BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Setiap orang berhak atas jaminan sosial untuk dapat memenuhi kebutuhan dasar hidup yang layak dan meningkatkan martabat sehingga pemerintah mengembangkan Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) bagi seluruh rakyat Indonesia untuk memberikan jaminan sosial yang menyeluruh. Sistem Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) ini telah resmi dilaksanakan pada 1 Januari 2014. JKN merupakan
perlindungan
kesehatan
agar
peserta
memperoleh
manfaat
pemeliharaan kesehatan dan perlindungan dalam memenuhi kebutuhan dasar kesehatan yang diberikan kepada setiap orang yang telah membayar iuran atau iurannya dibayar oleh pemerintah yang diselenggarakan secara nasional berdasarkan prinsip asuransi sosial dan ekuitas (Departemen Kesehatan, 2004). Dalam pelaksanaan sistem JKN di Indonesia dibentuklah Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Kesehatan (BPJS Kesehatan) yang bertanggung jawab memastikan berjalannya jaminan kesehatan bagi seluruh rakyat Indonesia sebagai peserta jaminan (Departemen Kesehatan, 2011).
Berlakunya jaminan
kesehatan secara nasional adalah akses untuk mengamankan masyarakat agar mendapatkan pelayanan promotif, preventif, kuratif, dan rehabilitatif dengan biaya yang terjangkau (Tangcharoensathien dkk., 2011).
1
Dalam menjalankan sistem jaminan kesehatan nasional harus ada kerjasama antara BPJS Kesehatan dengan fasilitas kesehatan sebagai pemberi layanan kesehatan kepada peserta jaminan kesehatan nasional. Fasilitas kesehatan dibedakan menjadi Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama (FKTP) dan Fasilitas Kesehatan Tingkat Lanjutan (FKTL). Fasilitas kesehatan tingkat pertama meliputi puskesmas, praktek dokter, dokter gigi, klinik pratama atau yang setara, dan rumah sakit kelas D atau yang setara (Kementrian Kesehatan, 2013a). Sasaran pembangunan kesehatan oleh pemerintah adalah meningkatkan derajat kesehatan masyarakat melalui peningkatan akses masyarakat terhadap pelayanan kesehatan yang dapat dicapai dengan mendekatkan sarana pelayanan kesehatan kepada masyarakat antara lain melalui puskesmas (Winarno dkk., 2013). Puskesmas sekarang ini masih dipandang sebelah mata oleh masyarakat karena belum memberikan kontribusi maksimal dalam pelayanan kesehatan serta tingkat pelayanan puskesmas masih rendah sehingga masyarakat lebih memilih langsung berobat ke rumah sakit (Anggraeny, 2013). Pada era JKN, pemerintah menerapkan gate keeper concept dimana FKTP berperan sebagai pemberi pelayanan kesehatan dasar serta dapat berfungsi optimal sesuai standar kompetensinya dan memberikan pelayanan kesehatan sesuai standar pelayanan medik (BPJS Kesehatan, 2014a). Pelayanan kesehatan pada era JKN dilaksanakan berjenjang serta memberlakukan sistem rujukan yang menetapkan prosedur rujukan untuk semua peserta (Andini, 2014) sehingga dapat mengurangi beban rumah sakit (BPJS Kesehatan, 2014a).
2
FKTP wajib menyelenggarakan pelayanan kesehatan komprehensif berupa pelayanan kesehatan promotif, preventif, kuratif, rehabilitatif, pelayanan kebidanan, dan pelayanan kesehatan darurat medis, termasuk pelayanan penunjang yang meliputi pemeriksaan laboratorium sederhana dan pelayanan kefarmasian sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Fasilitas kesehatan yang tidak memiliki sarana penunjang wajib membangun jejaring dengan sarana penunjang (Kementrian Kesehatan, 2013a). BPJS Kesehatan juga melakukan kerjasama dengan apotek sebagai sarana penunjang untuk penyediaan obat program rujuk balik sehingga dapat meningkatkan kualitas pelayanan kesehatan bagi peserta jaminan kesehatan dan memudahkan akses pelayanan kesehatan kepada peserta penderita penyakit kronis (BPJS Kesehatan, 2014b). Apoteker berperan melakukan pelayanan kefarmasian di fasilitas pelayanan kefarmasian seperti apotek, instalasi farmasi rumah sakit, puskesmas, klinik, toko obat, atau praktek bersama (Kementrian Kesehatan, 2009). Apoteker pada fasilitas kesehatan tingkat pertama memiliki peran penting yaitu memastikan ketersediaan, keterjangkauan, dan penggunaan obat yang rasional, yang dapat ditempuh melalui praktek pelayanan kefarmasian (Tresnawati, 2014). Terutama sejak diberlakukan sistem jaminan kesehatan, apoteker menghadapi tantangan dalam keterjangkauan dan aksesibilitas obat termasuk ketersediaan dan pemerataan obat. Keterjangkauan obat dalam didapatkan melalui penetapan harga obat dalam e-catalogue sedangkan aksesibilitas obat terkait dengan penyediaan dana, pengadaan obat, hingga pendistribusian obat (Muliawan, 2013). Apotek 3
program rujuk balik mempunyai tanggung jawab menjamin ketersediaan dan kecukupan obat program rujuk balik secara lengkap dengan berpedoman pada formularium nasional (Ansharuddin, 2014). Kebutuhan obat program rujuk balik ditujukan untuk 9 penyakit yang sudah ditetapkan akan dijamin oleh BPJS Kesehatan melalui apotek atau depo farmasi fasilitas kesehatan tingkat pertama yang bekerja sama dengan BPJS Kesehatan (Kementrian Kesehatan, 2013a). Selain pengadaan dan distribusi, proses klaim biaya obat juga dapat mempengaruhi ketersediaan obat di fasilitas kesehatan primer maupun di apotek program rujuk balik. Menurut peraturan perundang-undangan, fasilitas kesehatan berhak menerima pembayaran klaim atas pelayanan yang diberikan kepada peserta paling lambat 15 hari kerja sejak dokumen klaim diterima lengkap (Kementrian Kesehatan, 2013a). Begitu penting peran apoteker untuk masyarakat tetapi di Indonesia, tenaga apoteker belum dilibatkan secara optimal di fasilitas kesehatan tingkat pertama, seperti puskesmas, klinik, dan dokter praktek swasta (Arie, 2014). Kontras dengan kondisi di Indonesia, apoteker di berbagai negara berkembang merupakan jalur distribusi pengobatan dan pelayanan kesehatan bagi masyarakat. Tidak hanya bertanggung jawab terhadap ketersediaan dan pelayanan obat yang berkualitas, tetapi juga karena apoteker mudah dicari pada waktu yang dibutuhkan, dapat memberikan produk dengan harga terjangkau dan terutama berperan dalam pemberian obat berulang bagi pasien dengan penyakit kronis yang kontinyu (Lochid-amnuay dkk., 2010). Apoteker sebagai tenaga kesehatan yang bertanggung jawab terhadap obat-obatan adalah pelaku yang terlibat langsung dalam proses pengadaan obat, 4
pendistribusian obat, dan proses klaim biaya obat dimana ketiga proses tersebut dapat mempengaruhi kepuasan kerja apoteker. Kepuasan kerja menyangkut ekspektasi seorang pekerja terhadap hasil yang didapatkan serta menunjukkan perasaan yang muncul sebagai hasil dari persepsi suatu pekerjaan dan kebutuhan psikologis. Berbagai faktor dapat mempengaruhi kepuasan kerja sehingga dapat mempengaruhi kinerja seseorang (Aziri, 2011). Pegawai dengan kepuasan kerja tinggi akan peduli pada kualitas pekerjaannya, lebih terikat dengan organisasi, lebih produktif, bertahan bekerja di suatu tempat lebih lama, bertanggung jawab terhadap lingkungan pekerjaannya, dan bekerja keras untuk memberikan yang terbaik. Kepuasan kerja itu sendiri paling besar dipengaruhi oleh kemandirian saat bekerja, status sosial, dan beban kerja (Buciuniene dkk., 2005). Provinsi Daerah istimewa Yogyakarta terdiri dari 4 kabupaten dan 1 kota, yaitu Kabupaten Sleman, Bantul, Gunung Kidul, Kulon Progo, dan Kota Yogyakarta. Pada masing-masing Kabupaten terdapat puskesmas, klinik pratama, dan apotek program rujuk balik yang akan digunakan sebagai tempat penelitian. Subyek penelitian ini adalah apoteker di puskesmas, klinik pratama, dan apotek program rujuk balik sehingga akan dilakukan penelitian dengan metode purposive sampling yaitu mencari apoteker di puskesmas, klinik pratama, dan apotek program rujuk balik karena belum semua puskesmas mempunyai apoteker. Berdasarkan studi pendahuluan belum semua puskesmas memiliki apoteker dan semua puskesmas di Kabupaten Kulon Progo dan Gunung Kidul belum ada yang memiliki apoteker sehingga penelitian ini hanya dilakukan Kabupaten Sleman, Bantul, dan Kota Yogyakarta. 5
Berdasarkan latar belakang yang telah dijabarkan di atas, maka dilakukan penelitian hubungan pelayanan jaminan kesehatan nasional terhadap kepuasan apoteker : studi di fasilitas kesehatan tingkat pertama dan apotek program rujuk balik. Pada penelitian ini akan dilihat pengaruh proses pelayanan jaminan kesehatan nasional di bidang kefarmasian yang dirasakan oleh apoteker yaitu proses pengadaan, pendistribusian, dan klaim biaya obat terhadap kepuasan apoteker yang diukur dengan kuisioner. Penelitian ini bertujuan mengetahui kepuasan apoteker pada FKTP dan apotek program rujuk balik dan diharapkan hasil penelitian ini dapat digunakan untuk perbaikan proses pelaksanaan JKN yang berkelanjutan.
1.
Perumusan Masalah a. Apakah terdapat hubungan proses pengadaan obat terhadap kepuasan apoteker di fasilitas kesehatan tingkat pertama dan apotek program rujuk balik pada era jaminan kesehatan nasional? b. Apakah terdapat hubungan proses pendistribusian obat terhadap kepuasan apoteker di fasilitas kesehatan tingkat pertama dan apotek program rujuk balik pada era jaminan kesehatan nasional? c. Apakah terdapat hubungan proses klaim biaya obat terhadap kepuasan apoteker di fasilitas kesehatan tingkat pertama dan apotek program rujuk balik pada era jaminan kesehatan nasional? d. Apakah terdapat hubungan proses pengadaan obat, proses pendistribusian obat, dan proses klaim biaya obat secara simultan terhadap kepuasan 6
apoteker di fasilitas kesehatan tingkat pertama dan apotek program rujuk balik pada era jaminan kesehatan nasional?
2.
Keaslian Penelitian Penelitian ini belum pernah dilakukan tetapi penelitian sebelumnya yang
terkait kepuasan maupun pengaruh antara lain : a. Tingkat Kepuasan Pasien Maskin Rawat Inap Kelas 3 Terhadap Pelayanan Unit Program Askeskin Di RSUD Tangerang (Kusmana, 2013). b. Kepuasan Kerja Apoteker Di Rumah Sakit PKU Muhammadiyah Yogyakarta (Hernawan, 2010). c. Pengaruh Sistem Manajemen ISO
9001:2008 Terhadap Pelayanan
Kefarmasian Puskesmas Di Kabupaten Sleman (Wibowo, 2013). Tabel 1. Keaslian Penelitian
Perbedaan Peneliti Kusmana (2013) Hernawan (2010)
Subyek penelitian Pasien maskin rawat inap kelas 3 Apoteker
Wibowo (2013)
Tenaga kefarmasian
Penelitian yang dilakukan
Apoteker
Tempat penelitian Variabel bebas : umur, jenis kelamin, pekerjaan, RSUD pendidikan, jenis penyakit. Tangerang Variabel terikat : kepuasan pasien Variabel bebas : kepuasan kerja PKU Variabel terikat : ciri-ciri intrinsik pekerjaan, gaji, Muhammadiyah penyeliaan, rekan sejawat yang menunjang, dan Yogyakarta kondisi kerja yang menunjang Variabel bebas : manajemen support meliputi Puskesmas di kebijakan sistem ISO 9001:2008, tanggung jawab Kabupaten manajemen, manajemen SDM, analisis Sleman pengukuran dan peningkatan Variabel terikat : pelayanan kefarmasian dilihat dari indikator WHO 1993 Variabel bebas : proses pengadaan obat, proses Puskesmas, distribusi obat, dan proses klaim biaya obat. klinik, apotek Variabel terikat : kepuasan apoteker PRB Kabupaten Sleman, Bantul, Kota Yogyakarta Variabel penelitian
7
3.
Manfaat Penelitian a. Bagi Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Kesehatan (BPJS Kesehatan), hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai bahan evaluasi sistem jaminan kesehatan nasional sehingga bermanfaat untuk perbaikan aturan maupun kebijakan yang sudah berlaku pada era jaminan kesehatan nasional. Selain itu, penelitian ini juga bermanfaat untuk meninjau kerjasama antara apoteker dengan BPJS Kesehatan maupun tenaga kesehatan yang lain sehingga dapat digunakan untuk acuan perbaikan dan peningkatan kerjasama semua pihak yang terkait dalam sistem jaminan kesehatan nasional. b. Bagi asosiasi profesi kefarmasian, penelitian ini dapat menunjukkan kondisi apoteker pada era jaminan kesehatan nasional yang kemudian dapat digunakan sebagai acuan untuk membuat perbaikan demi kesejahteraan apoteker. c. Bagi peneliti, hasil penelitian ini digunakan untuk mengetahui hubungan proses pengadaan obat, pendistribusian obat, dan proses klaim biaya obat terhadap kepuasan kerja apoteker di fasilitas kesehatan primer dan apotek program rujuk balik setelah penerapan sistem jaminan kesehatan nasional.
B. Tujuan Penelitian 1.
Mengetahui hubungan proses pengadaan obat terhadap kepuasan apoteker di fasilitas kesehatan tingkat pertama dan apotek program rujuk balik pada era jaminan kesehatan nasional. 8
2.
Mengetahui hubungan proses pendistribusian obat terhadap kepuasan apoteker di fasilitas kesehatan tingkat pertama dan apotek program rujuk balik pada era jaminan kesehatan nasional.
3.
Mengetahui hubungan proses klaim biaya obat terhadap kepuasan apoteker di fasilitas kesehatan tingkat pertama dan apotek program rujuk balik pada era jaminan kesehatan nasional.
4.
Mengetahui hubungan proses pengadaan obat, proses pendistribusian obat, dan proses klaim biaya obat secara simultan terhadap kepuasan apoteker di fasilitas kesehatan tingkat pertama dan apotek program rujuk balik pada era jaminan kesehatan nasional.
9