BAB I PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang. Adanya permohonan Pengujian Undang-Undang Republik
Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 Jo. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Undang–Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi terhadap UUD 1945 yang diajukan oleh Ir. DAWUD DJATMIKO, yang tersangkut perkara dugaan Korupsi dalam Jakarta Outer Ring Road, dan telah diputus oleh Mahkamah Konstitusi melalui Putusannya Nomor 003 /PUU-IV/2006 Tanggal 25 Juli 2006 berdampak pada dihapusnya penerapan unsur perbuatan melawan hukum materiil dalam UndangUndang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan UndangUndang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Sebelum melangkah lebih jauh, ada baiknya dipahami pengertian perbuatan melawan hukum. Dalam hukum dikenal ada dua macam perbuatan melawan hukum (wederrechtelijkheid) , yaitu perbuatan melawan hukum dalam pengertian formal dan perbuatan melawan hukum dalam arti materiil. Perbuatan melawan hukum saja yang diperhatikan dalam hukum pidana, perbuatan-perbuatan inilah yang dilarang dan diancam dengan pidana. Langemeyer mengatakan untuk
melarang perbuatan yang tidak bersifat melawan hukum, yang tidak dapat dipandang keliru, itu tidak masuk akal. Persoalannya adalah, apakah ukuran keliru atau tidaknya suatu perbuatan? Mengenai hal ini ada dua pendapat. Pertama apabila perbuatan telah mencocoki larangan undang-undang, maka disitu ada kekeliruan. Letak melawan hukumnya perbuatan sudah ternyata dari sifat melanggar
ketentuan
undang-undang
kecuali
jika
termasuk
perkecualian yang telah ditentukan oleh undang-undang pula. Bagi mereka ini melawan hukum berarti melawan undang-undang, sebab hukum adalah undang-undang. Pendirian demikian dinamakan pendirian yang formal. Sebaliknya ada yang berpendapat bahwa belum tentu kalau semua perbuatan yang mencocoki larangan undang-undang bersifat melawan hukum. Bagi mereka ini yang dinamakan hukum bukanlah undang-undang saja, disamping undang-undang (hukum yang tertulis) ada pula hukum yang tidak tertulis, yaitu norma-norma atau kenyataan-kenyataan yang berlaku dalam masyarakat. Pendirian yang demikian dinamakan pendirian yang materiil.1
Menurut Van Hattum, mengenai wederrechtelijkheid itu terdapat perbedaan pendapat tentang apa yang disebut orang dengan perkataan formele disebut materieele
1
wederrechtelijkheid dengan wederrechtelijkheid
atau
apa
tentang
apa
yang yang
Moeljatno , Asas-Asas Hukum Pidana, Cetakan Ke-tujuh, Jakarta : PT. Rineka Cipta, , September 2002, hal. 130-131.
disebut wederrechtelijkheid dalam arti formal dengan apa yang disebut wederrechtelijkheid dalam arti material.2 Ajaran wederrechtelijkheid dalam arti formal mengemukakan bahwa suatu perbuatan hanya dapat dipandang sebagai bersifat wederrechtelijk apabila perbuatan tersebut memenuhi semua unsur yang terdapat di dalam rumusan suatu delik menurut undang-undang. Sedang menurut ajaran wederrechtelijkheid dalam arti material, apakah suatu
perbuatan
itu
dapat
dipandang
sebagai
bersifat wederrechtelijk atau tidak, masalahnya bukan saja harus ditinjau sesuai dengan ketentuan-ketentuan hukum yang tertulis, melainkan juga harus ditinjau menurut asas-asas hukum umum dari hukum yang tidak tertulis.3 Secara singkat ajaran sifat melawan hukum yang formal mengatakan bahwa apabila suatu perbuatan telah mencocoki semua unsur yang termuat dalam rumusan tindak pidana, perbuatan tersebut adalah tindak pidana. Sedangkan ajaran yang materiil mengatakan bahwa di samping memenuhi syarat-syarat formal, yaitu mencocoki semua unsur yang tercantum dalam rumusan delik, perbuatan itu harus benar-benar dirasakan oleh masyarakat sebagai perbuatan yang tidak patut atau tercela.4 Satochid Kertanegara, mengatakan bahawa wederrechtelijk formil bersandar pada undang-undang, sedangkan wederrechtelijk materiil bukan pada undang-undang, namun pada asas-asas umum 2
Lihat konsideran undang-undang nomor 25 tahun 2003 tentang perubahan atas undangundang nomor 25 tahun 2003 tentang tindak pidana pencucian uang. 3 Lamintang, P.A.F., Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia, Cetakan III, Bandung, : PT. Citra Aditya Bakti, 1997, hal. 351. 4 Sapardjaja Komariah Emong , Ajaran Sifat Melawan Hukum Materiel Dalam Hukum Pidana Indonesia, Cetakan Ke-1, Bandung : PT. Alumni, 2002, hal. 25.
yang terdapat dalam lapangan hukum atau apa yang dinamakan algemene beginsel.5 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dan ditambah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001, menegaskan bahwa pengertian “secara melawan hukum” adalah dalam pengertian formil maupun materiil. Hal mana jelas dinyatakan dalam penjelasan umum undang-undang tersebut, yang dikutip berbunyi sebagai berikut : “Agar dapat menjangkau berbagai modus operandi penyimpangan keuangan negara atau perekonomian negara yang semakin canggih dan rumit, maka tindak pidana yang diatur dalam undang-undang ini dirumuskan sedemikian rupa sehingga meliputi perbuatan-perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi secara „melawan hukum‟ dalam pengertian formil dan materiil.”
Penjelasan Pasal 2 ayat (1)-nya sendiri menyatakan bahwa : “yang dimaksud dengan secara „melawan hukum‟ dalam pasal ini mencakup perbuatan melawan hukum dalam arti formil maupun dalam arti materiil, yakni meskipun perbuatan tersebut tidak diatur dalam peraturan perundang-undangan, namun apabila perbuatan tersebut dianggap tercela karena tidak sesuai dengan rasa keadilan atau normanorma kehidupan sosial dalam masyarakat, maka perbuatan tersebut dapat dipidana.”
5
Aries, Ferry Suranta, Peranan PPATK dalam Mencegah Terjadinya Money Laundering, Depok : Gramata Publishing, , 2010, hal. 47.
Dengan penjelasan umum dan penjelasan Pasal 2 ayat (1) yang sedemikian itu, maka Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tersebut, menegaskan bahwa dalam tindak pidana korupsi, pengertian perbuatan melawan hukum adalah dalam pengertiannya yang formil mau pun yang materiil. Hal tersebut mengingat pula bahwa tindak pidana korupsi sudah dikategorikan sebagai kejahatan luar biasa (extraordinary crime). Ini ditegaskan pula dalam konsideran Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tersebut bahwa tindak pidana korupsi yang selama ini terjadi secara meluas, tidak hanya merugikan keuangan negara, tetapi juga telah merupakan pelanggaran terhadap hak-hak sosial dan ekonomi masyarakat secara luas, sehingga tindak pidana
korupsi
perlu
digolongkan
sebagai
kejahatan
yang
pemberantasannya harus dilakukan secara luar biasa.
Namun, Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia dengan Putusan Nomor : 003/PUU-IV/2006 tertanggal 25 Juli 2006 dalam amarnya menyatakan bahwa penjelasan Pasal 2 ayat (1) UndangUndang Nomor 31 tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tersebut, sepanjang yang mengenai pengertian perbuatan melawan hukum dalam arti materiil, adalah bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, sehingga menjadi tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Dengan demikian, sejak dijatuhkannya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor : 003/PUU-IV/2006 tanggal 25 Juli 2006 tersebut, maka pengertian perbuatan melawan hukum dalam tindak pidana korupsi yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun
1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tersebut, hanya perbuatan melawan hukum dalam pengertian formil saja. Dalam perkara tersebut Mahkamah Konstitusi menilai memang terdapat persoalan konstitusionalitas dalam kalimat pertama Penjelasan Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi sehingga Mahkamah Konstitusi perlu mempertimbangkan lebih lanjut hal-hal yang pada pokokya Pasal 28 D ayat (1) UUD 1945 mengakui dan melindungi hak konstitusional warga negara untuk memperoleh jaminan dan perlindungan hukum yang pasti, dengan mana dalam bidang hukum, pidana diterjemahkan sebagai asas legalitas yang dimuat dalam pasal 1 ayat (1) KUHP, bahwa asas tersebut merupakan satu tuntutan akan kepastian hukum dimana orang hanya dapat dituntut dan diadili atas dasar suatu peraturan perundang-undangan yang tertulis (lex scripta) yang telah lebih dulu ada. Hal demikian menuntut bahwa suatu tindak pidana memiliki unsur melawan hukum, yang harus secara tertulis lebih dahulu telah berlaku, yang merumuskan perbuatan apa atau akibat apa dari perbuatan manusia secara jelas dan ketat yang dilarang sehingga karenanya dapat dituntut dan dipidana sesuai dengan prinsip nullum crimen sine lege stricta. Konsep melawan hukum yang secara formil tertulis (formele wederrechtelijk) yang mewajibkan pembuat Undang-Undang untuk merumuskan secermat dan serinci mungkin merupakan syarat untuk menjamin kepastian hukum (lex certa) atau dikenal juga dengan istilah Bestimmheitsgebot.6 Bahwa berdasarkan uraian diatas, konsep melawan hukum materil (materiele wederrechtelijk), yang merujuk pada hukum tidak 6
Vide Jan Remmelink, Hukum Pidana, 200: 358
tertulis dalam ukuran kepatutan, kehati-hatian dan kecermatan yang hidup dalam masyarakat, sebagai satu norma keadilan, adalah merupakan ukuran yang tidak pasti, dan berbeda beda dari satu lingkungan masyarakat tertentu ke lingkungan masyarakat lainnya, sehingga apa yang melawan hukum di satu tempat mungkin di tempat lain diterima dan diakui sebagai sesuatu yang sah dan tidak melawan hukum, menurut ukuran yang dikenal dalam kehidupan masyarakat setempat, sebagaimana yang disampaikan Ahli Prof. Dr. Andi Hamzah, SH dalam persidangan. Bahwa oleh karena Penjelasan Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi kalimat pertama tersebut, merupakan hal yang tidak sesuai dengan perlindungan dan jaminan kepastian hukum yang adil yang dimuat dalam pasal 28 D Ayat (1) UUD 1945. Dengan demikian, Penjelasan Pasal 2 Ayat (1) Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi sepanjang mengenai frasa“ yang dimaksud dengan “Secara melawan hukum” dalam pasal ini mencakup perbuatan melawan hukum dalam arti formil maupun dalam arti materiil, yakni meskipun perbuatan tersebut tidak diatur dalam peraturan perundang-undangan namun apabila perbuatan tersebut dianggap tercela karena tidak sesuai dengan rasa keadilan atau norma-norma kehidupan sosial dalam masyarakat, maka perbuatan tersebut dapat dipidana.” Harus dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945. Disisi lain terjadi perdebatan apakah keputusan Mahkamah Konstitusi dengan mencabut atau menghapuskan sifat melawan hukum materiil dalam undang-undang tindak pidana korupsi sudah tepat. Ada sebagian ahli hukum berpendapat bahwa dengan dihapuskannya sifat melawan hukum materiil dalam undang-undang pemberantasan tindak
pidana korupsi akan mempersempit jangkauan para penegak hukum dalam menjerat para pelaku korupsi atau koruptor. Tidak sedikit pula yang beranggapan bahwa dengan dihapuskannya sifat melawan hukum materril tersebut akan merugikan masyarakat, karena sifat melawawan hukum materril tidakhanya dalam fungsinya yang positif namaun dalam fungsinya yang negatif terkadang masih dipandang perlu diterapkan dalam hukum di Indonesia. Sebagai contoh dapat dikemukakan kasus yang diperiksa di Pengadilan Tindak Pidana Korupasi Semarang. Kasus ini terjadi pada tahun 2014, dimana seorang laki-laki yang bernama H. Muhsinin, SE selaku
kepala
desa
Pompongan
telah
didakwa
bersalah
menyalahgunakan wewenang dan jabatannya dalam pelaksanaan Pendistribusian Raskin Desa Pompongan, Kecamatan Beringin, Kabupaten Semarang. Oleh Jaksa Penuntut Umum, pendistribusian Raskin sejak Tahun 2009 sampai dengan bulan Mei tahun 2014, tidak sesuai dengan prosedur atau tidak sesuai dengan Pedoman Umum Petunjuk dan Teknis pendistribusian Raskin. Fakta yang terungkap di persidangan itu antara lain, H. Muhsinin sebagai
kepala desa,
sebagi
penanggung jawab tertinggi
di
pemerintahan desa, telah mengakui dan merasa bersalah dan bertanggung jawab atas pendistribusian raskin sejak tahun 2009 sampai dengan bulan mei 2012, yang tidak sesuai dengan Pedoman Umum Petunjuk dan Pelaksanaan teknis Pendistribusian Raskin. Namun dibalik itu semua, H. Muhsinin memiliki latarbelakang dan mitivasi tersendiri tidak seperti yang didakwakan oleh jaksa penuntut umum. Bermula dari keinginan masyarakat Desa Popongan sebagaimana keterangan yang disampaikan di persidangan oleh Sri Musrifah selaku
Sekretaris Desa Popongan bahwa penerimaan Raskin seharusnya 1 KK menerima 1 sak namun dalam prakteknya di Desa Popongan 1 sak dibagi untuk 5 KK dengan tujuan pemerataan penerima Raskin di Desa Popongan dari 209 KK menjadi 530 KK dan hasil penjualan Raskin yang dijual sebagian dipergunakan untuk memberikan bantuan sarana dan prasarana seperti pembangunan talud dan rabat beton, pembelian mobil ambulan, pembangunan rumah bala pecah sebagaimana hasil musyawarah desa tanggal 4 Juni 2009. Pada
akhirnya
melalui
putusan
Nomor
:
35/Pid.Sus/2013/PN.Tipikor.Smg tertanggal 12 Juni 2014, Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Semarang menjatuhkan vonis kepada Terdakwa selama
1 (satu) tahun dan 4 (empat) bulan dan denda
sebesar Rp. 50.000.000,- (lima puluh juta rupiah) dengan ketentuan jika denda tidak dibayar harus diganti dengan pidana kurungan selama 2 (dua) bulan. Selain itu terdapat pidana tambahan berupa membayar uang pengganti kepada negara sebesar Rp. 25.050.000,- (dua pulih lima juta lima puluh ribu rupiah).
Melalui kasus diatas, tentunya rasa keadilan yang ada dimasyarakat merasa terusik, hal ini dikemukakan oleh beberapa saksi dalam persidangan yang notabenya masyarakat Desa Pompongan sendiri. mengapa seorang laki-laki yang hanya melanggar peraturan demi rasa kedilan dimasyarakat dan demi pembangunan desanya, harus dijatuhi hukuman?
Dalam tesis ini Penilis akan membahas mengenai mengapa sifat melawan hukum materiil pada Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dan ditambah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 perlu dihapuskan seperti yang tercantum dalam putusan Mahkamah Konstitusi Nomor : 003/PUU-IV/2006.
B.Rumusan Masalah. Bertitik tolak dari latar belakang sebagaimana telah dipaparkan diatas, maka tampaklah bahwa paradigma yang ditawarkan oleh Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999, yang mengartikan perbuatan melawan hukum dalam tindak pidana korupsi sebagai perbuatan melawan hukum dalam pengertian materiil, telah dianulir oleh Mahkamah Konstitusi dengan Putusannya tertanggal 25 Juli 2006 Nomor : 003/PUU-IV/2006, sehingga perbuatan melawan hukum dalam tindak pidana korupsi menjadi hanya perbuatan melawan hukum dalam pengertian formal saja. Tesis ini akan mengkaji masalah sebagai berikut : Bagaimana pertimbangan hakim mengenai hapusnya sifat melawan hukum materiil pada Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dan ditambah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999
seperti yang tercantum dalam putusan Mahkamah Konstitusi Nomor : 003/PUU-IV/2006 ? C. Tujuan Penelitian. Berdasarkan permasalahan yang telah dikemukakan diatas, maka tujuan yang hendak dicapai dalam penulisan tesis ini adalah : Untuk mengetahui dan menganalisis pertimbangan hakim mengenai hapusnya sifat melawan hukum materiil pada UndangUndang Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 telah dihapuskan seperti yang tercantum dalam putusan Mahkamah Konstitusi Nomor : 003/PUU-IV/2006.
D. Manfaat Penelitian. Berdasarkan permasalahan yang menjadi fokus kajian penelitian ini dan tujuan yang ingin dicapai maka penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat sebagai berikut:
1. Manfaat Praktis. Penelitian ini diharapkan mampu memberikan sumbangan pemikiran atau bahan pertimbangan bagi penegak hukum dalam menegakkan hukum pidana khususnya ranah
pemberantasan tindak pidana korupsi dengan memberikan kajian
yuridis
mengenai
dikeluarkannya
putusan
Mahkamah Konstitusi Nomor : 003/PUU-IV/2006 yang berisi dihapuskannya sifat melawan hukum materiil dalam undang-undang pemberantasan tindak pidana korupsi. 2. Manfaat Teoritis Memberikan sumbangan pemikiran berupa konsep, metode atau teori dalam studi ilmu hukum, khususnya yang menyangkut pemberantasan tindak pidana korupsi dengan kajian yuridis menegenai dihapuskannya sifat melawan
hukum
materiiil
dalam
undang-undang
pemberantasan tindak pidana korupsi sepeti yang tercantum dalam putusan Mahkamah Konstitusi Nomor : 003/PUU-IV/2006.
E.Kerangka Pemikiran. Dewasa ini kasus korupsi di Indonesia dipandang sebagai salah satu masalah hukum yang serius, dapat kita lihat bersama diberbagai pemberitaan betapa merajalelanya kasus korupsi yang terjadi akhirakhir ini. Mulai dari level jabatan birokrasi terendah semisal kepala desa, camat, lurah, hingga pada level jabatan yang lebih tinggi seperti anggota DPR, menteri, hingga hakim sekalipun tidak luput dari jeratan kasus korupsi. Satjipto Rahardjo memandang korupsi yang terjadi di Indonesia bukan saja telah membudaya, tetapi sudah menjadi kejahatan yang
terorganisir
yang
berdimensi
internasional,
karena
itu
pemberantasannya tidak bisa lagi ditangani seperti kejahatan biasa, tetapi harus dilakukan melalui upaya luar biasa.7 Korupsi sendiri berasal dari kata corruption atau corrupt yang arti
harafiahnya
adalah
kebusukan,
keburukan,
kebejatan,
ketidakjujuran, dapat disuap, tidak bermoral, penyimpangan dari kesucian.8 Dari pengertian korupsi tersebut banyak ahli yang mencoba merumuskan
pengertian
istilah
korupsi
diantaranya
Soedjono
Dirdjosisworo yang mengatakan bahwa korupsi merupakan perbuatan bobrok yang banyak disangkutkan dengan ketidakjujuran seseorang dalam bidang keuangan.9 Dalam pengertian lain, Korupsi menurut David H. Bayley (didasarkan pada Webster’s Third New International Dictionary) adalah perangsang (seorang pejabat pemerintah) berdasarkan iktikad buruk misalnya suap) agar melakukan pelanggaran kewajibannya. 10 Marella Buckley juga mendefinisikan korupsi sebagai penyelah gunaan jabatan publik demi keuntungan pribadi dengan cara suap atau komisi tidak sah.11 Pengertian tindak pidana korupsi pada Undang-undang No. 31 tahun 1999 terdapat dalam pasal 2, 3, 5, 6, 7, 8, 9,10, 11, 12, 12 B, dan 13., 14, 15, 16. Pasal-pasal ini juga meliputi jenis tindak pidana 7
R.E.Baringbing, , Catur Wangsa yang Bebas Kolusi Simpul Mewujudkan Supremasi Hukum, Jakarta: Pusat Kajian Reformasi, 2001, Hal. 16. 8 Hamzah, Andi, Korupsi di Indonesia, Masalah dan Pemecahannya, Jakarta: Gramedia, , 1991, Hal. 7. 9 Dirdjosisworo, Soedjono, Kumpulan Peraturan Tindak Pidana Khusus dan Pembahasannya, Yogyakarta: Liberty, 1984, Hal. 16. 10 Lubis, Mochtar & James C. Scott, Bunga Rampai Korupsi, Jakarta: LP3ES, 1995, Hal. 86. 11 Otto Sano, Hans, Hak Asasi Manusia dan Good Governance, Membangun Suatu Ketertiban, Alih Bahasa oleh Rini Adriati, Jakarta: Departemen Hukum dan HAM, 2003, Hal. 157.
korupsi. Namun di sini Penulis hanya menjelaskan pengertian tindak pidana korupsi menurut Pasal 2 dan 3 Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 tentang Tindak Pidana Korupsi karena kebanyakan pelaku Tindak Pidana Korupsi hanya dikenai dakwaan atau tuntutan pada Pasal 2 dan 3 saja. Adapun isi dari Pasal 2 dan 3 yaitu :
Pasal 2 ayat (1) Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara dipidana penjara dengan penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit Rp. 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah). Pasal 3 Setiap orang dengan maksud dan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan atau denda paling sedikit Rp. 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah).
Menurut Kurniawan, korupsi terdiri dari 4 unsur, antara lain :12 1. Tindakan melawan hukum. 2. Menggunakan
fasilitas
negara
untuk
kepentingan
pribadi,
kelompok, dan golongan. 3. Merugiakn negara baik secara langsung maupin tidak langsung. 4. Dilakukan oleh pejabat publik/penyelenggara negara maupun masyarakat. Sedangkan unsur-unsur tindak pidana korupsi bila dilihat dari segi hukum adalah: 1. Perbuatan melawan hukum. 2. Penyalahgunaan kewenangan, kesempatan atau sarana. 3. Memperkaya diri sendiri, orang lain atau korporasi. 4. Merugikan keuangan negara atau perekonomian. 5. Memberi atau menerima hadiah atau janji (penyuapan) 6. Penggelapan dalam jabatan. 7. Pemerasan dalam jabatan. 8. Ikut
serta
dalam
pengadaan
barang
(bagi
pegawai
negeri/penyelenggara negara) 9. Menerima gratifikasi.
12
Kurniawan,L. . Menyingkap Korupsi di daerah. Jakarta : Indonesia Corruption Watch, 2003. hal 15
Berdasarkan penjelasan di atas maka rumusan korupsi adalah secara melawan hukum + mengambil hak orang lain + tujuan memiliki atau mendapat keuntungan + adanya penyalahgunaan kewenangan/ kepercayaan + menimbulkan kerugian negara.
Dalama bahasa Belanda, melawan hukum adalah wederrechtelijk (weder: bertentangan dengan, melawan; recht: hukum).
Menurut
Pendapat para ahli di dalam buku Teguh Prasetyo mengenai pengertian melawan hukum antara lain adalah dari: 13 a. Simon: Melawan hukum berarti bertentangan dengan hukum pada umumnya. b. Noyon: Melawan hukum berarti bertentangan dengan hak subjektif orang lain. c. Pompe: Melawan hukum berarti bertentangan dengan hukum dengan pengertian yang lebih luas, bukan hanya bertentangan dengan undang-undang tetapi juga dengan hukum yang tidak tertulis. d. Van Hammel: Melawan hukum adalah onrechmatig atau tanpa hak/ wewenang. e. Hoge raad: Dari arrest-arrest-nya dapat disimpulkan, menurut HR melawan hukum adalah tanpa hak atau tanpa kewenangan. (arrest 18-12-1911 W 9263).
13
Prasetyo, Teguh dan Abdul Hakim Barkatullah.. Politik Hukum Pidana Kajian Kebijakan Kriminalisasai dan Deskriminalisasi. Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2005, hal 31-32.
f. Lamintang: Berpendapat, perbedaan diantara pakar tersebut antara lain disebabkan karena dalam bahasa Belanda recht dapat berarti hukum” dan dapat berarti “hak.” Ia mengatakan, dalam bahasa Indonesia kata wederrechtelijk itu berarti “secara tidak sah” yang dapat meliputi pengertian “bertentangan dengan hukum objektif” dan “bertentangan dengan hak orang lain atau hukum subjektif”. Adapun untuk menentukan apakah suatu perbuatan dikatakan perbuatan melawan hukum atau tidak, diperlukan unsur-unsur sebagai berikut :14 1. Perbuatan tersebut melawan hukum. 2. Harus ada kesalahan pada pelaku. 3. Harus ada kerugian. Ajaran sifat melawan hukum memiliki kedudukan yang penting dalam hukum pidana di samping asas Legalitas. Ajaran ini terdiri dari ajaran sifat melawan hukum yang formal dan materiil, pengertiannya adalah :15 a. Ajaran Sifat Melawan Hukum Formal Sifat melawan hukum formal terjadi karena memenuhi rumusan delik undang undang. Sifat melawan hukum formal merupakan syarat untuk dapat dipidananya perbuatan. Ajaran sifat melawan hukum formal adalah apabila suatu perbuatan telah memenuhi semua unsur yang termuat dalam rumusan tindak pidana, perbuatan tersebut adalah tindak pidana. Jika ada alasan-alasan 14
Theodorus M. Tuanakotta.. Menghitung Kerugian Keuangan Negara Dalam Tindak Pidana Korupsi. Jakarta: Salemba Empat, 2009, hal 73. 15 Prasetyo, Teguh,.op.,cit., hal 34-35.
pembenar maka alasan-alasan tersebut harus juga disebutkan secara tegas dalam undang-undang.
b. Ajaran Sifat Melawan Hukum Materiil Sifat melawan hukum materiil merupakan suatu perbuatan melawan hukum yang tidak hanya terdapat di dalam undangundang (yang tertulis), tetapi harus dilihat berlakunya asas-asas hukum yang tidak tertulis juga. Sifat melawan hukum itu dapat dihapuskan berdasar ketentuan undang-undang maupun aturanaturan yang tidak tertulis. Ajaran sifat melawan hukum materiil adalah memenuhi semua unsur rumusan delik, perbuatan itu juga harus benar-benar dirasakan oleh masyarakat sebagai perbuatan yang tidak patut atau tercela. karena itu ajaran ini mengakui alasan-alasan pembenar di luar undangundang, dengan kata lain, alasan pembenar dapat berada pada hukum yang tidak tertulis. Bambang
Poernomo
berpendapat
bahwa,
sifat
melawan
hukumnya suatu perbuatan terdapat dua ukuran, yaitu sifat melawan hukum yang formal atau formele wederrechttelijkheidsbegrip dan sifat melawan
hukum
yang
wederrechttelijkheidsbegrip.
materiil
Melawan
atau
hukum
materieele
formil
apabila
perbuatannya dilihat semata-mata sebagai perbuatan yang bertentangan dengan
undang-undang,
sesuai
dengan
rumus
delik
dan
pengecualiaannya, seperti daya paksa, pembelaan terpaksa, itu pun karena ditentukan secara tertulis dalam undang-undang.16
16
Bambang Poernomo , Asas-asas Hukum Pidana, Jakarta : Ghalia Indonesia, 1994, hal. 115
Sebaliknya, melawan hukum materiil, melihat perbuatan melawan hukum itu tidak selalu bertentangan dengan peraturan perundang-undangan, dan suatu perbuatan yang bertentangan dengan undang-undang dapat dikecualikan sebagai perbuatan yang tidak melawan hukum. Dengan demikian, dalam pandangan sifat melawan hukum materiil, melawan hukum dapat diartikan baik melawan peraturan perundang-undangan, maupun hukum di luar peraturan perundang-undangan.17 Dalam
perkembangannya,
timbul
pandangan
“materieele
wederrechttelijkheid” secara negatif yang diartikan orang berbuat tidak melawan hukum apabila orang dengan daya upaya betul-betul untuk tujuan yang berguna atau het juistemiddel tot het juiste doel bezigde, yang diajukan oleh A. Grafzu Dohna dalam karangannya tentang “ Die Rechtswidrigheit als algemeingultiges Markmal im Tatbestande starfbarer handlungen”.18 Mengenai pengertian sifat melawan hukum materiil, seperti telah disinggung pada bagian awal, dibedakan dalam fungsinya yang negatif dan dalam fungsinya yang positif. Ajaran sifat melawan hukum materiil dalam fungsinya yang negatif berarti mengakui kemungkinan adanya hal-hal yang ada di luar undang-undang menghapus sifat melawan hukumnya perbuatan yang memenuhi rumusan undangundang, jadi hal tersebut sebagai alasan penghapusan sifat melawan hukum. Pengertian sifat melawan hukum materiil dalam fungsinya yang positif menganggap sesuatu perbuatan tetap sebagai suatu delik, meskipun tidak nyata diancam dengan pidana dalam undang-undang,
17 18
Ibid. Hal 116.. Ibid. Hal 116.
apabila bertentangan dengan hukum atau ukuran-ukuran lain yang terjadi di luar undang-undang. Dengan demikian berarti diakui hukum yang tidak tertulis sebagai sumber hukum yang positif.19
F. Metodologi Penelitian. Tesis ini ingin mengkaji Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor : 003/PUU-IV/2006 tanggal 25 Juli 2006 tersebut diatas dari perspektif teori Tujuan Hukum yaitu Keadilan, Kepastian, dan Kemanfaatan yang dikemukakan oleh Gustav Radbruch, sehingga metode pendekatan yang relevan dipergunakan dalam penulisan
tesis
ini
adalah
pendekatan
approach), pendekatan
undangan (satutory
perundangkasus(case
approach), pendekatan analitis (analitical approach), pendekatan konsep
(conceptual
approach)
dan
pendekatan
filsafat
(philosophical approach. a. Pendekatan Perundang-undangan (statutory approach). Pendekatan
perundang-undangan (statutory
approach),
yang oleh Peter Mahmud Marzuki disebut pendekatan undang-undang (satute
approach)20
dilakukan
dengan
menelaah semua undang-undang dan regulasi yang bersangkut paut dengan isu hukum yang sedang ditangani. Bagi penelitian untuk kegiatan akademis, peneliti perlu
19
Tjandra Sridjaja Pradjonggo, Sifat Melawan Hukum Dalam Tindak Pidana Korupsi, Jakarta Lawyer Club, Jakarta, 2010,hal 61. 20 Mahmud, Peter Marzuki, Penelitian Hukum, Cetakan ke-6, Jakarta : Prenada Media Group, 2010, hal. 93.
mencari ratio legisdan dasar ontologis lahirnya undangundang tersebut. Dengan mempelajari ratio legis dan dasar ontologis suatu undang-undang, peneliti sebenarnya mampu menangkap kandungan filosofi yang ada di belakang undang-undang itu. Memahami kandungan filosofi yang ada di belakang undang-undang
itu,
peneliti
tersebut
akan
dapat
menyimpulkan mengenai ada tidaknya benturan filosofis antara undang-undang dengan isu yang dihadapi.21 Pendekatan
ini
digunakan in
casuterhadap Undang-
Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman dan Undang-Undang Dasar 1945. b. Pendekatan Kasus (case approach). Pendekatan kasus (case approach) dilakukan dengan cara melakukan telaah terhadap kasus-kasus yang berkaitan dengan isu yang dihadapi yang telah menjadi putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap.22 Yang menjadi kajian pokok di dalam pendekatan kasus adalah ratio decidendi atau reasoning yaitu pertimbangan
21 22
Ibid., hal. 93-94. Ibid., hal. 94
pengadilan
untuk
sampai
Pendekatan
ini
Mahkamah
Konstitusi
kepada
digunakan in
putusan.23
suatu
casu terhadap
Republik
Putusan
Indonesia
Nomor
003/PUU-IV/2006 tanggal 25 Juli 2006. c. Pendekatan Analitis (analiytical approach) Analisis terhadap bahan hukum adalah menngetahui makna yang dikandung oleh istilah-istilah yang digunakan dalam peraturan
perundang-undangan
secara
konseptual,
sekaligus mengetahuai penerapannya dalam praktik-praktik dan keputusan-keputusan hukum. Pendekatan analitis ini diperlukan terutama dikarenakan penulisan makalah ini terutama menggunakan data-data sekunder yang berwujud bahan-bahan hukum, yaitu undang-undang
dan
putusan
Mahkamah
Konstitusi
sebagaimana dimaksud diatas, sehingga timbul kebutuhan untuk
menganalisis
undang-undang
dan
putusan
Mahkamah Konstitusi tersebut. d. Pendekatan Konsep (conceptual approach) Salah satu
fungsi
dari pendekatan
konsep adalah
memunculkan, objek-objek yang menarik perhatian dari sudut pandang praktis dan sudut pengetahuan dalam pikiran dan atribut-atribut tertentu. Berkat fungsi tersebut, konsep-konsep berhasil menggabungkan kata-kata dengan
23
Ibid.
objek
tertentu.
ditentukannya
Penggabungan arti
kata-kata
itu
memungkinkan
secara
tepat
dan
menggunakannya dalam proses pemikiran. 24 Pendekatan konsep ini tentusaja sangat membantu penulis dalam menanalisis kata per kata baik dalam perundangundangan, putusan mahkamah kosntitusi, maupun kalimat kalimat yang ada dalam suatu teori yang di kemukakan oleh para ahli hukum. e. Pendekatan Filsafat (philosophical approach) Filsafat mempunyai sifat yang menyeluruh, mendasar dan spekulatif. Tugas dari filsafat bukan menjawab pertanyaan yang ditujukan tetapi mempersoalkan jawaban yang diberikan. Ciri khas filsafat ditambah dengan beberapa pendekatan yang tepat dalam memebentuk fundamental research,
yaitu suatu
penelitian untuk
memperoleh
pemahaman yang lebih mendalam terhadap implikasi sosial dan efek penerapan suatu aturan perundang-undangan terhadap masyarakat atau kelompok masyarakat yang melibatklan penelitian terhadap sejarah, filsafat, ilmu bahasa, ekonomi, serta implikasi sosial dan politik terhadap pemeberlakuan suatu aturan hukum. Dalam menulis tesis ini penulis banyak emnggunakan pendekatan
filsafat
untuk
menganalisa
perundangn-
undangan dan putusan mahkamah konstitusi tersebut. Agar
24
Ibrahim, Johni, Teori & Metodologi Penelitian Hukum Normatif, cet III, Malang: Bayumedia Publishing, 2007, hal. 306.
dapat
memperdalam
pemahaman
menyimpulkan pemahaman tersebut.
penulis
dan