BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Negara adalah suatu daerah teritorial yang rakyatnya diperintah oleh sejumlah pejabat atau pemerintahan yang berhasil menuntut para warga negaranya taat kepada peraturan perundang-undangan melalui penguasaan (control) monopolitis dari kekuasaan yang sah.1 Negara terbentuk karena kesamaan nasib dan cita-cita, pada awalnya lebih merupakan kesatuan suku dan agama yang mendominasi dalam suatu masyarakat yang menjaga norma dan aturan sosial masyarakat. Namun pekrembangan pengertian negara sewaktu-waktu dapat berubah, kesatuan agama dan etnis pada akhirnya luntur karena munculnya politik demokrasi, multikultur dan multi ras dalam suatu negara. Pada akhirnya negara sebagai penjaga moral dan hukum berkembang dan berubah hanya untuk menjadi pengatur atau regulator dari kebebasan individu dan hak asasi setiap warganya.2 Konsep tentang negara selalu berhubungan dengan sejarah pemikiran politik, tidak terkecuali pemikiran politik Islam. Pemikiran politik Islam sesungguhnya merefleksikan upaya pencarian landasan intelektual bagi fungsi dalam peranan pemerintah atau negara sebagai faktor instrumental untuk memenuhi kepentingan dan kesejahteraan baik lahir maupun batin.3 Di beberapa “negara” abad ke-7, abad pertengahan dan modern, ternyata agama tidak terintegrasikan secara penuh. Ada dua faktor mendasar, mengapa agama gagal menjadi “ideologi” dasar atau penuh sebuah negara. Pertama, 1
Miriram Budiarjo, 2000. Dasar-Dasar Ilmu Politik. Jakarta: Gramedia. hal. 40 Gerhart Raichle, 1999. Asas-Asas Kebijakan Sosial liberal. Postdam: Freidrich-Naumann-Stiftung. Bab Kebabasan dan keamanan 3 Din Syamsudin, 1999. “Usaha Pencarian Konsep Negara dalam Sejarah Pemikiran Politik Islam”, dalam Politik Demi Tuhan, Nasionalisme Religius di Indonesia. Bandung: Pustakam Hidayah. hal. 43. 2
1 Universitas Sumatera Utara
keinginan pemimpin-pemimpin agama menciptakan sistem pemerintahan yang menganut sistem pemerintahan religio-politik, dibarengi sikap toleran terhadap pemerintah-pemerintah yang cenderung sekuler. Hal ini erat kaitannya dengan sikap-sikap tokoh agama yang cenderung memilih status quo dengan alasan “maslahat umat” seperti yang terjadi dalam sejarah terbentuknya Dinasti Bani Umayyah,
dimana
para
“Shahabah”
yang
beranggapan
bahwa
model
pemerintahan Bani Umayyah adalah tidak sesuai dengan ajaran Rasulullah, juga terhadap prilaku politik sekuler dari Dinasti Bani Umayyah hingga masa keruntuhannya. Kedua, adanya anggapan bahwa agama harus mandiri, tidak berfungsi sebagai kekuasaan. Model keterlibatan agama dalam kekuasaan politik sebagai lembaga yang kritis yang mendampingi lembaga kuasaan dengan sikap korektif.4 Dalam memandang relasi Islam dan negara muncul berbagai persepsi di kalangan
para
pemikir
politik
Islam.
Para
pemikir
yang
beraliran
tradisionalis/fundamentalis seperti Rasyid Ridha, Sayyid Qutub dan Abu al-„ala al-Maududi berpendapat bahwa, Islam sebenarnya telah meletakkan satu pondasi yang kokoh dalam membangun sebuah tata pemerintahan negara, yaitu pada waktu Muhammad SAW memimpin Madinah dengan disepakatinya Piagam Madinah. Adapun mengenai pengakuan dirinya sebagai seorang pemimpin, sudah beliau terima ketika disepakatinya Ba‟iat al-Aqabah pertama (621 M) dan Ba‟iatal al-Aqabah kedua (622 M).5 Dalam konteks Madinah sebagai sebuah negara, Muhammad SAW mempunyai peran ganda, sebagai kepala pemerintahan sebuah negara sekaligus sebagai hakam yang merupakan manifestasi beliau sebagai Rasul utusan Allah SWT. Syariat Islam menjadi dasar tata pemerintahan pada waktu itu, yang selanjutnya sistem khilafah Islam dipegang oleh sekian khilafah, termasuk didalamnya yang dikenal sebgai al-Khulafa al-Rasyidin (6611924 M).6 Ada pula yang berpersepsi lain, yakni aliran sekularis dengan tokoh seperti Ali Abd al-Raziq dan Luthfi al-Sayyid yang berpersepsi bahwa Islam tidak
4 Abdullahi Ahmed an-Na‟im, 1997. Hak-hak sipil dalam pandangan Islam. Jurnal Tashwirul Afkar Edisi: No. 1/Mei-Juni 1997, hal.78. 5 Syuyuti J.Pulungan, 1966. Prisip-Prinsip Pemerintahan dalam Piagam Madinah Ditinjau Dari Pandangan Al-Qur‟an. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. hal. 71 6 Ibid, hal. 73
2 Universitas Sumatera Utara
pernah menerangkan tentang kehidupan bernegara, Islam adalah agama murni bukan negara. Selain itu ada juga persepsi lain yaitu aliran moderat dengan tokohnya seperti Muhamad Husein Haikal, Muhammad Abduh, dan Fazlurrahman yang berpersepsi kendati Islam tidak menunjukkan preferensinya pada sistem politik tertentu, tetapi dalam Islam terdapat prinsip-prinsip moral atau etika bagi kehidupan bernegara, yang untuk pelaksanaannya umat Islam bebas memilih sistem mana pun yang terbaik. Sementara itu dalam sejarah, masa kejayaan Islam habis saat masa khilafah Islam berakhir bersamaan dengan runtuhnya sistem kekhalifahan yang dihapus oleh Majelis Nasional Turki (1924 M) yang pada waktu itu dipegang oleh Kemal at-Taturk.7 Sebelumnya dia juga telah menghapus sistem Kesultanan Turki (1922 M). Hal ini ternyata menimbulkan dampak yang begitu besar pada sistem pemerintahan negara yang secara struktural dan konstitusional berubah. Puncaknya adalah pernyataan Konstitusi Negara bahwa Republik Turki adalah Negara Sekuler.8 Sekulerisasi Turki ternyata memberikan wacana baru dalam khasanah
pemikiran
Islam
kontemporer.
Setidaknya
hal
inilah
yang
melatarbelakangi perdebatan yang kontoversial seputar relasi Islam dan negara sampai saat ini. Salah satu yang dihadapi negara-negara yang mayoritas masyarakatnya Islam pada masa pembentukannya adalah bagaimana mendudukkan agama dalam kehidupan bernegara. Permasalahan tersebutlah yang telah lama dirasakan di Indonesia mengingat Indonesia merupakan negara dengan penduduk yang beragama Islam paling banyak sehingga gagasan tentang relasi Islam dan Negara selalu menjadi wacana aktual di Indonesia. Indonesia sebagai negara dengan jumlah umat muslim terbesar di dunia juga tidak terlepas dari pengaruh Islam dalam perpolitikannya. Walaupun Indonesia bukan negara dengan sistem teokrasi, tetapi pengaruh Islam jelas terlihat dalam perpolitikan Indonesia mulai dari masa pra kemerdekaan, orde lama, orde baru hingga era reformasi sekarang. Peran
7
Faisal Ismail, 1999. Islam dan Idealitas Ilahiyah dan Realitas Insaniyah. Yogyakarta: Tiara Wacana Group. hal. 157. 8 Ibid, hal. 123-124
3 Universitas Sumatera Utara
Islam tersebut terus berubah dan berkembang mengikuti dinamika perpolitikan Indonesia. Sejak pancasila dijadikan dasar ideologi formal Republik Indonesia pada tahun 1945 oleh Soekarno, pancasila menjadi bagian perdebatan politik yang tak terelakan oleh Politikus dan Agamawan, khususnya Islam.9 Pada tahun pemilu tahun 1950 Indonesia mulai memakai sistem multipartai, ini merupakan kesempatan besar bagi Partai Islam untuk memperjuangkan Islam sebagai asas Negara, akan tetapi apa yang dicita-citakannya masih belum bisa dicapai. Pada pemilu 1977 saat rezim Orde Baru berkuasa sistem multipartai tidak lagi dipakai berlanjut hingga pemilu 1982, 1987, dan 1992. Namun pada pemilu 1999 sistem multipartai kembali dipakai seiring dengan runtuhnya rezim orde baru, dan berlanjut hingga pemilu-pemilu selajutnya sampai sekarang. Tetapi lagi-lagi Islam belum cukup kuat untuk meletakkan ideologi Islam sebagai dasar negara. Pada tahun 1978-1985 telah terjadi ideologisasi pancasila yang diinstruksikan oleh Soeharto, dan kemudian menimbulkan perdebatan yang luar biasa di kalangan tokoh dan gerakan ideologi Islam. Insiden politik semacam itu sempat terulang kembali pada
tahun 1990 di negeri ini, yakni mengenai
perdebatan ideologi. Sebenarnya sumber perdebatan itu adalah relasi Islam dan negara,10 khususnya mengenai sistem negara
apa yang akan dipakai untuk
membangun Indonesia, apakah berasaskan Islam atau sekuler? Di era reformasi, terutama setelah adanya kebebasan politik, Islam mengalami kebangkitan. Ada perubahan yang signifikan dari kelompok Islam dalam memaknai jatuhnya rezim Orde Baru, yang mulai mengakomodasikan aspirasi Islam. Aspirasi Islam lebih nampak di pentas politik nasional dibandingkan dengan periode Orde Baru yang belum sepenuhnya memberikan saluran politik Islam. Kejatuhan rezim Orde Baru membangkitkan kesadaran politik
umat
Islam
untuk
menyongsong
periode
baru,
yakni
periode
9
Douglas E. Ramage (Terj. Hartono Hadikusumo), 2002. Percaturan Politik di Indonesia: Demokrasi, Islam, dan Ideologi Toleransi. Jogjakarta: Mata Bangsa. hal. 2 10 Ibid, hal. 19.
4 Universitas Sumatera Utara
kebangkitannya. Reformasi adalah awal periode kebangkitan kembali politik Islam di Indonesia. Kemunculan banyak partai politik yang berasaskan agama, baik Islam maupun Kristen, merupakan salah satu fenomena politik menarik pada masa pasca-Soeharto. Seiring dengan kebebasan yang diberikan rezim Habibie, ormasormas Islam semakin menunjukkan momentumnya untuk melakukan gerakan memperjuangkan aspirasi Islam secara radikal. Ormas-ormas tersebut merupakan ormas dengan aliran pemikiran Islam fundamentalis yang menginginkan agar dijunjung tingginya syariat Islam dalam kehidupan bernegara di Indonesia. Seperti Forum Komunikasi Ahlussunah Waljamaah (FKASW), Ikhwanul Muslimin, HAMAS, Hizbut Tahrir Indonesia dan Majelis Mujahidin dan kemudian disusul ormas Islam lainnya seperti Front Pembela Islam (FPI), Komite Indonesia untuk Solidaritas Dunia Islam (KISDI), dan Persatuan Pekerja Muslim Indonesia (PPMI).11 Namun diantara organisasi-organisasi tersebut Hizbut Tahrir Indonesia memiliki pandangan yang sedikit berbeda dimana bukan hanya menginginkan diteggakkannya ideologi dan syariat Islam tetapi mereka juga ingin ditegakkannya kembali khilafah Islam dan Indonesia menjadi bagian didalamnya. Hizbut Tahrir Indonesia sebagai salah satu ormas yang disebutkan diatas adalah satu-satunya organisasi Islam yang concern dalam hal penegakan Khilafah. Khilafah Islam adalah sebuah institusi politik pan Islamis yang bersifat transnasional yang akan menyatukan seluruh negara-negara bangsa Muslim dalam satu kesatuan politik negara. Khilafah adalah kepemimpinan umum bagi seluruh kaum Muslim di dunia. Khilafah bertanggung jawab menerapkan hukum Islam, dan menyampaikan risalah Islam ke seluruh muka bumi. Khilafah terkadang juga disebut Imamah dua kata ini mengandung pengertian yang sama dan banyak digunakan dalam hadits-hadits shahih. Sistem pemerintahan Khilafah tidak sama dengan sistem manapun yang sekarang ada di dunia Islam.12
11
Khamami Zada, 2004. Islam Radikal: Pergulatan Ormas-Ormas Islam Garis Keras di Indonesia. Jakarta: Teraju. hal. 77 12 http://hizbut-tahrir.or.id/2010/06/21/apa-itu-khilafah/ Diakses pada 14 september 2015. Pukul 22.30 wib
5 Universitas Sumatera Utara
Hizbut Tahrir bukanlah sebuah organisasi kerohanian, melainkan merupakan organisasi politik yang bermaksud untuk membagkitkan kembali umat Islam dari kemerosotan yang sangat parah, membebaskan umat Islam dari ide-ide, sistem perundang-undangan, dan hukum-hukum kufur, serta membebaskan mereka dari cengkeraman dominasi dan pengaruh negara-negara barat. Selain itu kemunculan Hizbut Tahrir juga bermaksud untuk membangun kembali Daualah Islamiyah di muka bumi, sehingga urusan pemerintahan dapat dijalankan kembali sesuai dengan apa yang diturunkan Allah.13 Menurut
Hizbut Tahrir, khilafah termasuk hukum Islam. Allah SWT
menurunkan hukum Islam untuk seluruh umat manusia. Sehingga hukum Islam itu tidak hanya cocok untuk bangsa (orang) Arab saja, melainkan cocok bagi umat Islam secara keseluruhan. Juga, Islam tidak hanya cocok untuk waktu tertentu saja, melainkan cocok untuk semua waktu. Dengan demikian, khilafah ini cocok untuk semua umat, kapan saja dan di mana saja. Selain itu, sejarah telah mencatat bagaimana khilafah telah membentangkan pengaruhnya di atas wilayah yang luas, mulai dari Asia, Afrika dan Eropa. Fakta ini saja sudah cukup untuk membuktikan bahwa khilafah ini cocok untuk semua bangsa sekalipun dengan latar belakang etnis dan budaya yang berbeda-beda, tidak hanya untuk bangsa (orang) Arab saja. Di samping itu, Khilafah telah memimpin dunia lebih dari dua belas abad, dan selama itu Khilafah merupakan negara nomor satu di dunia.14 Sebagai pendatang baru dalam percaturan politik Indonesia Hizbut Tahrir Indonesia bisa dikatan cukup memiliki kararter yang kuat. Ini bisa dilihat dari banyaknya sorotan publik terhadap kelompok yang di awal kedatangannya dipandang eksentrik. Apalagi dengan isu dan konsep khilafah serta metode dakwah yang dibawanya. Hizbut Tahrir harus berhadapan dengan demokrasi yang telah menjelma dalam sebuah sistem negara. Secara tidak langsung hizbut Tahrir harus berhadapan dengan negara karena pada dasarnya konsep yang dibawanya mensyaratkan untuk menolak apapun bentuk pemerintahan selain pemerintahan
13
Tim Hizbut Tahrir, 2007. Mengenal Hizbut Tahrir dan Strategi Dakwah Hizbut Tahrir. Bogor: Thariqul Izzah. hal 4. 14 http://hizbut-tahrir.or.id/2015/06/25/khilafah-cocok-untuk-semua-bangsa-di-setiap-zaman/. Diakses pada 20 agustus 2015. Pukul 21.20 wib
6 Universitas Sumatera Utara
Islam (khilafah). Perdebatan juga terjadi ketika harus membicarakan konsepsi kedaulatan negara, dimana Hizbut Tahrir tidak pernah mengakui kedaulatan rakyat melainkan kedaulatan Tuhan, sementara negara demokrasi sekarang bertumpu pada kedaulatan rakyat. Seiring dengan bangkitnya Islam dalam perpolitikan Indonesia pasca orde baru tersebut, muncul pula gerakan-gerakan Islam kontemporer yang lebih moderat dan modern serta membahawa paham liberalisme, yang hadir lebih belakangan dari organisasi-organisasi Islam tradisonalis/fundamentalis diatas yang
telah
muncul
lebih
awal.
Gerakan-gerakan
ini
merupakan
gerakan kontemporer pemikiran Islam yang di Indonesia banyak dimotori oleh kalangan muda Islam. Dalam konteks perkembangan pemikiran Islam di Indonesia, kelompok ini merupakan kelompok yang muncul pasca gerakan pembaharuan yang dibangun Nurcholis Majid pada tahun 1979-1980 an. Gerakan ini terkenal dengan gagasan gagasannya yang liberal dan terlihat bersebrangan dengan pendapat kebanyakan para ulama Islam di Indonesia pada masa sebelumnya.15 Ada beberapa gerakan Islam kontemporer di Indonesia pasca reformasi, seperti Jaringan Islam Liberal (JIL) dan kelompok pemikiran cendekiawan muslim kontemporer di Indonesia yang juga mengusung jargon-jargon liberesasi pemikiran Islam seperti Jaringan Intelektual Muda Muhammadiyah (JIMM). Namun yang paling terkenal dan menentang arus pemikiran Islam di Indonesia adalah gerakan pemikiran yang dimotori oleh kelompok Jaringan Islam Liberal (JIL) yang digerakan oleh tokoh tokoh muda seperti Ulil Absar Abdalla dan kawan kawannya.16 Jaringan Islam Liberal memiliki pandangan yang sangat berbeda dengan organisasi-organisasi Islam konservatif dan fundamentalis. Menurut Luthfi Assyaukanie yang merupakan salah satu tokoh dari Jaringan Islam Liberal bahwa
15
https://www.scribd.com/doc/113318562/Kontroversi-Pemikiran-Islam-Liberal-Di-Indonesia, hlm.2-3. Diakses pada 20 agustus 2015. Pukul 21.35 wib 16 lbid
7 Universitas Sumatera Utara
ada satu benang merah yang bisa ditarik dari para intelektual muslim liberal, yakni perasaan dan semangat untuk membebaskan (liberating) umat Islam dari belenggu keterbelakangan dan kejumudan sejak paling tidak lima abad terakhir. Belenggu inilah yang dianggap sebagai sebab utama ketakberdayaan bangsabangsa muslim di depan bangsa asing (kolonialisme). Hanya dengan membangun kembali (rekonstruksi) cara pandang dan sikap keberagamaan mereka, kondisi menyedihkan itu dapat diperbaiki.17 Jaringan Islam Liberal menerima liberalisme dan demokrasi dimana menurut mereka agama dan kehidupan bernegara tidak dapat disatukan. JIL adalah sebuah fenomena menarik di Indonesia, karena dianggap mendobrak kemapanan dan kejumudan berfikir. Hal ini bisa dimengerti karena rata-rata aktivis JIL memiliki latar belakang Islam tradisional, yang berorientasi masalah ubudiyah dan tradisi yang dogmatis, yang praktis harus diikuti tanpa diskusi, padahal aturan-aturan itu sering tidak relevan dengan pembebasan umat Islam dari kemiskinan, kebodohan ataupun penindasan.18 Jika dilihat dari latar belakang aliran pemikiran yang di anut oleh Hizbut Tahrir Indonesia dan Jaringan Islam Liberal, jelas sekali dapat disimpulkan keduanya memiliki latar belakang aliran pemikiran yang berbeda dalam memandang relasi Islam dan Negara. Menurut Munawir Sjadzali ada tiga kategori dalam memandang hubungan Islam dan negara di kalangan tokoh Islam. Pertama, aliran konservatif tradisionalis/fundamentalis, yang berpendapat Islam adalah agama yang sempurna dalam mengatur aspek kehidupan manusia termasuk kehidupan bernegara, oleh sebab itu tidak ada alasan memisahkan keduanya. Di antara para tokoh aliran ini ialah Rasyid Ridha dan Al-Maududi. Kedua, aliran integratif modernis/Islam moderat, yang berpendapat bahwa Islam tidak mempunyai sistem negara yang detail tetapi di dalamnya terdapat nilai etika kehidupan bernegara. Tokoh yang terkemuka yaitu M. Husein Haikal. Dan yang Ketiga, aliran 17
http://islamlib.com/gagasan/islam-liberal/tentang-asal-usul-dan-mengapa-islam-liberal/. Diakses pada 20 agustus 2015. Pukul 22.10 wib 18 http://www. islamlib.com/id/halaman/tentang-jil/html. Diakses tanggal 24 Setember 2015. Pukul 22.00 wib
8 Universitas Sumatera Utara
nasionalis sekuler, Islam tidak ada hubunganya dengan negara karena menurut aliran ini Muhammad tidak pernah mengepalai dan mendirikan negara. Tokoh utama aliran ini ialah Ali Abd al-Raziq dan Thaha Husein.19 Jika kita identifikasikan latar belakang aliran pemikiran yang di anut oleh Hizbut Tahrir Indonesia dan Jaringan Islam Liberal dari tiga kategori yang disebutkan oleh Munawir Sjadzali diatas, Hizbut Tahrir Indonesia tidak bisa di masukkan kedalam tiga tipe pemikiran politik Islam yang di sebutkan tersebut. Walaupun aliran
konservatif tradisionalis/fundamentalis
yang disebutkan
Munawir Sjadzali juga menyebutkan sistem khilafah, tetapi khilafah menurut Hizbut Tahrir Indonesia berbeda, dimana khilafah menurut mereka adalah kepemimpinan secara umum atas seluruh umat Islam di dunia, yang artinya hanya ada satu khilafah dan kepemimpinan di dunia. Sementara Jaringan Islam Liberal dapat kita simpulkan cenderung kepada aliran nasionalis sekuler. Karena Jaringan Islam Liberal menerima liberalisme dan demokrasi dimana menurut mereka agama dan kehidupan bernegara tidak dapat disatukan. Maka dari itu, dari semua pemaparan diatas penulis tertarik untuk melakukan penelitian lebih lanjut mengenai perbandingan pemikiran politik antara Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) dan Jaringan Islam Liberal (JIL) dalam memandang relasi antara Islam dan Negara. Dimana keduanya memiliki pemikiran politik yang berbeda dalam memandang relasi antara Islam dan Negara tersebut. B. Perumusan Masalah Dari uraian di atas dipaparkan bahwa adanya perbedaan pemikiran politik antara Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), dan Jaringan Islam Liberal (JIL) dalam memandang relasi Islam dalam Negara di Indonesia. Oleh sebab itu perlu penulis tegaskan bahwa fokus dari permasalahan ini yaitu mengenai bagaimana pemikiran politik Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) dan Jaringan Islam Liberal (JIL) dalam melihat relasi Islam dan Negara dan mengapa Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) dan Jaringan Islam Liberal (JIL) memiliki pandangan berbeda dalam melihat relasi Islam dan Negara. 19
Munawir Sjadzali, 1993. Islam dan Tata Negara: Ajaran, Sejarah dan Pemikiran. Jakarta: UI Press. hal 1-2
9 Universitas Sumatera Utara
C. Pembatasan Masalah Batasan masalah ialah usaha untuk menetapkan batasan dari masalah penelitian yang akan diteliti. Hal ini berguna untuk mengidentifikasikan faktor mana saja yang termasuk dalam ruang lingkup masalah penelitian, dan faktor mana saja yang tidak termasuk dalam ruang lingkup masalah penelitian.20 Maka batasan masalah pada penelitian ini yaitu hanya membahas perbandingan pemikiran politik antara Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) dan Jaringan Islam Liberal (JIL) dalam memandang relasi antara Islam dan Negara.
D. Tujuan Penelitian Adapun yang menjadi tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut: “Untuk mendapatkan penjelasan yang lebih tajam mengenai pemikiran politik Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) dan Jaringan Islam Liberal (JIL) dalam melihat relasi Islam dan Negara dan mengidentifikasi asal-usul mengapa Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) dan Jaringan Islam Liberal (JIL) memiliki pemikiran berbeda dalam melihat relasi Islam dan Negara.” E. Manfaat Penelitian Penelitian ini dilakukan agar mampu memberikan manfaat sebagai berikut: 1. Secara akademis, hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah wawasan berpikir dan khasanah ilmu politik khususnya ilmu yang terkait dengan politik agama, yaitu politik Islam. 2. Secara praktis, hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat sebagai masukan dalam pelaksanaan sistem pemerintahan di Indonesia. 3. Bagi penulis, penelitian ini diharapkan dapat menjadi sarana untuk mengaplikasikan ilmu yang telah diperoleh selama perkuliahan.
20 Husaini Usmandan Purnomo Setiady Akbar, 2009,Metodologi Penelitian Sosial Jakarta: PT. Bumi Aksara, hal. 24.
10 Universitas Sumatera Utara
F. Kerangka Teori F.1 Pemikiran Politik Islam F.1.1 Pemikiran Politik Islam Munawir Sjadzali Menurut Munawir Sjadzali ada beberapa kategorisasi atau tipologisasi dalam pemikiran politik Islam, yaitu: A. Islam Tradisional/Fundamentalis Tipologi ini melihat bahwa Islam adalah agama sekaligus negara (din wa daulah). Ia merupakan agama yang sempurna dan antara Islam dan negara merupakan dua entitas yang menyatu. Hubungan Islam dan negara benar-benar organik dimana negara berdasarkan syari‟ah Islam dengan ulama sebagai penasehat resmi eksekutif atau bahkan pemegang kekuasaan tertinggi. Sebagai agama sempurna, bagi pemikir politik Islam yang memiliki tipologi seperti ini, Islam bukan sekedar agama dalam pengertian Barat yang sekuler, tetapi merupakan suatu pola hidup yang lengkap dengan pengaturan untuk segala aspek kehidupan, termasuk politik. Fundamentalisme mengajak umat Islam kepada prinsip-prinsip yang fundamental dan bercorak romantis kepada Islam periode awal, dengan keyakinan bahwa doktrin dan ajaran Islam adalah lengkap, sempurna dan mencakup segala macam persoalan. Syari‟ah adalah peraturan yang kekal dan abadi sepanjang zaman, tanpa perlu ditafsirkan ulang untuk menyesuaikannya dengan perubahan zaman.21 Tokoh pemikir politik islam yang termasuk dalam tipologi ini adalah Rasyid Ridha, Sayyid Qutub dan Abu al-„ala al-Maududi.
21
Irfan Suryahardi Awwas, 2001. Risalah Kongres Mujahidin I dan Penegakan Syari‟ah Islam. Yogyakarta: Wihdah Press. hal. 32.
11 Universitas Sumatera Utara
a.
Rasyid Ridha
Rasyid Ridha, sebagai seorang yang berkecenderungan tradisional begitu percaya dengan lembaga kesultanan Usmani yang menurutnya adalah juga kekhalifahan, walaupun mereka bukan dari keturunan Quraisy dan Arab. Ia tampaknya menutup mata terhadap despotisme kesultanan Usmani. Kekhalifahan Usmani baginya merupakan pranata politik supra nasional yang mewakili nabi pasca Abbasiyah yang mempersatukan umat Islam di berbagai belahan dunia yang perlu dihidupkan dengan tugas untuk mengatur urusan dunia dan agama, suatu pemikiran yang sama persis dengan pemikiran al-Mawardi. Alasannya karena Al-Qur‟an, hadis dan ijma‟ pun menghendakinya. Tentu saja ahl al-hall wa al-„aqd, sebagai lembaga pemilih khalifah juga perlu dibentuk. Hanya saja ia lebih maju dibanding pemikir politik Islam klasik yang realis pada masa klasik dan pertengahan, walaupun untuk khalifah menurutnya mesti seorang ahli fiqh yang karenanya untuk mempersiapkannya perlu didirikan lembaga pendidikan tinggi keagamaan, tetapi untuk ahl al-hall wa al-„aqd anggotanya bukan saja ahli agama yang sudah mencapai tingkat mujtahid melainkan juga pemuka masyarakat dari berbagai bidang.22 Selain itu, berbeda dengan pemikir politik sebelumnya, lembaga representatif itu dalam pandangannya juga bertugas mengangkat khalifah, mengawasi jalannya pemerintahan, mencegah penyelewengan khalifah dan perlu menurunkannya jika perlu, sekalipun harus dengan perang atau kekerasan demi kepentingan umum. Meskipun pandangan-pandangan Rasyid Ridha sulit diterima untuk konteks kekinian, bagaimanapun Rasyid Ridha telah berhasil memformulasikan tradisi dan merancangkan gagasan dasar bagi para penganjur negara Islam berikutnya. Ia merupakan penghubung yang penting antara teori klasik tentang kekhalifahan dengan gagasan mengenai negara Islam pada abad ke-20 yang dikembangkan oleh Sayyid Quthb dan al-Maududi.
22
Munawir Sjadzali, lbid hal 150
12 Universitas Sumatera Utara
b. Sayyid Quthb Seperti halnya Rasyid Ridha, Sayyid Quthb menginginkan bentuk pemerintahan supra nasional (kesatuan seluruh dunia Islam) yang sentralistis, tetapi daerah tidak sebagai jajahan, mempersamakan pemeluk agama, dan didirikan atas tiga prinsip: keadilan penguasa, ketaatan rakyat karena hasil pilihannya dan permusyawarahan antara penguasa dan rakyat. Meskipun ia tidak mempersoalkan sistem pemerintahan apapun sesuai dengan sistem kondisi masyarakat, namun pemerintahan ini bercirikan penghormatan pada superemasi hukum Islam (syari‟ah). Sayyid Quthb dan juga al-Maududi adalah orang pertama yang menggunakan pengertian bahwa umat manusia adalah khalifah Allah di muka bumi sebagai dasar teori kenegaraan. Keduanya menolak prinsip kedaulatan rakyat dalam pengertian konsep politik Barat, karena manusia hanyalah pelaksana kedaulatan dan hukum Tuhan yang sebab itu, manusia tidak boleh membuat kebijakan yang bertentangan dengan kehendak Tuhan. Konsep politik Islam ini oleh al-Maududi disebut sebagai Theo-Demokrasi.23 Istilah Theo-Demokrasi berasal dari dua kata, theokrsasi dan demokrasi. Dua kata yang disatukan dalam istilah ini dijelaskan Maududi bahwa kewenangan untuk menegakkan pemerintahan yang diberikan Tuhan kepada manusia dibatasi oleh undang-undang Nya yakni syari‟at. Manusia diberikan kewenangan untuk mengangkat dan memberhentikan pejabat yang melanggar atura Tuhan. Hal-hal yang tidak jelas diatur secara jelas dalam syari‟at diselesaikan berdasarkan musyawarah dan konsensus kaum muslimin. Mukmin yang memiliki persyaratan dan kemampuan berijtihad diberi kesempatan untuk menafisrkan undang-undang Tuhan jika diperlukan. Undang-undang yang sudah jelas terdapat dalam nash tidak boleh seorang pun mengubah atau membantahnya. Penafsiran terhadap undang-undang yang belum jelas pengertiannya tidak boleh kontradiktif dengan ketentuan umum undang-undang Tuhan.24
23 24
lbid, hal 157 lbid, hal 158
13 Universitas Sumatera Utara
c.
A l-Maududi
Pemikiran pembaruan politik al-Maududi tentang teori politik pemerintahan didasari oleh tiga prinsip. Menurutnya, sistem politik Islam didasari oleh tiga prinsip tersebut, yaitu Unity of God (tauhid), Prophethood (risalah) dan Caliphate (khilafah). Aspek politik Islam akan sulit dipahami tanpa memahami secara keseluruhan akan ketiga prinsip ini.25 Tauhid berarti hanya Tuhan sendirilah pencipta, penguasa dan pemelihara. Karena Tuhan adalah penguasa, segala kedaulatan di alam ini berada pada Tuhan. Dengan demikian, segala perintah dan laranganNya adalah undang-undang sehingga tidak ada seorang pun yang berhak mengklaim bahwa dirinya memiliki kedaulatan. Risalah menurut Maududi adalah bahwa undang-undang dari Tuhan itu disampaikan kepada Rasulullah SAW untuk disampaikan kepada seluruh umat manusia. Perbuatan Rasulullah dengan melakukan interpretasi
terhadap
undang-undang
itu
melalui
perkataan
dan
perbuatannya disebut sunah. Inilah yang disebut sebagai Risalah Muhammad, yang berisi segala norma dan pola hidup bagi manusia yang disebut syari‟ah. Khilafah, ia jelaskan dengan ungkapannya bahwa manusia di muka bumi ini diberi kedudukan sebagai Khalifah (perwakilan), yang berarti bahwa
manusia
adalah
wakil
Tuhan
di
bumi.
Manusia
yang
dimaksudkannya adalah seluruh komunitas yang meyakini dan menerima prinsip-prinsip bahwa pemegang kepemimpinan dan yang berkuasa di alam ini adalah Tuhan, kedaulatan tertinggi ada pada Tuhan. Dengan demikian, setiap manusia yang menerima prinsip ini berarti telah menduduki posisi khilafah. Akan tetapi, manusia yang diserahi khilafah yang sah dan benar ini bukanlah perorangan, keluarga atau kelas tertentu, melainkan komunitas yang meyakini dan menerima prinsip-prinsip yang 25
lbid, hal 162
14 Universitas Sumatera Utara
telah disebutkan dan bersedia menegakkan kekuasaannya atas dasar prinsip tersebut. Dengan demikian, pelaksanaan khilafah itu haruslah kolektif, dan Maududi menyebut teori khilafahnya yang demikian dengan nama khilafah kolektif. Untuk memperjelas mekanisme khilafah dalam rangka melaksanakan kedaulatan Tuhan, Maududi memberikan ilustrasi sebuah perusahaan yang pengelolaannya diserahkan pada orang yang bukan pemiliknya. Perusahaan yang demikian haus memberlakukan empat syarat. Pertama, pemilik sebenarnya bukanlah si pengelola. Kedua, pengelola harus mengelola perusahaannya dengan instruksi-instruksi pemilikinya. Ketiga, pengelola harus melaksanakan kekuasaannya dalam batas-batas yang telah ditentukan pemiliknya. Keempat, pengelola itu harus melaksanakan administrasi perusahaan itu berdasarkan kehendak pemiliknya, bukan atas kehendaknya sendiri.26 B. Islam Sekularistik Secara umum sekularisme dipahami sebagai upaya untuk memisahkan agama dari urusan-urusan dunia. Dan telah jadi anggapan umum bahwa hasil utama sekularisme dalam konteks Kristen Barat adalah pemisahan gereja dan negara. Dan dalam konteks Islam sekularisme juga dianggap sebagai prasyarat bagi keberhasilan demokratisasi masyarakat termasuk dalam masyarakat muslim. Sebagaimana praktik kenegaraan yang terdapat di Barat, kaum sekular menekankan adanya keterpisahan yang nyata diantara keduanya, bagi mereka Islam dan politik merupakan dua hal yang sangat berbeda. Mendirikan negara bukanlah suatu kewajiban agama, itu hanya kebutuhan duniawi yang lepas dari pengaruh agama. Karena itu, menempatkan agama disatu pihak dan politik (negara) dipihak lain merupakan wujud dari tidak adanya hubungan Islam dan negara. Sekularisme adalah pergerakan menuju pemisahan totalitas antara agama dan negara. Hal ini dapat berupa hal seperti mengurangi keterkaitan 26
lbid, hal 164
15 Universitas Sumatera Utara
antara pemerintahan dan agama negara, menggantikan hukum keagamaan dengan hukum sipil dan menghilangkan pembedaan yang tidak adil dengan dasar negara. Hal ini dikatakan menunjang demokrasi dengan melindungi hak-hak kalangan beragama minoritas. Tokoh pemikir politik islam yang termasuk dalam tipologi ini diantaranya adalah Ali Abd al-Raziq dan Luthfi al-Sayyid. a. Ali Abd al-Raziq Kebalikan dari tipoligi pertama, menurut tipologi ini Islam adalah agama yang tidak berbeda dengan agama lainnya dalam hal tidak mengajarkan cara-cara pengaturan tentang kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Islam adalah agama murni bukan negara. Pemikir yang masuk dalam tipologi ini adalah Ali Abd al- Raziq dan Luthfi al-Sayyid. Pada bulan Maret 1924, Kemal Attaruk, Kepala Negara Turki mengumumkan dihapuskannya jabatan khilafah dari negaranya Dia mengklaim lembaga khalifah terbukti tidak bisa berfungsi sejak awal. Tiga belas setelah kejadian penghapusan khalifah ini, tepatnya April 1925, Syekh Ali Abd al-Raziq, seorang hakim Syar‟iyyah di al-Manshurah menerbitkan sebuah buku kontroversial yang menuntut dihapuskannya kekhilafahan dan mengingkari eksistensinya dalam ajaran Islam. Penerbitan buku ini mendapatkan reaksi yang luar biasa dari kalangan umat Islam di seluruh dunia. Judul buku tersebut adalah al-Islam wa Ushul al-Hukm.27 Tesis utama dari buku ini adalah:28
Nabi Muhammad tidak membangun negara dan otoritasnya murni bersifat spritual
Bahwa Islam tidak menentukan sistem pemerintahan yang definitif. Karena umat Islam boleh memilih bentuk
27 28
lbid, hal 167 lbid
16 Universitas Sumatera Utara
pemerintahan apa pun yang dirasa cocok
Bahwa tipe-tipe pemerintahan yang dibentuk setelah wafatnya Nabi tidak memiliki dasar dalam doktrin Islam. Sistem ini semata-mata diadopsi oleh orang-orang Arab dan dinaikkan derajatnya dengan istilah khilafah untuk memberi legitimasi religius
Bahwa sistem ini telah menjadi sumber tipuan bagi sebagian besar persoalan dunia Islam karena ia digunakan untk meligitimasi tirani dan menimbulkan dekadensi umat Islam.
Dalam sistematikanya, buku tersebut terbagi menjadi tiga bagian:29 1. Dalam bagian pertama diuraikan tentang definisi khilafah atau lembaga
khalifah
dipertanyakan
beserta
tentang
dasar
ciri-ciri
khususnya,
anggapan
bahwa
kemudian mendirikan
pemerintahan dengan pola khilafah itu merupakan suatu keharusan dalam agama Islam, dan akhirnya dikemukakan bahwa baik dari segi agama maupun dari segi rasio, sistem pemerintahan khilafah itu tidak perlu. 2. Dalam bagian kedua diuraikan tentang pemerintahan dan Islam, tentang perbedaan antara risalah atau misi kenabian dengan pemerintahan, dan akhirnya disimpulkan bahwa risalah kenabian itu bukan pemerintahan dan bahwa agama bukan negara. 3. Dalam bagian ketiga dan terakhir diuraikan tentang khilafah atau lembaga khilafah dan pemerintahan dalam sejarah. Dalam hal ini Abd al-Raziq berusaha membedakan antara mana yang Islam dan mana yang arab, mana yang khilafah Islamiyah dan mana yang negara Arab, serta mana yang agama dan mana yang politik.
Masalah yang paling mendasar dalam karya Abd al-Raziq adalah pandangannya bahwa Islam tidak punya sangkut paut dengan masalah 29
lbid, hal 169
17 Universitas Sumatera Utara
kekhalifahan. Menurutnya kekhalifahan, termasuk yang berada di bawah kekuasaan al-khulafa‟u al-Rasyidun bukanlah sistem Islam ataupun keagamaan, tapi sistem yang pada dasarnya duniawi. Argumen pokok Ali „Abd al-Raziq adalah bahwa kekhalifahan tidak ada dasarnya baik dalam al-Qur‟an maupun Sunnah. Keduanya tidak menyebut kekhalifahan dalam pengertian seperti yang terjelma dalam sejarah. Lebih lanjut, tidak ada penunjukkan yang jelas baik dalam alQur‟an maupun Sunnah mengenai bentuk sistem politik yang harus dibangun umat Islam. Ali Abd al-Raziq bahkan lebih lanjut berargumen bahwa kata-kata seperti uli al-amr (mereka yang berkuasa) dalam al-Qur‟an (QS 4: 26) yang diklaim oleh banyak pemikir sebagai kekhalifahan atau imamah, tidak ada sangkut pautnya dengan institusi ini dan tidak dimaksudkan untuk mendirikan kekuasaan kekhalifahan. Dengan mengacu pada mufassir besar al-Qur‟an seperti Baidhawi dan Zamakhsyari, ia katakan bahwa kata-kata itu ditafsirkan sebagai sahabat Nabi atau ulama. Ia juga membantah bahwa Nabi Muhammad telah membentuk negara Islam di Madinah nabi hanyalah Rasulullah, bukan raja atau pun pemimpin politik. Di sinilah Ali Abd al-Raziq bermaksud membedakan antara agama dan politik, atau lebih tepatnya antara misi kenabian dan tindakan politik. Baginya, Islam adalah entitas keagamaan yang bertujuan membangun kesatuan masyarakat yang diikat oleh keyakinan bersama, melalui dakwah agama.30 Ali Abd al-Raziq tidak bermaksud mengatakan bahwa Islam sama sekali tidak perlu membentuk pemerintahan Sebaliknya, Islam tidak menolak perlunya suatu kekuasaan politik. Dalam al-Qur‟an, menurutnya Tuhan menyatakan perlunya pembentukan suatu pemerintahan sebagai sarana esensial bagi umat Islam dalam perjuangan mereka untuk melindungi agama dan menyalurkan kepentingan-kepentingannya. Tapi ini tidak berarti bahwa pembentukan suatu pemerintahan menjadi ajaran 30
lbid, hal 172
18 Universitas Sumatera Utara
pokok Islam. Ini jelas menunjukkan bahwa Ali menerima keberadaan otoritas politik dalam umat Islam. Tapi ia jelas menolak bahwa otoritas politik merupakan tuntutan syariah atau bentuk organisasi politik yang wajib ada secara keagamaan. Bahkan bagi Ali Abd al-Raziq pemerintahan kekhalifahan Islam merupakan fenomena historis murni yang pada dasarnya bersifat sekuler. b. Luthfi al-Sayyid Orang lain yang memiliki persamaan pendapat dengan Ali Abd alRaziq adalah Ahmad Luthfi al-Sayyid. Menurutnya agama dan negara adalah dua hal yang berbeda. Dalam membangun negara, kaum Muslimin tidak harus mengikatkan diri pada Islam dan pan Islamisme karenanya tidak lagi relevan. Program Ahmad Luthfi al-Sayyid adalah memadukan antara prinsip-prinsip Islam dan filsafat Yunani, gagasan-gagasan pencerahan Prancis dan liberalisme Inggris. Pemaduan pemikiran ini membawa Ahmad Luthfi al-Sayyid memusatkan perhatiannya pada sejumlah prinsip yang dapat mempertegas garis-garis pokok pemikiran yang ia tampilkan dan yang secara keseluruhannya terwujud dalam liberalisme Mesir pada dasawarsa-dasawarsa pertama abad ke-20. Prinsip-prinsip tersebut adalah mendirikan suatu pemerintahan bercorak sekuler yang didasarkan atas asas manfaat, menafsirkan agama hanya dalam kerangka hubungan manusia dan Tuhannya, menentukan kriteria-kriteria perilaku perorangan dan akhirnya mempertegas gagasan nasionalisme Mesir.31 Perlu juga disebutkan bahwa ketika Partai Umat dibentuk, dengan penamaan umat di situ tidak dimaksudkan umat dalam konsepsi Islam melainkan umat bangsa Mesir yang terdiri dari orang-orang Kristen, Yahudi dan Islam yang semuanya tidak disatukan oleh hukum syari‟at, melainkan oleh hubungan-hubungan alamiah yang lahir dari kehidupan
31
lbid, hal 175
19 Universitas Sumatera Utara
bersama di tempat yang sama. Lebih lanjut, seperti ditegaskan oleh Ahmad Luthfi al-Sayyid, Islam bukanlah dasar Nasionalisme.32 C. Islam Moderat Berbeda dengan dua kecenderungan tipologi di atas adalah tipologi ketiga yang moderat. Tipologi ini menolak klaim ekstrim bahwa Islam adalah agama yang lengkap yang mengatur semua urusan termasuk politik, tetapi juga menolak klaim ekstrim kedua yang melihat bahwa Islam tidak ada kaitannya dengan politik. Menurut tipologi ini, kendati Islam tidak menunjukkan preferensinya pada sistem politik tertentu, tetapi dalam Islam terdapat prinsip-prinsip moral atau etika bagi kehidupan bernegara, yang untuk pelaksanaannya Umat Islam bebas memilih sistem mana pun yang terbaik. Yang termasuk tipologi ini adalah Muhamad Husein Haikal, Muhammad Abduh, dan Fazlurrahman. a.
Muhamad Husein Haikal
Menurut Haikal,33 di dalam Al-Qur‟an dan sunnah tidak terdapat prinsip-prinsip dasar kehidupan yang langsung berhubungan dengan ketatanegaraan. Ayat tentang musyawarah misalnya tidaklah diturunkan dalam kaitan sistem pemerintahan. Al Qur‟an juga tidak secara tegas dan langsung menyebutkan sistem pemerintahan tertentu. Karenanya, tidak aneh bila empat khalifah periode Islam awal (Khulafa Rasyidun) memang di bai‟at masyarakat di mesjid, tetapi mereka diangkat tidak selalu melalui pemilihan. Nabi sendiri bahkan membiarkan sistem pemerintahan Arab asalkan menerima baik agama yang dibawanya. Dalam perkembangan selanjutnya juga pengaruh luar (Bizantium dan Persia) terhadap pemerintahan Islam makin mendalam dan tampak. Namun demikian, sejauh yang bisa kita baca dari sumber-sumber Islam, paling tidak ada 3 prinsip dasar peradaban manusia termasuk politik. Pertama, prinsip monotheisme murni. Kedua, prinsip sunnah 32 33
lbid, hal 176 Ibid. hal 179
20 Universitas Sumatera Utara
(hukum ) Allah yang tidak pernah berubah, dan ketiga, persamaan antar manusia sebagai konsekuensi prinsip pertama dan kedua. Realisasi prinsip-prinsip itu diwarnai oleh semangat persaudaraan, cinta kasih, rasa keadilan, dan takwa. b. Muhammad Abduh Dalam pandangan Abduh, Islam tidak menetapkan suatu bentuk pemerintahan. Jika bentuk khilafah masih tetap menjadi pilihan sebagai model pemerintahan maka bentuk demikian pun harus mengikuti perkembangan masyarakat. Ini me-ngandung makna bahwa apa pun bentuk pemerintahan, Abduh menghendaki suatu pemerintahan yang dinamis. Dengan demikian, ia mampu mengantisipasi perkembangan zaman. Pendapat demikian adalah konsekuensi dari konsep teologisnya tentang kehendak bebas manusia sebagaimana telah dijelaskan di atas. Tentang sumber kekuasaan, Abduh menegaskan rakyat adalah sumber kekuasaan bagi pemerintah. Rakyatlah yang mengangkat dan yang mempunyai hak memaksa pemerintah. Karenanya rakyat harus menjadi pertimbangan utama dalam menetapkan hukum untuk kemaslahatan mereka. Karena sumber kekuasaan adalah rakyat, Islam tidak mengenal kekuasaan agama seperti yang terdapat dalam Kristen Katolik pada abad pertengahan di Barat. Islam tidak memberi kekuasaan kepada seorang pun selain kepada Allah dan Rasul-Nya. Islam tidak menghendaki seseorang mempunyai kekuasaan terhadap akidah dan keimanan orang lain. Bahkan seorang mufti, qadhi atau syaikhul Islam tidak memiliki kekuasaan agama. Islam hanya mengenal satu kekuasaan, yaitu kekuasaan politik. Kekuasaan politik itu berhubungan dengan urusan keduniaan yang tidak berlandaskan agama. Jelasnya menurut Abduh34, Islam tidak mengenal adanya kekuasaan agama dalam arti:
34
Lbid, hal 120
21 Universitas Sumatera Utara
1. Islam tidak memberikan kekuasaan kepada seseorang atau sekelompok orang untuk menindak orang lain atas nama agama atau berdasarkan mandat agama atau dari Tuhan 2. Islam tidak membenarkan campur tangan seseorang, penguasa
sekalipun,
dalam
kehidupan
dan
urusan
keagamaan orang lain 3. Islam tidak mengakui hak seseorang untuk memaksakan pengertian, pendapat, dan penafsirannya tentang agama atas orang lain. Bahkan, menurut Abduh, salah satu prinsip dari ajaran Islam adalah mengikis habis kekuasaan keagamaan sehingga setelah Allah dan Rasulnya, tidak akan ada seorang pun yang mempunyai kekuasaan atas akidah dan iman orang lain. Bukankah Nabi Muhammad hanyalah seorang mubalig dan pemberi peringatan tanpa hak untuk memaksakan ajarannya. Tidak ada seorang muslim, bagaimanapun tinggi keduduk-annya, yang mempunyai hak untuk memberikan nasihat dan penyuluhan. Dalam Islam juga tidak terdapat penguasa agama yang atas nama agama, atau berlandaskan mandat dari langit, dapat mengangkat dan menurunkan raja, memungut pajak dan upeti, serta mengundangkan hukum ilahi, seperti yang pernah terjadi dalam sejarah sementara agama. Pendapat Abduh di atas seperti mengisyaratkan ketidak-sepakatan pendapatnya dengan sementara pemikir politik Islam zaman klasik dan pertengahan yang menyatakan bahwa kekuasaan raja atau khalifah itu merupakan mandat dari Allah, dan karenanya ia bertanggung jawab kepada Allah pula. Menurut Abduh, seorang khalifah atau kepala negara adalah seorang penguasa sipil yang pengangkatan dan pemberhentiannya merupakan hak manusia atau rakyat dan bukan hak Tuhan. Abduh mengakui bahwa bahwa Islam itu bukan agama sematamata, melainkan mempunyai hukum-hukum yang mengatur hubungan antarsesama muslim dan sesama hidup, yang untuk pelaksanaan dan pengawasan berlakunya memerlu-kan adanya penguasa lengkap dengan 22 Universitas Sumatera Utara
aparatnya. Menurutnya, tugas itu merupakan tanggung jawab kepala negara beserta perangkat pemerintahnya. Tetapi kepala negara sebagai penguasa sipil diangkat oleh rakyat dan bertanggung jawab kepadanya. Rakyat adalah pemilik kekuasaan yang sesungguhnya dan Bahkan, menurut Abduh, salah satu prinsip dari ajaran Islam adalah mengikis habis kekuasaan keagamaan sehingga setelah Allah dan Rasulnya, tidak akan ada seorang pun yang mempunyai kekuasaan atas akidah dan iman orang lain. Bukankah Nabi Muhammad hanyalah seorang mubalig dan pemberi peringatan tanpa hak untuk memaksakan ajarannya. Tidak ada seorang muslim, bagaimanapun tinggi keduduk-annya, yang mempunyai hak untuk memberikan nasihat dan penyuluhan. Dalam Islam juga tidak terdapat penguasa agama yang atas nama agama, atau berlandaskan mandat dari langit, dapat mengangkat dan menurunkan raja, memungut pajak dan upeti, serta mengundangkan hukum ilahi, seperti yang pernah terjadi dalam sejarah sementara agama.35 Pendapat Abduh di atas seperti mengisyaratkan ketidak-sepakatan pendapatnya dengan sementara pemikir politik Islam zaman klasik dan pertengahan yang menyatakan bahwa kekuasaan raja atau khalifah itu merupakan mandat dari Allah, dan karenanya ia bertanggung jawab kepada Allah pula. Menurut Abduh, seorang khalifah atau kepala negara adalah seorang penguasa sipil yang pengangkatan dan pemberhentiannya merupakan hak manusia atau rakyat dan bukan hak Tuhan. Abduh mengakui bahwa bahwa Islam itu bukan agama semata-mata, melainkan mempunyai hukum-hukum yang mengatur hubungan antarsesama muslim dan sesama hidup, yang untuk pelaksanaan dan pengawasan berlakunya memerlu-kan adanya penguasa lengkap dengan aparatnya. Menurutnya,36 tugas itu merupakan tanggung jawab kepala negara beserta perangkat pemerintahnya. Tetapi kepala negara sebagai penguasa sipil diangkat oleh rakyat dan bertanggung jawab kepadanya. Rakyat 35 36
lbid, hal 123 lbid, hal 125
23 Universitas Sumatera Utara
adalah pemilik kekuasaan yang sesungguhnya dan berhak menurunkan kepala negara dari takhta. Kepala negara bukanlah wakil atau bayangan Tuhan di bumi, yang mewajibkan tiap muslim taat kepadanya demi agama meskipun perilaku dan kebijaksanaannya bertolak belakang dengan ajaran agama. Lebih jauh Abduh menyatakan bahwa kalau khalifah atau raja saja tidak memiliki kekuasaan keagamaan, lembaga-lembaga pemerintahan di bawah kepala negara lebih tidak mempunyai kekuasaan agama, termasuk lembaga fatwa dan jabatan syaikhul Islam atau mufti. Mereka dapat saja memberikan opini hukum atau fatwa, tetapi tidak dapat dipaksakan. Dalam hal ketaatan, rakyat tidak boleh menaati pemimpin yang berbuat maksiat. Apabila pemimpin melakukan hal yang bertentangan dengan al-Qur‟an dan Sunnah, rakyat harus meng-gantinya dengan orang lain, selama dalam proses penggantian itu tidak menimbulkan bahaya yang lebih besar daripada maslahat yang ingin dicapai. Dengan kekuasaan politik, Abduh menghendaki agar prinsip-prinsip ajaran Islam dapat dijalankan oleh yang mempunyai hak dan wewenang pemerintah. Tapi Islam tidak memberi peluang akan munculnya sistem teokrasi. Usaha pemerintah untuk menerapkan prinsip-prinsip Islam disesuaikan dengan situasi dan kondisi masyarakat. Undang-undang yang adil dan bebas bukanlah didasarkan pada prinsip-prinsip budaya dan politik negara lain. Kata Abduh, harus ada hubungan yang erat antara undang-undang dan kondisi negara setempat. Dari pendapat-pendapat Abduh di atas, dapat disimpulkan bahwa tampaknya Abduh berpendirian bahwa pemerintahan itu tidak berdasarkan agama, tetapi memiliki tugas keagamaan untuk memelihara nilai-nilai dan prinsip-prinsip Islam yang umum. Persepsinya tentang negara dan pemerintahan, mencerminkan bahwa ia tidak meng-hendaki pemerintahan eksklusif untuk umat Islam; ia juga dapat menerima negara kesatuan nasional
yang
berkembang
di
zaman
modern.
Pikiran-pikiran
keagamaannya pun bersifat antisipatif terhadap perubahan zaman. Yang lebih penting, ia tetap mem-punyai komitmen yang tinggi terhadap Islam. Karena baginya kekuasaan politik yang ada di samping mengurus dunia, juga harus melaksanakan prinsip-prinsip Islam. 24 Universitas Sumatera Utara
c.
Fazlurrahman
Bila Haikal tidak menyebut preferensi Islam pada sistem politik tertentu, maka pemikir Islam setelahnya, yaitu Fazlur-Rahman, Mohamed Arkoun, dan di Indonesia Nurcholish Madjid, menyebut bahwa dari prinsip-prinsip yang disebut Al-Qur‟an dan Hadis, preferensi Islam adalah sistem politik demokratis. Dalam berbagai tulisannya Fazlur-Rahman menekankan masyarakat Islam adalah masyarakat menengah yang tidak terjebak pada ekstrimitas, dan ûlil al-amri-nya (para pemegang kekuasaan) adalah mereka yang tidak menerima konsep elitisisme ekstrim. Masyarakat Islam adalah masyarakat yang egaliter dan terbuka atau inklusif, saling berbuat baik dan kerjasama, dan tidak melakukan diskriminasi berdasarkan gender atau kulit.37 Selanjutnya
Fazlur
Rahman
menjelaskan
konsep
syûra
(musyawarah). Syûra bukan berarti bahwa seseorang meminta nasehat kepada orang lain, seperti yang terjadi dahulu antara khalifah dan ahl halli wa al–„alqd, tetapi nasehat timbal balik melalui diskusi bersama. Tentu saja konsep demokrasi yang dipilih Fazlur Rahman ini dengan, katanya lebih lanjut, berorientasi pada etika dan nilai spiritual Islam, tidak sematamata bersifat material seperti di Barat. Karena pilihannya pada sistem demokrasi itulah, ia mengkritik para tokoh Islam yang menentang demokrasi, seperti terhadap al- Maududi seperti yang telah dijelaskan di muka.38 F.1.2 Pemikiran Politik Syaikh Taqiyuddin An-Nabhani (Hizbut Tahrir) Pemikiran dan gagasan politik Syaikh Taqiyyuddin juga tidak bisa dilepaskan dari pengaruh dua sosok guru dalam kehidupannya, yaitu kakek beliau Syaikh Yusuf an-Nabhani dan Syaikh Muhammad Khadir Hussein.
37 38
lbid, hal 127 lbid
25 Universitas Sumatera Utara
Dari keduanyalah Syaikh Taqiyyuddin memahami hal-hal yang berkaitan dengan Khilafah dan pertentangan antar Islam dan Barat. Syaikh
Yusuf
an-Nabhani
termasuk
yang
banyak
membela manhaj kaum sufi dan banyak mengkritik dua aliran yang berbeda saat itu. Pertama adalah Gerakan Salafi yang banyak berkiprah dan menonjol pergerakannya di Jazirah Arab. Kelompok ini sangat ekstrem dalam beberapa masalah akidah dan selalu menyerang apa saja yang dipandang sebagai bid‟ah. Di antaranya masalah tawasul dengan para nabi dan orang-orang shalih. Beliau mengkhususkan beberapa karyanya untuk menjelaskan pendapat yang berlawanan. Aliran kedua yang mendapat serangan serius dari Syaikh Yusuf an-Nabhani adalah gerakan yang mengkompromikan Islam dengan Barat.39 Adapun Syaikh Muhammed Khadir Hussein (1876-1958) berasal dari sebuah keluarga terhormat di Aljazair. Beliau lahir di daerah selatan Tunisia
serta
termasuk
salah
seorang
ulama
terkemuka
dan
sangat dihormati di kalangan tokoh-tokoh pada masa Khilafah Utsmani. Pada tahun 1925 dan 1926 Syaikh Khadir Hussein menceburkan diri dalam perang pemikiran, yaitu ketika mengkritik buku karya Ali Abdul Raziq, Al-Islâm wa Ushul al-Hukm. Buku ini intinya menyatakan: tidak ada bangunan politik yang baku dalam Islam; Islam harus dipisahkan dari kehidupan, termasuk politik. Beliau juga membantah buku karya Taha Hussein, Asy-Syi‟r al-Jahili. Beliau menamai dua karyanya masingmasing dengan: Naqdh Kitâb al-Islâm wa Ushûl al-Hukm dan Naqdh Kitâb fî asy-Syi‟r al-Jahili.40 Meski pemikiran Syaikh Yusuf an-Nabhani banyak mempengaruhi pemikiran Syaikh Taqiyuddin, saat kembali ke Palestina beliau tidak bercorak
sufi.
Hal
ini
terjadi
sebagai
akibat
benturan
beliau
dengan tsaqafah Barat yang sedang mendominasi saat itu, juga sebagai
39
http://hizbut-tahrir.or.id/2010/03/27/lingkungan-pemikiran-dan-politik-syek-taqiyyuddin-an-nabhani/. Diakses tanggal 4 Oktober 2015. Pukul 19.00 wib 40 lbid
26 Universitas Sumatera Utara
akibat beliau terjun dalam urusan politik yang sedang bergejolak saat itu. Karena itu, beliau mengambil pandangan kearaban (maksudnya berupaya menyatukan kekuatan Islam dengan kekuatan Arab (yakni bahasa Arab) yang saat itu sudah mulai terpisah) dalam metode dan analisisnya. Beliau juga menggunakan bahasa adaptasi (bukan bahasa agama murni) untuk mensosialisasikan pemikiran Islam politik sebelum mendirikan HT. Hal ini disebabkan oleh dua perkara: Pertama, pendudukan Palestina oleh Inggris yang disertai dengan migrasi kaum Yahudi secara massif ke Palestina. Hal inilah yang menyebabkan cita-cita awal Syaikh Taqi adalah bagaimana caranya memerdekakan Palestina. Atas dasar ini beliau menulis bukunya yang istimewa, Inqadz Falistin (Membebaskan Palestina), dua tahun setelah Palestina jatuh ke tangan Yahudi. Kedua, tumbuh-suburnya gerakan komunis dan gerakan nasionalis di negeri Syam sebagai pengaruh pemikiran Barat dan akibat tidak adanya gerakan Islam yang seimbang pada saat itu. Dari sini beliau banyak mengkritik gerakan Al-Ikhwan alMuslimun. Berikutnya beliau mendirikan Hizbut Tahrir dengan bertumpu pada beberapa kader pergerakan di Palestina dan Yordania. Tujuannya agar partainya yang baru ini mengambil corak partai yang berbeda dengan partai-partai yang sudah ada.41 Menurut Hizbut Tahrir Islam adalah prinsip ideologi yang terdiri dari aqidah dan syari‟at. Aqidah merupan fungsi untuk memecahkan persoalan manusia, menjelaskan bagaimana memecahkan persoalan tersebut, mengembangkan dan memelihara bagaimana ideologi tersebut. Islam sebagai prinsip ideologi inilah yang kemudian menjadi pola hidup yang khas sangat berbeda dengan pola hidup lainnya seperti sosialisme, kapitalisme dan isme-isme lainnya.42 Keberadaan penting sebuah negara bagi masyarakat Islam adalah untuk menerapkan hukum-hukum syara‟ dan mengemban dakwah Islam
41
lbid Muhammad hussein abdullah (Terj. Zamroni), 2001. Studi Dasar-Dasar Pemikiran Islam. Bogor : Pustaka Thariqul Izzah. hal.43
42
27 Universitas Sumatera Utara
keseluruh penjuru dunia.43 Adapun bentuk negara dan pemerintahan yang dikehendaki Hizbut Tahrir adalah model pemerintahan yang berbentuk kekhalifahan klasik. Model ini mereka anggap sebgai satu-satunya bentuk autentik pemerintahan Islam, yang diupayakannya untuk dihidupkan kembali bersama lembaga-lembaga tradisional yang menyertainya. Untuk mencapai tujuan ini, partai menyusun konstitusi yang merinci sistem politik, ekonomi dan sosial negara yang dimaksud. Hizbut Tahrir merinci dan menggambarkan sebuah sistem kekhalifahan yang sentalistik dalam arti sistem yang memberikan kekuasaan eksekutif dan legislatif kepada khalifah terpilih, yang pada dirinya sebagian besar fungsi negara terpusat. Warga negara didorong untuk menggunakan hak mereka meminta tanggung jawab negara melalui oposisi politik yang didasarkan pada ideologi Islam dan diekspresikan melalui sistem multi partai. Berikut merupakan beberapa hal pokok negara khilafah menurut Hizbut Tahrir2 :44 Pertama, dalam pemahaman dan ide yang diyakini oleh Hizbut Tahrir tentang khilafah adalah bahwa Sistem Pemerintahan Islam yang diwajibkan oleh Tuhan alam semesta adalah sistem Khilafah. Dimana dalam sistem ini pemimipin atau khilafah diangkat melalui bai‟at berdasarkan dalil Al-Quran, Sunnah Rasul dan Ijmak sahabat. Salah satu dalil Al- Quran tentang hal ini adalah:
43
44
Pusat Studi khazanah Ilmu-Ilmu (PSKII), 2001. Materi dasar Islam. Bogor: PSKII. hal. 100 syabab.com (situs pemuda Hizbut tahrir). Diakses tanggal 4 Oktober 2015. Pukul 20.00 wib
28 Universitas Sumatera Utara
Artinya: Karena itu, putuskanlah perkara di antara mereka menurut apa yang telah Allah turunkan dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka dengan meninggalkan kebenaran yang telah datang kepadamu. (TQS al-Maidah [5]: 48).45
Hendaklah kamu memutuskan perkara di antara mereka menurut apa yang telah Allah turunkan, janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka, dan berhati-hatilah terhadap mereka supaya mereka tidak memalingkan kamu dari sebagian wahyu yang telah Allah turunkan kepadamu. (TQS alMaidah [5]: 49).46
45 46
Surat Al-Maidah Ayat 48. http://quran.com/5/48. diakses pada tanggal 5 Oktober 2015, Pukul 20.00 WIB Surat Al-Maidah Ayat 49. http://quran.com/5/49. diakses pada tanggal 5 Oktober 2015, Pukul 20.20 WIB
29 Universitas Sumatera Utara
Berdasarkan dalil di ataslah ide penegakan khilafah itu muncul dan menguat sebagai sebuah bentuk pemerintahan yang wajib dijalankan. Seruan untuk memutuskan suatu perkara bedasarkan ketentuan Allah di artikan sebagai sebuah bentuk kewajiban mengikuti sumber hukum Allah yakni Al-Qur‟an dan Sunnah. Allah telah menyerukan kepada rasul untuk memutuskan perkara berdasarkan Hukum dan ketentuan Allah maka setelah Rasul wafat kaum muslimin wajib memilih pemimpin untuk menegakan hukum dan memutuskan perkara di tengah mereka sesuai dengan wahyu dan ketentuan Allah. Kedua, Sistem Pemerintahan Islam (Khilafah) berbeda dengan seluruh bentuk pemerintahan yang dikenal di seluruh dunia. Baik dari segi asas yang mendasarinya, dari segi pemikiran, pemahaman, standard dan hukum-hukmnya untuk mengatur berbagai urusan darisegi segi konstitusi dan undang-undang yang dilegalisasi untuk diimplementasikan dan di terapkan, ataupun dari segi bentuknya yang mencerminkan Daulah Islam sekaligus membedakannya dari semua bentuk pemerintahan yang ada di dunia ini. Sering kali muncul banyak kesalahan dalam memahami sistem khilafah itu diantaranya adalah seringnya timbul anggapan bahwa bentuk pemerintahan Islam sam dengan bentuk kerajaan dan bahkan disamakan dengan model Imperium. Namun sesungguhnya hal pemerintahan Islam sangat jauh berbeda dari keduanya, Hal itu karena dalam sistem kerajaan, seorang anak (putra mahkota) menjadi raja karena pewarisan. Umat tidak memiliki andil dalam pengangkatan raja. Adapun dalam sistem Khilafah tidak ada pewarisan. Akan tetapi, baiat dari umatlah yang menjadi metode untuk
mengangkat
khalifah.
Sistem
kerajaan
juga
memberikan
keistimewaan dan hak-hak khusus kepada raja yang tidak dimiliki oleh seorang pun dari individu rakyat. Hal itu menjadikan raja berada di atas undang-undang dan menjadikannya simbol bagi rakyat, yakni ia menjabat sebagai raja tetapi tidak memerintah, seperti yang ada dalam beberapa sistem kerajaan. Atau ia menduduki jabatan raja sekaligus memerintah untuk mengatur negeri dan penduduknya sesuai dengan keinginan dan kehendak hawa nafsunya, sebagaimana yang ada dalam beberapa sistem 30 Universitas Sumatera Utara
kerajaan yang lain. Raja tetap tidak tersentuh hukum meskipun ia berbuat buruk atau zalim. Sebaliknya, dalam sistem Khilafah, Khalifah tidak diberi kekhususan dengan keistimewaan yang menjadikannya berada di atas rakyat sebagaimana seorang raja. Khalifah juga tidak diberi kekhususan dengan hak-hak khusus yang mengistimewakannya di hadapan pengadilan dari individu-individu umat. Khalifah juga bukanlah simbol umat dalam pengertian seperti raja dalam sistem kerajaan. Khalifah merupakan wakil umat dalam menjalankan pemerintahan dan kekuasaan. Ia dipilih dan dibaiat oleh umat untuk menerapkan hukum-hukum syariah atas mereka. Khalifah terikat dengan hukum-hukum syariah dalam seluruh tindakan, kebijakan, keputusan hukum, serta pengaturannya atas urusan-urusan dan kemaslahatan umat. Sistem
Pemerintahan
Islam
juga bukan
sistem imperium
(kekaisaran). Sebab, sesungguhnya sistem imperium itu sangat jauh dari Islam.
Berbagai
wilayah
yang diperintah
oleh
Islam
meskipun
penduduknya berbeda-beda suku dan warna kulitnya, yang semuanya kembali ke satu pusat tidak diperintah dengan sistem imperium, tetapi dengan sistem yang bertolak belakang dengan sistem imperium. Sebab, sistem imperium tidak menyamakan pemerintahan di antara suku-suku di wilayah-wilayah dalam imperium. Akan tetapi, sistem imperium memberikan keistimewaan kepada pemerintahan pusat imperium, baik dalam hal pemerintahan, harta, maupun perekonomian. Metode Islam dalam memerintah adalah menyamakan seluruh orang yang diperintah di seluruh wilayah negara. Islam menolak berbagai sentimen primordial („ashbiyât al-jinsiyyah). Islam memberikan berbagai hak pelayanan dan kewajibankewajiban kepada non-Muslim yang memiliki kewarganegaraan sesuai dengan hukum syariah. Mereka memiliki hak dan kewajiban yang sama dengan kaum Muslim secara adil. Bahkan lebih dari itu, Islam tidak menetapkan bagi seorang pun di antara rakyat di hadapan pengadilan apapun mazhabnya sejumlah hak istimewa yang tidak diberikan kepada orang lain, meskipun ia seorang Muslim. Sistem pemerintahan Islam, dengan adanya kesetaraan ini, jelas berbeda dari imperium. Dengan sistem 31 Universitas Sumatera Utara
demikian, Islam tidak menjadikan berbagai wilayah kekuasaan dalam negara sebagai wilayah jajahan, bukan sebagai wilayah yang dieksploitasi, dan bukan pula sebagai “sapi perah” yang diperas untuk kepentingan pusat saja. Akan tetapi, Islam menjadikan semua wilayah kekuasaan negara sebagai satu kesatuan meskipun jaraknya saling berjauhan dan penduduknya berbeda-beda suku. Semua wilayah dianggap sebagai bagian integral dari tubuh negara. Seluruh penduduk wilayah memiliki hak seperti penduduk pusat atau wilayah lainnya. Islam menetapkan kekuasaan, peraturan pemerintahan adalah satu untuk semua wilayah. Ketiga, bahwa struktur negara khilafah berbeda dengan struktur semua sistem yang dikenal di dunia saat ini, keski ada kemiripan dalam penampakannya. Struktur negar khilafah ditetapkan berdasarkan negara madinah yang pernah didirikan Rasulullah. F.2 Teori Perbandingan Politik Studi perbandingan adalah bidang di dalam Ilmu Politik yang acap kali mengalami berbagai perubahan yang disesuaikan dengan studi intensif untuk mengurangi kekakuan dalam sistem politik yang ada. Perbandingan melibatkan sebuah abstraksi situasi atau proses konkrit yang tidak pernah dibandingkan semata, setiap fenomena diharapkan merupakan peristiwa yang unik; setiap manifestasi adalah unik; setiap individu dan perilakunya adalah unik. Melakukan perbandingan dalam studi politik, hanya akan memberikan sebuah teori politik yang secara umum, tetapi secara perlahan melalui berbagai proses akan terjadi pengembangan kondisi. Singkatnya pendekatan yang nantinya dilakukan dalam proses memperbandingkan juga akan menentukan deskripsi pendekatan, apakah akan terbatas pada pendekatan lembaga pemerintahan yang dibentuk secara formal atau lebih pada sebuah kontekstual dalam pembongkaran kekuatankekuatan politik yang melatari yaitu ideologi. Pengembangan terhadap sebuah abstraksi situasi akan membentuk relevansi dengan kekuatan kategori umum, sebuh relevansi yang terhimpun dari berbagai perbandingan yang dilakukan melalui peristiwa dan fenomena politik
32 Universitas Sumatera Utara
yang terjadi. Yang kesemua pada gilirannya dapat mengarahkan kesimpulan dan tanggapan kita kepada sebuah pandangan umum mengenai stabilitas politik; makanya diperlukannya pengkajian terhadap fenomena yang terjadi dalam studi ilmu politik.47 Secara garis besar tinjauan didalam perbandingan ilmu politik dari awal perkembangannya sampai dengan kondisi politik yang mutakhir, terdapat beberapa teori yang mendukung,48 yakni: Pertama, Teori sistem, seperti apa yang diutarakan David Easton di dalam bukunya “The Political System”, yang memuat mengenai konsep input dan output politik, tuntutan dan dukungan serta umpanbalik terhadap keseluruhan sistem yang saling berhubungan. Kedua, Teori Budaya, berangkat dari karya tradisional tentang budaya dalam dunia antropologi, studi sosialisasi dan kelompok-kelompok kecil dalam sosiologi; serta konsep kebudayaan yang dikaitkan dengan konsep negara dan budaya-budaya nasional. Ketiga, Teori Pembangunan, kemunculan negara di dunia ketiga mendorong kemunculan teori ini, yang tercurahkan pada wawasan keterbelakangan dan potensi untuk memajukan diri unruk tumbuh dan berkembang menjadi sebuah bangsa, yang kesemua terkait dalam pola modernisasi politik. Dalam sebuah kaitannya dapatlah dipahami bahwa setiap manifestasi sikap, hubungan, motivasi dan ide dalam masyarakat merupakan relevansi dalam kegiatan politik. Secara sederhana polituk dapat dipahami sebagai sebuah aspirasi dalam membentuk sebuah kepentingan, yang diawali dengan sebuah tuntutan dan akhirnya menghasilkan sebuah keputusan serta konsensus bersama. Dan dalam memahami sebuah fenomena politik yang ada diperlukannya sebuah pemahaman holistik tentang potensi potensial politik dan memahami bahwa ada sebuah sikap yang dianggap bertentangan yaitu sebuah sikap apolitis. Semua terbentuk pada ruang dan waktu yang berbeda tetapi semua menyangkut kegiatan politik dalam sebuah wadah partisipasi politik. Konsepsi pemikiran dan perbandingan politik, adalah bertujuan untuk melihat dan penekanan pada pergolakan sosial dan konsensus yang terbangun, dan 47
Macridis, Roy, 1992. Perbandingan Ilmu Politik, Jakarta: Bumi Aksara. hal 5. Chilcote, Ronald, 2002. Teori Perbandingan Politik. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada. hal. 11-13.
48
33 Universitas Sumatera Utara
tidak pula tertutup kemungkinan akan terjadinya konflik di dalam masyarakat. Mulai dari pemahaman yang konservatif sampai dengan pemahaman yang radikal tentang negara dan tujuannya, semua merupakan dan interpertasi terhadap analisis peran negara dalam kondisi yang temporer. Lewat berbagai diskursus tentang teori perbandingan, maka kedepannya diharapkan akan menghasilkan sebuah implikasi yang nyata dalam memberikan kontribusi pemikiran politik serta ruang untuk mencapai sebuah sistem yang muncul dari kondisi latar belakang sosialpolitik masyarakat. G. Metode Penelitian Metode penelitian merupakan suatu pengkajian dalam mempelajari peraturan-peraturan yang terdapat dalam suatu penelitian. Ditinjau dari sudut filsafat, metodologi penelitian merupakan epistemologi penelitian, yaitu yang menyangkut bagaimana kita mengadakan penelitian.49 Metode penelitian dalam penelitan ini adalah: 1. Jenis Penelitian
Jenis penelitian yang digunakan penulis ialah jenis penelitian deskriptif, yaitu suatu tipe penelitian untuk memberikan gambaran objek penelitian berdasarkan suatu gejala sosial, fakta dan data yang ada melalui konsep-konsep dalam teori sosial. Metode deskriptif ini dapat diartikan sebagai prosedur dalam memecahkan masalah yang sedang diselidiki dengan menggambarkan dan melukiskan keadaan subyek dan obyek penelitian seseorang, masyarakat, Lembaga Sosial Masyarakat dan lainya berdasarkan fakta-fakta yang tampak sebagaimana adanya. Dan pendekatan yang digunakan peneliti ialah jenis kualitatif yang terdiri
dari
kutipan-kutipan
dan
deskripsi
keadaan,
kejadian,
interaksi dan kegiatan sehingga peneliti dapat mendekati data agar mampu mengembangkan komponen-komponen dan keterangan yang analisis, konseptual dan kategoris dari data tersebut. 49 Husaini Usman dan Purnomo Setiady Akbar, 2009,Metodologi Penelitian Sosial, Jakarta: Bumi Aksara, hal. 41
34 Universitas Sumatera Utara
2. Teknik Pengumpulan Data Teknik pengumpulan data dilakukan melalu studi pustaka, wawancara, observasi lapangan, cara-cara lainnya yang dapat memperkaya informasi terkait dengan tema penelitian. Sumber data utama penelitian ini diperoleh dari buku atau literatur tertulis lainnya serta data dari informan. Informan dalam penelitian ini adalah Syaiful Rahman selaku Wa.Ketua DPD I Sumatera Utara Hizbut Tahrir Indonesia dan Novriantoni Kahar yang merupakan salah satu aktivis Jaringan Islam Liberal. Dalam melakukan penelitian, data sangat dibutuhkan sebagai acuan untuk menjamin keakuratan dalam menganalisis penelitian tersebut. Maka peneliti dalam hal ini melakukan teknik pengumpulan data dengan cara mengumpulkan data primer dan data sekunder. Pengambilan data primer dilakukan dengan wawancara secara langsung. Dalam hal ini, peneliti menggunakan metode purposive sampling yaitu pengambilan sampel yang disesuaikan dengan tujuan dan syarat tertentu yang ditetapkan berdasarkan tujuan dan masalah penelitian. Wawancara ini dilakukan secara langsung kepada informan ataupun narasumber yang dianggap paling sesuai dengan objek penelitian, serta melakukan tanya jawab secara mendalam terkait permasalahan yang diteliti kepada informan dan narasumber dalam objek penelitian
ini.
Pihak-pihak
yang diwawancarai
dilibatkan
dalam
penggalian data sebagai informan dengan tujuan agar memperoleh informasi yang tersaring tingkat akurasinya sehingga keseimbangan informasi dapat diperoleh. Maka, peneliti mengambil informan sebanyak dua orang yaitu : 1. Syaiful Rahman selaku Wa.Ketua DPD I Sumatera Utara Hizbut Tahrir Indonesia 2. Novriantoni Kahar selaku salah satu aktivis Jaringan Islam Liberal.
35 Universitas Sumatera Utara
3. Teknik Analisis Data Teknik analisis yang digunakan dalam penelitian ini ialah analisis data kualitatif, dimana setelah data diperoleh maka selanjutya ialah
melakukan
analisa
data
yang
dilakukan
dengan
cara
mengkumpulkan data kemudian disusun, dan kemudian data yang telah dikumpulkan dianalisis dengan variable-variabel untuk diperbandingkan. Lalu dianalisa dan disajikan untuk memperoleh gambaran sistematis tentang kondisi dan situasi yang ada. Data-data tersebut diolah dan dieksplorasi secara mendalam yang selanjutnya akan menghasilkan kesimpulan yang menjelaskan masalah yang akan diteliti. H. Sistematika Penulisan Untuk mendapatkan gambaran ysng terprinci dan untuk mempermudah isi dari skripsi ini, maka penulis membagi sistematika penulisan kedalam 4 bab, yaitu: BAB I: Pendahuluan Dalam bab ini berisi tentang latar belakang masalah, perumusan masalah, kerangka teori, metodelogi penelitian serta sistematika penulisan. BAB II: Seputar Hizbut Tahrir Indonesia dan Jaringan Islam Liberal Pada bab ini akan di paparkan tentang Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) dan Jaringan Islam Liberal (JIL) baik kegiatan, perkembangan beserta sejarah berdirinya. BAB III: Analisis Perbandingan Perspektif Hizbut Tahrir Indonesia dan Jaringan Islam Liberal Dalam Melihat Relasi Islam dan Negara Bab ini akan membahas tentang pemikiran politik Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) dan Jaringan Islam Liberal (JIL) dalam melihat relasi Islam dan negara untuk di analisis perbandingannya.
36 Universitas Sumatera Utara
BAB IV: Penutup Bab ini merupakan bab terakhir dari penulisan skripsi yang berisi kesimpulan yang diperoleh dari hasil penelitian yang telah dilakukan.
37 Universitas Sumatera Utara