BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Jumlah penderita penyakit diabetes mellitus di seluruh dunia meningkat dengan cepat. International Diabetes Federation (2012) menyatakan lebih dari 371 juta jiwa di seluruh dunia mengidap diabetes mellitus dan 7,6 juta jiwa diantaranya adalah penduduk Indonesia. Indonesia menduduki urutan ke tujuh dalam daftar sepuluh besar negara dengan jumlah penduduk terbanyak mengidap diabetes mellitus. Data dari International Diabetes Federation ini sejalan dengan hasil Riset Kesehatan Dasar Dinkes RI (2007) yang menyatakan prevalensi nasional diabetes mellitus (berdasarkan hasil pengukuran gula darah pada penduduk umur > 15 tahun bertempat tinggal di perkotaan) adalah 5,7% dan prevalensi nasional toleransi glukosa terganggu (berdasarkan hasil pengukuran gula darah pada penduduk umur > 15 tahun, bertempat tinggal di perkotaan) adalah 10,2%. Meningkatnya penderita diabetes mellitus akan meningkatkan angka kejadian hipertensi. Data dari berbagai penelitian menunjukkan 80 - 90% pasien dengan diabetes mellitus tipe 2 berkembang menjadi hipertensi dan kurang lebih 20% pasien hipertensi berkembang menjadi diabetes mellitus (Savoia dkk., 2006) Kombinasi diabetes mellitus tipe 2 dengan hipertensi akan meningkatkan risiko terjadinya komplikasi makrovaskuler dan mikrovaskuler. Komplikasi makrovaskuler mencakup coronary artery disease, stroke, dan peripheral arterial desease, sedangkan penyakit yang masuk dalam komplikasi mikrovaskuler adalah 1
retinopati, nefropati dan neuropati (Hsueh dan Wyne, 2011). Hasil penelitian yang dilakukan Yulianti (2009) pada penyandang diabetes mellitus tipe 2 di RSUD Margono Soekarjo Purwokerto didapatkan bahwa pasien diabetes mellitus tipe 2 dengan hipertensi lebih rentan terkena penyakit ginjal diabetes, hal ini disimpulkan karena hasil pemeriksaan mikroalbumin positif pada penyandang diabetes mellitus tipe 2 dengan hipertensi jumlahnya dua kali lipat dibanding hasil uji pada penyandang diabetes mellitus tipe 2 saja. Mikroalbuminuria merupakan tanda awal yang dapat berlanjut menjadi penyakit ginjal diabetes (Simposia, 2006) Target tekanan darah untuk pasien berusia ≥ 18 tahun dengan diabetes mellitus adalah < 140/90 mmHg (JNC 8, 2014) sedangkan menurut ADA (2013) secara umum tekanan darah sistolik harus < 140 mmHg dan diastolik < 80 mmHg. Tekanan darah terkontrol sesuai target terapi dapat menurunkan risiko penyakit kardiovaskuler (penyakit jantung dan stroke) diantara penyandang diabetes sebesar 33-50% dan risiko komplikasi mikrovaskuler sebesar 33%. Secara umum setiap penurunan rata-rata 10 mmHg tekanan darah sistolik dapat menurunkan berbagai komplikasi diabetes sebesar 12%, sedangkan penurunan tekanan darah diastolik dari 90 mmHg ke 80 mmHg pada penyandang diabetes dapat menurunkan risiko penyakit jantung hingga 50% (ADA, 2012). Kajian epidemiologi yang dilakukan oleh U.K. Prospective Diabetes Study (UKPDS) menyatakan bahwa setiap penurunan 10 mmHg tekanan darah sistolik dapat menurunkan 12% risiko komplikasi diabetes, 15% kematian akibat diabetes, 11% kejadian infark myocard, dan 13% komplikasi mikrovaskuler (JNC 7, 2004).
2
Obat antihipertensi yang ideal untuk penyandang diabetes mellitus tipe 2 dengan hipertensi adalah obat yang dapat mengontrol tekanan darah, tidak mengganggu metabolisme glukosa maupun lipid, bahkan diharapkan dapat berperan sebagai renoprotektif dan menurunkan angka kematian akibat kardiovaskuler (Haffner, 1998). Obat antihipertensi yang cocok dengan kriteria di atas dan direkomendasikan oleh American Association Diabetes (ADA) adalah antihipertensi penghambat renin angiotensin yaitu golongan angiotensin converting enzyme inhibitor (ACE Inhibitor) dan golongan angiotensin II receptor blocker (ARB). “Semua penyandang diabetes dengan hipertensi diobati dengan ACE Inhibitor atau angiotensin II receptor blocker, jika dalam penggunaan salah satu golongan obat tidak dapat ditoleransi maka disubstitusi dengan golongan yang lainnya” (ADA, 2006). Antihipertensi angiotensin converting enzyme inhibitor (ACE Inhibitor) dan angiotensin II receptor blocker (ARB) bekerja memodifikasi sistem renin angiotensin. Sistem renin angiotensin merupakan suatu mediator penting pada pengaturan volume darah, tekanan arteri, fungsi pembuluh darah dan jantung (AHRQ, 2010). Hasil dari banyak penelitian seperti pada Murdiana (2007), Mutmainah dkk (2008) dan Ansa (2012), menunjukkan bahwa saat ini golongan ACE Inhibitor terutama captopril merupakan obat yang paling banyak digunakan pasien diabetes mellitus dengan hipertensi di Indonesia. Namun data beberapa tahun terakhir juga menunjukkan bahwa penggunaan obat golongan angiotensin II receptor blocker mengalami peningkatan baik pada pasien umum maupun pasien
3
peserta asuransi kesehatan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS). diperkirakan penggunaan obat golongan angiotensin II receptor blocker akan terus meningkat seiring masuknya irbesartan, candesartan dan telmisartan (obat antihipertensi golongan angiotensin II receptor blocker) dalam Formularium Nasional 2013 dan dalam Daftar dan Plafon Harga Obat (DPHO) 2013. WHO dalam situsnya menjelaskan untuk mencapai pengobatan yang efektif, pemilihan obat harus memenuhi syarat Penggunaan Obat Rasional (POR) yaitu pasien menerima pengobatan sesuai dengan kebutuhan klinisnya, dalam dosis yang sesuai dengan kebutuhan, dalam periode waktu yang sesuai serta dengan biaya yang terjangkau oleh dirinya dan kebanyakan masyarakat (Swandari, 2012). Dari segi biaya, monoterapi menggunakan golongan ACE Inhibitor lebih memenuhi syarat Penggunaan Obat Rasional dibanding monoterapi menggunakan angiotensin II receptor blocker, hal ini disebabkan harga rata-rata obat antihipertensi golongan ACE Inhibitor jauh lebih rendah dibanding harga obat golongan angiotensin II receptor blocker. Biaya obat yang terjangkau akan menambah kepatuhan pasien dalam menjalani terapi dan pada akhirnya akan memudahkan tercapainya target terapi. Namun hal ini belum cukup menjadikan ACE inhibitor menjadi obat pilihan untuk pasien diabetes mellitus tipe 2 dengan hipertensi, masih perlu didukung oleh data hasil kajian tentang efektivitas terapi dan kejadian efek samping. Selama ini kajian efektivitas obat antihipertensi penghambat sistem renin angiotensin
lebih banyak dilakukan pada pasien
hipertensi essensial, pasien diabetes yang sudah mengalami nefropati atau telah mengalami komplikasi lainnya. Kenyataan ini menjadi alasan yang kuat bahwa
4
penelitian mengenai kajian efektivitas monoterapi obat antihipertensi penghambat renin angiotensin pada pasien diabetes mellitus tipe 2 dengan hipertensi tanpa komplikasi masih sangat relevan untuk dilakukan. JNC 8 (2014) merekomendasikan antihipertensi untuk ras kulit hitam termasuk penyandang diabetes mellitus adalah diuretika tiazid dan penghambat kanal kalsium sedangkan rekomendasi untuk populasi yang bukan kulit hitam termasuk juga penyandang diabetes mellitus adalah diuretik tiazid, penyekat kanal kalsium, ACE inhibitor dan angiotensin II receptor blocker. Etnis Tionghoa sensitif terhadap golongan β blocker dan memerlukan dosis terapi lebih kecil dibanding dosis yang lazim digunakan (Benowitz, 2007) Semua ini menunjukkan ras mempengaruhi pemilihan obat antihipertensi. Selama ini penelitian mengenai kajian efektivitas antihipertensi pada orang indonesia masih sangat sedikit dilakukan sehingga diharapkan nantinya hasil penelitian yang akan dilakukan ini dapat menambah informasi efektivitas antihipertensi pada orang Indonesia.
B. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang yang telah dikemukakan dirasa perlu dilakukan sebuah penelitian untuk menjawab permasalahan : 1. Apakah menggunakan monoterapi antihipertensi penghambat sistem renin angiotensin golongan ACE inhibitor dan golongan angiotensin II receptor blocker dapat
mencapai target terapi tekanan darah < 140/90 mmHg
sesuai Joint National Committe 8 (2014) ?
5
2. Apakah obat antihipertensi penghambat sistem renin angiotensin golongan angiotensin II receptor blocker sama efektifnya dengan golongan ACE Inhibitor dalam menurunkan tekanan darah bila keduanya digunakan secara monoterapi?
C. Manfaat Penelitian Secara umum diharapkan penelitian ini akan memberikan gambaran tentang efektivitas terapi obat antihipertensi penghambat sistem renin angiotensin yang digunakan secara monoterapi sehingga dapat membantu pencapaian Penggunaan Obat Rasional (POR) di Indonesia. Bagi para farmasis khususnya para praktisi farmasi klinis diharapkan penelitian ini dapat membantu dalam pemantauan penggunaan obat antihipertensi penghambat sistem renin angiotensin golongan obat ACE Inhibitor dan golongan angiotensin II receptor blocker pada penyandang diabetes mellitus tipe 2 dengan hipertensi.
D. Tujuan Penelitian 1.
Untuk
mengetahui persentase pencapaian target terapi tekanan darah
< 140/90 mmHg sesuai Joint National Committee 8 penggunaan
monoterapi
(2014)
pada
antihipertensi penghambat renin angiotensin
golongan ACE Inhibitor dan monoterapi golongan angiotensin II receptor blocker. 2.
Untuk mengetahui perbandingan efektivitas monoterapi menggunakan obat golongan ACE Inhibitor dengan monoterapi menggunakan golongan
6
angiotensin II receptor blocker dalam menurunkan tekanan darah pada pasien diabetes mellitus tipe 2 dengan hipertensi.
E. Keaslian Penelitian Penelitian mengenai efektivitas obat antihipertensi penghambat sistem renin angiotensin lebih banyak
dilakukan di luar negeri dan masih terbatas yang
melakukan penelitian tentang hal ini di Indonesia, selain itu penelitian yang dilakukan di Indonesia umumnya hanya bersifat deskriptif. Bavanandan dkk. (2005) melakukan penelitian dengan judul A comparison of valsartan and peridopril in the treatment of essensial hypertension in the malaysian population. Sampel penelitian adalah 250 orang pasien dewasa dengan tekanan darah diastolik > 95 mmHg dan≤
115 mmHg secara acak terkontrol.
Hasil penelitian didapatkan bahwa valsartan aman digunakan untuk populasi orang Malaysia, memiliki efektivitas yang sama dengan perindopril dan lebih dapat ditoleransi (kejadian batuk kering lebih kecil yaitu 24:2). Krairittichai dan Causuvannarat (2009) melakukan suatu penelitian dengan judul effects of dual blockade of renin-angiotensin system in tipe 2 diabetes mellitus patients with diabetic nephropathy. Penelitian ini melibatkan 80 pasien diabetes mellitus tipe 2 di Rajavithi Hospital Thailand dimana mereka dibagi menjadi 2 kelompok, kelompok kontrol dan kelompok uji. Kelompok kontrol mendapat enalapril 40 mg selama 36 minggu sedangkan kelompok uji mendapat enalapril 40 mg perhari selama 12 minggu dilanjutkan dengan penggunaan kombinasi enalapril 40 mg dan telmisartan 80 mg perhari selama 24 minggu.
7