BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah gizi buruk mempunyai dimensi yang sangat luas, baik konsekuensinya terhadap penurunan kualitas sumber daya manusia maupun penyebabnya. Gizi buruk secara langsung maupun tidak langsung akan menurunkan
tingkat
kecerdasan
anak,
terhambatnya
pertumbuhan
dan
perkembangan anak serta menurunkan produktivitas. Gizi buruk secara langsung disebabkan oleh kurangnya asupan makanan dan penyakit infeksi dan secara tidak langsung disebabkan oleh ketersediaan pangan, sanitasi, pelayanan kesehatan, pola asuh, kemampuan daya beli keluarga, pendidikan dan pengetahuan. Berbagai upaya telah dilakukan pemerintah antara lain melalui revitalisasi posyandu dalam meningkatkan cakupan penimbangan balita, penyuluhan dan pendampingan, pemberian makanan pendamping ASI (MP-ASI) atau pemberian makanan tambahan (PMT), peningkatan akses dan mutu pelayanan gizi melalui tatalaksana gizi buruk di puskesmas perawatan dan rumah sakit, penanggulangan penyakit menular dan pemberdayaan masyarakat melalui keluarga kadar gizi (Kadarzi). Masalah gizi khususnya gizi balita di Indonesia dapat dilihat dari hasil penilaian status gizi dimana angka prevalensi berat kurang (underweight) yang masih tinggi yakni 17,9%. Berdasarkan Data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2010, sebanyak 13,0% balita berstatus gizi kurang, diantaranya 4,9% berstatus gizi buruk yang diukur berdasarkan indikator berat badan menurut umur (BB/U). Balita dengan kategori sangat pendek (stunting) yang diukur dengan menggunakan indikator tinggi badan menurut umur (TB/U) sebesar 17,1%, sedangkan balita dengan kategori kurus (wasting) yang diukur dengan menggunakan indikator berat badan menurut tinggi badan (BB/TB) sebesar 13,3% (Kemenkes, 2011). Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2010-2014 secara tegas telah memberikan arah pembangunan pangan dan gizi dengan sasaran
1
2
meningkatnya ketahanan pangan dan meningkatnya status kesehatan dan gizi masyarakat. Program pembangunan yang berkeadilan yang terkait dengan Rencana Tindak Upaya Pencapaian Tujuan Pembangunan Milenium (MDGs) melalui Instruksi Presiden Nomor 3 Tahun 2010. Salah satu dokumen yang telah disusun adalah Rencana Aksi nasional Pangan dan Gizi (RAN-PG) 2011-2015. Keluaran rencana aksi diharapkan dapat menjembatani pencapaian MDGs yang telah disepakati dalam RPJMN 2010-2014 yaitu menurunkan prevalensi gizi kurang (underweight) anak balita menjadi 15,5%. Salah satu sasaran dari MDGs yang telah menunjukkan signifikan dan diharapkan dicapai tahun 2015 (on-track) adalah MDGs Goal 1: memberantas kemiskinan dan kelaparan. Prevalensi balita kekurangan gizi yang menurun dari 31% pada tahun 1989 menjadi 18,4% pada tahun 2007 dan 17,9% pada tahun 2010. Angka ini diharapkan selama tahun 2011-2015 dapat diturunkan sebesar 2,4% untuk mencapai target MDGs. Sebagai bentuk dukungan dalam percepatan pencapaian MDGs goal 1, program yang dilakukan salah satunya adalah perbaikan gizi masyarakat melalui tindakan perbaikan status gizi masyarakat dengan keluaran penurunan prevalensi kekurangan gizi pada balita yang ditandai oleh perbaikan indikator kinerja diantaranya persentase balita gizi buruk yang mendapat perawatan sebesar 100%. Kementerian Kesehatan bertanggungjawab sepenuhnya dalam pelaksanaan program yang sasaran kegiatannya adalah meningkatkan penanganan masalah gizi masyarakat, serta diprioritaskan pada provinsi-provinsi dengan prevalensi kekurangan gizi pada balita di atas angka rata-rata nasional (Bappenas, 2011). Di Indonesia, masih ada 18 provinsi yang memiliki prevalensi berat kurang di atas prevalensi nasional dimana Provinsi Gorontalo berada di urutan ke7, dengan angka prevalensi 26,7%, yang terdiri dari 15,3% balita berstatus gizi kurang, dan 11,2% berstatus gizi buruk. Angka ini masih di atas batas “non-public health problem” menurut WHO sebesar 10,0% (Kemenkes, 2011). Berdasarkan Laporan Pemantauan Status Gizi (PSG) dan Kadarzi Kabupaten Bone Bolango Tahun 2012, angka prevalensi balita berdasarkan indikator BB/U adalah 2,86% balita berstatus gizi buruk, balita berstatus gizi kurang sebanyak 11,88%
2
3
sedangkan balita berstatus gizi baik 84,65% dan gizi lebih 0,65%. (Dinkes Kab. Bone Bolango, 2012). Sehubungan dengan peningkatkan kualitas pelayanan kesehatan bagi anak yang gizi buruk, serta sebagai indikator kinerja program yang mendukung percepatan pencapaian MDGs goal 1 dilihat dari persentase balita gizi buruk yang mendapat perawatan sebesar 100%, maka dikembangkan Pusat Pemulihan Gizi atau Therapeutic Feeding Center (TFC). Sebagai sebuah unit layanan perawatan dan pengobatan anak gizi buruk, TFC memberikan pelayanan secara intensif dengan menyediakan tempat atau ruangan khusus serta ibu/keluarga ikut aktif terlibat dalam perawatan anak gizi buruk. Pengembangan TFC dapat dilakukan dengan membuat bangunan khusus atau dengan memanfaatkan fasilitas bangunan yang sudah ada, terutama di rumah sakit atau puskesmas perawatan. Pengelolaan TFC dilakukan oleh tenaga kesehatan dengan melibatkan peran serta masyarakat. Pemerintah pusat maupun daerah membebaskan biaya perawatan kasus gizi gizi buruk, untuk kegiatan operasional TFC, dibiayai melalui anggaran pendapatan dan belanja negara dan daerah (APBN dan APBD). Khusus untuk Kabupaten Bone Bolango, melalui Peraturan Daerah Kabupaten Bone Bolango nomor 48 tahun 2007 tentang pembentukan organisasi dan tata kerja telah menjadikan TFC sebagai unit pelaksanan teknis (UPT) dinas kesehatan walaupun belum memiliki gedung sendiri. Pada tahun 2009, TFC sudah memiliki gedung khusus perawatan balita gizi buruk, yang pembangunannya didanai oleh Proyek Decentralized Health Service 2 (DHS2). Pembangunan fisik TFC dilanjutkan sampai tahun anggaran 2010, dan mulai beroperasi pada bulan Februari 2010. Biaya operasional kegiatan TFC dianggarkan melalui APBD Kabupaten Bone Bolango, sehingga balita gizi buruk yang dirawat tidak dibebankan biaya perawatan. Selama tahun 2010 – 2012 berdasarkan data Register Rawat Inap TFC telah dirawat sebanyak 59 pasien gizi buruk. Namun sebanyak 24 pasien (40,7%) diantaranya pulang paksa sebelum menyelesaikan masa rawatnya dengan kondisi pasien belum sepenuhnya normal. Rata-rata jumlah hari rawat pasien di tahun 2010 yaitu selama 7 hari, 11 hari rawat di tahun 2011, 4 hari rawat di tahun 2012.
3
4
Pulang paksa atau pulang atas permintaan sendiri (discharge against medical advice) merupakan masalah yang cukup serius bagi pelayanan di TFC. Pasien balita gizi buruk yang pulang paksa dengan kondisi belum pulih sepenuhnya, dapat kembali ke kondisi semula dan berpotensi menambah jumlah balita gizi buruk di masyarakat. Dampak bagi pasien sendiri, karena dapat merugikan kesehatannya dan berpeluang untuk dirawat kembali bahkan meninggal di rumah masing-masing. Data Profil Kesehatan Kabupaten Bone Bolango menunjukkan jumlah balita gizi buruk sebanyak 62 balita dengan jumlah yang dapat perawatan di TFC sebanyak 24 balita di tahun 2010. Kemudian di tahun 2011, jumlah balita gizi buruk meningkat menjadi 107 balita, dengan jumlah yang mendapat perawatan di TFC sebanyak 23 balita. Diantara balita yang dirawat ini, ada yang pernah menjadi pasien di tahun 2010, dan kembali dirawat di tahun 2011. Hal ini dapat menjadi sebuah indikator adanya potensi masalah dalam pelayanan kesehatan terutama dalam peningkatan jumlah balita gizi buruk serta pencapaian target perawatan gizi buruk 100% (Dinkes Kab. Bone Bolango, 2011). Berdasarkan data register pasien TFC Bone Bolango selama tahun 20102012, jumlah pasien yang dirujuk dari puskesmas dengan kriteria di atas 6 jam dan sangat terpencil sebanyak 12 pasien, 7 pasien (58,33%) diantaranya tercatat sebagai pasien pulang paksa. Pasien yang dirujuk dengan menggunakan kartu jaminan kesehatan sebanyak 34 pasien, atau 57,63% dari total pasien yang pernah dirawat di TFC dari keluarga kurang mampu, 16 pasien (47,06%) diantaranya tercatat pulang paksa. Masalah lain yang timbul dari kejadian pulang paksa ini yaitu penanganan pasca perawatan dimana pasien sangat butuh pendampingan. Lokasi yang jauh serta tenaga kesehatan yang terbatas, menyebabkan penanganan pasca rawat ini tidak ditangani dengan tepat. Hal ini terjadi karena belum semua puskesmas terlatih untuk melaksanakan tatalaksana gizi buruk. Ketersediaan sarana dan prasarana yang terbatas untuk menyiapkan formula khusus untuk balita gizi buruk, serta kurangnya tindak lanjut pemantauan setelah balita pulang ke rumah
4
5
juga ikut mempengaruhi penanganan pasca rawat balita gizi buruk khususnya mereka yang pulang paksa. B. Perumusan Masalah Berdasarkan uraian dalam latar belakang masalah tersebut diatas, maka dapat dirumuskan masalah penelitian sebagai berikut; faktor-faktor apa yang menyebabkan pasien balita gizi buruk berisiko untuk pulang paksa dari TFC Kabupaten Bone Bolango? C. Tujuan Penelitian 1.
Tujuan Umum Mengetahui penyebab terjadinya pulang paksa pada pasien balita gizi buruk yang dirawat di TFC kabupaten Bone Bolango.
2.
Tujuan Khusus a. Mengkaji secara mendalam faktor predisposisi yang dapat mempengaruhi terjadinya pulang paksa pasien balita gizi buruk di TFC. b. Mengkaji secara mendalam faktor yang dapat mendukung terjadinya pulang paksa pasien balita gizi buruk di TFC. c. Mengkaji secara mendalam faktor yang dapat berperan sebagai faktor penguat dalam terjadinya pulang paksa pasien balita gizi buruk di TFC.
D. Manfaat Penelitian 1.
Bagi Dinas Kesehatan dan Pemda Kabupaten Bone Bolango Menjadi bahan pertimbangan yang berharga bagi para pengambil kebijakan untuk menyusun kebijakan-kebijakan dalam meningkatkan kualitas pelayanan kesehatan masyarakat dan pemberdayaan masyarakat khususnya dalam mengatasi terjadinya gizi buruk di Kabupaten Bone Bolango.
2.
Bagi TFC Kabupaten Bone Bolango Sebagai informasi penting untuk mengetahui faktor risiko yang dapat melatarbelakangi terjadinya pulang paksa pada pasien gizi buruk yang dirawat sehingga TFC dapat memberikan layanan yang lebih baik.
5
6
3.
Bagi Peneliti Memberikan pengetahuan dan melakukan penerapan ilmu kesehatan masyarakat khususnya gizi masyarakat di wilayah kerja Dinas Kesehatan Kabupaten Bone Bolango. E. Keaslian Penelitian Penelitian yang berkaitan dengan terjadinya pulang paksa pada pasien
balita gizi buruk yang di rawat di Therapeutic Feeding Centre (TFC) menurut pengetahuan penulis belum pernah dilakukan penelitian. Penelitian yang hampir serupa dan dilakukan di TFC antara lain dilakukan oleh : 1.
OliI (2011), meneliti tentang “Kepatuhan Ibu Memberi Asupan Gizi Sesuai Instruksi Petugas dan Status Gizi Balita Gizi Buruk di Therapeutic Feeding Centre Kabupaten Gorontalo Tahun 2008-2010”. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa tingkat pendidikan ibu mempunyai hubungan bermakna dengan status gizi balita di TFC, dimana ibu yang memiliki pendidikan rendah mempunyai pola asuh kurang baik sehingga tidak berperan aktif dalam meningkatkan berat badan balita gizi buruk yang dirawat di TFC. Jumlah anak mempunyai hubungan bermakna dengan status gizi balita di TFC, dimana ibu yang memiliki anak yang lebih mengalami kesulitan dalam membagi waktu antara mengurus anaknya yang sedang dirawat dengan anaknya yang di rumah. Persamaan dengan penelitian ini yaitu pada tingkat pendidikan yang menunjukkan pengetahuan ibu, serta pada jumlah anak. Perbedaannya yaitu jenis dan rancangan penelitiannya dimana penelitian ini merupakan penelitian observasional dengan rancangan studi kasus kontrol (case-control study), dengan pendekatan kuantitatif dan kualitatif.
2.
Mujayanto
(2011),
meneliti
tentang
“Analisis
Faktor-Faktor
yang
Berhubungan dengan Keberhasilan Penanggulangan Gizi Buruk di Kabupaten Gorontalo”. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ada hubungan antara faktor eksternal kinerja tim pengelola TFC dengan keberhasilan penanggulangan gizi buruk di Kabupaten Gorontalo. Persamaan dengan penelitian ini yaitu pada sikap tenaga kesehatan di TFC. Perbedaannya yaitu jenis dan rancangan
6
7
penelitiannya dimana penelitian ini menggunakan metode observasional analitik dengan rancangan cross sectional dengan pendekatan kuantitatif dan kualitatif. 3.
Thenie (2002), meneliti tentang “Persepsi Pasien Pulang Paksa terhadap Pelayanan Rumah Sakit di Rumah Sakit Umum Daerah Karawang”. Hasil Penelitian menunjukkan bahwa kasus pulang paksa disebabkan oleh faktor biaya bagi pasien kelas II dan III, sedangkan bagi pasien kelas I dan VIP disebabkan oleh faktor pelayanan dan ketidaktahuan pasien. Persamaan dengan penelitian ini yaitu pada variabel persepsi serta pendekatan kualitatif yang digunakan. Perbedaannya pada subyek dan lokasi penelitian.
4.
Kuncahyo (1998), meneliti tentang “Hubungan antara Karakteristik Pasien Rawat Inap dengan Keputusan Pulang Paksa di Rumah Sakit Umum Daerah Wonosari Kabupaten Gunung Kidul”. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pekerjaan, pendapatan, kelas perawatan dan kepuasan mempunyai hubungan dengan keputusan pulang paksa. Persamaan dengan penelitian ini adalah pada variabel yang menunjukkan faktor sosial ekonomi yaitu pekerjaan dan pendapatan. Perbedaannya pada jenis penelitian yang menggunakan metode observasional dengan rancangan cross sectional dengan pendekatan kuantitatif dan kualitatif.
7