BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Dunia kesehatan erat sekali hubungannya dengan masalah lingkungan. Untuk mencapai kondisi masyarakat yang sehat diperlukan lingkungan yang baik pula. Dalam pencapaian MDGS 2010 di Indonesia pada poin tujuan ke tujuh dijelaskan bahwa kebijakan lingkungan hidup Indonesia telah dirumuskan dengan tujuan yang selaras dengan lingkungan alam, sehingga dapat memberikan manfaat bagi generasi sekarang dan generasi yang akan datang (BAPPENAS, 2010). Dalam
hal
ini
rumah
sakit
sebagai
sarana kesehatan
harus
pula
memperhatikan keterkaitan tersebut. Dilain pihak, Rumah Sakit juga dapat dikatakan sebagai pendonor limbah karena buangannya berasal dari kegiatan non-medis maupun medis yang bersifat berbahaya dan beracun dan dalam jumlah besar. Hasil buangan berupa limbah, baik limbah padat, cair, dan gas yang mengandung kuman patogen, zat-zat kimia serta alat-alat kesehatan yang pada umumnya bersifat berbahaya dan beracun merupakan hasil dari aktivitas rumah sakit. Untuk meningkatkan mutu pelayanan perlu pula ditingkatkan sarana untuk mengatasi limbah tersebut. Oleh karena itu diperlukan suatu pengolahan
limbah
yang
sesuai sehingga
tidak
membahayakan
bagi
lingkungan (Paramita, 2007). Rumah
Sakit
merupakan
institusi
pelayanan
kesehatan
yang
menyelenggarakan pelayanan kesehatan perorangan secara paripurna yang menyediakan pelayanan rawat inap, rawat jalan, dan gawat darurat. Pelayanan Kesehatan Paripurna adalah pelayanan kesehatan yang meliputi promotif, preventif, kuratif, dan rehabilitatif
(Sekretariat Negara RI, 2009b). Menurut
Kementerian Kesehatan RI (2004),
rumah
sakit
sebagai sarana pelayanan
kesehatan, tempat berkumpulnya orang sakit maupun orang sehat atau dapat menjadi tempat penularan penyakit serta memungkinkan terjadinya pencemaran lingkungan dan gangguan kesehatan.
2
Rumah sakit merupakan salah satu upaya peningkatan kesehatan yang terdiri dari balai pengobatan dan tempat praktik dokter yang juga ditunjang oleh unit-unit lainnya, seperti ruang operasi, laboratorium, farmasi, administrasi, dapur, laundry, pengolahan sampah dan limbah, serta penyelenggaraan pendidilkan dan pelatihan. Selain membawa dampak positif bagi masyarakat, yaitu sebagai tempat penyembuhan orang sakit, rumah sakit juga memiliki kemungkinan membawa dampak negatif. Dampak negatifnya dapat berupa pencemaran dari suatu proses kegiatan, yaitu bila limbah yang dihasilkan tidak dikelola dengan baik (Asmadi, 2003). Penanganan yang aman, pemisahan, penyimpanan, penghancuran dan pembuangan limbah Rumah Sakit dapat meminimalkan risiko dari potensi bahaya yang ada disekitarnya dan mencegah pencemaran lingkungan (Mohankumar & Kottaiveeran, 2011). Sampah harus dibuang di tempat-tempat penampungan dan pengumpulan sampah secara benar (Basriyanta, 2007). Pajanan pada
limbah
layanan kesehatan yang
berbahaya dapat
mengakibatkan penyakit atau cidera. Sifat bahaya dari limbah layanan kesehatan tersebut mungkin muncul akibat satu atau beberapa karakteristik berikut: limbah mengandung agen infeksius, limbah mengandung zat kimia atau obat-obat berbahaya atau beracun, limbah bersifat radioaktif, limbah mengandung benda tajam. Semua orang yang terpajan limbah berbahaya dari fasilitas kesehatan kemungkinan besar menjadi orang yang berisiko, termasuk yang berada dalam fasilitas penghasil limbah berbahaya dan mereka yang berada di luar fasilitas serta memiliki pekerjaan mengelola limbah semacam itu, atau yang berisiko akibat kecerobohan dalam sistem manajemen limbahnya (World Health Organization, 2005). Berdasarkan hasil penelitian di Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat Gatot Subroto terdapat limbah benda tajam yang belum dilakukan pengemasan secara baik, sehingga sering ditemukan kantong yang sobek akibat tertusuk jarum atau benda tajam lainnya, yang berakibat sering terjadi ceceran atau tumpahan benda tajam baik di tempat sampah maupun dalam proses pengangkutan (Paramita, 2007). Hasil penelitian Karamouz et al (2006), menunjukkan bahwa masalah utama Rumah Sakit di Propinsi Khuzestan dalam pengolahan sampah padat
3
adalah karena penyimpanan yang tidak benar dalam pengepakan dan transportasi limbah padat. Objek kajian ilmu kesehatan masyarakat adalah masyarakat terutama dari aspek kesehatannya, atau yang menjadi pasien kesehatan masyarakat adalah masyarakat. Kesehatan kerja adalah merupakan aplikasi kesehatan masyarakat dalam suatu tempat kerja, dan yang menjadi pasien di tempat kerja adalah masyarakat, pekerja dan masyarakat disekitar perusahaan tersebut. Apabila dalam kesehatan
masyarakat ciri pokoknya adalah
upaya preventif (pencegahan
penyakit) dan promotif (peningkatan kesehatan), maka dalam kesehatan kerja maka kedua hal tersebut menjadi ciri pokok. Oleh karena itu, dalam kesehatan kerja pedomannya adalah penyakit dan kecelakaan akibat kerja dapat dicegah, maka upaya pokok kesehatan kerja adalah pencegahan kecelakaan akibat kerja. Di samping itu, dalam kaitannya dengan masyarakat disekitar perusahaan, kesehatan kerja juga mengupayakan agar perusahaan tersebut dapat mencegah timbulnya penyakit-penyakit yang diakibatkan oleh limbah. Sedangakan upaya promotif berpedoman bahwa dengan meningkatnya kesehatan pekerja, akan meningkatkan produktifitas kerja (Notoatmodjo, 2003). Limbah
layanan
kesehatan
harus
dipandang
sebagai
reservoir
mikroorganisme patogen, yang dapat menyebabkan kontaminasi dan infeksi. Jika limbah tidak dikelola dengan tepat, mikroorganisme ini dapat berpindah melalui kontak langsung, di udara, atau memalui berbagai jenis vektor. Dengan cara inilah limbah infeksius berkontribusi pada kejadian infeksi nosokomial, yang menempatkan tenaga kesehatan rumah sakit dan pasien pada risiko (World Health Organization, 2005). Pengelolaan limbah rumah sakit yang tidak baik akan memicu risiko terjadinya kecelakaan kerja dan penularan penyakit dari pasien ke pekerja, dari pasien ke pasien, dari pekerja ke pasien, maupun dari dan kepada masyarakat pengunjung rumah sakit (Asmadi, 2013). Pengelolaan limbah Rumah Sakit membutuhkan ketekunan dan perawatan, dimulai dari perawat atau dokter dan petugas yang mengangkut limbah sampai pada petugas yang bertanggungjawab pada proses akhir untuk membuang secara benar. Jika salah satu tidak dikerjakan dengan hati-hati dan membiarkan
4
pemulung mengakses langsung limbah, maka akan menimbulkan bahaya. (Palwankar & Singh, 2012). Cedera akibat benda tajam memiliki dampak psikologis dan dapat menimbulkan stress atau kecemasan dan dapat membuat kelumpuhan. Ini berakibat buruk pada kehidupan mereka yang menderita karena pasangan
atau kelompok keluarga yang mungkin memaksa
melakukan
perubahan pekerjaan atau mengakibatkan ketidakmampuan untuk bekerja (Sohn dan Worthingtonet dalam Blenkharn, 2009). Aspek manusia merupakan faktor penting dalam mencapai keselamatan dan kesehatan kerja (Notoatmodjo, 2003). Menerapkan sistem manajemen K3 bukanlah suatu hal yang mudah dilakukan, banyak persiapan yang harus dilakukan. Tujuan organisasi dalam menerapkan sistem manajemen ini pun berbeda, hal ini tidak terlepas dari komitmen manajemen organisasi yang bersangkutan (Suardi, 2005). Meskipun ketentuan mengenai kesehatan dan keselamatan kerja telah diatur sedemikian rupa, tetapi dalam praktiknya tidak seperti yang diharapkan. Begitu banyak faktor dilapangan yang mempengaruhi kesehatan dan keselamatan kerja seperti faktor manusia, lingkungan dan psikologis. Masih banyak perusahaan yang tidak memenuhi standar kesehatan dan keselamatan kerja (Triwibowo & Pusphandari, 2013). Terdapat beberapa indikator yang dapat digunakan untuk mengukur kinerja K3. Data kecelakaan kerja dapat digunakan sebagai indikator langsung kinerja K3, meskipun sebaiknya dalam pengukuran kinerja K3 tidak hanya menggunakan data kecelakaan saja, tetapi juga menggunakan indikator lainnya seperti standar house-keeping, penggunaan Alat Pelindung Diri (APD) dan ketentuan ambang batas (Suardi, 2005). Staf atau para pekerja yang membawa limbah ke gerobak massal menggunakan pakaian kerja yang sesuai dan menggunakan sarung tangan, dimana sarung tangan yang digunakan hanya untuk satu kali pemakaian dan kemudian dibuang setelah menyelesaikan tugas (Blenkharn, 2006). Pemilahan limbah padat dibedakan dengan berbagai warna plastik yang digunakan sekali dalam pemakaian dan diangkut menggunakan drum (Rao et al, 2004). Di kota Dhaka Bangladesh pada proses pengumpulan, pemilahan dan pembuangan limbah medis tidak dilakukan sesuai standar yang direkomendasikan, sehingga membahayakan bagi
5
manusia dan lingkungan di sekitarnya (Hasan et al, 2008). Menurut Alamansyah (2007), pemisahan dan pengurangan limbah yang sejenis dan reduksi volume limbah merupakan persyaratan keamanan yang penting bagi petugas pembuang sampah. Untuk menjamin kesehatan dan keselamatan awak rumah sakit maupun oran lain yang berada di lingkungan rumah sakit dan sekitarnya, pemerintah telah menyiapkan perangkat lunak berupa peraturan, pedoman dan kebijakan yang mengatur pengelolaan dan peningkatan kesehatan lingkungan rumah sakit, termasuk pengelolaan limbah rumah sakit (Asmadi, 2013). Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Wirosaban Kota Yogyakarta yang sekarang diberi nama Rumah Sakit Jogja berdasarkan Keputusan Walikota Yogyakarta Nomor : 337/KEP/2010 tanggal 8 Juni 2010 Tentang : Nama dan Logo Rumah Sakit Umum Daerah Kota Yogyakarta yang beralamat di Jl. Wirosaban No. 1 Yogyakarta. Rumah Sakit Jogja merupakan Rumah Sakit kelas B non pendidikan berdasarkan Keputusan Menteri Kesehatan RI No. 1214/MENKeS/SK/IX/2007 tanggal 28 November 2007. Rumah Sakit ini mempunyai visi terwujudnya pelayanan prima dan menjadi pilihan utama masyarakat (Rumah Sakit Jogja, 2014). Untuk meminimalkan pengeluaran dana dalam pengolahan limbah medis, RSUD Kota Yogyakarta mengolah sendiri limbah medis yang dihasilkan oleh rumah sakit, yaitu mulai dari pemilahan sampai proses insenerasi. Petugas Pengelola Limbah (PPL) medis khususnya yang membawa limbah medis dari lokasi pembuangan sampah medis sampai ke tempat penampungan limbah medis yang ada di RSUD Kota Yogyakarta adalah petugas cleaning service, sedangkan yang mengolah atau membakar limbah medis adalah petugas khusus pengelola limbah medis di Rumah Sakit. Rumah Sakit Umum Daerah Kota Yogyakarta sejak bulan agustus 2014, telah terjadi menggunakan konsep baru dan kontrak baru bagi PPL medis. Perubahan konsep yang ada saat ini adalah bahwa proses pengambilan sampah medis sampai pengangkutan sampah medis ke tempat penampungan dilakukan oleh petugas cleaning service, sedangkan untuk pengolahan dilakukan oleh petugas khusus pengelola limbah medis. Dengan adanya perubahan tersebut, penerapan sistem manajemen K3 pada proses pengelolaan limbah yang ada di
6
RSUD Kota Yogyakarta saat ini masih kurang baik. Masih terdapat masalahmasalah dalam penerapan K3 pada PPL medis yaitu: (1) Kurangnya ketaatan PPL medis pada prosedur yang ada yang berkaitan dengan penggunaan APD, (2) Belum adanya pelatihan bagi petugas cleaning service yang bertugas mengambil dan mengangkut limbah ke lokasi penampungan limbah, (3) Belum adanya APD yang sesuai bagi cleaning service yang bertugas mengambil dan mengangkut limbah ke lokasi penampungan, (4) Terjadinya kecelakaan tertusuk jarum pada petugas cleaning service pada saat proses pengumpulan limbah medis padat, yang dikarenakan penggunaan sarung tangan yang tidak sesuai untuk pengolahan limbah medis, (5) Masih sering tercampurnya antara limbah medis dan non medis dalam tempat penampungan sementara di unit. Hal ini berkaitan dengan hasil penelitian terdahulu oleh Maulana (2011), bahwa di RSUD Kota Yogyakarta terdapat petugas pengelola limbah pada saat melakukan penimbangan limbah medis tidak menggunakan alat pelindung diri, hal ini berarti bahwa petugas pengelola limbah kurang taat pada kebijakan Prosedur Tetap Pengelolaan Limbah RSUD Kota Yogyakarta yang ada dan kegiatan proses evaluasi pada petugas pengelola limbah belum pernah dilakukan. Pada pasal 13 dari Undang-undang Keselamatan Kerja menetapkan bahwa barang siapa akan memasuki sesuatu tempat kerja diwajibkan mentaati semua petunjuk keselamatan kerja dan memakai alat pelindung diri yang diwajibkan (Sekretariat Negara RI, 1970). Mengetahui hal tersebut, baik tidaknya manajemen keselamatan dan kesehatan kerja pada petugas pengelola limbah medis perlu dilakukan suatu evaluasi. Menurut Suardi (2005), dalam penggunaan APD sebagai sarana pengendalian risiko, organisasi sebaiknya melakukan evaluasi secara mendalam terhadap peralatan yang digunakan dalam mengurangi risiko. Penggunaan APD tetap membutuhkan pelatihan atau instruksi kerja bagi karyawan yang mengggunakannya, termasuk pemeliharaannya. Karyawan harus mengerti bahwa penggunaan APD tidak menghilangkan bahaya yang akan terjadi. Jadi bahaya akan tetap terjadi jika ada kecelakaan. Atas dasar itulah peneliti tertarik melakukan
penelitian
dengan
judul
“Evaluasi
Penerapan
Manajemen
7
Keselamatan dan Kesehatan Kerja pada Pengelolaan Limbah Medis Padat RSUD Kota Yogyakarta”. B. Perumusan Masalah Berdasarkan latar belakang penelitian tersebut, maka dapat dirumuskan permasalahnya adalah “Bagaimanakah penerapan manajemen keselamatan dan kesehatan kerja pengelolaan limbah medis padat di RSUD Kota Yogyakarta meliputi komponen input, proses dan output?”
C. Tujuan Penelitian 1. Tujuan umum: Mengevaluasi penerapan manajemen keselamatan dan kesehatan kerja yang diterapkan pada petugas pengelola limbah medis padat di RSUD Kota Yogyakarta. 2. Tujuan khusus: a. Mengetahui dan menganalisis tentang input yang meliputi: organisasi, SDM, prosedur tetap (protap), pelatihan K3, APD, dan pemeriksaan kesehatan sebelum bekerja. b. Mengetahui dan menganalisis tentang proses yang meliputi: pemilahan, pengangkutan, penampungan, pengolahan, monitoring, pemeriksaan ketika bekerja, dan pelaporan kecelakaan kerja c. Mengetahui dan menganalisis tentang output yang meliputi: keselamatan dan kesehatan kerja.
D. Manfaat Penelitian Manfaat yang diambil dari penelitian ini adalah 1. Bagi Dinas Kesehatan Kota Yogyakarta. Dapat menjadi masukan dan acuan dalam pengambilan keputusan serta pengawasan terutama pengolahan limbah medis padat Rumah Sakit.
8
2. Bagi RSUD Kota Yogyakarta Dapat dijadikan masukan dalam pengambilan kebijakan tentang manajemen keselamatan dan kesehatan kerja pada petugas pengelola limbah di RSUD Kota Yogyakarta. 3. Bagi peneliti Dapat mengetahui manajemen keselamatan dan kesehatan kerja yang diterapkan pada petugas pengelola limbah medis di RSUD Kota Yogyakarta, serta menambah pengetahuan dan pengalaman belajar serta bermanfaat untuk menerapkan ilmu manajemen yang telah diperoleh selama duduk dibangku kuliah dan mendapatkan pengalaman yang nyata dalam melakukan penelitian.
E. Keaslian Penelitian Penelitian tentang evaluasi penerapan manajemen keselamatan dan kesehatan kerja pada petugas pengelola limbah RSUD Kota Yogyakarta sampai saat ini belum pernah dilakukan. Adapun penelitian yang serupa yang pernah dilakukan oleh peneliti sebelumnya sebagai berikut: 1. Yasari, (2008), melakukan penelitian tentang perilaku penggunaan alat pelindung diri dan kejadian dermatitis akibat kerja pada pekerja pengangkut sampah di PT. USB kota Jambi. Perbedaan pada penelitian ini adalah lokasi penelitian, variabel penelitian, dan jenis penelitiannya kuantitatif dilakukan secara observasional dengan rancangan cross sectional. Tujuan penelitian ini adalah menganalisis pengetahuan tentang K3 termasuk penggunaan APD, sikap dan tindakan penggunaan APD, dengan kejadian dermatitis akibat kerja pada pekerja pengangkut sampah di PT. USB kota Jambi. Hasil dari penelitian ini adalah: (a) Ada hubungan bermakna antaraa pengetahuan tentang K3 termasuk penggunaan APD dengan kejadian dermatitis akibat kerja (nilai p<0,05), tingkat pengetahuan rendah tentang K3 termasuk penggunaan APD cenderung dua kali berisiko terjadinya dermatitis akibat kerja, jika dibandingkan dengan pengetahuan yang tinggi. (b) Ada hubungan bermakna antara sikap penggunaan APD dengan kejadian dermatitis akibat kerja (nilai p<0,05), sikap penggunaan APD yang kurang baik cenderung 2
9
kali berisiko untuk terjadinya dermatitis akibat kerja jika dibandingkan dengan sikap yang baik. (c) Ada hubungan yang bermakna antara tindakan terhadap penggunaan APD dengan kejadian dermatitis akibat kerja (nilai p<0,05), tindakan terhadap penggunaan APD yang kuranag baik cenderung 7 kali berisiko untuk terjadinya terjadinya dermatitis akibat kerja jika dibandingkan tindakan yang baik. 2. Hatta, (2002), melakukan penelitian tentang penggunaan alat pelindung diri dan frekuensi kecelakaan kerja pada petugas penanganan sampah medis di beberapa rumah sakit Sumatera Barat. Hasil penelitian menunjukkan jumlah kejadian kecelakaan kerja pada petugas penanganan sampah medis di beberapa rumah sakit Provinsi Sumatera Barat lebih banyak terjadi pada petugas yang tidak menggunakan APD ( 91,3%) daripada yang menggunakan APD (8,7%) dalam bekerja. Perbedaan dengan penelitian ini terletak pada lokasi penelitian, variabel dan jenis penelitian yang digunakan adalah observasional dengan rancangan cross sectional. Tujuannya adalah untuk mengetahui perbedaan frekuensi kecelakaan kerja pada petugas penanganan sampah medis di beberapa rumah sakit Provinsi Sumatera Barat yang menggunakan dan tidak menggunakan APD. 3. Paramita, (2007), dengan judul “Evaluasi Pengelolaan Sampah Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat Gatot Soebroto”.
Penelitian ini bertujuan untuk
mengevaluasi pengelolaan sampah mulai dari pengumpulan, pewadahan, pengangkutan, penyimpanan pembakaran sampah yang ada di Rumah Pusat Angkatan Darat Gatot Soebroto. Perbedaan dengan penelitian ini terletak pada lokasi dan waktu penelitian. Hasil dari penelitian ini adalah (a) Tahap pengumpulan sampah dengan kantung plastik dibedakan menjadi tiga warna yaitu hitam untuk sampah non medis, kantung warna merah untuk limbah radioaktif, sedang kantung kuning untuk limbah/ sampah medis. (b) Sampah medis dan non medis memiliki perlakuan yang berbeda dalam pewadahan, pengangkutan dan penyimpanan. (c) Pembuangan sampah non medis dilakukan
dengan
menampung limbah
medis
di
TPS
yang
ditangani oleh Departemen Kebersihan DKI Jakarta. Untuk sampah medis
10
dimusnahkan Insinerator
dengan yang
membakarnya menggunakan insinerator. (d)
digunakan
di RSPAD
GS
memiliki
pembakaran 5 m³ dengan jenis Cotrolled Air Insinerator
kapasitas
yang dilengkapi
dengan pollution control berupa wet cahmber dan Hazard Particel Pervender.
(e) Parameter
Pembakaran
beberapa belum sesuai dengan
kriteria desain. (f) Pembakaran dilakukan dua hari sekali dengan berat rata-rata 872,8 kg sampah medis dengan reduksi massa hingga 70 80%,
serta reduksi volume sebesar 67%. (g) Dari
pemeriksaan
abu,
dihasilkan dari pembakaran limbah infeksius dengan insinerator cukup aman untuk selanjutnya dibuang ke landfill. Sedang emisi yang dilepas aman terhadap kandungan CO, namun belum dipastikan untuk zat lainnya. 4. Sukantoro, (2008), melakukan penelitian tentang evaluasi pengelolaan limbah klinis tajam Puskesmas di Kota Yogyakarta. Perbedaan terletak pada lokasi penelitian dan jenis penelitiannya adalah deskriptif evaluatif. Tujuan: untuk mengetahui sistem pengelolaan limbah klinis tajam Puskesmas di Kota Yogyakarta. Hasil penelitian : (a) Sistem pengelolaan limbah klinis tajam puskesmas di Kota Yogyakarta menggunakan sistem terpadu yang dikoordinasi oleh Dinas Kesehatan Kota Yogyakarta. Di sumber penghasil jarum setelah digunakan menyuntik tanpa ditutup kembali langsung dimasukkan ke safety box kemudian dimusnakan dengan insinerator terpusat. Belum ada pencatatan dan pelaporan pengelolaan limbah klinis tajam. (b) Belum semua petugas berperilaku sesuai dengan kaidah pengelolaan limbah klinis tajam. (c) Belum ada pencatatan dan pelaporan angka kecelakaan. (d) Pengelolaan limbah klinis tajam Puskesmas di Kota Yogyakarta belum memenuhi kaidah pengelolaan limbah pelayanan kesehatan yang aman.