BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah negara yang berdasar atas hukum (rechtsstaat) dan bukan negara atas kekuasaan (machtsstaat), maka kedudukan hukum harus ditempatkan di atas segala-galanya. Setiap perbuatan harus sesuai dengan aturan hukum tanpa kecuali. 1 Ketentuan tersebut tercermin dalam pokok-pokok pikiran yang terkandung dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 alinea keempat yang menyebutkan bahwa: “…membentuk suatu pemerintahan negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia danmemajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, danikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial berdasarkan Pancasila”.
Ketetapan MPR No. IV/MPR/1999 tentang Garis Garis Besar Haluan Negara (GBHN), telah menentukan arah kebijakan di bidang hukum khususnya mengenai sistem hukum nasional yang menyeluruh dan terpadu dengan mengakui dan menghormati hukum agama dan hukum adat, serta memperbaharui perundang-undangan warisan Belanda dan hukum nasional yang diskriminatif termasuk ketidakadilan gender dan ketidak sesuaiannya dengan tuntutan reformasi melalui program legislasi. Pembangunan dalam bidang hukum khususnya pembangunan hukumpidana, tidak hanya mencakup pembangunan yang bersifat struktural, yakni pembangunan lembaga-lembaga hukum yang bergerak dalam suatu mekanisme, tetapi harus juga mencakup pembanguan substansial berupa produk-produk yang merupakan hasil suatu system hukum dalam bentuk peraturan hukum pidana danyang bersifat kultural, yakni sikap-sikap dan nilai-nilai yang mempengaruhi berlakunya sistem hukum. 2 Usaha pembaharuan hukum pidana sampai saat ini terus dilakukan, dengan satu tujuan utama yakni menciptakan suatu kodifikasi hukum pidananasional untuk menggantikan kodifikasi hukum pidana yang merupakan warisan kolonial yakni Wetboek van Strafrecht voor Nederlands Indie 1915 yang merupakan turunan dari Wetboek van Strafrecht negeri Belanda tahun 1886, 3 yang mulai berlaku 1 Januari 1918.
1
Jimly Asshiddiqie, Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia, (Jakarta: Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI, 2006), hal. 69 2
Nyoman Serikat Putra Jaya, Relevansi Hukum Pidana Adat dalam Pembaharuan Hukum Pidana Nasional, (Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 2005), hal. 3-4 3
Muladi, Lembaga Pidana Bersyarat, (Bandung: Penerbit Alumni, 2002), hal. 4
Universitas Sumatera Utara
Upaya pembangunan hukum dan pembaharuan hukum harus dilakukan secara terarah dan terpadu. Kodifikasi dan unifikasi bidang-bidang hukum dan penyusunan perundang-undangan baru sangat dibutuhkan. Instrument hukum dalam bentuk perundang-undangan ini sangat diperlukan untuk mendukung pembangunan diberbagai bidang sesuai dengan tuntutan pembangunan sertatingkat kesadaran hukum serta pandangan masyarakat tentang penilaian suatu tingkah laku. Menurut Romli Atmassasmita 4, analisis mengenai pembaharuan hukum pidana ini adalah sebagai berikut: 1. Pembaharuan hukum pidana tidaklah dapat terjadi tanpa adanya perubahan pandangan masyarakat tentang penilaian suatu tingkah laku 2. Peubahan penilaian atas suatu tingkah laku dimaksud tidaklah terlepas dari dukungan social budaya dimana masyarakat tumbuh 3. Paradigma studi kejahatan yang mempergunakan model konsensus akan menghasilkan pertumbuhan dan pembaharuan hukum pidana yang lebih mementingkan perorangan atau kelompok tertentu. Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi turut mempengaruhi cara berpikir, bersikap dan bertindak. Perubahan sikap danpandangan dan orientasi warga masyarakat inilah yang mempengaruhi kesadaran hukum dan penilaian terhadap suatu tingkah laku. Apakah perbuatan tersebut dianggap lazim atau bahkan sebaliknya merupakan suatu ancaman bagi ketertibansosial. Perbuatan yang mengancam ketertiban sosial atau kejahatan seringkali memanfaatkan atau bersaranakan teknologi. Kejahatan ini merupakan jenis kejahatan yang tergolong baru serta berbahaya bagi kesejahteraan masyarakat. Untuk mengantisipasi perkembangan masyarakat dalam kaitannya denganperubahan kejahatan tersebut, maka dapat dilakukan usaha perencanaan pembuatan hukum pidana yang menampung segala dinamika masyarakat hal ini merupakan masalah kebijakan yaitu mengenai pemilihan sarana dalam mengatur kehidupan bermasyarakat. Dalam pembaharuan hukum pidana Indonesia, terlebih dahulu haruslah diketahui permasalahan pokok dalam hukum pidana.Hal demikian penting, karena hukum pidana merupakan cerminan suatu masyarakat yang merefleksi nilai-nilai yang menjadi dasar masyarakat itu.Bila nilai-nilai itu berubah, maka hukum pidana juga berubah. 5 Dengan tanpa mengabaikan masalah tindak pidana dan masalah kesalahan, maka masalah penjatuhan pidana (sanksi) dewasa ini juga dicarikan pemecahannya. Masalah tersebut adalah adanya ketidakpuasan dari masyarakat maupun pelaku kejahatan 4
Romli Atmasasmita, Teori dan Kapita Selekta Kriminologi, (Bandung: PT Refika Aditama, 2005), hal. 58 5
A.Z. Abidin, Bunga Rampai Hukum Pidana, Jakarta: Pradnya Paramita, 1983
Universitas Sumatera Utara
(terpidana) terhadap penjatuhan jenis pidana (strafsoor) yang dikehendaki dan penentuan berat ringannya pidana yang dijatuhkan (strafmaat). Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) di Indonesia, hanya ditentukan mengenai: 1. Maksimum dan minimum, misalnya untuk pidana penjara minimum satu hari dan maksimum 15 tahun seperti yang tercantum dalam pasal 12 ayat (2) KUHP yang berbunyi sebagai berikut: “Pidana penjara selama waktu tertentu paling pendek satu hari dan paling lama lima belas tahun berturut-turut”. Sedangkan untuk pidana kurungan minimum satu hari dan maksimum satu tahun seperti yang tercantum dalampasal 18 KUHP ayat (1) yang berbunyi: “Pidana kurungan paling sedikit satu hari dan paling lama satu tahun”. 2. Aturan pemberian pidana (straftoemetingregels) seperti yang diatur dalam pasal 47 ayat (1), pasal 52, dan pasal 63 sampai dengan pasal 71 KUHP 3. Maksimum khusus pada setiap tindak pidana, misalnya dalam pasal 362 KUHP berbunyi: “Barang siapa mengambil barang sesuai yang seluruhnya atau sebagian kepunyaan orang lain, dengan maksud untuk dimiliki secara melawan hukum, diancam karena pencurian, dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau pidana denda paling banyak Sembilan ratus rupiah” Selain ketentuan di atas maka konsep KUHP Nasional tahun 2002, pada buku I pasal 64 ayat (2), dinyatakan sebagai berikut: “Pidana penjara untuk waktu tertentu dijatuhkan paling lama 15 (lima belas) tahun berturut-turut atau paling singkat 1 (satu) hari, kecuali ditentukan minimum khusus”. Berdasarkan pasal tersebut di atas, maka dalam konsep KUHP Nasional tahun 2002 dimungkinkan adanya minimum khusus untuk tindak pidana tertentu dan hal ini merupakan salah satu upaya pembaharuan hukum pidana materil di Indonesia yang merupakan bagian dari sistem pemidanaan. Masalah sistem minimum khusus ini disamping erat kaitannya dengan tujuan pemidanaan yaitu untuk memperbaiki terpidana maupun masyarakat, juga berkaitan erat dengan tujuan pembaharuan hukum pidana yaitu untuk penanggulangan kejahatan. Pembaharuan hukum pidana itu sendiri pada hakikatnya ditujukan kepada pidana yang mempunyai jiwa dan kasih sayang sesama manusia, sehingga pidana tersebut sekali-kali
Universitas Sumatera Utara
tidak boleh meninggalkan nilai-nilai kemanusiaan yang berintikan kasih sayang terhadap sesama manusia. Dengan melihat ketentuan yang ada dalam KUHP yang mengatur tentang minimum umum pidana penjara salaam satu hari, maka hal tersebut perlu diimbangi dengan minimum khusus terutama untuk delik-delik yang dipandang sangat merugikan atau membahayakan masyarakat pada umumnya dan delik yang dikualifikasikan oleh akibatnya. Apabila dilihat dari sudut sistem pemidanaan, pencantuman jumlah sanksi/ ancaman pidana minimum dalam perumusan delik (aturan khusus) hanya merupakan salah satu sub sistem dari sistem pemidanaan. Selanjutnya Barda Nawawi Arief mengemukakan: 6 “Sistem minimal khusus merupakan suatu penyimpangan dari system induk di dalam KUHP. Oleh karena itu apabila undang-undang di luar KUHP membuat ketentuan minimal khusus, maka harus dibuat aturan penerapan pidana-nya yang bersifat khusus pula. Oleh karena itu, pidana minimum khusus ini tidak dapat begitu saja diterapkan/ dioperasionalkan dalam perumusan delik. Untuk dapat diterapkan, harus ada sub sistem lain yang mengaturnya yaitu harus ada aturan/ pedoman pemidanaannya. Jadi, permasalahannya bukan terletak pada masalah, bahwa ketentuan minimal khusus itu dapat menimbulkan ketidak adilan, tetapi pada tidak adanya aturan pedoman pemidanaannya”
Oleh karena dalam KUHP sebagai buku induk dari semua perundang-undangan pidana di Indonesia tidak diatur mengenai pidana minimum khusus ini, maka hal ini merupakan suatu penyimpangan, sehingga apabila dalam perundang-undangan di luar KUHP dicantumkan mengenai pidana minimum khusus, seharusnya pula disertai dengan aturan pedoman pemidanaannya.
B. Permasalahan Permasalahan yang akan dibahas dalam penelitian skripsi ini adalah: 1. Bagaimanakah latar belakang munculnya sistem pidana minimum khusus dalam perundang-undangan pidana di Indonesia? 2. Bagaimanakah sistem pidana minimum khusus dalam perundang-undangan di luar KUHP dan di dalam rancangan KUHP Indonesia?
C. Tujuan dan Manfaat Penulisan 6
Barda Nawawi Arief, Kapita Selekta Hukum Pidana, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2003), hal. 82.
Universitas Sumatera Utara
1. Tujuan a. Untuk mengetahui latar belakang munculnya sistem pidana minimum khusus dalam perundang-undangan pidana di Indonesia b. Untuk mengetahui sistem pidana minimum khusus dalam perundangundangan di luar KUHP dan di dalam rancangan KUHP Indonesia
2. Manfaat a. Teoritis Secara teoritis penelitian ini diharapkan dapat menambah informasi atau wawasan yang lebih konkrit bagi aparat penegak hukum dan pemerintah, khususnya dalam memformulasikan pidana minimum khusus di Indonesia dan hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran ilmiah bagi pengembangan ilmu pengetahuan hukum pada umumnya, dan pengkajian hukum khususnya yang berkaitan dengan kebijakan dalam pidana minimum khusus.
b. Praktis Secara praktis, penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai bahan masukan dan sumbangan pemikiran upaya pembaharuan hukum pidana, khususnya dalam penyusunan KUHP baru, sebagai pengganti dari KUHP sekarang yang berasal dari WvS mengenai kebijakan pidana penjara minimum khusus. D. Keaslian Penulisan Berdasarkan pemeriksaan dan hasil-hasil penelitian yang ada, penelitian mengenai “Analisis Terhadap Keberadaan Sistem Pidana Minimum Khusus dalam Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dan Peraturan PerundangUndangan di Luar KUHP” belum pernah dibahas oleh mahasiswa lain di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. Skripsi ini asli disusun oleh penulis sendiri dan bukan plagiat atau diambil dari skripsi lain. Semua ini merupakan implikasi etis dari proses menemukan kebenaran ilmiah, sehingga penelitian ini dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya secara ilmiah. Apabila ternyata ada skripsi yang sama, maka penulis akan bertanggung jawab sepenuhnya.
E. Tinjauan Kepustakaan
Universitas Sumatera Utara
1. Pengertian Tindak Pidana Istilah tindak pidana berasal dari istilah yang dikenal dalam hukum pidana Belanda yaitu “strafbaar feit”. Walaupun istilah ini terdapat dalam Wet Boek Van Strafrecht voor Nederlands Indie, akan tetapi tidak ada penjelasan resmi tentang apa yang dimaksud dengan strafbaar feit tersebut. Karena itu para ahli hukum berusaha memberi arti dari istilah tersebut walau sampai saat ini belum ada keseragaman pendapat. 7 Pembentuk undang-undang telah menggunakan perkataan “strafbaar feit” untuk menyebutkan apa yang dikenal sebagai tindak pidana di dalam KUHP tanpa memberikan suatu penjelasan mengenai apa sebenarnya yang dimaksud dengan perkataan “strafbaar feit. Perkataan feit sendiri di dalam bahasa Belanda berarti sebahagian dari suatu kenyataan, sedangkan strafbaar feit itu dapat diterjemahkan sebagai suatu kenyataan yang dapat dihukum, yang sudah barang tentu tidak tepat, oleh karena kelak akan diketahui bahwa yang dapat dihukum itu sebenarnya adalah manusia sebagai pribadi dan bukan kenyataan, perbuatan atau tindakan. Hazewinkel-Suringa membuat rumusan yang umum dari strabaar feit sebagai perilaku manusia yang pada suatu saat tertentu telah ditolak dalam sesuatu pergaulan hidup tertentu dan dianggap sebagai perilaku yang harus diadakan oleh hukum pidana dengan menggunakan sarana-sarana yang bersifat memaksa yang terdapat di dalamnya. 8 Istilah-istilah yang pernah dipergunakan baik dalam perundang-undangan maupun dalam berbagai literatur hukum sebagai terjemahan dari istilah strafbaar feitadalah : tindak pidana, peristiwa pidana, delik, pelanggaran pidana, perbuatan yang boleh dihukum, perbuatan yang dapat dihukum, perbuatan pidana. Nyatalah kini setidaktidaknya ada dikenal tujuh istilah bahasa Indonesia.Strafbaar feit terdiri dari tiga kata, yakni straf, baar dan feit. Dari tujuh istilah yang digunakan sebagai terjemahaan dari strafbaar feit, ternyata straf diterjemahkan dengan pidana dan hukum. Perkataan baar diterjemahkan dengan dapat dan boleh. Sedangkan untuk kata feit diterjemahkan dengan tindak, peristiwa, pelanggaran, dan perbuatan. Menurut wujud dan sifatnya, tindak pidana adalah perbuatan yang melawan hukum. Perbuatan-perbuatan ini merugikan masyarakat, dalam arti bertentangan dengan atau menghambat akan terlaksananya tata dalam pergaulan masyarakat yang dianggap baik dan adil. Dapat pula dikatakan bahwa perbuatan pidana ini adalah perbuatan yang anti sosial. Moeljatno, memakai istilah “perbuatan pidana” untuk menggambarkan isi pengertian strafbaar feit dan beliau mendefinisikannya sebagai suatu perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum, larangan mana disertai ancaman (sanksi) yang berupa pidana tertentu, bagi barang siapa melanggar larangan tersebut. Beliau tidak setuju dengan istilah “tindak pidana” karena menurut beliau “tindak” lebih pendek daripada
7
Adami Chazawi, Pelajaran Hukum PidanaI, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2002),
hal 67. 8
P.A.F. Lamintang, Dasar-dasar Hukum Pidana Indonesia, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 1997), hal. 181.
Universitas Sumatera Utara
perbuatan, “tindak” tidak menunjukkan kepada hal yang abstrak seperti perbuatan, tetapi hanya menyatakan keadaan konkrit. 9 Dari pengertian tersebut, tindak pidana tersebut mengandung unsur-unsur sebagai berikut: a. Perbuatan b. Yang dilarang ( oleh aturan hukum ) c. Ancaman pidana ( bagi yang melanggar ) Dari uraian unsur tindak pidana diatas, maka yang dilarang adalah perbuatan manusia, yang melarang adalah aturan hukum. Berdasarkan uraian kata perbuatan pidana, maka pokok pengertian adalah pada perbuatan itu, tetapi tidak dipisahkan dengan orangnya. Ancaman (diancam) dengan pidana menggambarkan bahwa seseorang itu dipidana karena melakukan perbuatan yang dilarang dalam hukum. Berdasarkan Pasal 1 Ayat 1 KUHP seseorang yang melakukan tindak pidana dapat dihukum apabila memenuhi hal-hal berikut: a.Ada norma pidana tertentu b. Norma pidana tersebut berdasarkan undang-undang c.Norma pidana itu harus telah berlaku sebelum perbuatan terjadi. Dengan perkataan lain, bahwa tidak seorangpun karena suatu perbuatan tertentu, bagaimanapun bentuk perbuatan tersebut dapat dihukum kecuali telah ditentukan suatu hukuman berdasarkan undang-undang terhadap perbuatan itu. Jadi syarat utama dari adanya “perbuatan pidana” adalah kenyataan bahwa ada aturan hukum yang melarang dan mengancam dengan pidana barang siapa yang melanggar larangan tersebut. 2. Sistem pemidanaan di indonesia Andi Hamzah memberikan arti sistem pidana dan pemidanaan sebagai susunan (pidana) dan cara pemidanan. M. Sholehuddin menyatakan, bahwa masalah sanksi merupakan hal yang sentral dalam hukum pidana karena seringkali menggambarkan nilainilai sosial budaya suatu bangsa. Artinya pidana maengandung tata nilai (value) dalam suatu masyarakat mengenai apa yang baik dan yang tidak baik, apa yang bermoral dan apa yang amoral serta apa yang diperbolehkan dan apa yang dilarang. 10 Sistem merupakan jalinan dari beberapa unsur yang menjadi satu fungsi. Sistem pemidanaan memegang posisi strategis dalam upaya untuk menanggulangi tindak pidana yang terjadi.Sistem pemidanaan adalah suatu aturan perundang-undangan yang 9
Leden Marpaung, Unsur-unsur Perbuatan yang dapat Dihukum, (Jakarta: Sinar Grafika, 1991), hal. 3 10 Mohammad Ekaputra dan Abul Khair, Sistem Pidana Di Dalam KUHP Dan Pengaturannya Menurut Konsep KUHP Baru, (Medan: USU Press, 2010), hal. 13.
Universitas Sumatera Utara
berhubungan dengan sanksi pidana dan pemidanaan. Apabila pengertian sistem pemidanaan diartikan secara luas sebagai suatu proses pemberian atau penjatuhan pidana oleh hakim, maka dapatlah dikatakan bahwa sistem pemidanaan mencakup keseluruhan ketentuan perundang-undangan yang mengatur bagaimana hukum pidana itu ditegakkan atau dioperasionalkan secara konkret sehingga seseorang dijatuhi sanksi (hukum) pidana. Ini berarti semua aturan perundang-undangan mengenai hukum pidana substantif, hukum pidana formal dan hukum pelaksanaan pidana dapat dilihat sebagai satu kesatuan sistem pemidanaan. Dengan demikian dapatlah dikatakan bahwa pemidanaan tidak dapat terlepas dari jenis-jenis pidana yang diatur dalam hukum positif suatu negara. Pemidanaan yang dilakukan oleh suatu masyarakat yang teratur terhadap pelaku kejahatan dapat berbentuk menyingkirkan atau melumpuhkan para pelaku tindak pidana, sehingga pelaku tersebut tidak lagi menggangu di masa yang akan datang. Cara menyingkirkan dapat dilakukan bermacam-macam yaitu berupa pidana mati, pembuangan, pengiriman keseberang lautan dan sampai pemenjaraan. Secara berangsurangsur ada kecenderungan cara pemidanaan itu mengalami pergeseran dari waktu ke waktu. Pada zaman dahulu sebelum ada pengaruh asing penduduk Indonesia mempunyai hukum sendiri yang bersifat Melayu Polinesia, dan pandangan animistis-fetiistis menjadi dasarnya. Susunan pidananya berupa 11: 1. Pembalasan umum, ialah pembalasan keluarga terhadap keluarga, marga terhadap marga 2. Pembalasan khusus, ialah pembalasan oleh orang yang dirugikan terhadap yang merugikan 3. Pembayaran uang damai (pemulih) yang dibayar oleh yang merugikan kepada yang dirugikan atau oleh desa, marga atau keluarga dari orang yang merugikan kepada orang yang dirugikan, atau kepada desanya, marga atau keluarganya Pada zaman kerajaan majapahit dikenal sistem pemidanaan berupa; pidana pokok yang meliputi pidana mati, pidana potong anggota badan bagi yang bersalah, denda, ganti kerugian, atau pangligawa atau putukucawa. Dan juga dikenal pidana tambahan yang meliputi tebusan, penyitaan dan patibajambi (uang pembeli obat). Dalam kitab perundang-undangan Majapahit sama sekali tidak mengenal pidana penjara dan pidana kurungan. Dengan demikian tiap-tiap orang yang bersalah harus menjalani salah satu dari empat pidana pokok di atas. Berbeda dengan keadaan Majapahit, untuk keadaan sekarang sistem pemidanaan telah mengalami banyak perubahan-perubahan yang berupa penyempurnaan dari sistem yang telah lalu. Tidak telepas pula dengan keadaan di Indonesia, sistem pemidanaan yang 11
Mr. R.A. Koesnoen dalam Andi Hamzah dan Siti Rahayu, Suatu Tinjauan Ringkas Sistem Pemidanaan di Indonesia, (Jakarta: Akademik Pressindo, 1983), hal. 61
Universitas Sumatera Utara
ada berlaku hingga sekarang masih mengacu pada K.U.H.Pidana yang merupakan warisan Kolonial Belanda. Dari sistem ini yang tercantum dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana tersebut banyak menimbulkan permasalahan, diantaranya mengenai relevansinya sistem pemidanaan yang dipakai dewasa ini dengan keadaan dan aspirasi bangsa Indonesia. a. Sistem Pemidanaan Di dalam KUHPidana Jenis-jenis pidana dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana tercantum dalam Pasal 10. Pasal ini sebagai dasar bagi hakim dalam menjatuhkan pidana. Pasal ini menyebutkan ada 2 (dua) jenis pidana yaitu : 1) jenis pidana pokok meliputi ; a) pidana mati b) pidana penjara c) pidana kurungan d) pidana denda 2) jenis pidana tambahan meliputi ; a) pencabutan hak-hak tertentu b) perampasan barang-barang tertentu c) pengumuman putusan hakim Selain jenis sanksi yang berupa pidana, di dalam KUHP terdapat pula jenis sanksi berupa tindakan (maatregel/measure/treatment), misalnya terhadap anak di bawah umur ada 2 (dua) kemungkinan, yaitu: (1) mengembalikan kepada orang tua atau yang memelihara; dan (2) menyerahkan kepada pendidikan paksa negara. Bagi yang cacat mental atau sakit jiwa dimasukkan ke rumah sakit jiwa paling lama 1 (satu) tahun. 12 Dengan demikian, bahwa sistem pemidanaan yang tercantum dalam KUH Pidana mengenal dua macam sistem yaitu, sistem pemidanaan alternatif dan sistem pemidanaan tunggal. Alternatif artinya bahwa hakim dalam memutuskan perkara boleh memilah dalam menjatuhkan putusannya, sedangkan sistem pemidanaan tunggal diartikan bahwa hakim dalam menjatuhkan putusannya harus sesuai dengan rumusan yang terdapat dalam Pasal tersebut. Sistem pemidanaan yang bersifat tunggal sebagaimana dianut K.U.H Pidana dapat dilihat dalam pasal 489 ayat (1) Buku ke III KUH Pidana tentang pelanggaran terhadap keamanan umum bagi orang dan barang.
12
Andi Hamzah, Asas-Asas Hukum Pidana, Rineka Cipta, Jakarta, 1994, hal.199
Universitas Sumatera Utara
b. Sistem Pemidanaan di Luar Kitab Undang-undang Pidana Untuk sistem pemidanaan yang terdapat di luar Undang-undang Hukum Pidana, juga menganut sistem pemidanaan alternatif dan sistem pemidaan kumulatif, ini bisa dilihat dalam Pasal 13 Undang-undang Nomor 11 Tahun 1963 tentang pemberantasan kegiatan subversi. Adapun selain Undang-undang Nomor 11 Tahun 1963 yang menganut sistem pemidanaan alternatif dan kumulatif, yaitu Undang-undang No 3 tahun 1971 tentang pemberantasan korupsi, khususnya Pasal 28 (alternatif dan kumulatif), 29, 30, 31, dan 32 (kumulatif dan alternatif), Undang-undang Nomor 7/drt/Tahun 1955 tentang pengusutan, penuntutan, dan peradilan tindak pidana ekonomi, misalnya Pasal 6 yang mengadakan sistem kumulatif. Untuk Undang-undang Nomor 12/drt/Tahun 1951 tentang senjata api, yaitu Pasal 1 ayat (1) (alternatif) dan Pasal 2 (tunggal).
F. Metode Penelitian 1. Jenis Penelitian Penelitian yang dilaksanakan dalam skripsi ini adalah penelitian hukum normatif yaitu penelitian terhadap masalah dengan melihat dari segi peraturan-peraturan yang berlaku.
2. Sumber Data Dalam penelitian hukum normatif, yang dipergunakan adalah bahan hukum. Untuk memecahkan isu hukum dan sekaligus memberikan preskripsi mengenai apa yang seyogianya, diperlukan sumber-sumber penelitian yang berupa bahan-bahan hukum primer dan bahan-bahan hukum sekunder. 13 a. Bahan Hukum Primer Bahan hukum primer yang digunakan dalam penelitian ini adalah: 1) Undang-Undang Dasar 1945. 2) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Adapun beberapa pasal yang terkait dalam penulisan skripsi ini adalah: 1. Pasal 1 ayat (1) 2. Pasal 10 3. Pasal 12 ayat (2) 13
141.
Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, (Jakarta: Prenada Media Group, 2005), hal.
Universitas Sumatera Utara
4. Pasal 18 ayat (1) 5. Pasal 47 ayat (1) 6. Pasal 52 7. Pasal 53 ayat (2) 8. Pasal 57 ayat (1) 9. Pasal 63 sampai dengan pasal 71 10. Pasal 64 ayat (2) 11. Pasal 231 12. Pasal 333 13. Pasal 334 14. Pasal 362 15. Pasal 408 16. Pasal 409 17. Pasal 426 ayat (2), ayat (4) 18. Pasal 427 19. Pasal 477 ayat (2) 20. Pasal 489ayat (1) 3) Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Nasional 4) Peraturan perundang-undangan lainnya yang berkaitan dengan penelitian ini. Beberapa peraturan perundang-undangan yang berkaitan antara lain: 1. Undang-undang Nomor 11/PnPs/Tahun 1963 tentang Pemberantasan Kegiatan Subversi 2. Undang-undang Nomor 7/drt/Tahun 1955 tentang Pengusutan, Penuntutan, dan Peradilan Tindak Pidana Ekonomi 3. Undang-undang Nomor 12/drt/Tahun 1951 tentang Senjata Api 4. Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia (HAM)
Universitas Sumatera Utara
5. Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme 6. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan 7. Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara Yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme 8. Undang-undang No 3 tahun 1971 tentang Pemberantasan Korupsi b. Bahan Hukum Sekunder Bahan hukum sekunder yang digunakan dalam penelitian ini adalah: 1) Buku-buku hukum. 2) Bahan-bahan kuliah penemuan hukum. 3) Artikel di jurnal hukum. 4) Komentar-komentar atas putusan pengadilan. 5) Tesis, disertasi hukum. 6) Karya dari kalangan hukum yang ada hubungannya dengan penelitian ini. c. Bahan Hukum Tertier Bahan hukum tertier atau bahan hukum penunjang pada penelitian ini adalah: 1) Kamus hukum dan kamus bahasa Indonesia. 2) Majalah-majalah yang ada hubungannya dengan penelitian ini.
3. Teknik Pengumpulan Bahan Hukum Pengumpulan bahan hukum dilakukan dengan cara penelitian kepustakaan (Library Research) yaitu penelitian yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka atau yang disebut dengan data sekunder dan pengumpulan bahan hukum dari berbagai literatur. Adapun bahan hukum yang digunakan dalam penulisan skripsi ini antara lain berasal dari buku-buku baik koleksi pribadi maupun dari perpustakaan, artikel-artikel baik yang diambil dari media cetak maupun media elektronik, dokumen-dokumen pemerintah, termasuk peraturan perundang-undangan.
Universitas Sumatera Utara
4. Analisis Pada penelitian hukum normatif, pengolahan bahan hakikatnya kegiatan untuk mengadakan sistematisasi terhadap bahan-bahan hukum tertulis. Sistematisasi berarti membuat klasifikasi terhadap bahan-bahan hukum tertulis tersebut untuk memudahkan pekerjaan analisis dan konstruksi. Kegiatan-kegiatan yang dilakukan dalam analisis data dalam penelitian ini adalah: a. Memilih pasal-pasal yang berisi kaidah-kaidah hukum yang mengatur tentang sistem pemidanaan. b. Membuat sistematik dari Pasal-Pasal tersebut sehingga menghasilkan klasifikasi tertentu (yang selaras dengan sistem pemidanaan). c. Bahan yang berupa peraturan perundang-undangan ini dianalisis secara kualitatif, dengan menggunakan logika berfikir dalam menarik kesimpulan secara metode deduktif, yaitu kerangka pemikiran diarahkan kepada aspek-aspek normatif yang terkandung dalam hukum positif. Sehingga hasil dari analisis ini diharapkan dapat menjawab permasalahan yang dikemukakan dalam tulisan ini.
G. Sistematika Penulisan Sistematika penulisan dalam skripsi ini adalah sebagai berikut: BAB I:
Bab ini merupakan bab pendahuluan yang isinya antara lain memuat Latar Belakang, Pokok Permasalahan, Tujuan dan Manfaat Penulisan, Tinjauan Kepustakaan, Metode Penelitian dan Sistematika Penulisan.
BAB II :
Bab ini akan membahas latar belakang munculnya sistem pidana minimum khusus dalam perundang-undangan pidana di Indonesia, yang memuat tentang Sistem, tujuan dan teori pemidanaan, pembaharuan hukum pidana di Indonesia, dan latar belakang pemikiran dianutnya pidana penjara minimum khusus
Universitas Sumatera Utara
BAB III:
Bab ini akan membahas tentang sistem pidana minimum khusus dalam perundang-undangan di luar KUHP dan di dalam Rancangan KUHP Indonesia, yang mengulas tentang pidana minimum khusus dalam perundang-undangan di luar KUHP dan pidana minimum khusus dalam rancangan KUHP Nasional di masa mendatang
BAB IV:
Bab ini merupakan bab terakhir, yaitu sebagai bab penutup yang berisi kesimpulan dan saran-saran mengenai permasalahan yang dibahas.
Universitas Sumatera Utara