BAB I PENDAHULUAN
A. Latar belakang Nilai-nilai, keyakinan dan filosofi individu memainkan peranan penting pada pengambilan keputusan etik yang menjadi bagian tugas rutin perawat. Peran perawat ditantang ketika harus berhadapan dengan masalah dilema etik, untuk memutuskan mana yang benar dan salah; apa yang dilakukannya jika tak ada jawaban benar atau salah; dan apa yang dilakukan jika semua solusi tampak salah. Perawat profesional harus menghadapi tanggung jawab etik dan konflik yang mungkin meraka alami sebagai akibat dari hubungan mereka dalam praktik profesional. Kemajuan dalam bidang kedokteran, hak klien, perubahan sosial dan hukum telah berperan dalam peningkatan perhatian terhadap etik. Standart perilaku perawat ditetapkan dalam kode etik yang disusun oleh asosiasi keperawatan internasional, nasional, dan negera bagian atau provinsi. Perawat harus mampu menerapkan prinsip etik dalam pengambilan keputusan dan mencakup nilai dan keyakinan dari klien, profesi, perawat, dan semua pihak yang terlibat. Perawat memiliki tanggung jawab untuk melindungi hak klien dengan bertindak sebagai advokat klien. Dilema etik dapat bersifat personal ataupun profesional. Dilema sulit dipecahkan bila memerlukan pemilihan keputusan tepat diantara dua atau lebih prinsip etis. Penetapan keputusan terhadap satu pilihan, dan harus membuang yang lain menjadi sulit karena keduanya sama-sama memiliki kebaikan dan keburukan apalagi jika tak satupun keputusan memenuhi semua kriteria. Berhadapan dengan dilema etis bertambah pelik dengan adanya dampak emosional seperti rasa marah, frustrasi, dan takut saat proses pengambilan keputusan rasional. Pada pasien dengan kasus-kasus terminal sering ditemui dilema etik, misalnya kematian batang otak, penyakit terminal misalnya gagal ginjal. Pada makalah ini akan dibahas tentang dilema etik pada kasus pasien dengan Leukemia yang disarankan untuk dilakukan transplantasi sum-sum tulang.
1
B. Tujuan 1. Tujuan Umum Untuk menggambarkan konsep etika dan hukum dalam keperawatan serta langkah penyelesaian dalam pengambilan keputusan etik. 2. Tujuan Khusus 1) Mampu memahami tentang pengertian etika keperawatan 2) Mampu memahami tentang tujuan etika keperawatan 3) Mampu memahami kode etik dalam keperawatan 4) Mampu mamahami fungsi hukum dalam keperawatan
2
BAB II TINJAUAN TEORITIS 2.1 Konsep Etika dan Hukum 2.1.1 Konsep Etik 2.1.1.1 Pengertian Etika Keperawatan Etik atau ethics berasal dari kata yunani, yaitu etos yang artinya adat, kebiasaaan, perilaku, atau karakter. Sedangkan menurut kamus webster, etik adalah suatu ilmu yang mempelajari tentang apa yang baik dan buruk secara moral. Dari pengertian di atas, etika adalah ilmu tentang kesusilaan yang menentukan bagaimana sepatutnya manusia hidup di dalam masyarakat yang menyangkut aturan-aturan atau prinsip-prinsip yang menentukan tingkah laku yang benar, yaitu : o
baik dan buruk
o
kewajiban dan tanggung jawab (Ismani,2001).
2.1.1.2 Tipe-Tipe Etik a. Bioetik Bioetik merupakan studi filosofi yang mempelajari tentang kontroversi dalam etik, menyangkut masalah biologi dan pengobatan. Lebih lanjut, bioetik difokuskan pada pertanyaan etik yang muncul tentang hubungan antara ilmu kehidupan, bioteknologi, pengobatan, politik, hukum, dan theology. Isu dalam bioetik antara lain : peningkatan mutu genetik, etika lingkungan, pemberian pelayanan kesehatan b. Clinical ethics/Etik klinik Etik klinik merupakan bagian dari bioetik yang lebih memperhatikan pada masalah etik selama pemberian pelayanan pada klien. Contoh : adanya persetujuan atau penolakan, dan bagaimana seseorang sebaiknya merespon permintaan medis yang kurang bermanfaat (sia-sia). c. Nursing ethics/Etik Perawatan Bagian dari bioetik, yang merupakan studi formal tentang isu etik dan dikembangkan dalam tindakan keperawatan serta dianalisis untuk mendapatkan keputusan etik.
3
2.1.1.3 Teori Etik a. Utilitarian Kebenaran atau kesalahan dari tindakan tergantung dari konsekwensi atau akibat tindakan Contoh : Mempertahankan kehamilan yang beresiko tinggi dapat menyebabkan hal yang tidak menyenangkan, nyeri atau penderitaan pada semua hal yang terlibat, tetapi pada dasarnya hal tersebut bertujuan untuk meningkatkan kesehatan ibu dan bayinya. b. Deontologi Pendekatan deontologi berarti juga aturan atau prinsip. Prinsip-prinsip tersebut antara lain autonomy, informed consent, alokasi sumber-sumber, dan euthanasia.
2.1.1.4 Prinsip-Prinsi Etik a. Otonomi (Autonomy) Prinsip otonomi didasarkan pada keyakinan bahwa individu mampu berpikir logis dan mampu membuat keputusan sendiri b. Berbuat baik (Beneficience) Beneficience berarti, hanya melakukan sesuatu yang baik. Kebaikan, memerlukan pencegahan dari kesalahan atau kejahatan, penghapusan kesalahan atau kejahatan dan peningkatan kebaikan oleh diri dan orang lain. c. Keadilan (Justice) Prinsip keadilan dibutuhkan untuk terpai yang sama dan adil terhadap orang lain yang menjunjung prinsip-prinsip moral, legal dan kemanusiaan. d. Tidak merugikan (Nonmaleficience) Prinsip ini berarti tidak menimbulkan bahaya/cedera fisik dan psikologis pada klien. e. Kejujuran (Veracity) Prinsip veracity berarti penuh dengan kebenaran. Nilai ini diperlukan oleh pemberi pelayanan kesehatan untuk menyampaikan kebenaran pada setiap klien dan untuk meyakinkan bahwa klien sangat mengerti. f. Menepati janji (Fidelity) Prinsip fidelity dibutuhkan individu untuk menghargai janji dan komitmennya terhadap orang lain. Perawat setia pada komitmennya dan menepati janji serta menyimpan rahasia klien.
4
g. Karahasiaan (Confidentiality) Aturan dalam prinsip kerahasiaan adalah informasi tentang klien harus dijaga privasi klien. Segala sesuatu yang terdapat dalam dokumen catatan kesehatan klien hanya boleh dibaca dalam rangka pengobatan klien.
h. Akuntabilitas (Accountability) Akuntabilitas merupakan standar yang pasti bahwa tindakan seorang profesional dapat dinilai dalam situasi yang tidak jelas atau tanpa terkecuali.
Prinsip-Prinsip Etika Profesi: 1) Tanggung jawab
Terhadap pelaksanaan pekerjaan itu dan terhadap hasilnya.
Terhadap dampak dari profesi itu untuk kehidupan orang lain atau masyarakat pada umumnya.
2) Keadilan. Prinsip ini menuntut kita untuk memberikan kepada siapa saja apa yang menjadi haknya. 3) Otonomi. Prinsip ini menuntut agar setiap kaum profesional memiliki dan di beri kebebasan dalam menjalankan profesinya.
2.1.1.5 Fungsi Kode Etik Keperawatan 1. Memberikan Dasar dalam mengatur hubungan antara perawat, klien, tenaga kesehatan lain, masyarakat dan profesi keperawatan 2. Memberikan dasar dalam menilai tindakan keperawatan 3. Menjadi dasar dalam membuat kurikulum pendidikan keperawatan 4. Membantu masyarakat untuk mengetahui pedoman dalam melaksanakan praktek keperawatan.
2.1.1.6 Kode Etik Keperawatan Indonesia Kode etik adalah pernyataan standar profesional yang digunakan sebagai pedoman perilaku dan menjadi kerangka kerja untuk membuat keputusan. Tujuan kode etik keperawatan adalah upaya agar perawat, dalam menjalankan setiap tugas dan fungsinya, dapat menghargai dan menghormati martabat manusia. Kode etik keperawtan Indonesia :
5
a. Perawat dan Klien 1) Perawat dalam memberikan pelayanan keperawatan menghargai harkat dan martabat manusia, keunikan klien dan tidak terpengaruh oleh pertimbangan kebangsaan, kesukuan, warna kulit, umur, jenis kelamin, aliran politik dan agama yang dianut serta kedudukan sosial. 2) Perawat dalam memberikan pelayanan keperawatan senantiasa memelihara suasana lingkungan yang menghormati nilai-nilai budaya, adat istiadat dan kelangsungan hidup beragama klien. 3) Tanggung jawab utama perawat adalah kepada mereka yang membutuhkan asuhan keperawatan. 4) Perawat wajib merahasiakan segala sesuatu yang dikehendaki sehubungan dengan tugas yang dipercayakan kepadanya kecuali jika diperlukan oleh yang berwenang sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku. b. Perawat dan praktek 1) Perawat memlihara dan meningkatkan kompetensi dibidang keperawatan melalui belajar terus-menerus 2) Perawat senantiasa memelihara mutu pelayanan keperawatan yang tinggi disertai kejujuran profesional yang menerapkan pengetahuan serta ketrampilan keperawatan sesuai dengan kebutuhan klien. 3) Perawat dalam membuat keputusan didasarkan pada informasi yang akurat dan mempertimbangkan kemampuan serta kualifikasi seseorang bila melakukan konsultasi, menerima delegasi dan memberikan delegasi kepada orang lain 4) Perawat senantiasa menjunjung tinggi nama baik profesi keperawatan dengan selalu menunjukkan perilaku profesional. c. Perawat dan masyarakat Perawat mengemban tanggung jawab bersama masyarakat untuk memprakarsai dan mendukung berbagai kegiatan dalam memenuhi kebutuhan dan kesehatan masyarakat. d. Perawat dan teman sejawat 1) Perawat senantiasa memelihara hubungan baik dengan sesama perawat maupun dengan tenaga kesehatan lainnya, dan dalam memelihara keserasian suasana lingkungan kerja maupun dalam mencapai tujuan pelayanan kesehatan secara keseluruhan. 2) Perawat bertindak melindungi klien dari tenaga kesehatan yang memberikan pelayanan kesehatan secara tidak kompeten, tidak etis dan ilegal.
6
e. Perawat dan Profesi 1) Perawat mempunyai peran utama dalam menentukan standar pendidikan dan pelayanan keperawatan serta menerapkannya dalam kegiatan pelayanan dan pendidikan keperawatan 2) Perawat berperan aktif dalam berbagai kegiatan pengembangan profesi keperawatan 3) Perawat berpartisipasi aktif dalam upaya profesi untuk membangun dan memelihara kondisi kerja yang kondusif demi terwujudnya asuhan keperawatan yang bermutu tinggi.
2.1.1.7 Peranan Etika dalam Profesi a) Nilai-nilai etika itu tidak hanya milik satu atau dua orang, atau segolongan orang saja, tetapi milik setiap kelompok masyarakat, bahkan kelompok yang paling kecil yaitu keluarga sampai pada suatu bangsa. Dengan nilai-nilai etika tersebut, suatu kelompok diharapkan akan mempunyai tata nilai untuk mengatur kehidupan bersama. b) Salah satu golongan masyarakat yang mempunyai nilai-nilai yang menjadi landasan dalam pergaulan baik dengan kelompok atau masyarakat umumnya maupun dengan sesama anggotanya, yaitu masyarakat profesional. Golongan ini sering menjadi pusat perhatian karena adanya tata nilai yang mengatur dan tertuang secara tertulis (yaitu kode etik profesi) dan diharapkan menjadi pegangan para anggotanya. c) Sorotan masyarakat menjadi semakin tajam manakala perilaku-perilaku sebagian para anggota profesi yang tidak didasarkan pada nilai-nilai pergaulan yang telah disepakati bersama (tertuang dalam kode etik profesi), sehingga terjadi kemerosotan etik pada masyarakat profesi tersebut. Sebagai contohnya adalah pada profesi hukum dikenal adanya mafia peradilan, demikian juga pada profesi dokter dengan pendirian klinik super spesialis di daerah mewah, sehingga masyarakat miskin tidak mungkin menjamahnya.
2.1.2 Konsep Profesional Secara umum , profesi merupakan pekerjaan yang memiliki pengetahuan khusus, melaksanakan peranan bermutu, melaksanakan cara yang disepakati, merupakan ideologi, terikat pada kesetiaan yang diyakini dan melalui pendidikan perguruan tinggi. Profesi sebagai suatu pekerjaan dalam melaksanakan tugasnya memerlukan tehnik dan prosedur, dedikasi,
7
serta peluang lapangan pekerjaan yang berorientasi pada pelayanan, memiliki kode etik yang mengarah pada orang atau subyek. ( Atik Purwandari; 2008) Profesi dapat pula diartikan sebagai suatu jabatan atau pekerjaan yang menuntut keahlian dari para anggotanya. Keahlian tadi diperoleh melalui apa yang disebut profesionalisasi, yang dilakukan baik sebelum seseorang menjalani profesi itu ( pendidikan/ latihan prajabatan) maupun setelah menjalani suatu profesi ( Inservice training) ( Djam’an Satori,dkk ; 2008 ; 1,5) Pengertian profesional menunjuk pada dua hal, yaitu orang yang menyandang suatu profesi dan penampilan seseorang dalam melakukan pekerjaannya yang sesuai dengan profesinya. Dalam pengertian kedua ini, istilah professional dikontraskan dengan “nonprofessional” atau “amatiran”. Dalam kegiatan sehari-hari seorang profesional melakukan pekerjaann sesuai dengan ilmu yang telah dimilikinya, jadi tidak asal tahu saja. Selanjutnya, Walter Johnson (1956) mengartikan petugas professional sebagai “….seseorang yang menampilkan suatu tugas khusus yang mempunyai tingkat kesulitan lebih dari biasa dan mempersyaratkan waktu persiapan dan pendidikan cukup lama untuk menghasilkan pencapaian kemampuan, keterampilan dan pengetahuan yang berkadar tinggi “ ( Djam’an Satori,dkk ; 2008 ) Profesional juga dapat diartikan sebagai memberi pelayanan sesuai dengan ilmu yang dimiliki dan manusiawi secara utuh/penuh tanpa mementingkan kepentingan pribadi melainkan mementingkan kepentingan klien serta menghargai klien sebagaimana mengahargai diri sendiri. Seorang anggota profesi dalam melakukan pekerjaannya haruslah professional. Setiap anggota profesi baik secara sendiri- sendiri atau dengan cara bersama melalui wadah organisasi profesi dapat belajar, yaitu belajar untuk mendalami pekerjaan yang sedang disandangnya dan belajar dari masyarakat apa yang menjadi kebutuhan mereka saat ini dan saat yang akan datang sehingga pelayanan kepada pemakai (klien) akan semakin meningkat. Ciri-ciri Profesional: Berdasarkan pengertian di atas, dapat dipahami bahwa seorang dikatakan profesional, karena ia mempunyai standar kualitas dan ciri-ciri tertentu. Menurut Anwar Jasin, ciri mendasar dari sebuah makna profesional tersebut antara lain; pertama, tingkat pendidikan spesialisasinya menuntut seseorang melaksanakan jabatan/pekerjaan dengan penuh kapabilitas, kemandirian dalam mengambil keputusan (independent judgement), mahir dan terampil dalam mengerjakan tugasnya. 8
Kedua, motif dan tujuan utama seseorang memilih jabatan/pekerjaan itu adalah pengabdian kepada kemanusiaan, bukan imbalan kebendaan (bayaran) yang menjadi tujuan utama. Ketiga, terdapat kode etik jabatan yang secara sukarela diterima mejadi pedoman perilaku dan tindakan kelompok profesional yang bersangkutan. Kode etik tersebut menjadi standar perilaku pekerjaannya. Keempat, terdapat kesetia-kawanan seprofesi, yang diwujudkan dengan saling menjalin kerja sama dan tolong menolong antar anggota dalam suatu komunitas tertentu. Masih mengenai ciri-ciri profesional, pandangan yang hampir senada dengan Jasin juga diungkapkan oleh Tilaar, bahwa para profesional mempunyai ciri-ciri khusus. Mereka sesungguhnya bekerja untuk mengabdi pada suatu profesi. Adapun ciri-ciri dari suatu profesi itu adalah memiliki suatu keahlian, merupakan panggilan hidup, memiliki teori-teori yang baku secara universal, mengabdikan diri untuk masyarakat dan bukan untuk diri sendiri, dilengkapi dengan kecakapan diagnostik dan kompetensi yang aplikatif, memiliki otonomi dalam melaksanakan pekerjaannya, mempunyai kode etik, mempunyai klien yang jelas, mempunyai organisasi yang kuat, dan mempunyai hubungan dengan profesi pada bidangbidang yang lain. Sementara menurut Roestiyah, seorang profesional paling tidak memiliki ciri atau kreteria sebagai berikut. Pertama, berpendidikan professional.. Kedua, mengakui sadar profesinya. Jadi memiliki sikap dan mampu mengembangkan profesinya, dan tidak bermaksud untuk menjadikannya sebagai batu loncatan untuk memasuki profesi lain. Ketiga, menjadi anggota profesionalnya, yang dapat pengakuan pemerintah maupun masyarakat. Keempat, mengakui dan melaksanakan kode etik profesional yang tanpak pada usaha untuk mengembangkan profesi serta ilmu, pengembangan diri, dan mengakui serta menghormati norma-norma masyarakat. Kelima, pengembangan diri dan profesi ini bukan karena tekanan dari luar maupun karena profesi itu, melainkan timbul dari dalam diri yang bersangkutan. Keenam, mengikuti berpartisipasi dengan memanfaatkan alat komunikasi dengan antar anggotanya maupun dengan pihak lembaga lain di luar organisasi profesionalnya. Komunikasi itu antara lain dapat berbentuk publikasi ilmiah dan sebagainya, dan ketujuh, dapat bekerja sama dengan anggota maupun organisasi profesional lain, baik sebagai individu maupun di dalam rangka organisasi. Dengan kreteria tersebut, seorang profesional merupakan hasil dari suatu yang dipersiapkan dan dibina di pekerjaannya. Oleh sebab profesi tersebut terus berkembang sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, maka seorang profesional adalah seorang yang secara berkembang atau trainable. Trainable dari seorang profesional 9
tentunya akan lebih mudah apabila mereka mempunyai dasar-dasar ilmu pengetahuan yang kuat. Menurut Tantri Abeng, istilah profesional memiliki aspek-aspek tertentu. Aspek yang dimaksud adalah menyangkut masalah ilmu pengetahuan (knowledge), aspek ketrampilan (skill), serta sikap mental (attitude). Untuk yang terakhir ini menjadi catatan khusus, yang melekat dalam diri profesional. Artinya terbuka terhadap pandangan ataupun nilai-nilai baru yang
lebih
positif
dan
menerima
perbedaan
pendapat
serta
berlaku
jujur.
Lebih lanjut, Tantri Abeng mengemukakan bahwa aspek pengetahuan, ketrampilan dan sikap mental setara dan sama petingnya sebagai fondasi untuk membangun kualitas dan mutu profesional. ilmu pengetahuan diperoleh dari hasil pendidikan, oleh sementara ahli disyaratkan sampai pada advanced educational, sedang skill atau keahlian di dapat dari latihan, dan aktivitas melaksanakan pekerjaan atau learned on the job. Adapun attitude atau sikap mental merupakan kepribadian, tetapi bisa dididik lewat pendidikan agama dan pendidikan moral sejak dini, di samping tuntutan yang berasal dari lingkungannya. Ciri-ciri atau tanda-tanda profesionalisme keperawatan (Miller):
Peningkatan dasar pengetahuan yang diberikan pada tingkat universitas dan orientasi pengetahuan pada tingkat pascasarjana dan doktor (graduate level) keperawatan.
Perwujudan kompetensi yang berasal dari dasar teori penegakan diagnosa dan penanganan respon manusia terhadap masalah kesehatan baik aktual atau potential (ANA, 1980).
Spesialisasi ketrampilan dan kompetensi yang membatasi keahlian (Miller, 1985).
Secara umum tenaga profesional sering diidentifikasi sebagai: o seorang yang serius terhadap perkerjaannya, o berpenampilan sangat baik, dan mendemonstrasikan etik dan tanggung jawab terhadap pekerjaannya (Ellis dan Hartley, 1980)
2.1.3 Konsep Hak-Hak Pasien Hak adalah tuntutan seseorang terhadap sesuatu yang merupakan kebutuhan pribadinya sesuai dengan keadilan, moralitas dan legalitas. Setiap manusia mempunyai hak asasi untuk berbuat, menyatakan pendapat, memberikan sesuatu kepada orang lain dan menrima sesuatu dari orang lain atau lembaga tertentu. Hak tersebut dapat dimiliki oleh setiap orang. Dalam menuntut suatu hak, tanggung jawab moral sangat diperlukan agar dapat 10
terjalin suatu ikatan yangmerupakan kontrak sosial, baik tesurat maupun yang tersirat, sehingga segala sesuatunya dapat memberikan dampak positif. Semakin baik kehidupan seseorang atau masyarakat, semakin perlu pula pemahaman tentang hak-hak tersebut agar terbentuyk sikap saling menghargai hak-hak orang lain dan tercipta kehidupan yang damai dan tentram. Hak-hak pasien dan perawat pada prinsipnya tidak terlepas pula dengan hak-hak manusia atau lebih dasar lagi hak asasi manusia. Hak asasi manusia tidak tanpa batas dan merupakan kewajiban setiap negara/pemerintah untuk menentukan batas-batas kemerdekaan yang dapat dilaksanakan dan dilindungi dengan mengutamakan kepentingan umum.
Menurut sifatnya hak asasi manusia dibagi dalam beberapa jenis : 1. Personal Rights (hak-hak asasi pribadi) Meliputi kemerdekaan menyatakan pendapat dan memeluk agama, kebebasan bergerak, dsb. 2. Property Rights (Hak untuk memiliki sesuatu) Meliputi hak untuk membeli, menjual barang miliknya tanpa dicampuri secara berlebihan oleh pemerintah termasuk hak untuk mengadakan suatu perjanjian dengan bebas. 3. Rights of legal aquality Yaitu hak untuk mendapatkan perlakuan yang sama dan sederajat dalam hukum dan pemerintahan. 4. Political Rights (hak asasi politik) Yaitu hak untuk ikut serta dalam pemerintahan dengan ikut memilih atau dipilih, mendirikan partai politik, mengadakan petisi, dll. 5. Social and Cultural Rights (hak asasi sosial dan kebudayaan), diantaranya hak untuk memilih pendidikan serta mengembangkan kebudayaan yang disukai. 6. Procedural Rights, yaitu hak untuk memperoleh tata cara peradilan dan jaminan perlindungan misalnya dalam hal penggeledahan dan peradilan. Hak dapat dipandang dari sudut hukum dan pribadi. Dari sudut hukum hak mempunyai atau memberi kekuasaan tertentu untuk mengendalikan sesuatu. Ex. Seseorang mepunyai hak untuk masuk restoran dan membeli makanan yang diinginkannya. Dalam hal ini jika ditinjau dari sudut hukum orang yang bersangkutan mempunyai kewajiban tertentu yang menyertainya yaitu orang tersebut diharuskan untuk berprilaku sopan dan membayar 11
makanan tersebut. Dari sudut pribadi mempunyai hal yang harus diperhatikan yaitu pertimbangan etis, cara seseorang mengatur kehidupannya, keputusan yang dibuat berdasarkan konsep benar salah, baik buruk yang ada dilingkungan tempat ia hidup dan tinggal dalam kurun waktu tertentu. Peranan hak-hak: 1. Hak dapat digunakan sebagai pengekspresian kekuasaan dalam konflik antara seseorang dengan kelompok Contoh : Seorang dokter mengatakan pada perawat bahwa ia mempunyai hak untuk menginstruksikan pengobatan yang ia inginkan untuk pasiennya. Disini terlihat bahwa dokter tersebut mengekspresikan kekuasaannnya untuk menginstruksikan pengobatan terhadap pasien, hal ini mmerupakan haknya selaku penanggung jawab medis. 2. Hak dapat digunakan untuk memberikan pembenaran pada suatu tindakan. Contoh : Seorang perawat dalam melaksanakan asuhan keperawatannya mendapat kritikan karena terlalu lama menghabiskan waktunya bersama pasien. Perawat tersebut dapat mengatakan bahwa ia mempunyai hak untuk memberikan asuhan keperawatan yang terbaik untuk pasien sesuai dengan pengetahuan yang dimilikinya. Dalam hal ini, perawat tersebut mempunayi hak melakukan asuhan keperawatan sesuai denga kondisi dan kebutuhan pasien. 3. Hak dapat digunakan untuk menyelesaikan perselisihan. Seseorang seringkali dapat menyelesaikan suatu perselisihan dengan menuntut hak yang juga dapat diakui oleh orang lain. Contoh : Seorang perawat menyarankan pada pasien agar tidak keluar ruangan selama dihospitalisasi. Pada situasi tersebut pasien marah karena tidak setuju dengan saran perawat dan pasien tersebut mengatakan pada perawat bahwa ia juga mempunyai hak untuk keluar dari ruanagan bilamana ia mau. Dalam hal ini, perawat dapat menerima tindakan pasien sepanjang tidak merugikan kesehatan pasien. Bila tidak tercapai kesepakatan karena membatasi pasien, berarti ia mengingkari kebebasan pasien.
12
Hak-hak pasien sekarang sudah sering dibicarakan, tumbuh dari mata rantai pasal 25 The United Nations Universal Declaration Of Human rights 1948; pasal 1 The United Nations International Convention Civil and Political Rights 1966 yaitu : 1) Hak memperoleh pemeliharaan kesehatan (the right to health care) 2) Hak menentukan nasib sendiri (the right to self determination) Kemudian dari Deklarasi Hesinki, oleh The 18th World Medical Assembly, Finland 1964 muncul hak untuk memperoleh informasi (the right to informasi) Ada 4 hak dasar yang dikemukakan oleh John F. Kennedy (1962) yaitu : 1) Hak mendapatkan perlindungan keamanan 2) Hak mendapat informasi 3) Hak memilih 4) Hak mendenga HAK PASIEN ANTARA LAIN: •
Memperoleh informasi mengenai tata tertib dan peraturan yang berlaku di RS dan mendapat pelayanan yang manusiawi, adil dan jujur
•
Memperoleh pelayanan keperawatan dan asuhan yg bermutu
•
Memilih dokter dan kelas perawatan sesuai dgn keinginannya dan sesuai dgn peraturan yang berlaku di RS
•
Meminta konsultasi pada dokter lain (second opinion) terhadap penyakitnya
•
“Privacy” dan kerahasiaan penyakit yang diderita termasuk data medisnya
•
Mendapatkan informasi yg meliputi : penyakitnya, tindakan medik, alternative terapi lain, prognosa penyakit dan biaya.
•
Memberikan izin atas tindakan yang akan dilakukan perawat
•
Menolak tindakan yang hendak dilakukan terhadap dirinya dan mengakhiri pengobatan serta perawatan atas tanggung jawab sendiri
•
Hak didampingi keluarga dalam keadaan kritis
•
Hak menjalankan ibadah sesuai dengan agamanya
•
Hak atas keamanan dan keselamatan dirinya selama dalam perawatan
•
Hak menerima atau menolak bimbingan moral maupun spiritual
•
Hak didampingi perawat/keluarga pada saat diperiksa dokter 13
•
Hak pasien dalam penelitian (Marchette, 1984; Kelly, 1987)
2.1.4 Konsep Pengambilan Keputusan Pengambilan keputusan dalam penyelesaian masalah adalah kemampuan mendasar bagi praktisi kesehatan, khususnya dalam asuhan keperawatan dan kebidanan. Tidak hanya berpengaruh pada proses pengelolaan asuhan keperawatan dan kebidanan, tetapi penting untuk meningkatkan kemampuan merencanakan perubahan. Perawat dan bidan pada semua tingkatan posisi klinis harus memiliki kemampuan menyelesaikan masalah dan mengambil keputusan yang efektif, baik sebagai pelaksana/staf maupun sebagai pemimpin. Pengambilan keputusan adalah suatu pendekatan yang sistematis terhadap hakekat suatu masalah dengan pengumpulan fakta-fakta dan data, menentukan alternatif yang matang untuk mengambil suatu tindakan yang tepat. Ada lima hal yang perlu diperhatikan dalam pengambilan keputusan : 1. Dalam proses pengambilan keputusan tidak terjadi secara kebetulan. 2. Pengambilan keputusan tidak dilakukan secara sembrono tapi harus berdasarkan pada sistematika tertentu : a. Tersedianya sumber-sumber untuk melaksanakan keputusan yang akan diambil. b. Kualifikasi tenaga kerja yang tersedia c. Falsafah yang dianut organisasi. d. Situasi lingkungan internal dan eksternal yang akan mempengaruhi administrasi dan manajemen di dalam organisasi. 3. Masalah harus diketahui dengan jelas. 4. Pemecahan masalah harus didasarkan pada fakta-fakta yang terkumpul dengan sistematis. 5. Keputusan yang baik adalah keputusan yang telah dipilih dari berbagai alternatif yang telah dianalisa secara matang.
Apabila pengambilan keputusan tidak didasarkan pada kelima hal diatas, akan menimbulkan berbagai masalah : a. Tidak tepatnya keputusan. b. Tidak terlaksananya keputusan karena tidak sesuai dengan kemampuan organisasi baik dari segi manusia, uang maupun material.
14
c. Ketidakmampuan pelaksana untuk bekerja karena tidak ada sinkronisasi antara kepentingan organisasi dengan orang-orang di dalam organisasi tersebut. d. Timbulnya penolakan terhadap keputusan. Proses pemecahan masalah dan pengambilan keputusan seperti pada gambar di bawah ini :
Masalah
Pengumpulan Data
Analisa Data
Mengembangkan pemecahan
Memilih alternatif
Implementasi
Evaluasi
Proses pemecahan masalah dan pengambilan keputusan diatas adalah salah satu penyelesaian yang dinamis. Penyebab umum gagalnya penyelesaian masalah adalah kurang tepat mengidentifikasi masalah. Oleh karena itu identifikasi masalah adalah langkah yang paling penting. Kualitas hasil tergantung pada keakuratan dalam mengidentifikasi masalah. Identifikasi masalah dipengaruhi oleh informasi yang tersedia, nilai, sikap dan pengalaman pembuat keputusan serta waktu penyelesaian masalah. Terutama waktu yang cukup untuk mengumpulkan dan mengorganisir data. 15
2.1.5 Konsep Hukum Transplantasi organ sangat erat kaitannya dengan bidang hukum karena di dalamnya juga terdapat hak dan kewajiban orang yang berpotensi menimbulkan permasalahan. Transplantasi dengan donor hidup menimbulkan dilema etik, dimana transplantasi pada satu sisi dapat membahayakan donor namun di satu sisi dapat menyelamatkan hidup pasien (resipien). Di beberapa negara yang telah memiliki Undang-Undang Transplantasi, terdapat pembalasan dalam pelaksanaan transplantasi, misalnya adanya larangan untuk transplantasi embrio, testis, dan ovarium baik untuk tujuan pengobatan maupun tujuan eksperimental. Namun ada pula negara yang mengizinkan dilakukannya transplantasi organ-organ tersebut di atas untuk kepentingan penelitian saja. Transplantasi organ merupakan suatu tindakan medis memindahkan sebagian tubuh atau organ yang sehat untuk menggantikan fungsi organ sejenis yang tidak dapat berfungsi lagi. Transplantasi dapat dilakukan pada diri orang yang sama (auto transplantasi), pada orang yang berbeda (homotransplantasi) ataupun antar spesies yang berbeda (xenotransplantasi). Menurut Undang-Undang Republik Indonesia No. 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan, transplantasi adalah rangkaian tindakan medis untuk memindahkan organ dan atau jaringan tubuh manusia yang berasal dari tubuh orang lain atau tubuh sendiri dalam rangka pengobatan untuk menggantikan organ dan atau jaringan tubuh yang tidak berfungsi dengan baik. Dasar hukum dilaksanakannya transplantasi organ sebagai suatu terapi adalah UndangUndang Republik Indonesia No. 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan Pasal 32 ayat (1), (2), (3) tentang hak pasien untuk memperoleh kesembuhan dengan pengobatan dan perawatan atau cara lain yang dapat dipertanggungjawabkan. Pasal 32 ayat (1) berbunyi: Penyembuhcm penyakit dan pemulihan kesehatan diselenggarakan untuk mengembalikan status kesehatan akibat penyakit, mengembalikan fungsi badan akibat cacat atau menghilangkan cacat. Pasal 32 ayat (2) berbunyi: Penyembuhan penyakit dan pemulihan kesehatan dilakukan dengan pengobatan dan atau perawatan. Pasal 32 ayat (3) berbunyi: Pengobatan dan atau perawatan dapat dilakukan berdasarkan
ilmu kedokteran dan ilmu keperawatan atau cara lain yang dapat
dipertanggungjawabkan. Transplantasi organ biasanya dilakukan pada stadium terminal suatu penyakit, dimana organ yang ada tidak dapat lagi menanggung beban karena fungsinya yang nyaris hilang 16
karena suatu penyakit. Pasal 33 UU No 23/1992 menyatakan bahwa transplantasi merupakan salah satu pengobatan yang dapat dilakukan untuk penyembuhan penyakit dan pemulihan kesehatan. Secara legal transplantasi hanya boleh dilakukan untuk tujuan kemanusiaan dan tidak boleh dilakukan untuk tujuan komersial (pasal 33 ayat 2 UU 23/ 1992). Peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia yang mengatur tentang pelaksanaan transplantasi organ adalah Undang-Undang No. 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan dan Peraturan Pemerintah No. 18 Tahun 1981 tentang Bedah Mayat Klinis dan Bedah Mayat Anatomis serta Transplantasi Alat atau Jaringan Tubuh Manusia. Pada UndangUndang No. 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan, pelaksanaan transplantasi diatur dalam Pasal 34 yang berbunyi : Pasal 34 Ayat (1): Transplantasi organ dan atau jaringan tubuh hanya dapat dilakukan oleh tenaga kesehatan yang mempunyai keahlian dan kewenangan untuk itu dan dilakukan di sarana kesehatan tertentu. Pasal 34 Ayat (2): Pengambilan organ dan atau jaringan tubuh dari seorang donor harus memperhatikan kesehatan donor yang bersangkutan dan ada persetujuan donor dan ahli waris atau keluarganya. Pasal 34 Ayat (3): Ketentuan mengenai syarat dan tata cara penyelenggaraan transplantasi sebagaimana dimaksud dalam Ayat (1) dan Ayat (2) ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah. Pada Peraturan Pemerintah tersebut, transplantasi diatur dalam Pasal 10, 14, 15, 16, 17, dan 182, Pasal-pasal tersebut yaitu: Pasal 10 berbunyi: Transplantasi alat atau jaringan tubuh manusia dilakukan dengan memperhatikan ketentuan-ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf a dan b, yaitu harus dengan persetujuan tertulis penderita dan atau keluarganya yang terdekat setelah penderita meninggal. Pasal 14 berbunyi: Pengambilan alat dan atau jaringan tubuh manusia untuk keperluan transplantasi atau bank mata dari korban kecelakaan yang meninggal dunia dilakukan dengan pernyataan tertulis keluarga dekat. Pasal 15 berbunyi: Sebelum persetujuan tentang transplantasi alat dan atau jaringan tubuh manusia diberikan oleh calon donor hidup, calon donor yang bersangkutan terlebih dahulu diberitahu oleh dokter yang merawatnya, termasuk dokter konsultan mengenai sifat operasi, akibat-akibat dan kemungkinan-kemungkinan yang dapat terjadi. Dokter yang merawatnya harus yakin benar bahwa calon donor yang bersangkutan telah menyadari sepenuhnya arti dari pemberitahuan tersebut.
17
Pada Pasal 10,14, dan 15 tersebut diatas diatur tentang informed consent baik pada donor hidup maupun donor jenazah. Untuk transplantasi dengan donor hidup, maka harus diberikan informed consent harus diberikan diatas kertas bermaterai disaksikan oleh dua orang saksi, hal ini sesuai dengan Pasal 13 PP No. 18 Tahun 1981. Namun tidak dijelaskan secara rinci siapa yang berhak sebagai saksi. Sebelum seseorang memutuskan menjadi donor hidup, seseorang harus mengetahui dan mengerti resiko yang akan dihadapinya, selain itu orang tersebut tidak boleh mengalami tekanan psikologi2. Sehingga yang dapat menjadi donor hidup adalah seseorang yang sudah berhak melakukan perbuatan hokum, yaitu apabila sudah cukup umur dan sehat akalnya. Menurut hukum perdata di Indonesia, seseorang dikatakan sudah cukup umur jika sudah berumur 21 tahun atau sudah menikah. Namun Peraturan Pemerintah No. 18 Tahun 1981 tidak mengatur organ apa saja yang boleh disumbangkan. Di beberapa negara transplantasi organ di batasi pada ginjal saja dengan pertimbangan ginjal meupakan organ vital yang dapat menyelamatkan nyawa dan orang bisa hidup dengan satu ginjal saja. Sementara untuk organ lain yang tidak berfungsi menyelamatkan nyawa tidak dibenarkan diambil sebagai donor hidup meskipun individu tersebut bersedia. Sedangkan untuk komersialisasi organ dan atau jaringan tubuh manusia lainnya diatur dalam Pasal 16 dan 17. Pasal 16 berbunyi: Donor atau keluarga donor yang meninggal dunia tidak berhak atas suatu kompensasi material apapun sebagai imbalan transplantasi. Pasal 17 berbunyi: Dilarang memperjualbelikan alat dan atau jaringan tubuh manusia. Sedangkan pada Pasal 18 diatur tentang pengiriman organ dan atau jaringan tubuh manusia dari dan ke luar negeri. Pasal 18 berbunyi: Dilarang mengirim dan menerima alat dan atau jaringan tubuh manusia dalam segala bentuk ke dan dari luar negeri. Peraturan pemerintah No. 18 Tahun 1981 ini dibuat jauh sebelum Undang-Undang tentang Kesehatan yaitu UU No. 23 Tahun 1992 sehingga tidak ditemukan penjelasan yang yang rinci mengenai transplantasi organ dan komersialisasinya2. Sangsi Yang Berkaitan Dengan Transplantasi Organ Adanya ketimpangan yang cukup besar antara ketersediaan dengan kebutuhan organ memungkinkan timbulnya berbagai pelanggaran terhadap peraturan yang berlaku. Masalah
18
komersialisasi organ, kurangnya informed consent, serta pelaksana yang tidak berkompeten dan membahayakan kesehatan donor. Komersialisasi organ tubuh manusia merupakan tindak pidana dan tindakan tersebut merupakan delik biasa sehingga tanpa adanya laporan dari masyarakat, aparat kepolisian tetap mempunyai kewenangan untuk melakukan penyelidikan. Hal ini merupakan suatu bentuk perlindungan hukum dari negara terhadap rakyatnya. Undang-Undang No. 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan, tidak merumuskan mengenai definisi jual beli organ dan atau jaringan tubuh manusia. Namun pada Undang-Undang tersebut tercantum pasal tentang larangan jual beli organ dan atau jaringan tubuh manusia, yaitu Pasal 33 Ayat (2) yang berbunyi: Transplantasi organ dan atau jaringan tubuh serta transfusi darah sebagaimana dimaksud dalam Ayat (1) dilakukan hanya untuk tujuan kemanusiaan dan dilarang untuk tujuan komersial. Proses awal untuk melengkapi Undang-Undang Kesehatan, khususnya Pasal 33Ayat (2), perlu dirinci dalam Peraturan Pemerintah yang merumuskan secara tegas apa yang dimaksud pengalihan organ tubuh manusia, kemanusiaan, komersial dan unsur kesengajaan. Jika batasan dari keempat unsur tersebut sudah jelas, maka upaya penegakan hukum bisa lebih luwes dilakukan sehingga apa yang tercantum pada Pasal 80 Ayat (3) bisa diterapkan. Pasal 80 Ayat (3) berbunyi: Barang siapa dengan sengaja melakukan perbuatan dengan tujuan komersil dalam pelaksanaan transplantasi organ tubuh atau jaringan tubuh atau transfusi darah sebagaimana dimaksud Pasal 33 Ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda paling banyak Rp 300.000,00(tiga ratus ribu rupiah). Jika ditinjau dari sudut orabg yang akan melakukan transplantasi, maka berdasarkan UU No. 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan, tercantum hukuman bila melakukan transplantasi tanpa keahlian ataupun dengan unsure kesengajaan seperti yang diatur dalam Pasal 81 Ayat (1), yang berbunyi: Barang siapa yang tanpa keahlian dengan sengaja: a. melakukan transplantasi organ dan atau jaringan tubuh sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 Ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan pidana denda paling banyak Rp 140.000.000,00 (seratus empat puluh juta rupiah). Sedangkan pada Pasal 81 Ayat (2) berbunyi: Barang siapa dengan sengaja: a. mengambil organ dari donor tanpa memperhatikan kesehatan donor dan atau tanpa 19
persetujuan donor dan ahli waris atau keluarganya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 Ayat (2): dipidana dengan pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan pidana denda paling banyak Rp 140.000.000,00 (seratus empat puluh juta rupiah). Jika sampai terjadi kematian karena tindakan seperti yang diatur dalam pasal-pasal tersebut diatas, maka UU No 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan telah mengatur dalam Pasal 83 yang berbunyi: Ancaman pidana sebagaimana dimaksudkan dalam Pasal 80, 81 dan 82 ditambah seperempat apabila menimbulkan luka berat atau sepertiga apabila menimbulkan kematian11. Sedangkan pada Pasal 85 Ayat (1) dijelaskan bahwa pelanggaran seperti uang disebutkan diatas merupakan tindakan kejahatan. Pasal ini berbunyi: Tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 80,81 dan 82 adalah kejahatan. Fungsi Hukum dalam Praktek Keperawatan : 1. Hukum memberikan kerangka untuk menentukan tindakan keperawatan mana yang sesuai dengan hukum. 2. Membedakan tanggung jawab perawat dengan profesi yang lain. 3. Membantu menentukan batas-batas kewenangan tindakan keperawatan mandiri. 4. Membantu dalam mempertahankan standar praktek keperawatan dengan meletakkan posisi perawat memiliki akuntabilitas di bawah hukum (Kozier, Erb, 1990)
2.1.6 Kelalaian Kesalahan yang dilakukan oleh dokter dalam upaya medis transplantasi organ tubuh pada khususnya, dapat berupa karena unsur kesengajaan maupun unsur kelalaian. Dalam tanggung jawab pidana haruslah dibuktikan adanya kesalahan professional yang dapat dibuktikan di sidang pengadilan melalui pendapat para ahli. Adapun kesalahan professional tersebut biasanya dihubungkan dengan masalah: a. Kelalaian (negligence); b. Persetujuan dari pasien yang bersangkutan, yang akan melindungi pasien dari tindakan kesewenangan dokter yang dapat saja terjadi sehingga mengakibatkan adanya gangguan terhadap diri pasien. Selain itu, adanya persetujuan juga dapat meniadakan sifat melanggar hukum.
20
Kelalaian medik adalah salah satu bentuk dari malpraktek medis, sekaligus merupakan bentuk malpraktek medis yang paling sering terjadi. Pada dasarnya kelalaian terjadi apabila seseorang melakukan sesuatu yang seharusnya tidak dilakukan atau tidak melakukan sesuatu yang seharusnya dilakukan oleh orang lain yang memiliki kualifikasi yang sama pada suatu keadaan dan situasi yang sama. Perlu diingat bahwa pada umumnya kelalaian yang dilakukan orang-per-orang bukanlah merupakan perbuatan yang dapat dihukum, kecuali apabila dilakukan oleh orang yang seharusnya (berdasarkan sifat profesinya) bertindak hati-hati, dan telah mengakibatkan kerugian atau cedera bagi orang lain. Pengertian istilah kelalaian medik tersirat dari pengertian malpraktek medis menurut World Medical Association (1992), yaitu: “medical malpractice involves the physician’s failure to conform to the standard of care for treatment of the patient’s condition, or lack of skill, or negligence in providing care to the patient, which is the direct cause of an injury to the patient.” Kelalaian bukanlah suatu kejahatan. Seseorang dikatakan lalai jika ia bertindak tak acuh, tidak memperhatikan kepentingan orang lain sebagaimana lazimnya. Sepanjang akibat dari kelalaian medik tersebut tidak sampai menimbulkan kerugian kepada orang lain dan orang lain menerimanya maka hal ini tidak menimbulkan akibat hukum. Akan tetapi, jika kelalaian itu telah mencapai suatu tingkat tertentu sehingga tidak memperdulikan jiwa orang lain maka hal ini akan membawa akibat hukum, apalagi jika sampai merengut nyawa maka hal ini dapat digolongkan sebagai kelalaian berat (culpa lata). Suatu perbuatan atau tindakan medis disebut sebagai kelalaian apabila memenuhi empat unsur di bawah ini: 1. Duty atau kewajiban tenaga medis untuk melakukan sesuatu tindakan medis atau untuk tidak melakukan sesuatu tindakan tertentu terhadap pasien tertentu pada situasi dan kondisi yang tertentu. Dasar dari adanya kewajiban ini adalah adanya hubungan kontraktual-profesional antara tenaga medis dengan pasiennya, yang menimbulkan kewajiban umum sebagai akibat dari hubungan tersebut dan kewajiban profesional bagi tenaga medis tersebut. Kewajiban profesional diuraikan di dalam sumpah profesi, etik profesi, berbagai standar pelayanan, dan berbagai prosedur operasional. Kewajibankewajiban tersebut dilihat dari segi hukum merupakan rambu-rambu yang harus diikuti untuk mencapai perlindungan, baik bagi pemberi layanan maupun bagi penerima layanan; atau dengan demikian untuk mencapai safety yang optimum. 21
2. Dereliction of the duty atau penyimpangan kewajiban tersebut. Dengan melihat uraian tentang kewajiban di atas, maka mudah buat kita untuk memahami apakah arti penyimpangan kewajiban. Dalam menilai kewajiban dalam bentuk suatu standar pelayanan tertentu, haruslah kita tentukan terlebih dahulu tentang kualifikasi si pemberi layanan (orang dan institusi), pada situasi seperti apa dan pada kondisi bagaimana. Suatu standar pelayanan umumnya dibuat berdasarkan syarat minimal yang harus diberikan atau disediakan (das sein), namun kadang-kadang suatu standar juga melukiskan apa yang sebaiknya dilakukan atau disediakan (das sollen). Kedua uraian standar tersebut harus hati-hati diinterpretasikan. Demikian pula suatu standar umumnya berbicara tentang suatu situasi dan keadaan yang “normal” sehingga harus dikoreksi terlebih dahulu untuk dapat diterapkan pada situasi dan kondisi yang tertentu. Dalam hal ini harus diperhatikan adanya Golden Rule yang menyatakan “What is right (or wrong) for one person in a given situation is similarly right (or wrong) for any other in an identical situation”. 3. Damage atau kerugian. Yang dimaksud dengan kerugian adalah segala sesuatu yang dirasakan oleh pasien sebagai kerugian akibat dari layanan kesehatan / kedokteran yang diberikan oleh pemberi layanan. Jadi, unsur kerugian ini sangat berhubungan erat dengan unsur hubungan sebab-akibatnya. Kerugian dapat berupa kerugian materiel dan kerugian immateriel. Kerugian yang materiel sifatnya dapat berupa kerugian yang nyata dan kerugian sebagai akibat kehilangan kesempatan. Kerugian yang nyata adalah “real cost” atau biaya yang dikeluarkan untuk perawatan / pengobatan penyakit atau cedera yang diakibatkan, baik yang telah dikeluarkan sampai saat gugatan diajukan maupun biaya yang masih akan dikeluarkan untuk perawatan / pemulihan. Kerugian juga dapat berupa kerugian akibat hilangnya kesempatan untuk memperoleh penghasilan (loss of opportunity). Kerugian lain yang lebih sulit dihitung adalah kerugian immateriel sebagai akibat dari sakit atau cacat atau kematian seseorang. 4. Direct causal relationship atau hubungan sebab akibat yang nyata. Dalam hal ini harus terdapat hubungan sebab-akibat antara penyimpangan kewajiban dengan kerugian yang setidaknya merupakan “proximate cause”. Seringkali pasien maupun keluarganya menganggap bahwa akibat yang merugikan yang dialami pasien adalah akibat dari kesalahan ataupun kelalaian dokternya. Anggapan ini tidak selamanya benar karena harus dibuktikan dahulu adanya kelalaian dan adanya hubungan sebab akibat antara akibat yang dialami pasien dengan unsur kelalaian dokter.
22
2.1.7 Malpraktik Malpraktek “adalah kelalaian dari seseorang dokter atau perawat untuk mempergunakan tingkat kepandaian dan ilmu pengetahuan dalam mengobati dan merawat pasien, yang lazim dipergunakan terhadap pasien atau orang yang terluka menurut ukuran dilingkungan yang sama”. Dari definisi tersebut malpraktek harus dibuktikan bahwa apakah benar telah terjadi kelalaian tenaga kesehatan dalam menerapkan ilmu pengetahuan dan keterampilan yang ukurannya adalah lazim dipergunakan diwilayah tersebut. Andaikata akibat yang tidak diinginkan tersebut terjadi apakah bukan merupakan resiko yang melekat terhadap suatu tindakan medis tersebut (risk of treatment) karena perikatan dalam transaksi teraputik antara tenagakesehatan dengan pasien adalah perikatan/perjanjian jenis daya upaya (inspaning verbintenis) dan bukan perjanjian/perjanjian akan hasil (resultaa verbintenis). Menurut berbagai sumber, malpraktek merupakan perbuatan yang tidak melakukan profesinya sebagaimana yang diajarkan di dalam profesinya, misalnya seorang dokter, insiniur, pengacara, akuntan, dokter gigi, dokter hewan dan lain-lain. Oleh karena itu, istilah malpraktek sebenarnya tidak hanya digunakan untuk profesi kedokteran saja tetapi dapat digunakan untuk semua bidang profesi, dan jika digunakan untuk profesi kedokteran seharusnya dipakai istilah malpraktek medik. Malpraktek dapat terjadi akibat ketidaktahuan, kelalaian, kurangnya ketrampilan, kurangnya ketaatan kepada yang diajarkan dalam profesinya atau melakukan kejahatan untuk mendapatkan keuntungan di dalam melaksanakan kewajiban profesinya, adanya perbuatan salah yang disengaja, maupun praktek gelap atau bertentangan dengan etika. Malpraktek yang dapat terjadi dalam upaya medis transplantasi organ tubuh yang dapat dituntut pertanggungjawaban pidananya adalah kesalahan dalam menjalankan praktek yang dilaksanakan dengan sengaja yang berkaitan dengan pelanggaran terhadap UU Nomor 23 Tahun 1992 Tentang Kesehatan dan pelanggaran terhadap PP Nomor 18 Tahun 1981 Tentang bedah Mayat Klinis dan Bedah Mayat Anatomis Serta Transplantasi Alat dan atau Jaringan Tubuh Manusia. Menurut pendapat Fred Ameln yang terdapat dalam buku Hukum Kesehatan, ada 3 pokok penting untuk menimbang apakah seorang dokter itu melakukan malpraktek atau tidak melakukan malpraktek yaitu: 1. Ada tindakan faktor kelalaian; 2. Apakah praktek dokter yang dimasalahkan sesuai dengan standar profesi medis; 3. Apakah akibat yang ditimbulkan terhadap korban fatal.
23
Agar upaya medis transplantasi organ tubuh dapat berjalan dengan baik, terdapat beberapa tahapan yang harus ditempuh. Tahapan yang berlaku secara klinis meliputi: a. Tahapan pra transplantasi, yaitu pemeriksaan donor dan resipien. Donor sebagai pihak pemberi organ diperiksa terlebih dahulu, kemudian resipien sebagai penerima organ. Upaya medis transplantasi organ tubuh lebih mudah dilakukan apabila donor dan resipien mempunyai hubungan semenda (ada pertalian darah). b. Tahap pelaksanaan transplantasi yang dilakukan oleh tim medis. c. Tahap pasca transplantasi, yaitu tahapan pemeriksaan lebih lanjut setelah transplantasi untuk mencegah terjadinya rejeksi (penolakan tubuh) dengan melakukan pemberian obat dan kontrol. Upaya pencegahan malpraktek : Dengan adanya kecenderungan masyarakat untuk menggugat tenaga medis karena adanya malpraktek diharapkan tenaga dalam menjalankan tugasnya selalu bertindak hati-hati, yakni: a. Tidak menjanjikan atau memberi garansi akan keberhasilan upayanya, karena perjanjian berbentuk daya upaya (inspaning verbintenis) bukan perjanjian akan berhasil (resultaat verbintenis). b. Sebelum melakukan intervensi agar selalu dilakukan informed consent. c. Mencatat semua tindakan yang dilakukan dalam rekam medis. d. Apabila terjadi keragu-raguan, konsultasikan kepada senior atau dokter. e. Memperlakukan pasien secara manusiawi dengan memperhatikan segala kebutuhannya. f. Menjalin komunikasi yang baik dengan pasien, keluarga dan masyarakat sekitarnya.
24
2.2 Transplantasi SumSum Tulang Leukemia adalah jenis kanker yang mempengaruhi sumsum tulang dan jaringan getah bening. Semua kanker bermula di sel, yang membuat darah dan jaringan lainnya. Biasanya, sel-sel akan tumbuh dan membelah diri untuk membentuk sel-sel baru yang dibutuhkan tubuh. Saat sel-sel semakin tua, sel-sel tersebut akan mati dan sel-sel baru akan menggantikannya. Pencangkokan (Transplantasi) adalah pemindahan sel, jaringan maupun organ hidup dari seseorang (donor) kepada orang lain (resipien atau dari satu bagian tubuh ke bagian tubuh lainnya (misalnya pencangkokan kulit), dengan tujuan mengembalikan fungsi yang telah hilang. Sumsum tulang adalah jaringan lunak yang ditemukan pada rongga interior tulang yang merupakan tempat produksi sebagian besar sel darah baru. Ada dua jenis sumsum tulang: sumsum merah (dikenal juga sebagai jaringan myeloid) dan sumsum kuning. Sel darah merah, keping darah, dan sebagian besar sel darah putih dihasilkan dari sumsum merah. Sumsum kuning menghasilkan sel darah putih dan warnanya ditimbulkan oleh sel-sel lemak yang banyak dikandungnya. Kedua tipe sumsum tulang tersebut mengandung banyak pembuluh dan kapiler darah. Transplantasi sumsum tulang merupakan prosedur dimana sumsum tulang yang rusak digantikan dengan sumsum tulang yang sehat. Sumsum tulang yang rusak dapat disebabkan oleh dosis tinggi kemoterapi atau terapi radiasi. Selain itu, transplantasi sumsum tulang juga berguna untuk mengganti sel-sel darah yang rusak karena kanker. Transplantasi sumsum tulang dapat menggunakan sumsum tulang pasien sendiri yang masih sehat. Hal ini disebut transplantasi sumsum tulang autologus. Transplantasi sumsum tulang juga dapat diperoleh dari orang lain. Bila didapat dari kembar identik, dinamakan transplantasi syngeneic. Sedangkan bila didapat dari bukan kembar identik, misalnya dari saudara kandung, dinamakan transplantasi allogenik. Sekarang ini, transplantasi sumsum tulang paling sering dilakukan secara allogenik. Alasan utama dilakukannya adalah agar pasien tersebut dapat diberikan pengobatan dengan kemoterapi dosis tinggi dan atau terapi radiasi. untuk mengerti kenapa transplantasi sumsum tulang diperlukan, perlu mengerti pula bagaimana kemoterapi dan terapi radiasi bekerja. Kemoterapi dan terapi radiasi secara umum mempengaruhi sel yang membelah diri secara cepat. Mereka digunakan karena sel kanker membelah diri lebih cepat dibandingkan sel yang sehat. Namun, karena sel sumsum tulang juga membelah diri cukup sering, 25
pengobatan dengan dosis tinggi dapat merusak sel-sel sumsum tulang tersebut. Tanpa sumsum tulang yang sehat, pasien tidak dapat memproduksi sel-sel darah yang diperlukan. Sumsum tulang sehat
yang ditransplantasikan dapat mengembalikan kemampuan
memproduksi sel-sel darah yang pasien perlukan. Efek samping transplantasi sumsum tulang tetap ada, yaitu kemungkinan infeksi dan juga kemungkinan perdarahan karena pengobatan kanker dosis tinggi. Hal ini dapat ditanggulangi dengan pemberian antibiotik ataupun transfusi darah untuk mencegah anemia. Apabila berhasil dilakukan transplantasi sumsum tulang, kemungkinan pasien sembuh sebesar 70-80%, tapi masih memungkinkan untuk kambuh lagi. Kalau tidak dilakukan transplantasi sumsum tulang, angka kesembuhan hanya 40-50%.
26
BAB III PEMBAHASAN KASUS DILEMA ETIK TENTANG TRANSPLANTASI ORGAN
Skenario 2 An.A umur 8 Tahun, didiagnosa leukemia sejak berumur 2 tahun. Selama ini keluarga bolak balik ke rumah sakit untuk melakukan tranfusi darah tiap 2 minggu sekali. Dokter pernah mengatakan bahwa salah satu terapinya bisa dengan transplantasi sum-sum tulang dari pihak keluarga, sehingga saat itu ibu ingin hamil lagi dan lahir An.B, saat ini sudah berumur 5 tahun. Keluarga menginginkan dokter melakukan tindakan pengambilan sum-sum tulang An.B.
Penyelesaian 1. Apa hak dan kewajiban masing-masing orang yang terlibat dalam kasus ini ? a. An.A Hak An.A: 1) Hak untuk untuk hidup sehat 2) Hak atas pelayanan kedokteran dan keperawatan secara manusiawa sesuai dengan standar profesi baik kedokteran maupun keperawatan 3) Hak atas informasi 4) Hak untuk menerima tindakan pengobatan Kewajiban An.A : 1) Kewajiban untuk menjalani atau tidak menjalani tindakan pengobatan yang akan dilakukan b. An. B Hak An. B: 1) Hak untuk hidup sehat 2) Hak atas informasi 3) Hak untuk mendapatkan perawatan
27
Kewajiban An. B : 1) Kewajiban untuk melaksanakan pengobatan sesuai dengan keputusan c. Keluarga Hak Keluarga : 1) Hak untuk menentukan pilihan tindakan pengobatan atau perawatan terhadap anak 2) Hak untuk mengambil keputusan tentang pilihan tindakan yang akan dilakukan pada An.A setelah mendapatkan informasi yang jelas dari pemberi pelayanan kesehatan. 3) Hak untuk menerima pelayanan kesehatan sesuai dengan tindakan menurut penyakit yang diderita dan memilih jasa pelayanan 4) Hak memperoleh penjelasan tentang riset kedokteran dan keperawatan yang akan diikutinya Kewajiban Keluarga : 1) Mengambil keputusan tindakan yang terbaik untuk anak 2) Memberikan informasi yang benar dan lengkap mengenai penyakit anaknya 3) Menerima segala resiko apabila transplantasi tersebut jadi atau tidak dilakukan 4) Melakukan perjanjian tertulis dengan pihak RS (Inform Consent) d. Tenaga Kesehatan, misal dokter dan perawat Hak : 1) Menerima dan menghargai keputusan yang diambil keluarga 2) Mendapatkan perlindungan hukum 3) Menolak keinginan pasien yang bertentangan dengan undang-undang 4) Menolak melakukan tindakan medic yang bertentangan dengan etika, hukum, agam, dan hati nuraninya 5) Mendapat informasi lengkap dari pasien 6) Melakukan praktek profesi dalam batas hukum yang berlaku Kewajiban : 1) Kewajiban untuk melakukan tugas kesehatan sesuai dengan keilmuan dan keahlian yang ia miliki 2) Kewajiban untuk memberikan informasi tentang keuntungan dan kerugian dari prosedur tindakan yang akan dilakukan 3) Menghormati hak pasien, melakukan tindakan yang diputuskan keluarga 4) Menjaga kerahasiaan identitas penyakit pasien pada orang lain kecuali atas izin keluarga 28
5) Meminta persetujuan atau Inform Consent
2. Siapa yang bertanggung jawab?. Jelaskan alasannya? a. Pihak keluarga dari segi pengambilan keputusan b. Pihak Dokter dari segi pelaksanaan prosedur pengobatan
3. Bagaimana peran masing-masing jika dikaitkan dengan masalah etik dan hukum ? a. Dokter : Memfasilitasi dan memberikan informasi terkait proses atau pelaksanaan dan untuk kesembuhan pasien termasuk memberikan solusi berupa transplantasi sum-sum tulang dan menjelaskan secara detail syarat, manfaat,dan efek samping baik yang menerima ataupun yang mendonor. b. Pasien/keluarga : Mengambil keputusan dalam menerima atau menolak tindakan atau prosedur yang akan dilakukan
4. Apa solusi terbaik yang akan dilakukan, jelaskan alasannya? Solusinya, tindakan transplantasi tetap tidak dilakukan, dan untuk sementara An.A tetap dilakukan transfusi darah, menjelang ada terapi lain untuk pengobatan An.A. Alasannya, Jika tindakan trransplantasi ini dilakukan kesembuhannya hanya 60-70%, tapi masih ada kemungkinan untuk kambuh kembali, karena penyakit leukemia ini merupakan kanker dosis tinggi. Efek samping transplantasi sumsum tulang tetap ada, yaitu kemungkinan infeksi dan juga kemungkinan perdarahan karena pengobatan kanker dosis tinggi. Dan mengingat bahwa biaya untuk transplantasi sumsum tulang sangat mahal yaitu 1 milyar 600 juta. Itupun dapat dilakukan di Singapura. Mengenai biaya, seandainya keluarga kurang biaya untuk transfusi, keluarga bisa menggunakan jaminan kesehatan untuk biaya pengobatan, seperti askes atau jamkesmas.
Pertanyaan: 1. Apakah ada unsur kelalaian? Tidak ada unsur kelalaian karena tindakan belum dilakukan. 2. Malpraktik? Tidak ada unsure malpraktik karena tindakan belum dilakukan. 3. Bagaimana tindakan yang professional? Petugas kesehatan dapat melakukan tindakan atau tidak sesuai dengan keputusan pihak keluarga. 29
Hal Penting : 1. Perlu aturan/ UU? Perlu. Terdapat peraturan perundang-undangan di Indonesia yang membahas mengenai legalitas dari transplantasi organ, seperti UU No 23/1992 tentang kesehatan dan PP No. 18/1981 mengenai bedah mayat klinis dan bedah mayat anatomis serta transplantasi organ, Pasal UU No 23/1992 mengenai transplantasi sebagai sarana pengobatan, Pasal 33 ayat 2 UU No. 23/1992 transplantasi untuk tujuan kemanusiaan, pasal 34 ayat 1 Uu No. 23/1992 transplantasi yang hanya boleh dilakukan tenaga kesehatan, Pasal 11 ayat 1 PP 18/1981 mengenai tenaga dokter untuk transplantasi, pasal 15 ayat 1 PP18/1981 persetujuan dari donor dan ahli waris, pasal 16 PP 18/1981 mengenai donor dilarang menerima imbalan material dalam bentuk apapun dan lain lain. Dengan peraturan perundangan ini maka diharapkan bahwa tidak ada penyalahgunaan organ dalam praktek transplantasi organ dalam masyarakat Indonesia, yang bisa merugikan kedua belah pihak baik itu pendonor maupan sang penerima donor. Mengenai Transplantasi Organ Pasal 64 1) Penyembuhan penyakit dan pemulihan kesehatan dapat dilakukan melalui transplantasi organ dan/atau jaringan tubuh, implan obat dan/atau alat kesehatan, bedah plastik dan rekonstruksi, serta penggunaan sel punca. 2) Transplantasi organ dan/atau jaringan tubuh sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan hanya untuk tujuan kemanusiaan dan dilarang untuk dikomersialkan. 3) Organ dan/atau jaringan tubuh dilarang diperjualbelikan dengan dalih apapun.
2. Perlu ditaati? Perlu. Adanya ketimpangan yang cukup besar antara ketersediaan dengan kebutuhan organ memungkinkan timbulnya berbagai pelanggaran terhadap peraturan yang berlaku. Masalah komersialisasi organ, kurangnya informed consent, serta pelaksana yang tidak berkompeten dan membahayakan kesehatan donor. Komersialisasi organ tubuh manusia merupakan tindak pidana dan tindakan tersebut merupakan delik biasa sehingga tanpa adanya laporan dari masyarakat, aparat kepolisian tetap mempunyai kewenangan untuk melakukan penyelidikan. Hal ini merupakan suatu bentuk perlindungan hukum dari negara terhadap rakyatnya. 30
Proses awal untuk melengkapi Undang-Undang Kesehatan, khususnya Pasal 33Ayat (2), perlu dirinci dalam Peraturan Pemerintah yang merumuskan secara tegas apa yang dimaksud pengalihan organ tubuh manusia, kemanusiaan, komersial dan unsur kesengajaan. Jika batasan dari keempat unsur tersebut sudah jelas, maka upaya penegakan hukum bisa lebih luwes dilakukan sehingga apa yang tercantum pada Pasal 80 Ayat (3) bisa diterapkan. Pasal 80 Ayat (3) berbunyi: Barang siapa dengan sengaja melakukan perbuatan dengan tujuan komersil dalam pelaksanaan transplantasi organ tubuh atau jaringan tubuh atau transfusi darah sebagaimana dimaksud Pasal 33 Ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda paling banyak Rp 300.000,00(tiga ratus ribu rupiah). Jika ditinjau dari sudut orabg yang akan melakukan transplantasi, maka berdasarkan UU No. 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan, tercantum hukuman bila melakukan transplantasi tanpa keahlian ataupun dengan unsure kesengajaan seperti yang diatur dalam Pasal 81 Ayat (1), yang berbunyi: Barang siapa yang tanpa keahlian dengan sengaja: a. melakukan transplantasi organ dan atau jaringan tubuh sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 Ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan pidana denda paling banyak Rp 140.000.000,00 (seratus empat puluh juta rupiah). Sedangkan pada Pasal 81 Ayat (2) berbunyi: Barang siapa dengan sengaja: a. mengambil organ dari donor tanpa memperhatikan kesehatan donor dan atau tanpa persetujuan donor dan ahli waris atau keluarganya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 Ayat (2): dipidana dengan pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan pidana denda paling banyak Rp 140.000.000,00 (seratus empat puluh juta rupiah).
3. Dimana peran etik? Majelis etik bisa terdiri atas pakar terdiri dari dokter, pakar keperawatan, pakar agama, pakar hukum atau pakar ilmu sosial. Secara medis ada persyaratan yang harus dipenuhi untuk melakukan donor organ tersebut. Diantaranya adalah memiliki DNA, golongan darah, jenis antigen yang cocok anatara Donor dan resipien, tidak terjadi reaksi penolakan secara antigen dan antibodi oleh resipien, harus dipastikan apakah sirkulasi, perfusi dan metabolisme organ masih berjalan dengan baik dan belum mengalami kematian (nekrosis). Hal ini akan berkaitan dengan isu mati klinis dan informed consent. Perlu adanya saksi yang disahkan secara hukum bahwa organ seseorang atau keluarganya didonorkan pada keluarga lain agar dikemudian hari tidak ada masalah hukum. Biasanya ada sertifikat yang menyertai bahwa organ tersebut 31
sah dan legal. Pada kenyataannya perangkat hokum dan undang-undang mengenai donor organ di Indonesia belum selengkap di luar negeri sehingga operasi donor organ untuk klien Indonesia lebih banyak dilakukan di Singapura, China atau Hongkong. Dalam pandangan etik normatik (yang bersumber dari agam), transplantasi organ tubuh termasuk masalah ijtihad, karena tidak terdapat hukumnya secra eksplisit dalam AlQur’an dan Sunah. Masalah ini termasuk masalah kompleks yang harus ditanmgani oleh multidisipliner (kedokteran, biologi, hokum, etika, agama). Pandangan keperawatan Islam terhadap tipe 1 dimana donor dalam keadaan hidup sehat seperti mata, ginjal, jantung, korne mata, sangat dilarang hal ini sesuai dengan firman Allah surat Al-baqarah ayat 195 “ dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan”. “ menghindari kerusakan harus didahulukan daripada mengambil kemanfaatan”. Artinya menolong orang dengan cara mengorbankan dirinya sendiri yabg berakibat fatal bagi dirinya tidak diperbolehkan. Pandangan keperawatan islam terhadap donor tipe 2 ; apabila pencangkokan pada mata, ginjal, jantung, dari donor dalam keadaan koma atau hampir meninggal, hal ini juga dilarang karena ia telah membuat mudarat kepada donor yang menyebebakan mempercepat kematiannya. Hal ini sesuai dengan Hadit Riwayat malik : “Tidak boleh ,membuat mudarat pada dirinya dan tidak boleh membikin mudarat pada orang lain”.\
4. Apa dasar dalam membuat keputusan? Ada lima hal yang perlu diperhatikan dalam pengambilan keputusan : 1) Dalam proses pengambilan keputusan tidak terjadi secara kebetulan. 2) Pengambilan keputusan tidak dilakukan secara sembrono tapi harus berdasarkan pada sistematika tertentu : a. Tersedianya sumber-sumber untuk melaksanakan keputusan yang akan diambil. b. Kualifikasi tenaga kerja yang tersedia c. Falsafah yang dianut organisasi. d. Situasi lingkungan internal dan eksternal yang akan mempengaruhi administrasi dan manajemen di dalam organisasi. 3) Masalah harus diketahui dengan jelas. 4) Pemecahan masalah harus didasarkan pada fakta-fakta yang terkumpul dengan sistematis. 5) Keputusan yang baik adalah keputusan yang telah dipilih dari berbagai alternatif yang telah dianalisa secara matang. 32
Apabila pengambilan keputusan tidak didasarkan pada kelima hal diatas, akan menimbulkan berbagai masalah : 1) Tidak tepatnya keputusan. 2) Tidak terlaksananya keputusan karena tidak sesuai dengan kemampuan organisasi baik dari segi manusia, uang maupun material. 3) Ketidakmampuan pelaksana untuk bekerja karena tidak ada sinkronisasi antara kepentingan organisasi dengan orang-orang di dalam organisasi tersebut. 4) Timbulnya penolakan terhadap keputusan.
33
BAB IV PENUTUP
4.1 Kesimpulan Etik adalah suatu ilmu yang mempelajari tentang apa yang baik dan buruk secara moral. Kode etik adalah pernyataan standar profesional yang digunakan sebagai pedoman perilaku dan menjadi kerangka kerja untuk membuat keputusan. Tujuan kode etik keperawatan adalah upaya agar perawat, dalam menjalankan setiap tugas dan fungsinya, dapat menghargai dan menghormati martabat manusia. Pengendalian praktek keperawatan secara internal adalah Kode Etik sedangkan secara eksternal adalah hukum. Praktek keperawatan harus dilakukan secara benar dalam arti keilmuannya dan baik dalam arti aspek Etik dan legalnya. Teori Etik a. Utilitarian Kebenaran atau kesalahan dari tindakan tergantung dari konsekwensi atau akibat tindakan. b. Deontologi Pendekatan deontologi berarti juga aturan atau prinsip. Prinsip-prinsip tersebut antara lain autonomy, informed consent, alokasi sumber-sumber, dan euthanasia.
4.2 Saran Dengan makalah ini diharapkan agar para pembaca dapat: 5. Mengetahui tentang etika keperawatan dan dapat menerapkannya dalam lingkungan kesehatan. 6. Mengetahui tentang hukum yang mengatur mengenai transplantasi organ. 7. Dapat mengetahui peran perawat menurut etika dan hukum
34