. Kategori yang terakhir, uninhibited behavior atau flaming yaitu pesan yang menunjukkan perilaku yang menyakitkan atau menghina. Pernyataan tidak sopan dan pengucapan sumpah merupakan termasuk dalam uninhibited behavior (Kiesler, Zubrow, Moses, Geller, 1985). Selain melalui isi pesan, selanjutnya norma juga dapat diidentifikasi melalui bentuk pesan. Terdapat enam kategori bentuk pesan dalam melihat norma komunikasi yang termediasi. Pertama, abbreviations yaitu kata singkatan atau kata-kata yang sengaja disingkat yang digunakan dalam pesan, seperti kata rumah yang disingkat menjadi “rmh”. Yang kedua, formalism yaitu pesan dalam bentuk formal
yang
secara
sosial
merupakan
ekspresi
kesopanan,
contohnya
menggunakan kata terima kasih daripada makasih. Ketiga, slang merupakan ekspresi yang tidak umum, ucapan popular dan penggunaan bahasa asing, salah satu contohnya penggunaan kata lebay untuk mengungkapkan sesuatu yang berlebihan. Selanjutnya, pronouns of address yaitu kata ganti sapaan orang secara formal dan tidak formal, seperti di Indonesia kata ganti “Anda” untuk formal dan “Kamu” untuk tidak formal. Yang kelima, superlatives ialah penggunaan ekspresi yang melebihkan, seperti “cetar membahana…!!” yang memiliki makna sama dengan luar biasa. Kategori bentuk pesan yang terakhir, shouting yaitu teriakan yang ditandai dengan penggunaan huruf capital untuk semua kata atau kalimat. 4. Makna Kelompok Teman Sebaya Bagi Remaja Remaja merupakan salah satu tahapan dalam siklus perkembangan dan pertumbuhan yang dialami manusia. Santrock (2003: 206) mengartikan masa remaja sebagai masa perkembangan transisi antara masa anak-anak dan masa dewasa yang mencakup perubahan biologis, kognitif, dan sosio-emosional. Di sebagian masyarakat dan budaya, masa remaja pada umumnya dimulai pada usia 13
10 – 13 tahun dan berakhir pada usia 18 – 22 tahun (Notoatdmojo, 2007). Di Indonesia, rentang usia tersebut dialami ketika anak-anak duduk di sekolah menengah pertama hingga lulus sekolah menengah atas dan berakhir di usia ketika mengenyam perguruan tinggi. Masa remaja adalah masa transisi dari ketidakmatangan anak-anak menuju kematangan masa dewasa. Kematangan yang dimaksud bukan hanya kematangan fisik, anak juga mengalami perubahan kognitif serta sosial menuju ke arah yang lebih matang pada masa ini. Secara fisik remaja mengalami perubahan yang cukup drastis pada tinggi, berat badan, proporsi, bentuk tubuh, dan juga dalam hal kematangan seksual (Papalia, 2003). Aspek kognitif seperti pola pemikiran remaja juga berkembang pesat. Menurut Piaget dalam Santrock (2007) mengungkapkan remaja tidak lagi membatasi titik tolak pemikiran pada pengalaman-pengalaman yang konkret dan aktual, namun berkembang dengan pemikiran yang abstrak, idealistik, dan logis. Perkembangan
kehidupan
sosial
remaja
ditandai
dengan
gejala
meningkatnya pengaruh teman sebaya dalam kehidupan mereka. Sebagian besar waktunya dihabiskan untuk bergaul atau berhubungan dengan teman-temannya. Csikszentmihalyi & Larson (1984) dalam Rose Marie Perez (2008: 19) menemukan bahwa presentase waktu yang remaja habiskan sehari-hari terbagi menjadi empat kategori besar, seperti sendiri (27%), keluarga (19%), teman sekelas (23%), dan teman-teman (29%). ESM Studies dalam Rose Marie Perez (2008: 19) mengindikasikan bahwa waktu yang remaja habiskan dengan temanteman sebaya merupakan bagian yang lebih menyenangkan dibandingkan dengan waktu yang dihabiskan dengan keluarga. Penelitian yang dilakukan Buhrmester (Santrock, 2004: 414) menunjukkan bahwa pada masa remaja kedekatan hubungan dengan teman sebaya meningkat secara drastis, dan pada saat yang bersamaan kedekatan hubungan remaja dengan orang tua menurun secara drastis. Brown dalam Ryan (2001) mengungkapkan definisi kelompok teman sebaya/ teman sepermainan sebagai segala bentuk interaksi anak atau remaja dengan teman karib sepermainan yang memiliki tingkat usia, minat dan tujuan yang sama. Hetherington & Parke dalam Desmita (2010: 145) memaknai teman 14
sebaya (peer) sebagai sebuah kelompok sosial sering didefinisikan sebagai semua orang yang memiliki kesamaan sosial atau yang memiliki kesamaan ciri-ciri, seperti kesamaan tingkat usia. Kesamaan-kesamaan yang dimilikinya dan temanteman sebayanya akan membuat remaja dapat saling memahami dan menumbuhkan toleransi dalam sebuah kelompok. Melalui komunikasi dengan teman sebaya, remaja berbagi pengalaman, pengetahuan dan mengembangkan kehidupan sosial dan pribadi. Kelompok teman sebaya memiliki fungsi sosial dan psikologis bagi remaja. Jeffrey Wilks (1992: 53) menyatakan penting bagi seorang anak remaja memiliki teman baik, bersama dengan teman-teman, dan menjadi bahagia bersama dengan teman-teman sebayanya. Kelly dan Hansen dalam Desmita (2009: 220-221) menyebutkan enam fungsi positif dari teman sebaya, yaitu: a. Mengontrol impuls-impuls agresif. Melalui interaksi dengan teman sebaya, remaja belajar memecahkan pertentangan dengan cara-cara yang lain selain dengan tindakan agresif langsung. b. Memperoleh dorongan emosional dan sosial serta menjadi lebih mandiri. Teman dan kelompok teman sebaya memberikan dorongan bagi remaja untuk mengambil peran dan tanggung jawab mereka. c. Meningkatkan keterampilan sosial, mengembangkan kemampuan penalaran, dan belajar untuk mengekspresikan perasaan-perasaan dengan cara-cara yang lebih matang. d. Mengembangkan sikap seksualitas dan tingkah laku peran berdasarkan jenis kelamin. Dari interaksi dengan teman-teman sebaya, mereka akan belajar memahami peran-peran yang harus dilakukan oleh jenis kelamin tertentu. e. Memperkuat penyesuaian moral dan nilai-nilai. Remaja mengevaluasi nilai-nilai dan norma serta memutuskan mana yang benar dan akan dianut dalam pergaulan dengan kelompok teman sebaya. Meningkatkan harga diri (self-esteem). Remaja yang memiliki hubungan yang baik dan positif di dalam kelompoknya akan meningkatkan kepercayaan dirinya. Tidak hanya itu, harga diri yang dimiliki remaja juga meningkat karena 15
remaja merasa bahwa ia telah berhasil bergabung dan diterima dengan baik oleh kelompok teman sebayanya. 5. Perkembangan Sikap Konformitas Remaja dalam Kelompok Teman Sebaya Kelompok teman sebaya sebagai lingkungan sosial bagi remaja (siswa) mempunyai peranan yang cukup penting bagi perkembangan kepribadian remaja. Syamsu Yusuf (2007: 59) menyebutkan aspek kepribadian remaja yang berkembang secara menonjol dalam pengalamannya bergaul dengan teman sebaya, antara lain: a. Social cognition, yaitu kemampuan untuk memikirkan tentang pikiran, perasaan, motif, dan tingkah laku dirinya dan orang lain. Kemampuannya memahami orang lain memungkinkan remaja untuk lebih mampu menjalin hubungan sosial yang lebih baik dengan teman sebayanya. b. Konformitas, ialah motif untuk menjadi sama, sesuai, seragam, dengan
norma, nilai-nilai, kebiasaan, kegemaran (hobi), atau budaya teman sebayanya. David W. Johnson dalam Syamsu Yusuf (2007: 59) menyatakan konformitas kepada norma kelompok terjadi, apabila: (1) norma tersebut secara jelas dinyatakan, (2) individu berada di bawah pengawasan kelompok, (3) kelompok memiliki sanksi yang kuat jika melanggar norma, (4) kelompok memiliki sifat kohesif/persatuan yang tinggi,dan (5) kecil sekali dukungan terhadap penyimpangan dari norma. Sears, Taylor dan Peplau (1991, 81-86) mengemukakan bahwa konformitas remaja terhadap kelompok teman sebaya ditandai oleh tiga hal: a. Kekompakan Semakin besar rasa suka anggota yang satu terhadap anggota lain, semakin besar harapan untuk memperoleh manfaat dari keanggotaan kelompok, dan semakin besar kesetiaan mereka, maka akan semakin kompak kelompok tersebut.
16
b. Kesepakatan Pendapat kelompok teman sebaya yang sudah dibuat memiliki tekanan kuat sehingga remaja harus loyal dan menyesuaikan pendapatnya dengan kelompok. c. Ketaatan Tekanan atau tuntutan kelompok teman sebaya pada remaja membuatnya rela melakukan tindakan walaupun remaja tidak menginginkannya. Ganjaran, ancaman atau hukuman dapat mengubah perilaku individu sesuai yang diinginkan dalam kelompok sehingga meningkatkan ketaatan. Teman sebaya merupakan kontributor yang sangat berpengaruh bagi perkembangan kematangan remaja melalui konformitas. Kelompok teman sebaya memberikan pengaruh terhadap anggotanya melalui norma implisit ataupun eksplisit yang mengarahkan anggotanya dalam berpenampilan, berpikir, dan berperilaku. Kelompok dimana individu berada seringkali
menentukan
bagaimana individu memberikan respon dan bertingkah laku. Remaja seringkali cenderung mengikuti norma-norma yang ada dan berkembang di dalam kelompok dibandingkan norma yang diberikan orang tua (Monk, Knoer & Haditono, 2002). Dalam diri remaja timbul suatu kebutuhan untuk diterima oleh kelompok dan menghindari penolakan kelompok. Hal tersebut mendorong remaja untuk berperilaku sesuai dengan standar norma yang berlaku dalam kelompok untuk dapat diterima dan diakui sebagai anggota kelompok. Mereka akan mengadapatasi dan mengikuti setiap perilaku yang ditampilkan dan menjadi ciri khas kelompoknya tanpa mempedulikan diri dan orang tua. Tekanan untuk konform terhadap norma kelompok yang kuat membuat remaja selalu mengulang atau mempertahankan perilaku yang sama dengan kelompok teman sebaya. Perkembangan sikap konformitas pada remaja dapat memberikan manfaat maupun resiko bagi dirinya. Jika kelompok teman sebaya yang diikuti dan diimitasinya memiliki norma yang baik dan menampilkan sikap serta perilaku yang baik, seperti kelompok remaja yang taat beribadah, memiliki budi pekerti yang luhur, bertanggung jawab, rajin belajar dan aktif dalam kegiatan-kegiatan sosial, maka kemungkinan besar remaja akan merefleksikan pribadi yang baik. 17
Sebaliknya apabila kelompoknya bersikap dan berperilaku yang menyimpang nilai dan norma seperti tidak menghiraukan norma agama, maka sangat dimungkinkan remaja akan berperilaku seperti kelompok teman sebaya tersebut. Budaya teman sebaya yang positif dapat digunakan untuk membantu mengubah tingkah laku dan nilai-nilai remaja.
F. KERANGKA KONSEP Penelitian ini akan berfokus pada kajian norma komunikasi kelompok remaja dalam group chat “Just Export”. Masa remaja merupakan masa peralihan diantara masa kanak-kanak dan dewasa dengan rentang usia rata-rata 10 – 22 tahun. Kehidupan sosial remaja yang berkembang ditandai dengan meningkatnya pengaruh teman-teman sebaya dalam kehidupan mereka. Sebagian besar waktu remaja dihabiskan untuk bergaul atau berhubungan dengan kelompok teman sebaya. Kelompok teman sebaya merupakan sekumpulan individu yang berkumpul dan memiliki tingkat usia yang hampir sama serta memiliki kesamaan tujuan. “Just Export” merupakan kelompok teman sebaya remaja satu kelas yang duduk di bangku kelas VIII 2 SMP Negeri 5 Yogyakarta. Kelompok ini beranggotakan anak-anak yang masih pada masa remaja awal dengan rentang usia 14-15 tahun. Teknologi yang berkembang sangat pesat memungkinkan sekelompok remaja ini berkomunikasi melalui mediasi komputer dan jaringan internet yang sering disebut dengan computer-mediated communication. Mereka menggunakan aplikasi instant messaging LINE sebagai salah satu bentuk computer-mediated communication untuk berkomunikasi dengan teman sebayanya. Instant messaging memiliki karakter komunikasi yang berbeda dengan bentuk komunikasi yang termediasi komputer lainnya. Karakter komunikasi melalui pesan instan antara lain percakapan yang terjadi dalam komunikasi yang termediasi singkat, pergantian
dalam
penggunaan
media
lain
selain
pesan
instan
untuk
berkomunikasi, memungkinkan penggunanya melakukan beberapa percakapan secara serentak, dan sekaligus melakukan aktivitas lain dalam satu waktu.
18
Instant messaging pada umumnya menyediakan fitur-fitur yang dapat dimanfaatkan pengguna. Fitur-fitur tersebut antara lain seperti chat, video call, voice call, file transfer, dan group chat. Setiap penyedia layanan aplikasi instant messaging memiliki fitur khusus yang berbeda antara satu dengan yang lain. Kelompok teman sebaya “Just Export” memanfaatkan fitur group chat atau chat room yang disediakan oleh aplikasi pesan instan LINE untuk berinteraksi dan berkomunikasi secara berkelompok dalam satu ruang percakapan (chat). Komunikasi kelompok yang terjadi secara terus menerus dengan intensitas tinggi di dalam group chat, secara sadar maupun tidak, akan membentuk norma atau aturan-aturan kelompok. Riset kali ini akan menyelidiki norma komunikasi kelompok yang berlaku dalam group online teman sebaya remaja “Just Export”. Definisi norma menggunakan konseptualiasi norma secara situasional yang digunakan oleh Postmes, Spears, & Lea (2000) yang berbeda dengan perspektif norma secara tradisional seperti adat istiadat, hukum, dan tradisi. Norma secara situasional terbentuk melalui interaksi dan norma tersebut berlaku dalam spesifik kelompok atau situasi tertentu. Peneliti akan mengobservasi dan mengamati norma yang secara jelas dapat ditinjau dalam percakapan online yang mengatur cara berperilaku dalam hubungan sosial diantara anggota-anggota kelompok, cara kelompok dalam bertindak, serta mengatur kelompok dalam menyelesaikan tugas kelompok. Peneliti menggunakan beberapa indikator untuk menentukan norma kelompok. Pertama, hasil kesepakatan bersama anggota-anggota dalam kelompok. Semua anggota kelompok atau paling tidak mayoritas suara anggota kelompok menyetujui suatu perilaku yang dianggap pantas atau tidak pantas. Kedua, perilaku seragam yang ditaati dan dapat diamati. Norma muncul dan terbentuk dari interaksi akumulatif para anggota. Perilaku yang paling banyak dilakukan, diadaptasi, serta diikuti oleh anggota kelompok, kemudian dapat diambil simpulan sebagai norma yang terdapat di dalam kelompok tersebut. Ketiga, teradapat penghargaan akan perilaku tertentu dalam kelompok. Penghargaan yang dimaksud adalah apresiasi bagi perilaku yang dianggap baik 19
dan layak mendapatkan penghargaan serta terdapat sanksi bagi perilaku yang dianggap tidak baik dan layak mendapat hukuman. Peneliti akan mempertimbangkan penjelasan secara holistic masingmasing norma kategori tertentu melalui konsep pengelompokkan norma melalui pesan-pesan dalam computer-mediated communication milik Postmes, Spears, dan Lea (2000). Sembilan kategori norma tersebut antara lain: 1. Topik yaitu pokok pembicaraan. Terdapat satu topik pembicaraan yang terkandung dalam satu pesan, seperti sociopersonal, tugas atau pekerjaan, maupun pun mengenai kehidupan lingkungan sosial dan politik. 2.
Request merupakan pesan yang mengandung permohonan atau permintaan, seperti pesan permintaan bantuan yang terdapat kata “tolong”.
3. Complaint ialah pesan yang bermakna keluhan, ungkapan kekesalan akan suatu hal seperti “aduh lama”. 4. Reaction adalah pesan yang menanggapi percakapan yang sedang atau baru saja terjadi seperti. 5. Humor merupakan pesan yang berisi kejenakaan atau candaan, yang dianggap lucu oleh anggota-anggota kelompok. 6. Emotion yaitu pesan yang memperlihatkan ekspresi perasaan dan kasih sayang yang ditunjukkan pada seseorang, contohnya pesan yang menggambarkan kesedihan, kebahagiaan atau perasaan jatuh cinta. 7. Time perspective ialah pesan mengindikasikan sudut pandang waktu, seperti pesan yang dimaksudkan untuk dibaca dan dilakukan sesegera mungkin, contohnya ungkapan “Diam sekarang!”, dan pesan yang berisi
rencana
yang
akan
datang,
misalnya
“Kita
akan
membicarakannya lagi besok”. 8.
Personal revelations yang merupakan saran personal, pesan pendekatan untuk menjadi pacar, dan pesan yang mengindikasikan persahabatan/ pertemanan karib. 20
9. Uninhibited behavior atau flaming yaitu pesan yang menunjukkan perilaku bully yang menyakitkan atau menghina. Pernyataan tidak sopan dan pengucapan sumpah merupakan termasuk dalam uninhibited behavior. Penelitian ini ingin menemukan dan memahami norma-norma dalam penggunaan bahasa popular, sapaan pada teman sebaya, topik percakapan, dan fenomena norma-norma perilaku lainnya yang tidak disebutkan dalam kerangka konsep. Norma berdasarkan kategori pesan-pesan elektronik tersebut digunakan untuk membantu peneliti menggambarkan beragam bentuk kategori norma kelompok dalam konteks komunikasi yang termediasi serta membedakannya dengan komunikasi tatap muka pada umumnya.
G. METODOLOGI
1. Pendekatan dan Jenis Penelitian Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif. Penelitian kualitatif adalah penelitian yang bermaksud untuk memahami fenomena tentang apa yang dialami oleh subjek penelitian misalnya perilaku, persepsi, motivasi, tindakan, dll., secara holistik dan dengan cara deskripsi dalam bentuk kata-kata dan bahasa, pada suatu konteks khusus yang alamiah dan dengan memanfaatkan berbagai metode alamiah (Lexy J. Moleong, 2008: 6). Rachmat Kriyantono (2006: 58) menyatakan riset kualitatif bertujuan untuk menjelaskan fenomena dengan sedalam-dalamnya melalui pengumpulan data sedalam-dalamnya. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif karena lebih menekankan pada kedalaman suatu persoalan atau fenomena yang terjadi. Jenis penelitian yang dipilih adalah penelitian eksploratif. Riset eksploratif dilakukan untuk menggali data, tanpa mengoperasionalisasi konsep atau menguji konsep pada realitas yang diteliti. 2. Metode Penelitian Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah etnografi. Emzir (2011: 143) mendefinisikan etnografi adalah suatu bentuk penelitian yang berfokus pada makna sosiologi melalui observasi lapangan tertutup dari fenomena 21
sosiokultural. Peneliti memilih spirit metode etnografi karena ingin mengetahui dan mendalami fenomena norma komunikasi yang terjadi dalam konteks alami group chat remaja melalui pertukaran pesan di dalam kelompok. Kali ini peneliti akan mengombinasikan etnografi yang dilakukan secara online dan offline. Di bawah ini merupakan bagan metode etnografi yang akan digunakan berdasarkan Kozinets (2010) dalam bukunya Netnography.
Gambar 1.1 Menyelaraskan pengumpulan data interaksi online dan tatap muka Sumber: Kozinets, Robert V. 2010. Netnography: Doing Ethnographic Research Online. Singapore: SAGE Publications Asia-Pacific. Hal. 67.
Beberapa ahli menyebut etnografi secara online dengan berbagai sebutan seperti Kozinets (2010) menyebutnya sebagai netnography dan Hine (2003) menyebutnya sebagai virtual ethnography. Netnography maupun virtual etnography pada dasarnya sama yaitu etnografi yang dilakukan berdasarkan pada lingkungan kerja online. Pengumpulan data utama berasal dari online. Penelitian kali ini pada dasarnya ingin melihat interaksi yang terjadi secara online. Hampir sebagian besar data diperoleh dari observasi partisipan peneliti dalam media online-group chat-, serta mengumpulkan dokumen baik berupa percakapan, gambar, dan suara yang tedapat dalam group chat.
22
Kemudian, untuk mendapatkan data yang komprehensif, peneliti menggunakan metode pengumpulan data etnografi yang dilakukan secara offline atau konvensional.
Seperti bagan metode etnografi yang nampak di atas,
pengumpulan data online dan offline ditempatkan sama pentingnya pada metode etnografi campuran. Peneliti menggunakan teknik pengumpulan data online sebagai metode utama menggali fenomena yang dikaji sebagai elemen utama dan menggunakan teknik pengumpulan data etnografi secara offline untuk melengkapi dan memerdalam pembahasan fenomena. 3. Subyek Penelitian dan Teknik Penentuan Informan Penelitian Subyek penelitian kali ini adalah group chat “Just Export”. Kelas VIII di SMP Negeri 5 Yogyakarta terbagi menjadi 9 kelas yang masing-masing kelas diberi tanda dengan angka seperti VIII 1, VIII 2, VIII 3 dan seterusnya. “Just Export” adalah group chat yang ada di pesan instan LINE dan beranggotakan siswa satu kelas VIII 2 SMP Negeri 5 Yogyakarta. Anggota dalam group chat ini berjumlah 32 anak. “Just Export” beranggotakan anak-anak yang berada pada masa remaja dengan rentang umur antara 13-15 tahun. Group chat LINE “Just Export” dipilih dengan pertimbangan intensitas interaksi serta komunikasi di group chat tersebut lebih tinggi dibandingkan beberapa group chat lain. Peneliti mengetahui intensitas interaksi mereka ketika melakukan pra-riset selama kurang lebih selama 2 bulan masuk dan melakukan observasi dalam 3 group chat yang berbeda dalam waktu yang bersamaan. Selama pra-riset, ditemukan group chat “Just Export” yang paling aktif berinteraksi dan berkomunikasi. Dalam 1 hari, pesan yang masuk dalam group dapat mencapai rata-rata 500 hingga 600 pesan. Penelitian ini akan memilih beberapa informan dari 32 anggota group chat “Just Export” untuk membantu memahami norma komunikasi kelompok mereka. Nueman (2007) menyebutkan karakteristik informan yang ideal antara lain sebagai berikut: a. Orang yang memiliki enkulturasi penuh, memahami kebudayaan dan menjadi saksi dari peristiwa/ fenomena yang diteliti. b. Orang yang terlibat langsung dengan praktik budaya yang ada di lapangan. 23
c. Orang yang dapat meluangkan waktu untuk membantu penelitian, seperti diwawancarai dan terlibat dalam percakapan yang panjang. d. Individu yang non-analitikal, yaitu individu yang mengungkapkan perasaan dan fikirannya berdasar pada sudut pandang pelaku budaya. Peneliti akan mempertimbangkan hal-hal yang disebutkan di atas untuk menentukan informan. Selain hal-hal di atas, peneliti juga mempertimbangkan anggota kelompok yang aktif atau intensitas interaksi dan komunikasi yang lebih tinggi dibandingkan dengan yang lain. 4. Teknik Pengumpulan Data Peneliti akan mengumpulkan data primer dengan observasi partisipan, wawancara, dan focus group discussion. Observasi partisipan adalah observasi yang dilakukan dengan periset ikut berpartisipasi sebagai anggota kelompok yang diteliti Rachmat Kriyantono (2006: 65). Observasi yang dilakukan dalam penelitian ini adalah observasi partisipan secara online interaksi dan komunikasi yang terjadi di dalam group chat. Observasi partisipan online yang dilakukan peneliti adalah dengan bergabung dalam group chat “Just Export”. Peneliti akan melihat dan mengobservasi setiap pesan dan aktivitas yang dilakukan anggotaanggota kelompok di dalam group chat selama 6 bulan dimulai dari bulan Juni 2014 hingga November 2014. Serta peneliti membuat catatan etnografi, seperti capture percakapan yang terjadi di dalam group chat, foto-foto yang dibagikan dalam group chat dan lain sebagainya untuk membantu dalam memahami fenomena. Observasi online ini digunakan sebagai teknik utama untuk melihat dan memahami norma komunikasi kelompok group chat melalui pertukaran pesan dalam konteks situasi tertentu, kelompok “Just Export”. Peneliti juga akan melakukan wawancara untuk melakukan pengumpulan data. Wawancara adalah percakapan antara periset – seseorang yang berharap mendapatkan informasi – dan informan – seseorang yang diasumsikan mempunyai informasi penting tentang suatu objek (Berger, 2000: 111). Wawancara dilakukan untuk memperoleh informasi yang belum dimengerti oleh peneliti langsung dari sumber yang terlibat dalam suatu fenomena. Selain itu, 24
focus group discussion dilakukan untuk menemukan norma melalui konsensus dalam kelompok. Focus group discussion adalah suatu proses pengumpulan informasi suatu masalah tertentu yang sangat spesifik melalui diskusi kelompok (Irwanto, 1998). Peneliti akan melakukan focus group discussion dengan perwakilan anggota kelompok yang terlibat langsung dan aktif dalam komunikasi kelompok melalui group chat. FGD diharapkan dapat memberikan penjelasan norma yang ada dalam kelompok melalui pertukaran pesan manifest berdasarkan pengetahuan dan opini informan mengenai norma dalam interaksinya dengan teman-teman sebaya dalam group chat. Data sekunder penelitian diperoleh dengan studi kepustakaan. Studi kepustakaan merupakan langkah yang penting dimana setelah seorang peneliti menetapkan topik penelitian, langkah selanjutnya adalah melakukan kajian yang berkaitan dengan teori yang berkaitan dengan topik penelitian. Dalam pencarian konsep atau teori, peneliti akan mengumpulkan informasi sebanyak-banyaknya dari kepustakaan yang berhubungan dengan topik penelitian. Sumber-sumber kepustakaan dapat diperoleh dari buku, jurnal, majalah, hasil-hasil penelitian (tesis dan disertasi), dan sumber-sumber lainnya yang relevan dengan fenomena yang dikaji. 5. Teknik Analisis Data Teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah teknik analisis data kualitatif model Spradley. Spradley (1980) membagi analisis data dalam penelitian kualitatif menjadi empat tahap. Tahap yang pertama, analisis domain yaitu analisis yang dilakukan untuk memperoleh gambaran umum dan menyeluruh tentang situasi sosial yang diteliti. Pada tahap yang pertama ini sudah menemukan domain-domain atau kategori dari fenomena atau situasi sosial yang terjadi. Tahap analisis yang kedua adalah analisis taksonomi. Analisis taksonomi adalah analisis terhadap keseluruhan data yang terkumpul berdasarkan domain yang ditetapkan. Kategori-kategori yang telah ditemukan pada tahap awal kemudian disaring dan dipilih lagi oleh peneliti domain atau kategori yang ingin 25
diperdalam. Pada proses ini, peneliti mengumpulkan data-data lebih rinci mengenai kategori-kategori yang dipilih. Tahap selanjutnya ialah analisis komponensial. Analisis komponensial adalah menganalisis ciri spesifik dari setiap kategori dengan cara mencari perbedaan yang kontras antar kategori. Pada tahap analisis taksonomi, peneliti mencari data-data rinci yang mendukung suatu kategori, namun pada tahap analisis komponensial peneliti harus mencari perbedaan spesifik. Kemudian, tahap yang terakhir adalah analisis tema budaya. Analisis tema budaya merupakan upaya mencari “benang merah” yang mengintegrasikan lintas domain yang ada (Sanapiah Faisal, 1990). Peneliti pada tahap ini mulai menghubungkan antar domain dan hubungan secara keseluruhan semua kategori-kategori yang dimiliki yang pada akhirnya, akan ditemukan simpulan hasil penelitian. 6. Validitas Data Penelitian ini akan menggunakan teknik validitas data kualitatif Lincoln dan Guba dalam buku Naturalistic Inquiry. Lincoln dan Guba (1985) menyebutkan 4 kriteria untuk dapat membuktikan data dalam penelitian kualitatif absah.
Pertama, credibility yaitu tingkat kepercayaan terhadap data hasil
penelitian. Peneliti perlu melakukakan enam pengujian untuk menguji kredibilitas data. Enam pengujian tersebut antara lain perpanjangan pengamatan peneliti di lapangan,
peningkatan
ketekunan
peneliti
secara
lebih
cermat
dan
berkesinambungan, triangulasi (pengecekan data dari berbagai sumber, cara, dan waktu), analisis kasus negatif dengan mencari dan mendiskusikan data-data yang tidak mendukung data yang telah ditemukan, menggunakan bahan referensi, serta mengadakan member-checking (proses pengecekan data yang diperoleh peneliti kepada informan). Yang kedua, transferability yaitu validitas eksternal yang ingin menguji penjelasan hasil penelitian diterapkan atau diberlakukan di situasi lain. Bila pembaca laporan penelitian memperoleh gambaran yang demikian jelasnya, “semacam apa” suatu hasil penelitian dapat diberlakukan, maka laporan tersebut memenuhi standar transferabilitas (Sanapiah Faisal, 1990). Kemudian yang ketiga, dependability yaitu kerealibilitasan data yang diperoleh selama penelitian 26
dilakukan dengan audit terhadap keseluruhan proses dan hasil penelitian oleh auditor independent. Yang keempat, confirmability yaitu menguji hasil penelitian, dikaitkan dengan proses yang dilakukan (Sugiyono, 2012: 277). Menurut Lincoln dan Guba terdapat 3 cara untuk menguji konfirmabilitas penelitian yaitu audit trail yang dilakukan dengan cara mengaudit jejak pelaksanaan penelitian dari awal hingga akhir. Kemudian, external audit yang dilakukan oleh auditor luar untuk memeriksa proses dan hasil penelitian. Yang terakhir, reflexivity yaitu sikap peneliti seperti posisi dan latar belakang peneliti akan berpengaruh pada sudut pandang dalam melihat fenomena, pemahaman, hingga hasil penelitian.
27