BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan dengan garis pantai lebih dari 8.100 km serta memiliki luas laut sekitar 5,8 juta km2 dan memiliki lebih dari 17.508 pulau, sehingga Indonesia dikenal sebagai negara dengan kekayaan dan keanekaragaman hayati laut dengan memiliki ekosistem pesisir. Ekosistem pesisir merupakan wilayah yang dinamis karena merupakan pertemuan antara daratan, lautan, dan udara. Ekosistem pesisisr terdiri dari berbagai ekosistem pendukung seperti terumbu karang, padang lamun dan mangrove yang didalamnya terdapat keanekaragaman hayati keragaman hasil perikanan seperti ikan, udang, kepiting, dan kerang (Muryani, 2012). Perubahan yang terjadi pada wilayah pesisir dan laut tidak hanya sekedar gejala alam saja,tetapi juga adanya aktivitas manusia yang ada di sekitarnya. Wilayah pesisir merupakan wilayah yang paling banyak mendapat tekanan dibandingkan dengan wilayah lainnya. Tekanan tersebut muncul dari adanya aktivitas gejala alam meliputi: abrasi, akresi, gelombang pasang, tsunami dan lain sebagainya, sedangkan aktivitas manusia misalnya: reklamasi, konversi, pencemaran dan lain sebagainya.Salah satu akibat dari perubahan wilayah pesisir dan laut ini adalah perubahan garis pantai. Garis pantai adalah garis pertemuan antara pantai (daratan) dan air (lautan) (Poerbandon, Eka Djunarssjah: 2005 dalam Muryani, 2012). Proses perubahan gatis pantai bisa terjadi dengan lambat maupun cepat tergantung pada laju yang mempengaruhi perubahan tersebut. Perubahan garis pantai juga terjadi akibat adanya gangguan dari ekosistem pantai seperti pembuatan tanggul pemecah gelombangdan kanal serta bangunan- bangunan yang ada di sekitar pantai. Perubahan garis pantai menurut jenisnnya dibedakanmenjadi dua, yaitu perubahan maju (akresi) dan perubahan mundur (abrasi). Perubahan garis pantai mempengaruhi keberadaan ekosistem pantai yang ada, misalnya ekosistem terumbu karang, padang lamun dan hutan mangrove.
1
2
Hutan mangrove merupakan suatu ekosistem yang berada pada daerah pasang surut air laut yang berfungsi sebangai pelindung pantai dari hempasan gelombang laut penyebab abrasi, menjaga stabilitas sedimentasi dan berperan sebagai pelindung garis pantai.Hutan mangrove adalah tipe hutan yang khas terdapat di sepanjang pantai atau muara sungai yang dipengaruhi oleh pasang surut air laut. Mangrove tumbuh pada pantai-pantai yang datar, biasanya di sepanjang sisi pulau yang terlindungi dari angin atau dibelakang terumbu karang di lepas pantai yang terlindung (Nontji, 1987; Nybakken, 1992, dalam Suryono 2013). Hutan mangrove memiliki manfaat yang sangat berlimpah. Fungsi utama hutan mangrove yaitu: 1) fungsi fisis, meliputi: pencegah abrasi, pelindung terhadap angin, pencegah intrusi garam dan sebagai penghasil energi serta hara; 2) fungsi biologis: meliputi sebagai tempat bertelurdan sebagai asuhan berbagai biota; 3 fungsi ekonomis meliputi: sebagai sumber bahan bakar(kayu bakar dan arang), bahan bangunan (balok, atap dan sebagainya), perikanan, pertanian, makanan, minuman dan bahan baku kertas, keperluan rumah tangga, tekstil, serat sintesis, penyamakan kulit, obat-obatan, dan lain-lain. (Nontji, 1992 dalam Ghufran et al 2012). Indonesiamerupakan negara tropis yang mempunyaiarea mangrove terluas di dunia, yaitu sekitar 19% total area mangrove dunia (FAO 2007, dalam Saputro et al., 2009).Luas ekosistem mangrove di Indonesia mencapai 75% dari total mangrove di Asia Tenggara, atau sekitar 27% dari luas mangrove di dunia (Dahuri,2003). Namun demikian, keberadaan ekosistem mangrove semakin berkurang dari tahun ke tahun. Disebutkan bahwa mangrove di Indonesia menurun sebesar 4,25 juta ha pada tahun 1982 menjadi 3,9 juta ha pada tahun 2003, kemudian berkurang lagi menjadi 3,3 juta ha pada tahun 2009 (Saputro et al., 2009). Diperkirakan laju kerusakan ekosistem mangrove di Indonesia mencapai 200.000 ha/ tahun (Ghufran, 2012) Hutan mangrove pada perkembangannya mengalami suatu proses perluasan dan degradasi. Proses ini sering diakibatkan baik oleh kondisi alam maupun akibat faktor manusia. Faktor kondisi alam umumnya karena adanya
3
proses sedimentasi, dan ataupun kenaikan permukaan air laut. Proses perluasan dan degradasi hutan mangrove juga dipengaruhi oleh faktor manusia yaitu aforestari, konversi dan eksploitasi hutan mangrove yang tidak terkendali dan polusi diperairan estuaria, pantai an lokasi tumbuhnya mangrove (Kusmana, 1997 dalam Kustanti 2011). Kerusakan yang terjadi pada hutan mangrove ini lebih banyak disebabkan oleh faktor manusia. Pertumbuhan penduduk yang semakin tahun semakin meningkat, maka semakin banyak masyarakat yang ikut campur tangan dalam pengelolaan dan pemanfaatan hutan mangrove. Akibatnya kerusakan hutan mangrove menjadi semakin luas. Penurunan luasan hutan mangrove di Indonesia terjadi karena adanya kegiatan pembangunan wilayah yang mengkonversikan lahan mangrove untuk berbagai tujuan, seperti perikanan, permukiman, pertambangan, pariwisata, dan lain sebagainya. Faktor utama penyebab kerusakan dibedakan menjadi dua, yaitu adanya aktivitas manusia dan gejala alam. Aktivitas manusia yang menyebabkan kerusakan mangrove meliputi: penebangan liar, konversi lahan, pembuangan sampah sembarangan, pemanfaatan secara berlebihan, dan lain sebagainya. Kerusakan mangrove akibat gejala alam adalah adanya erosi/abrasi, gelombang tinggi, tsunami, dan lain sebagainya. Ekosistem hutan mangrove yang sangat produktif tidak dapat tergantikan. Oleh karena itu perlu dilakukan pengelolaan ekosistem hutan mangrove dengan mempertimbangkan berbagai faktor, tidak hanya mencari keuntungan dalam jangka pendek, melainkan juga memikirkan keuntungan dalam jangka panjangnya. Berdasarkan kondisi kerusakan hutan mangrove tersebut, perlu dilakukansuatu upaya pengelolaan tertadu yang melibatkan banyak pihak, mulai dari masyarakat, stakeholder, LSM, dan Pemerintah. Pengelolaan hutan Mangrove di atur dalam UU No.45 tahun 1999 tentang Kehutanan. Dalam pasal 2 disebutkan bahwa mangrove merupakan ekosistem hutan sehingga pemerintah bertanggung jawab dalam pengelolaan yang berdasarkan manfaat dan lestari, kerakyatan, keadilan, kebersamaan, keterpaduan dan keterbukaan.
4
Kecamatan Sayung Kabupaten Demak merupakan daerah yang terletak di sepanjang bagian barat pantai utara Pulau Jawa dan langsung berhadapan dengan Laut Jawa.Sebelum tahun 1980an, kawasan pesisir Kecamatan Sayung terutama Desa Sriwulan, Desa Bedono, Desa Timbulsloko dan Desa Surodadi ini merupakan kawasan permukiman dengan lahan-lahan tambak yang asri sebagai sumber uama penghasilan penduduk setempat selain sebagai nelayan tangkap. Kawasan ini juga mempunyai hutan mangrove yang cukup tebal dan terjaga dengan baik. Kerusakan hutan mangrove mulai terjadi pada akhir tahun 1980an karena pada saat itu banyak terjadi kerjasama kontrak perorangan dengan investor bagi keperluan usaha pertambakan sehingga terjadi penebangan pohon mangrove secara besar-besaran (Setyowati, 2010). Adanya konversi hutan mangrove untuk lahan pertambakan tersebut muncul dampak abrasi yang melanda pesisir Kecamatan Sayung. Abrasi di pesisir Kecamatan Sayung dirasakan sejak tahun 1990an dan semakin tahun semakin bertambah parah hingga menyebabkan mundurnya garis pantai kearah daratan hingga sekitar 1,5 km. Abrasi di pesisir Kecamatan Sayung ini juga disebabkan oleh adanya reklamasi pantai sebagai permukiman dan pembangunan kawasan industri di Semarang yang mengakibatkan air laut terdesak naik ke daratan Sayung. Bahkan tahun 2005 telah menyebabkan dua dusun di Desa Bedono harus di relokasi karena telah tenggelam dan kawasan yang tersisa telah terendam rob hingga setinggi 1,5 meter. Dampak yang nyata dari adanya abrasi dan perubahan garis pantai yang terjadi di Kecamatan Sayung yaitu kondisi hutan mangrove yang ada di Kecamatan Sayung mengalami kerusakan yang sangat signifikan karena adanya abrasi dan perubahan garis pantai yang cukup besar. Dari adanya kerusakan hutan mangrove yang ada di Kecamatan Sayung, lebih dari 300 Ha lahan di daerah pesisir pantai tergenang saat air laut pasang. Dampak dari segi sosial ekonomi masyarakat akibat abrasi dan perubahan garis pantai yaitu hilangnya lahan pekerjaan mereka, yang sebagian besar penduduk adalah nelayan dan petani tambak, serta rusaknya tempat tinggal dan fasilitas umum.
5
Upaya untuk mengurangi dampak abrasi di pesisir Kecamatan Sayung telah dilakukan oleh warga setempat berupa pembuatan talud dan sabuk pantai sederhana dari rangkaian bambu yang dipasang sejajar dan pada bagian tengahnya diisi dengan karung-karung yang berisipasir atau tanah, serta pembuatan alat pemecah ombak yang berbahan beton dari pemerintah Kabupaten Demak. Dengan adanya permasalahan di pesisir Kecamatan Sayung tersebut, maka pemerintah dan masyarakat mulai timbul kesadaran untuk kembali menanam mangrove di sepanjang garis pantai.Pengelolaan dan rehabilitasi mangrove ini mulai dilaksanakan pada awal tahun 2000an bersamaan dengan abrasi pantai yang semakin bertambah parah. Dalam beberapa tahun kemudian upaya merehabilitasi mangrove yang telah dilakukan mulai dapat dirasakan manfaatnya oleh masyarakat meskipun hanya sebagian kecil, bahwa dengan adanya mangrove membuat munculnya ikan-ikan, udang dan kepiting hidup di area mangrove serta berkurangnya abrasi walaupun belum signifikan. Upaya
untuk
mendorong
kesadaran
berpartisipasi
masyarakat
terhadapmanfaat dan pentingnya mangrove bagi keberlangsungan kehidupan masyarakat itu sendiri dibutuhkan partisipasi dari pemerintah, LSM atau organisasi
pemerintah
yang
membantu
memberikan
pengarahan
untuk
meningkatkan kesadaran masyarakat dalam upayaperkembangan dan pengelolaan hutan mangrove di pesisir Kecamatan Sayung supaya semakin tahun semakin bertambah luasan mangrovenya dan pengelolaannya semakin bagus serta dapat mengurangi dampak bencana abrasi. Berdasarkan penjelasan singkat tersebut maka penulis hendak melakukan penelitian yang berjudul “Analisis Proses Keruangan Terhadap Perkembangan dan Pengelolaan Hutan Mangrove di Kecamatan Sayung Kabupaten Demak Tahun
2014 (Untuk Memperkaya
Materi Pembelajaran Geografi Kompetensi Dasar Menganalisis Pelestarian Lingkungan Hidup dalam Kaitannya dengan Pembangunan Berkelanjutan Kelas XI Semester II)”
6
B. Perumusan Masalah Berdasarkanuraian dalam latar belakang, didapat rumusan masalah sebagai berikut: 1. Bagaimana perubahan garis pantai di Kecamatan Sayung tahun 2001, tahun 2007 dan tahun 2014? 2. Bagaimanaperubahan hutan mangrove di Kecamatan Sayung tahun 2001, tahun 2007 dan tahun 2014? 3. Bagaimanapengelolaan hutan mangrove di Kecamatan Sayung tahun 2014? C. Tujuan Penelitian Berdasarkanrumusan masalah yang ada, maka tujuan penelitian yang harus dicapai adalah sebagai berikut: 1. Mengetahui perubahan garis pantai di Kecamatan Sayung tahun 2001, tahun 2007 dan tahun 2014. 2. Mengetahuiperubahan hutan mangrove di Kecamatan Sayung tahun 2001, tahun 2007 dan tahun 2014. 3. Mengetahui pengelolaan hutan mangrove di Kecamatan Sayungtahun 2014. 4. Manfaat Penelitian 1. Manfaat teoritis Manfaat teoritis penelitian ini diharapkan memberikan sumbangan positif berupa: a. Dapat dijadikan sebagai dasar untuk mengetahui perkembangan dan pengelolaan hutan mangrove di Kecamatan Sayung. b. Dapat dijadikan sebagai dasar dalam penelitian selanjutnya. c. Dapat dijadikan sebagan bahan sumber pembelajaran pada kompetensi dasar pelestarian lingkungan hidup dalam kaitannya dengan pembangunan berkelanjutan.
7
2. Manfaat praktis Manfaat praktis hasil penelitian tersebut dapat dimanfaatkan sebagai: a. Bahan masukan bagi masyarakat di kecamatan Sayung khususya , dalam pengelolaan hutan mangrove. b. Bahan masukan bagi pemerintah daerah Demak khususnya untuk pengembangunan daerah agar lebih memperhatikan kondisi dan potensi daerah setempat. c. Sumber pengetahuan masyarakat dan pemerintah aka perkembangan dan pengelolaan hutan mangrove yang ada di daerah setepat 3. Manfaat praktis dalam pembelajaran Memberikan
sumbangan
ilmu
pengetahuan
dan
sebagai
media
pembelajaran geografi kelas XI Kompetensi dasar 3.2 menganalisis pelestarian lingkungan hidup dalam kaitannya dengan pembangunan berkelanjutan.