1
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Merokok merupakan masalah kesehatan masyarakat utama, baik di negaranegara di dunia maupun di Indonesia. Prevalensi perokok semakin meningkat dari tahun ke tahun, terutama di negara-negara berkembang. Jumlah perokok di dunia hampir mencapai angka 1,2 miliar orang dan 800 juta dari angka tersebut berada di negara berkembang (WHO, 2008). Indonesia merupakan salah satu negara berkembang yang mempunyai jumlah perokok terbesar. Indonesia merupakan negara ke-3 dengan jumlah perokok terbesar di dunia setelah Cina dan India, sedangkan di Asia Tenggara merupakan negara dengan jumlah konsumsi rokok paling tinggi. Indonesia juga termasuk dalam 20 negara terbesar penghasil tembakau, selain merupakan 10 negara dengan konsumsi tembakau terbesar di dunia (WHO, 2011a). Pada tahun 2011 Global Adults Tobacco Survey (GATS) Indonesia melaporkan data peningkatan jumlah perokok umur >15 tahun di Indonesia antara tahun 1995-2010 sebagai berikut : Tabel 1. Jumlah perokok umur >15 tahun di Indonesia berdasarkan jenis kelamin pada tahun 1995-2010 Tahun 1995 2001 2004 2007 2010
Laki-laki (%) 53.9 62.9 63.0 65.3 65.9
Wanita (%) 1.7 1.4 5.0 5.6 4.2
Total (%) 27.2 31.8 35.0 35.4 34.7
Sumber :WHO, 2011b Berdasarkan tabel di atas, dapat diketahui bahwa di Indonesia terjadi peningkatan jumlah perokok laki-laki umur >15 tahun sebesar 12% antara tahun
2
1995 sampai tahun 2010 dan pada penduduk wanita meningkat sebesar 2,5%, sedangkan secara keseluruhan terjadi peningkatan jumlah perokok sebesar 17,5%. Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta merupakan provinsi dengan prevalensi perokok sebesar 31,6% dan sebesar 66,1% masih merokok di dalam rumah, sehingga selain tingginya jumlah perokok aktif, tinggi pula jumlah perokok pasif di Yogyakarta. Prevalensi rumah yang bebas asap rokok di DIY baru mencapai 44,6% (Dinkes Provinsi DIY., 2011). Peningkatan jumlah perokok juga berdampak pada meningkatnya beban penyakit akibat rokok dan bertambahnya kematian akibat rokok.
Perilaku
merokok dilihat dari berbagai sudut pandang sangat merugikan, baik untuk diri sendiri ataupun orang-orang yang berada di sekitar perokok atau disebut juga sebagai perokok pasif. Rokok membunuh hampir 6 juta orang setiap tahunnya, lebih dari 5 juta dari angka tersebut adalah perokok aktif dan lebih dari 600 ribu adalah perokok pasif. Rokok menyebabkan 1 di antara 10 kematian di dunia. Berdasarkan perkiraan, pada tahun 2030 kematian akibat rokok jumlahnya akan lebih besar dibandingkan dengan jumlah kematian akibat malaria, kondisi maternal maupun kecelakaan secara bersama-sama, dan diperkirakan jumlah kematian tersebut 80% terjadi pada orang-orang yang hidup di negara berkembang (WHO, 2011a). Bahan-bahan kimia yang terdapat dalam tembakau mengakibatkan berbagai dampak buruk bagi kesehatan. Hampir 3.000 bahan kimia berbahaya terdapat dalam tembakau dan hampir 7.000 bahan kimia berbahaya terdapat dalam asap yang dihasilkan dari tembakau. Sekitar 60 bahan kimia tersebut merupakan zat karsinogenik yang dapat memicu terjadinya berbagai macam penyakit kanker (CDC, 2009). Tiga zat utama yang terkandung dalam rokok adalah: tar adalah kumpulan dari beribu-ribu bahan kimia dalam komponen padat asap rokok dan bersifat karsinogenik. Pada saat rokok dihisap, tar masuk ke rongga mulut sebagai uap padat yang setelah dingin akan menjadi padat dan membentuk endapan berwarna coklat pada permukaan gigi, saluran napas, dan paru-paru. Nikotin merupakan bahan yang bersifat toksik dan dapat menimbulkan ketergantungan
3
psikis. Gas karbonmonoksida dalam rokok dapat meningkatkan tekanan darah yang akan berpengaruh pada sistem pertukaran haemoglobin (Aditama, 1997). Merokok menyebabkan penyakit-penyakit di hampir semua organ manusia, sehingga meningkatnya jumlah perokok juga meningkatkan beban penyakit yang sebenarnya bisa dicegah dengan hidup sehat, salah satunya adalah dengan tidak merokok.
Perilaku merokok disebut sebagai faktor risiko meningkatnya 4
penyakit tidak menular utama, yaitu CVD (cardiovascular disease), diabetes tipe 2, kanker dan penyakit pernafasan kronis. Rokok meningkatkan risiko kanker paru-paru sebesar 23 kali lebih besar pada laki-laki yang merokok dan 13 kali lebih besar pada wanita yang merokok dibandingkan dengan yang tidak merokok. Rokok meningkatkan 2-4 kali lebih besar terjadinya penyakit CHD (coronary heart disease) (CDC, 2009). Penyakit-penyakit tidak menular juga meningkat di Indonesia. Menurut data Depkes RI (2011), terjadi peningkatan kematian akibat penyakit tidak menular tersebut, yaitu 41,7% pada tahun 1995 menjadi 49,9% pada tahun 2001 dan 59,5% pada tahun 2007. Penyebab kematian tertinggi dari seluruh penyebab kematian adalah stroke, hipertensi, diabetes, kanker, dan penyakit paru obstruktif kronis. Menurut penelitian yang dilakukan oleh Sajinadiyasa et al. (2010), penyebab utama kematian dari penyakit tidak menular yang berhubungan dengan rokok adalah kanker, penyakit kardiovaskuler dan penyakit paru seperti bronkitis, empisema/PPOK dan pneumonia. Analisis yang dilakukan dari data di semua rumah sakit di DIY juga menunjukkan
bahwa
penyakit-penyakit
tidak
menular
seperti
penyakit
kardiovaskuler jantung, stroke, hipertensi atau dikenal sebagai penyakit CVD (cardiovascular disease) menempati urutan paling tinggi penyebab kematian di Yogyakarta. Data sampai dengan tahun 2010 menunjukkan bahwa dominasi kematian akibat penyakit tidak menular sudah mencapai lebih dari 80% kematian yang ada di DIY. Cardiovascular disease tidak hanya menempati urutan tertinggi penyebab kematian, tetapi jumlah kematiannya dari tahun ke tahun juga semakin meningkat seiring dengan semakin meningkatnya jumlah penderita penyakitpenyakit CVD (Dinkes Provinsi DIY, 2011).
4
Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Kota Yogyakarta dan selanjutnya disebut RS Jogja merupakan salah satu rumah sakit pemerintah yang berada di wilayah Yogyakarta. Laporan bagian Rekam Medis RS Jogja selama tahun 2011 menunjukkan sebesar 80% dari total kunjungan pasien di Poliklinik Penyakit Dalam merupakan penyakit tidak menular yang juga berhubungan dengan perilaku merokok. Penyakit-penyakit tersebut adalah diabetes tipe 2, hipertensi, penyakit kardiovaskuler jantung seperti : congestive heart failure, chronic ischaemic heart disease, athrosis dan decompensatio cordis. Penelitian yang dilakukan oleh Padmawati et al. (2009) di 10 rumah sakit di Yogyakarta pada tahun 2006-2007 menemukan bahwa masih banyak pasien diabetes yang merokok, yaitu 65% pasien laki-laki telah merokok sebelum didiagnosis menderita diabetes, dan 32% di antaranya masih merokok pada 30 hari terakhir. Sebagian besar responden juga mengungkapkan bahwa tidak ada hubungan antara perilaku merokok dengan penyakit diabetes yang diderita ataupun komplikasinya. Konsekuensi penyakit yang didapatkan oleh para perokok menuntut para perokok untuk berusaha berhenti merokok. Berbagai manfaat didapatkan ketika seseorang berhasil berhenti merokok.
Manfaat tersebut antara lain dapat
menurunkan risiko berbagai penyakit yang berhubungan dengan perilaku merokok. Perokok pasif juga akan berkurang risikonya terhadap penyakitpenyakit yang berhubungan dengan perilaku merokok, terutama kelompokkelompok yang rentan, yaitu anak-anak dan kaum wanita. Selain itu, perokok yang berhenti sebelum usia 35 tahun mempunyai usia harapan hidup yang hampir sama dengan orang yang tidak merokok dan berhenti merokok setelah umur 35 tahun akan menurunkan risiko penyakit yang berhubungan dengan rokok dibandingkan dengan orang-orang yang masih tetap merokok (Tobacco Free Union, 2009). Manfaat yang begitu besar apabila seseorang berhenti merokok harus dihadapkan dengan tantangan atau kesulitan yang dihadapi seseorang untuk berhenti merokok.
Merokok merupakan kebiasaan yang sulit dihentikan.
Sebagian besar perokok mengetahui kerugian yang dia dapatkan apabila merokok dan sebagian besar menyatakan ingin berhenti merokok, tetapi hanya sedikit yang
5
berhasil. Berbagai survei menunjukkan hasil bahwa sebagian besar perokok ingin berhenti merokok, tetapi hanya sedikit yang berhasil berhenti merokok tanpa bantuan orang lain. Berdasarkan data medis, ada sekitar 70% perokok ingin berhenti merokok sendiri tanpa bantuan lebih lanjut, tetapi hanya 5% perokok yang berhasil melakukannya (Fiore, 2000). Hasil serupa ditemukan pada tahun 2004 oleh CDC, yaitu bahwa sepertiga perokok telah mencoba berhenti merokok setiap tahunnya tanpa bantuan orang lain, tetapi lebih dari 95% dari mereka gagal (CDC, 2009). Salah satu kesulitan yang dihadapi para perokok adalah karena sifat adiktif rokok, terutama oleh adanya nikotin yang secara cepat mencapai otak pada saat seseorang merokok. Setelah menghirup asap dari sebatang rokok, kadar nikotin dalam arteri meningkat tajam dalam waktu 15 detik. Nikotin mengaktifkan sistem umpan balik otak untuk meningkatkan pengeluaran dopamin. Dopamin adalah zat dalam sistem saraf yang dapat membuat seseorang menjadi merasa bahagia. Nikotin menstimulasi produksi dopamin secara berlebihan dan membuat tubuh menjadi lebih relaks. Nikotin menyebabkan toleransi dan ketergantungan fisik, ketika penggunaan tembakau dihentikan, ada sindrom withdrawal yang ditandai dengan kemarahan, ketidaksabaran, kegelisahan, kesulitan berkonsentrasi, insomnia, peningkatan
nafsu
makan, kecemasan dan perasaan depresi
(Bhattacharyya et al., 2008). Hal ini menyebabkan seseorang terdorong untuk terus merokok. Perubahan suasana hati dan juga gejala-gejala fisik yang dialami ketika berhenti merokok ini merupakan alasan seseorang sulit untuk berhenti merokok (Tobacco Free Union, 2009). Gejala ini bisa muncul bervariasi, bisa beberapa jam setelah tidak merokok, 3-4 hari, atau bisa juga sampai kurang dari 3 bulan setelah tidak merokok. Lebih dari 80% perokok akan mengalami sindrom withdrawal ketika menghentikan kebiasaannya (Sadikin & Louisa, 2008). Upayaupaya berhenti merokok juga akan lebih sulit dilakukan pada perokok yang mempunyai karakteristik : merokok lebih dari 20 batang per hari, merokok sebelum 30 menit setelah bangun tidur, mempunyai riwayat kambuh dari upaya berhenti merokok sebelumnya, mempunyai masalah psikososial, baik sekarang
6
ataupun dahulu, dan mempunyai riwayat ketergantungan terhadap alkohol maupun obat-obatan terlarang (Bhattacharyya et al., 2008). Green & Kreuter (1991) mengidentifikan bahwa perubahan perilaku seseorang dipengaruhi oleh 3 faktor, yaitu faktor predisposisi atau predisposing factors adalah faktor yang mendahului perilaku, misalnya pengetahuan, sikap; faktor pemungkin atau enabling factors
adalah faktor yang memungkinkan
perilaku dapat terwujud misalnya ketersediaan sumber daya dan faktor penguat atau reinforcing factors adalah faktor yang mengikuti sebuah perilaku dan memberikan pengaruh keberlanjutan perilaku tersebut, misalnya sikap tenaga kesehatan, dukungan orang terdekat. Menurut planned behavior theory yang merupakan mengembangan dari reasoned action theory, seseorang yang melakukan perubahan perilaku sangat dipengaruhi oleh niat. Faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku, baik dari dalam maupun dari luar, tidak akan membentuk perilaku tertentu apabila individu tersebut tidak mempunyai niat atau minat untuk melakukan perilaku tersebut. Niat merupakan prediktor terbaik dari perilaku. Apabila ingin mengetahui yang akan dilakukan seseorang pada masa yang akan datang, bisa dilihat dari niat. Selanjutnya, kekuatan niat ini yang akan menentukan terwujudnya perilaku. Niat itu sendiri dipengaruhi oleh 3 hal utama, yaitu : sikap terhadap perilaku tertentu, norma-norma subjektif dan kontrol perilaku. 1) Sikap terhadap perilaku dipengaruhi oleh keyakinan (belief) akan akibat dari perilaku yang dilakukan, yang meliputi keuntungan dan kerugian apabila seseorang melakukan perilaku; 2) Norma subjektif terbentuk dari tekanan sosial dan motivasi untuk berperilaku sesuai dengan tekanan sosial. Tekanan sosial ini biasanya berasal dari orangorang terdekat seperti orangtua, suami/istri, pacar, anak, teman kerja, tenaga kesehatan, dll.; 3) Persepsi terhadap kontrol perilaku berisikan persepsi yang dimiliki oleh individu atas kemampuannya untuk melakukan suatu perilaku, meliputi persepsi tentang kemudahan dan kesulitan melakukan perilaku (Azjen, 2005). Selain variabel tersebut, juga terdapat latar belakang (background factors), seperti umur, jenis kelamin, suku, status sosial ekonomi, suasana hati, sifat
7
kepribadian, dan pengetahuan yang mempengaruhi sikap dan perilaku individu terhadap sesuatu hal (Glanz et al., 2008). Sikap terhadap perilaku dipengaruhi oleh keyakinan tentang keuntungan dan kerugian yang didapat apabila seseorang melakukan sesuatu. Hasil penelitian yang dilakukan oleh McKee et al. (2005) menunjukkan bahwa sikap terhadap keuntungan dan kerugian yang didapat ketika seseorang berhenti merokok berhubungan dengan niat seseorang berhenti merokok.
Sikap terhadap
keuntungan berhenti merokok berhubungan positif dengan motivasi untuk mendapatkan bantuan berhenti merokok dan sebaliknya sikap terhadap kerugian berhenti merokok berhubungan negatif dengan motivasi
untuk mendapatkan
bantuan berhenti merokok. Hal lain yang dapat digunakan untuk memprediksi niat seseorang berhenti merokok adalah motivasi. Motivasi bisa berasal dalam diri seseorang itu sendiri, yaitu didorong oleh penghargaan yang bersifat internal, misalnya peningkatan kesehatan dan kepercayaan diri. Motivasi juga bisa berupa dorongan dari luar, yaitu penghargaan eksternal, misalnya keuntungan ekonomi dan juga penerimaan sosial (Caponnetto & Polosa, 2008). Salah satu motivasi yang kuat dalam upaya berhenti merokok ini adalah motivasi berhenti merokok karena adanya tekanan sosial dari orang-orang sekitar. Penelitian yang dilakukan oleh Baha & Le Faou, (2010) menyatakan bahwa hampir 21% perokok termotivasi berhenti merokok karena tekanan dari orang lain. Tekanan-tekanan sosial ini didapat dari orang terdekat. Penelitian yang dilakukan oleh Willemsen et al. (1996) yang meneliti determinan niat berhenti merokok di antara para pekerja di Belanda, mendapatkan hasil bahwa tekanan sosial yang didapat dari orang-orang terdekat di luar lingkungan pekerjaan seperti pasangan hidup dan anak lebih besar pengaruhnya dibandingkan dengan tekanan yang didapat dari orang-orang di lingkungan pekerjaan. Berbeda pula hasil yang didapat pada penelitian yang dilakukan oleh Ockene et al. (1997) yang menyebutkan bahwa tekanan sosial untuk berhenti merokok pada perokok wanita paling besar berasal dari anak-anaknya, sedangkan pada pria tekanan sosial paling besar berasal dari teman dan rekan kerja.
8
Motivasi yang rendah untuk berhenti merokok akan mempengaruhi pemanfaatan pelayanan kesehatan. Menurut Adab et al. (2005), jika perokok tidak termotivasi untuk berhenti merokok, maka akan memiliki lebih sedikit kontak dengan pelayan kesehatan dan cenderung tidak menerima saran untuk berhenti merokok.
Sesuai dengan teori planned behavior, salah satu yang
mempengaruhi niat adalah norma subjektif. Dalam norma subjektif ini, selain adanya tekanan sosial dari orang-orang terdekat, seorang perokok juga akan termotivasi untuk melakukan perilaku sesuai dengan harapan dari tekanan sosial tersebut. Persepsi terhadap kontrol perilaku berisi persepsi seseorang tentang kemampuan untuk melakukan suatu perilaku juga akan mempengaruhi niat seseorang melakukan perilaku. Persepsi ini mencakup kesulitan dan kemudahan yang dihadapi ketika seseorang melakukan suatu perilaku.
Penelitian yang
dilakukan oleh Martinez et al. (2010) membuktikan bahwa persepsi tentang kesulitan berhenti merokok akan mempengaruhi keberhasilan seseorang berhenti merokok. Beberapa kesulitan yang dihadapi seseorang ketika berhenti merokok antara lain adalah adanya sindrom withdrawal dan juga ketika seseorang berada pada situasi yang mendorong untuk kembali merokok seperti ketika minum kopi dan berada pada acara pesta.
Adab et al. (2005) juga menyebutkan bahwa
ketergantungan nikotin yang menyebabkan sindrom withdrawal ketika seseorang berhenti merokok akan menurunkan pemanfaatan pelayanan kesehatan. Beberapa penelitian juga menunjukkan bahwa faktor individu seperti umur dan kondisi penyakit saat ini berhubungan dengan perilaku berhenti merokok pada pasien-pasien yang menderita penyakit akibat rokok. Beberapa penelitian tersebut antara lain yang dilakukan oleh McKenna & Higgins (1997), yang hasilnya adalah umur muda dan semakin parah penyakit yang diderita pasien dengan arteri koroner merupakan penghambat untuk berhenti merokok. Penelitian lain yang dilakukan oleh Garcia et al. (2004) & Raherison et al. (2004) menghasilkan data bahwa prediktor keberhasilan seseorang berhenti merokok salah satunya adalah umur seseorang.
9
Berbagai upaya dilakukan untuk mengendalikan penggunaan tembakau. Pada tahun 2008 WHO Framework Convention on Tobacco Control (WHO FCTC) memperkenalkan strategi MPOWER, yaitu 6 strategi untuk pengendalian tembakau, yaitu : Monitor tobacco use and prevention policies; Protect people from tobacco smoke; Offer help to quit tobacco use; Warn about the dangers of tobacco; Enforce bans on tobacco advertising, promotion and sponsorship, and Raise taxes on tobacco. Strategi ini merupakan kerangka pengendalian tembakau, baik di tingkat global maupun nasional (WHO, 2011a). Berbagai upaya telah dilakukan di Provinsi DIY pada umumnya dan RS Jogja pada khususnya untuk menurunkan jumlah perokok di Yogyakarta. Salah satu upaya yang dilakukan adalah dengan mendirikan klinik berhenti merokok. Di Yogyakarta klinik ini didirikan sejak tahun 2009 dan telah ada lebih dari 18 yang tersebar di pelayanan kesehatan maupun instansi pemerintahan.
Klinik ini
berupaya membantu para perokok aktif untuk berhenti merokok berdasarkan tahap demi tahap serta konseling dari para ahli. Hal ini sesuai dengan salah satu strategi dalam MPOWER, yaitu mengoptimalkan dukungan untuk berhenti merokok dengan memberi kesempatan para perokok berkonsultasi dengan para konselor atau petugas yang telah dilatih membantu seseorang berhenti merokok. Perokok yang ingin berhenti merokok membutuhkan intervensi yang meliputi pemberian informasi, motivasi, dan dukungan berkelanjutan bagi para perokok untuk menghentikan kebiasaannya (WHO, 2010a). Hampir semua perokok mengetahui bahwa penggunaan tembakau berbahaya bagi kesehatan, tetapi meremehkan besarnya risiko yang mereka hadapi. Perokok memiliki tingkat keberhasilan berhenti merokok yang lebih tinggi ketika mereka mencari bantuan. Menurut penelitian yang dilakukan oleh Zhu et al. (2000), seseorang yang menggunakan bantuan berhenti merokok baik non-farmakoterapi, farmakoterapi maupun gabungan keduanya meningkatkan kesuksesan seseorang untuk berhenti merokok. Perokok juga akan berhenti merokok ketika seseorang sudah merasakan dampak atau penyakit yang berhubungan dengan perilaku merokok. Menurut penelitian Baha & Le Faou (2010), lebih dari 50% responden berhenti merokok karena alasan kesehatan yang sudah terjadi pada responden.
10
Rumah sakit sebagai salah satu pemberi pelayanan kesehatan primer pada masyarakat bertanggungjawab terhadap pengendalian penggunaan tembakau ini, salah satunya adalah memberi bantuan upaya berhenti merokok pada masyarakat yang memerlukan. Walaupun demikian, upaya tersebut belum optimal dimanfaatkan oleh masyarakat.
Klinik berhenti merokok di RS Jogja pada
kenyataannya tidak bertahan dan sekarang sudah tidak dibuka kembali. Salah satu penyebabnya adalah masih rendahnya pemanfaatan klinik tersebut oleh para pasien yang ingin berhenti merokok. Pada saat dibuka, selama 1 tahun hanya terdapat 45 pasien yang tercatat melakukan kunjungan ke klinik berhenti merokok, selain terdapat 48 pasien dengan penyakit diabetes yang merupakan subjek dalam penelitian yang terkait sebelumnya. Salah satu poliklinik yang paling banyak diunjungi oleh penyakit-penyakit yang berhubungan dengan perilaku merokok adalah Poliklinik Penyakit Dalam, dan penelitian sebelumnya mengungkapkan masih banyaknya pasien tersebut yang merokok baik sebelum didiagnosis suatu penyakit ataupun setelahnya, dan sebagian besar dari mereka ternyata tidak menghubungkan penyakit yang diderita dengan perilaku merokok. Oleh karena itu, diperlukan sebuah penelitian untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi niat seseorang untuk memanfaatkan klinik berhenti merokok. Berdasarkan permasalahan di atas, peneliti melakukan analisis untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi niat pasien Poliklinik Penyakit Dalam untuk memanfaatkan klinik berhenti merokok di RS Jogja. B. Rumusan Masalah Berdasarkan pada latar belakang di atas, dapat dirumuskan masalah penelitian sebagai berikut: “Apa sajakah faktor-faktor yang mempengaruhi niat pasien Poliklinik Penyakit Dalam untuk memanfaatkan klinik berhenti merokok di RS Jogja”.
11
C. Tujuan Penelitian 1. Tujuan umum penelitian Mengetahui hubungan antara faktor umur, riwayat penyakit sekarang, sikap, tekanan sosial, motivasi, persepsi dengan niat pasien Poliklinik Penyakit Dalam untuk memanfaatkan klinik berhenti merokok di RS Jogja. 2. Tujuan khusus penelitian a. Mengetahui gambaran tentang umur, riwayat penyakit sekarang, sikap, tekanan sosial, motivasi, persepsi dan niat pasien Poliklinik Penyakit Dalam untuk memanfaatkan klinik berhenti merokok di RS Jogja. b. Mengetahui hubungan antara umur, riwayat penyakit sekarang, sikap, tekanan sosial, motivasi, persepsi dengan niat pasien Poliklinik Penyakit Dalam untuk memanfaatkan klinik berhenti merokok di RS Jogja. c. Menganalisis faktor-faktor yang paling mempengaruhi niat pasien Poliklinik Penyakit Dalam untuk memanfaatkan klinik berhenti merokok di RS Jogja. d. Mengetahui enabling factor pelaksanaan klinik berhenti merokok di RS Jogja. D. Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat : 1. Bagi pengambil kebijakan di RS Jogja, sebagai masukan untuk mengambil kebijakan tentang keberlangsungan klinik berhenti merokok. 2. Bagi tenaga kesehatan, memberikan gambaran tentang niat memanfaatkan klinik berhenti merokok dan faktor yang mempengaruhinya, sehingga dapat digunakan untuk membuat perencanaan pendidikan kesehatan berhenti merokok.
12
3. Bagi pasien di RS Jogja dan masyarakat luas, sebagai masukan dalam rangka meningkatkan kesehatan terutama pencegahan penyakit yang berhubungan dengan perilaku merokok. 4. Bagi peneliti sendiri, dapat menambah pengetahuan dan pengalaman penelitian. 5. Bagi peneliti selanjutnya, dapat digunakan sebagai referensi untuk melakukan penelitian selanjutnya.
E. Keaslian Penelitian
Penelitian tentang rokok sudah banyak dilakukan oleh peneliti-peneliti sebelumnya, akan tetapi yang mirip dengan penelitian yang dilakukan antara lain adalah : 1. Hilberink et al. (2006) melakukan penelitian berjudul “Characteristics of patient with COPD in three motivational stages related to smoking cessation”. Penelitian tersebut merupakan penelitian dengan pendekatan cross sectional. Hasil dari penelitian tersebut adalah perokok pada tahap prekontemplasi untuk berhenti merokok berhubungan dengan persepsi yang lebih rendah terhadap keuntungan berhenti merokok dibandingkan dengan perokok yang berada pada tahap kontemplasi. Persamaan dengan penelitian yang dilakukan adalah pada tema yaitu berhenti merokok, jenis penelitian dengan pendekatan cross sectional, dan subjek pasien dengan penyakit berhubungan dengan rokok. Perbedaannya terletak pada kerangka teori pada penelitian ini menggunakan teori I change model sedangkan pada penelitian yang dilakukan menggunakan teori utama adalah teori planned behavior dan teori perubahan perilaku dari Green & Kreuter (1991), tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui karekteristik pasien dengan COPD pada berbagai tahapan motivasi berhenti merokok dihubungkan dengan perilaku berhenti merokok, sedangkan penelitian yang dilakukan bertujuan untuk mengetahui faktor-faktor yang
13
mempengaruhi niat untuk memanfaatkan klinik berhenti merokok dan lokasi penelitian ini adalah di Belanda, sedangkan penelitian ini dilakukan di RS Jogja. Kelebihan penelitian ini adalah bahwa penelitian ini selain melihat faktor-faktor yang mempengaruhi niat berhenti merokok, juga sekaligus niat untuk memanfaatkan klinik berhenti merokok sebagai upaya membantu berhenti merokok. Selain itu subjek penelitian tidak hanya pasien dengan COPD tetapi pasien-pasien dengan berbagai penyakit yang berhubungan dengan perilaku merokok 2. Ng et al. (2007) melakukan penelitian berjudul “Physician assessment of patient smoking in Indonesia : a public health priority”. Hasil yang didapatkan adalah 22% dokter laki-laki dan 1% dokter perempuan masih merokok dan mayoritas dokter menganggap bahwa merokok sampai 10 batang per hari masih tidak berbahaya terhadap kesehatan. Beberapa prediktor dokter yang menanyakan status merokok pasien mereka adalah dokter laki-laki, bukan perokok dan dokter residen. Persamaan dengan penelitian yang dilakukan adalah lokasi penelitian di RS di Yogyakarta, jenis penelitian dengan pendekatan cross sectional, dan juga persamaan pada sub tema penelitian tentang upaya berhenti merokok.
Perbedaann dengan penelitian yang
dilakukan adalah subjek penelitian, yaitu dokter yang bekerja di RS di Yogyakarta antara Oktober sampai Desember 2003, sedangkan penelitian yang dilakukan subjeknya adalah pasien poliklinik penyakit dalam. Kelebihan dari penelitian yang dilakukan adalah merupakan penelitian lanjutan yang berfokus pada faktor internal pasien yang merupakan faktor yang tidak kalah pentingnya dalam upaya menghentikan kebiasaan merokok. 3. Pawiono (2008) melakukan penelitian tentang determinan perilaku merokok pada pasien hipertensi di Poli Jantung Bapelkes Rumah Sakit Daerah Kabupaten Jombang Jawa Timur.
Hasil yang didapat adalah terdapat
hubungan antara kepercayaan/keyakinan dan pengetahuan dengan perilaku merokok pasien hipertensi di Poli Jantung Bapelkes RSD Jombang Jawa Timur. Tidak terdapat hubungan antara sikap dan nilai dengan perilaku merokok pasien hipertensi di Poli Jantung Bapelkes RSD Jombang Jawa
14
Timur.
Persamaan dengan penelitian yang dilakukan terletak pada jenis
penelitian dengan pendekatan cross sectional dan juga subjek penelitian, yaitu pasien yang berkunjung di poliklinik dengan penyakit yang berhubungan dengan rokok. Perbedaannya terletak pada sub-tema penelitian, yaitu tentang faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku merokok, sedangkan penelitian yang dilakukan mengenai faktor-faktor yang berhubungan dengan niat memanfaatkan klinik berhenti merokok, perbedaan lainnya pada kerangka teori pada penelitian ini hanya menggunakan teori perubahan perilaku yang dikemukakan oleh Green & Kreuter (1991), sedangkan penelitian yang dilakukan ini selain menggunakan teori tersebut juga menggunakan teori utama yaitu planned behavior theory dan lokasi penelitian pada penelitian tersebut di Poli Jantung Bapelkes RSD Jombang Jawa Timur, sedangkan pada penelitian yang dilakukan di RS Jogja.
Kelebihan penelitian yang dilakukan adalah
penelitian ini merupakan penelitian lanjutan dari penelitian sebelumnya yang berfokus pada faktor yang mempengaruhi seseorang merokok, tetapi belum meneliti faktor yang mempengaruhi seseorang berhenti merokok dan memanfaatkan klinik berhenti merokok. 4. Padmawati et al. (2009) melakukan penelitian yang berjudul “Smoking among diabetes patients in Yogyakarta, Indonesia: cessation efforts are urgently needed”. Hasil yang didapat adalah masih terdapat 65% pasien laki-laki dengan diabetes telah merokok sebelum didiagnosis menderita diabetes dan 32% merokok pada 30 hari terakhir setelah didiagnosis. Sebagian besar pasien menyakini bahwa merokok tingkat rendah masih aman bagi pasien diabetes (rata-rata
3,6
batang
rokok)
dan
sebagian
besar
responden
tidak
menghubungkan merokok dengan penyakit diabetes dan komplikasinya. Hanya 35% dari semua pasien mengingat bahwa mereka pernah ditanya tentang status merokok, dan pesan untuk berhenti merokok diterima sebagai pesan yang umum, tidak spesifik untuk penderita diabetes. Persamaan dengan penelitian yang dilakukan adalah lokasi penelitian, yaitu RS di Yogyakarta, jenis penelitian menggunakan wawancara juga kuesioner untuk survei cross sectional, sub tema penelitian mengenai upaya menghentikan kebiasaan
15
merokok pasien, dan juga persamaannya pada subjek penelitian yang melibatkan pasien di RS. Perbedaan dan juga kelebihan dari penelitian yang dilakukan adalah bahwa penelitian ini tidak hanya berfokus pada pasien diabetes saja, tetapi juga pasien lain dengan berbagai macam jenis penyakit. 5. Ng et al. (2010) melakukan penelitian yang berjudul “Bringing smoking cessation to diabetes clinics in Indonesia” .Hasil dari penelitian tersebut adalah bahwa 2 intervensi, yaitu: 1) saran dokter dengan penggambaran visual tentang efek rokok terhadap diabetes, dan 2) penggambaran visual tentang efek rokok terhadap diabetes dan rujukan langsung oleh dokter ke klinik berhenti merokok, keduanya sama-sama meningkatkan pemahaman pasien tentang dampak buruk dari rokok dan meningkatkan motivasi mereka untuk berhenti merokok, dan pada 6 bulan follow up pada intervensi 1 dan 2 masih terdapat 30% dan 37% responden yang terus merokok, tetapi sebagian besar responden melaporkan upaya berhenti merokok atau mengurangi merokok (70% pada intervensi 1 dan 88% pada intervensi 2). Persamaan dengan penelitian yang dilakukan adalah subjek penelitian yaitu pasien RS di Yogyakarta, jenis penelitian dengan pendekatan cross sectional. Perbedaannya adalah disain penelitiannya, yaitu clinical trial design. Kelebihan penelitian yang dilakukan adalah lebih berfokus pada faktor internal pasien dalam upaya berhenti merokok dan sudah lebih terfokus pada memanfaatan klinik berhenti merokok.