BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Human Immunodeficiency Virus (HIV) merupakan sekelompok virus yang dikenal sebagai retrovirus yang dapat merusak sistem kekebalan tubuh manusia. Acquired Immuno Deficiency Syndrome (AIDS) didefinisikan sebagai suatu kumpulan
gejala
penyakit
yang
disebabkan
oleh
infeksi
Human
Immunodeficiency Virus. (William dan Wilkins, 2006). Infeksi HIV dan AIDS telah menjadi masalah paling serius dalam kesehatan masyarakat. HIV/AIDS bertanggung jawab sebagai 1 %penyebab kematian di seluruh dunia . Ini diketahui bahwa 42 juta orang telah terinfeksi HIV dan 27 juta orang telah mati dikarenakan oleh AIDS selama 20 tahun terakhir. Ini diperkirakan bahw angka kematian karena AIDS akan mencapai 100 juta orang dalam jangka 25 tahun kedepan jika penaggulangan tidak menggunakan metode yang effective. (Neriman -2012) Perkembangan epidemic HIV dan AIDS di dunia telah menyebab HIV dan AIDS menjadi masalah global dan semakin nyata menjadi masalah kesehatan masyarakat di Indonesia. Kini Indonesia menjadi negara dengan pertumbuhan HIV/AIDS tercepat di Asia Tengara di saat negara lain sudah mengalami penurunan. Seperti Thailand yang pada awalanya adalah salah satu Negara dengan angka HIV tertinggi di ASIAN tapi dengan program yang effective selama 20 tahun teakhir mereka berhasil menekan laju pertumbuhan infeksi HIV. (SEARO-WHO,2012). Kasus HIV/AIDS di Indonesia pertama kali ditemukan pada tahun 1987 di Bali yaitu seorang wisatawan Belanda. Saat ini penderita HIV/AIDS telah menyebar secara global termasuk di Indonesia. Jumlah penderita HIV/AIDS terus meningkat dari tahun ke tahun. Indonesia telah memasuki epidemic terkonsentrasi. Surveilans Terpadu HIV dan Prilaku (STHP, Populasi Kunci, 1
2007) menunjukan prevalensi HIV pada populasi kunci WPS langsung 10,4%; WPS tidak langsung 4,6%; waria 24,4%; pelanggan WPS 0,8%; LSL 5,2%; pengguna napza suntik 52,4%. Di provinsi Papua dan Papua barat terdapat pergerakan ke arah generalized epidemic dengan pervalensi HIV sebesar 2,4% pada penduduk 15-49 tahaun (STHP, Penduduk Papua 2007). Hal tersebut tercantum dalam Strategy dan Rencana Aksi Nasional AIDS 2010-2014 (KPA, 2010) Secara kumulatif kasus HIV & AIDS dari 1 April 1987 s.d. December 2011 adalah 76879 orang telah ternifeksi HIV, sejumlah 29879 orang dengan AIDS dan kematian akibat HIV AIDS sejumlah 5430 orang. Penderita AIDS berdasarkan jenis kelamin sebanyak 20333 adalah laki laki dan 8122 adalah perempuan serta 302 orang tidak di ketahuai jenis kelaminya. Sedangkan berdasarkan usia, tiga urutan teratas
presentasi penderita paling besar pada
kelompok umur 20 – 29 tahun sebanyak 45,3%, di susul oleh kelompok umur 30 – 39 tahun sebanyak 30,7% dan sebanyak 9.8% pada kelompok usia 40 – 49 tahun. (Depkes RI, 2012) Kasus terbanyak ditemukan di 5 propinsi yaitu DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Timur, Papua dan Bali. Lima propinsi dengan angka pervalensi yang besar dalam kasus AIDS per 100.000 penduduk adalah Propinis Papua 157,02 , Bali 62,40, DKI Jakarta 50,14, Kalimantan Barat 28,87 dan Kep. Riau sebanyak 24,06. Secara Nasional angka pervalensi kasus AIDS adalah 12.45. Sedangkan jumlah komulatif kasus AIDS berdasarkan faktor resiko penularan adalah melalui heteroseksual 55,3 %, Intravenuse Drug User (IDU) sebanyak 35,2%, homoseksual sebesar 3,02%, 2,71% melalui perinatal, 0,19% memalui transfusi daran dan sebanyak 3,52% tidak di ketahui resiko penularanya. (Depkes RI 2012). Pemerintah Indonesia berupaya dalam penaggulangan infeksi HIV AIDS ini secara Nasional maupun di selaraskan dengan program program badan dunia dalam masalah ini. Komitment pemerintah ini di wujudkan dengan di bentuknya
3 Komisi Penaggulangan AIDS (KPA) Nasional pada tahun 1994. Melalui Keputusan Presiden Nomor 36 tahun 1994, Pemerintah membentuk Komisi Penanggulangan AIDS (KPA) di tingkat Pusat disusul dengan terbentuknya KPA di beberapa provinsi. Dan upaya-upaya penanggulangan AIDS terus lebih di tingkatkan yang melibatkan peran aktif berbagai lembaga Negara, hal ini tetuang dalam Kepres no 75 tahun 2006. Keseriusan pemerintah dalam menangani menangani masalah HIV/AIDS ini terlihat dari semakin meningkatnya jumlah orang yang diperiksa, seiring dengan meningkatnya jumlah layanan konseling dan tes HIV di Indonesia. Jumlah kasus HIV positif yang ditemukan pada penduduk yang melakukan konseling dan tes HIV adalah 859 orang HIV positif tahun 2005, 21.591 orang tahun 2010, dan 21.031 orang tahun 2011. Selain itu angka kematian (Case Fatality Rate=CFR) AIDS menurun dari 4,5% pada tahun 2010 menjadi 2,4% pada tahun 2011. Demikian paparan Menkes dr. Endang Rahayu Sedyaningsih, MPH pada Rapat Koordinasi Bidang Kesejahteraan Rakyat bersama Menko Kesejahteraan Rakyat, Menteri Dalam Negeri, dan Sekjen Komisi Pengendalian AIDS Indonesia, di kantor Kemenkes (Depkes, 2012) Di samping itu masih banyak kendala-kendala yang di hadapi dalam pelaksanakan penangulangan dan pencegahan AIDS. Salah satunya adalah stigma dan diskriminasi masyarkat yang di latar belakangi oleh pengetahuan, budaya dan mitos-mitos yang berkembang sehubungan dengan HIV-AIDS. Banyaknya ketidaktahuan masyarakat tentang HIV/AIDS, termasuk penularan dan pencegahannya, sesuai dengan hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdes) 2010. Secara nasional, hanya 11,4 persen penduduk yang memiliki pengetahuan komprehensif tentang HIV/AIDS. Mereka yang memiliki pengetahuan memadai itu umumnya berumur 15-24 tahun, laki-laki, belum menikah, tinggal di perkotaan, serta memiliki pendidikan dan kondisi ekonomi yang baik. (Riskesdes Depkes RI, 2010). Dalam target no 7 dari Milineum Goal Development 2015, meningkatnya
presentase anak muda usia 15-24 tahun yang mempunyai pengetahuan komprehensif tentang AIDS merupakan salah satu indikator pencapaian target. Target yang di maksud adalah mengendalikan penyebaran HIV/AIDS dan mulai menurunnya jumlah kasus baru pada tahun 2015. Di berbagai Negara dan masyarakat, stigma sehubungan dengan HIV dan menghasilkan diskriminasi sangat membahayakan seperti sebuah penyakit sendiri: ditelantarkan oleh pasangannya dan atau oleh keluarganya, penghujatan social/lingkungan
(ostracism),
kehilangan
pekerjaaan
dan
kekayaan,
penolakan/pengucilan dari sekolah (explusion), di tolak dalam pelayanan kesehatan, kekurangan perhatian dan dukungan, dan kekerasan. Konsekfensikonsekfensi ini atau ketakutan kepada mereka (ODHA), mengartikan bahwa akan menghambat, mengurangi kemungkinan untuk datang dan melakukan test HIV, takut pembocoran status HIV mereka kepada orang lain, menghambat untuk mengadopsi prilaku pencegahan HIV atu menhambat untuk mendapatkan akses pelayanan kesehatan, perawatan dan dukungan. Jika mereka lakukan, mereka bisa akan kehilangan segala galanya. Dalam Survey pada para penasun di Indonesia bahwa 40 % penyebab dari mereka menghindari test HIV adalah karena Stigma. (UNAIDS, 2007). Stigma terhadap penderita menyebabkan pencegahan dan penanganan penyakit akibat human immunodeficiency virus di Indonesia sulit dilakukan. Imbasnya, pertumbuhan jumlah orang yang hidup dengan HIV di Indonesia tergolong cepat dibandingkan dengan negara lain. Stigma membuat orang mendiskriminasi mereka yang hidup dengan HIV-AIDS (ODHA) dan tak mau tahu tentang HIV, ungkap Prabowo (2011) dari Organisasi Kesehatan Dunia saat dihubungi di Jakarta. Latar belakang masyarkat Indonesia yang religious dan masih memegang teguh budaya ketimuran sehingga stigma dan diskriminasi terhadapa ODHA masih tinggi dan terjadi di semua lapisan masyarakat dan unit-unit pelayanan umum. Hukuman sosial atau stigma oleh masyarakat terhadap pengidap AIDS
5 dilakukan dalam berbagai cara, antara lain tindakan-tindakan pengasingan, penolakan, diskriminasi, dan penghindaran atas orang yang diduga terinfeksi HIV. Secara tidak langsung, masyarakat telah menghakimi pengidap HIV sehingga mereka terbuang dari komunitasnya. Sehingga, karena kekerasan atau ketakutan atas kekerasan, telah mencegah banyak orang untuk melakukan tes HIV dan berusaha untuk tidak memperoleh perawatan agar penyakitnya tidak diketahui orang lain. Akibatnya sudah dapat ditebak, ODHA akan semakin kronis hingga berujung kematian. Bahkan tidak terelakkan penyebaran HIV yang semakin meluas di berbagai belahan dunia. Hal tersebut menunjukan stigma negatif tentang ODHA di tengah masyarakat masih sangat kuat. Orang yang terkena HIV/AIDS dianggap pasti disebabkan oleh perilaku yang dekat dengan narkoba, seks bebas, amoral, dan sebagainya. Lalu ada pula di antara mereka yang takut tertular bila harus menangani pasien ODHA, kendati tahu bahwa HIV/AIDS itu hanya menular lewat hubungan seks, darah yang tercemar, dan sebagainyal. Perawat adalah tenaga profesional kesehatan yang memiliki peran dan fungsi tersendiri di dalam memberikan pelayanan kesehatan kepada masayarakat. Perawat memiliki tanggung jawab untuk memberikan pelayaanan profesional, pelayanan tersebut di area pekerjaan atau tanggung jawab profesi pekerjaan yang di jalaninya. Perawat sebagai bagian dari masyarkat memilik tanggung jawab moral dalam masalah-masalah kesehatan untuk selalu memberikan edukasi atau informasi yang akurat. Pada sebagian masyarkat menempatakan poisisi perawat sebagai nara sumber kesehatan atau tempat konfirmasi atas informasi-informasi kesehatan yang mereka terima melalui berbagai media. Salah satu kode etik keperawatan menurut ICN bahwa perawat dapat memprakarsi pembaruan, tanggap, mempunyai inisiatif dan dapat berperan serta aktif dalam menemukan masalah kesehatan yang terjadi di masyarkat (Asmadi, 2005). Perawat Indonesia yang bekerja dan berdomisili di Qatar ada sekitar 70 orang, sebagian mereka memiliki masa kerja sudah lebih dari 5 tahun. Hal ini bisa di
artikan bahwa para perawat di Qatar sudah lebih dari 5 tahun tidak secara langsung berperan aktif dalam masalah-masalah kesehatan di Indonesia. Walaupun populasi warga negara Indonesia yang bekerja di Qatar cukup banyak yaitu sekitar 5000 lebih bekerja sebagai tenaga profesional dan sekitar 20 ribu lebih tenaga kerja no skill (domestic worker). Pada kenyataanya dengan kondisi seperti itu, perawat masih di harapakan sebagai nara sumber dan tempat konfirmasi masalah-masalah kesehatan yang masyarkat temui atau di peroleh dari berbagai sumber. Menurut majalah Forbes 2011, bahwa Qatar adalah negara terkaya di dunia dengan GDP per kapita sekitar 88.000 US dollar. Hal ini menjadikan Qatar menjadi International Hub atau magnet bagai para pencari kerja, khususnya dari negara-negara South Asia dan Afrika yang memiliki angka pervalensi cukup tinggi dalam masalah HIV-AIDS. Sehingga menjadikan resiko timbulnya kasus AIDS tetap tinggi walaupun pemerintah Qatar memilki kebijaksanaankebijaksanaan yang sangat ketat bagi para pekerja yang akan bekerja di Qatar terutama dalam screening kesehatan ketika pada awal masuk ke Qatar. Qatar tidak akan mengijinkan pencari kerja/warga negara asing dengan status positiv HIV-AIDS bekerja di Qatar. Menurut Suprem Council of Health Qatar bahwa pervalensi HIV/AIDS di Qatar sebesar 0.02% dari total populasi dan 0.34% per 100.000 penduduk pada usia 15-24 tahun. Saat ini ada 84 orang poeple living with HIV/AIDS dan 260 orang terdiagnosa HIV/AIDS sejak pertama kali di temukan di Qatar tahun 1985. Dari 260 orang tersebut 105 sudah meninggal dunia dan sebanyak 65 meninggalkan Qatar / di pulangkan ke negara asal (GulfTimes, 4 December 2011). Di samping itu perawat Indonesia pada umumnya adalah bagian dari sistem kesehatan yang ada di Indonesia. Sistem kesehatan itu salah satunnya memiliki tanggung jawab untuk memberikan pelayanan maksimal terhadap ODHA dalam usaha untuk tetap dalam kondisi sehat tanpa komplikasi dan bebas dari stigma atau diskriminasi. Menurut Hartiah (2011), ODHA masih terlalu eksklusif hingga
7 mereka menutup diri. Makanya tugas perawat dan petugas kesehatan adalah mempersiapkan masyarakat dan mengedukasi ODHA. “Dampak dari mereka menyembunyikan statusnya, itu bahaya dan bisa seperti fenomena gunung es,” sebutnya. Lebih lanjut ia mengatakan, kalau banyak yang tidak terbuka dengan keluarganya atau bahkan pada petugas kesehatan, mereka jadi tidak mendapat akses pada fasilitas yang seharusnya bisa didapatkan. Hingga saat ini, stigma negatif tentang ODHA di tengah masyarakat masih sangat kuat. Bahkan menurut Hartiah (2011), ia masih juga suka melihat ada perawat dan petugas kesehatan yang masih termakan stigma tersebut hingga tidak peduli pada ODHA. Orang yang terkena HIV/AIDS dianggap pasti disebabkan oleh perilaku yang dekat dengan narkoba, seks bebas, amoral, dan sebagainya. Lalu ada pula di antara mereka yang takut tertular bila harus menangani pasien ODHA, kendati tahu bahwa HIV/AIDS itu hanya menular lewat hubungan seks, darah yang tercemar, dan sebagainya. Pada kenyataanya yang lainya masih banyak keluhan-keluhan bahwa masih tinggi angka stigma dan diskriminasi terhadap ODHA di lingkungan pelayanan kesehatan dan di lakukan oleh sebagian tenaga kesehatan. Seperti yang di sebutkan oleh Asisten Sekjen Komunitas ODHA Bali (KOBA) Ferdinandus (2011) mengungkapkan bahwa, diskriminasi dalam memperoleh akses kesehatan saat ini justru lebih sering dilakukan oleh para tenaga kesehatan. Bahkan beberapa tenaga kesehatan secara terang-terangan menolak memberikan pelayanan kesehatan ketika mengetahui pasien yang ditangani positif HIV/AIDS. Dari karakterisitiik kondisi masyarkat Indonesia seperti itu otomatis akan mempengarui persepsi dan sikap individu tenaga kesehatan terhadap pelayanan kesehatan yang di berikan. Akan tetapi, masih belum begitu banyak penelitianpenelitian menganai pengetahuan dan sikap dari tenaga kesehatan terutama perawat terhadap HIV-AIDS di Indonesia. Padahal perawat adalah tenaga kesehatan terbanyak di rumah sakit dan memiliki kontak yang paling lama dengan pasien.
B. Rumusan / Masalah Penelitian Berdasarkan uraian latar belakang diatas, maka dapat di rumuskan masalah ”Bagimana gambaran pengetahuan dan sikap perawat Indonesia di Qatar terhadap penyakit HIV-AIDS. C. Tujuan Penelitian 1. Tujuan Umum -
Tujuan umum dari penelitian ini adalah untuk mengetahuai gambaran tentang pengetahuan dan sikap perawat Indonesia yang bekerja dan berdomisili di Qatar.
2. Tujuan Khusus -
Mengidentifikasi karakterisitik perawat Indonesia yang bekerja di Qatar.
-
Mendeskritifkan pengetahuan perawat terhadap penyakit HIV/AIDS
-
Mendeskritifkan sikap perawat terhadap penyakit HIV/AIDS
D. Manfaat Penelitian 1. Bagi Peneliti Memberikan pengalaman pada peneliti untuk menerapkan ilmu pengetahuan dalam mengidentifikasi dan menganalisa karakterisitik, tingkat pengetahuan dan sikap perawat Indonesia yang bekerja di Qatar terhadap penyakit HIVAIDS 2. Bagi Responden Perawat Hasil
penelitian
ini dapat
memberikan
gambaran
tentang
tingkat
pengetahuan dan sikap perawat terhadap HIV-AIDS. Hal ini di harapkan akan menjadi langkah awal untuk menindentifikasi pengetahuan dan sikap yang mereka miliki terhadap HIV-AIDS. Yang selanjutnya akan bisa di jadikan sebuah refleksi atau intropeksi diri dan akan mmebrikan motivasi untuk meningkatkan pengetahuan tentang HIV-AIDS yang nantinya akan
9 mempengaruhi sikap mereka terhadapa HIV-AIDS. 3. Bagi Peneliti berikutnya Semoga penilitian ini bisa di ambil manfaatnya sebagai referensi atau sebagai langkah awal untuk melakukan penelitian lebih detil lagi pada para perawat atau tenaga kesehatan dalam hal tingkat pengetahuan dan sikap perawat terhadap HIV-AIDS. Peniliti-peneliti seaanjutnay di harapkan bias mengembangkan dan menganalisa lebih jauh hal hal yang berhubungan dengan fenomena pengetahuan dan sikap perawat, dalam hal ini terhadap HIV-AIDS 4. Bagi Institusi pendidikan kesehatan Semoga hasil ini bisa di jadikan rujukan atau sebagai salah satu pertimbangan untuk melakukan perbaikan-perbaikan dalam membekali calon tenaga profesional kesehatan dengan pengetahuan yang komprehensip dalam hal HIV-AIDS. Yang pada akhirnya di harapakan setelah mereka bekerja akan selalu menunjukan pengetahuan dan sikap perawat yang positif terhadap penyakit HIV-AIDS E. Bidang Keilmuan Penelitian ini berkaitan dengan ilmu keperawatan khususnya keperawatan komunitas