BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Kritik terhadap pemberitaan media, khususnya televisi belakangan semakin kerap muncul ke ruang publik, baik di ruang-ruang seminar, forum diskusi terbatas, maupun pada pemberitaan media massa. Bahkan, seiring dengan meningkatnya frekuensi pemberitaan mengenai sejumlah agenda penting reformasi seperti pemberantasan korupsi dan penegakan hukum, sejumlah institusi atau kelompok melancarkan protes atas praktik pemberitaan media televisi yang dinilai merugikan mereka (Mustary, 2012: 123). Praktik pemberitaan yang kerap dipersoalkan pada titik ini misalnya soal netralitas dan keberimbangan. Contohnya saat pengurus Partai Demokrat melaporkan TVOne dan Metro TV ke Komisi Penyiaran Indonesia karena dinilai memojokkan partai tersebut. Tidak hanya itu, kritik atas pemberitaan media yang tidak kalah penting adalah ketika media lebih berorientasi pada kepentingan pasar, sehingga melupakan kepentingan publik. Sebagai contoh, pada liputan bencana, media lebih mengedepankan kisah tragis dari para korban, lebih banyak mengulik kisah pribadi para koruptor ketimbang menuntaskan penjelasan tentang dana korupsi, atau ketika media lebih cenderung mengarahkan liputan pemilu menjadi ajang persaingan antar kandidat. Kutipan tulisan di atas boleh jadi memang merupakan refleksi atas praktik jurnalistik di Indonesia, terutama yang ditunjukkan oleh media televisi. Seiring dengan kemajuan teknologi televisi, berita televisi pun banyak mengalami kemajuan dalam hal produksi berita. Namun, kemajuan ini ternyata tidak serta merta membawa berita ke arah yang progresif. Berita televisi bahkan sering diistilahkan sebagai “chewing gum for the eyes”. Artinya, berita televisi semakin menekankan 1
pada peristiwa-peristiwa trivial yang memiliki komponen visual, bias, dan membelokkan publik dari makna yang lebih dalam (Denis dan Merill, 1984: 92). Jurnalisme televisi saat ini tampak didikte oleh pasar, sehingga pada praktiknya pola jurnalistiknya perlahan-lahan mengadopsi pola pemberitaan pada jurnalisme tabloid. Sepuluh hingga lima belas tahun yang lalu, misalnya. Penonton berita mengenal dan melihat presenter berita dengan penampilan formal, serta membacakan berita satu ke berita yang lain dengan bahasa yang serius dan baku, tanpa diselingi komentar. Begitu juga berita yang ditampilkan di televisi kala itu. Selalu lugas, dengan teknik editing yang simpel, tanpa ada background musik apalagi lagu yang mengiringinya. Penonton pun bisa melihat perbedaan yang jelas, mana berita yang serius, mana yang berita hiburan. Pada dasarnya, ada beberapa karakter mendasar yang membedakan berita sebagai produk dari quality press/pers elit dengan berita yang menjadi produk pers populer/pers kuning. Berita yang merupakan ragam dari pers populer dikemas jauh lebih rumit dibanding berita televisi pada umumnya dengan memasukkan sisipan dokumentasi, pergantian gambar yang cepat, serta pemberian ilustrasi musik dan lagu yang sekiranya matching dengan tema (Wijaya, 2012: 101). Perbedaan lain yang dicatat Hermawan Wijaya (2012: 102) adalah cara penyampaian narasi pada jurnalistik populer dibaca dengan mendayu-dayu layaknya membaca sebuah prosa lirik, bahkan sinis. Puluhan tahun setelah kebebasan pers dihirup oleh para pekerja media, publik pun bisa mencatat adanya perubahan dalam tampilan berita di televisi kita. Yang berkembang kemudian, pelan-pelan televisi berita mengadopsi gaya infotainmen (pers kuning- penulis) dalam penyajian beritanya (Wijaya, 2012: 103). Ambil contoh pada saat Metro TV gencar memberitakan kasus mafia pajak Gayus Tambunan 2 tahun silam. Soundtrack film Godfather selalu hadir mengiringi 2
berita. Belum lagi efek-efek suara dan musik lainnya yang menjadi pemanis berita. Lalu entah berapa kali kata ‘konon’ diucapkan di awal penyampaian fakta. Berita terebut bisa dijumpai pada tayangan Metro Hari Ini, 15 November 2010. Program berita terkait isu politik dalam negeri pun dibuat tak kalah dramatis. Menggunakan lagu sebagai ilustrasi, pengucapan yang mendayu-dayu terkesan sinis dan tendensius. Untuk sebuah topik yang sedang panas, tidak jarang ditampilkan narasumber instan yang kadang tidak jelas kompetensinya. (Wijaya, 2012: 103). Adopsi format dan gaya pemberitaan pers populer oleh quality press itulah yang dikenal dengan tabloidisasi. Dalam konsep jurnalistik, formula tabloidisasi ini lebih dulu digunakan oleh yellow papers atau pers kuning, yang berarti bahwa penonjolan unsur sensasional, vulgar, dan berselera rendah menjadi hal yang diutamakan. Inilah jurnalisme yang lebih mementingkan aspek sensasi dengan bertopeng pada kepentingan rakyat serta memperjuangkan hak-hak rakyat, padahal tujuan utamanya adalah meraih jumlah pembaca sebanyak mungkin (Lukmantoro, 2007: 3). Tabloidisasi ini lazimnya dilakukan oleh “pers populer” yang diasumsikan dikonsumsi oleh rakyat kebanyakan yang posisinya berlawanan dengan “quality press” yang diasumsikan dibaca oleh kalangan elit masyarakat (Lukmantoro, 2007: 29). Pers populer juga sering diidentikkan dengan kualitas yang rendah. Maka, gejala tabloidisasi sebagai adopsi formulasi dan standar pers populer ke dalam quality press inilah yang perlu diberi perhatian lebih. Sebab, pada dasarnya quality press memiliki orientasi pada isu serius seperti politik, ekonomi, dan sosial yang menjadi urusan publik, sementara pers populer lebih menekankan pada aspek hiburan dan privat (Mooney, 2008: 9). Sehingga wajar bila hari ini kritik selalu diarahkan pada cara pemberitaan pada televisi kita. Sekilas, fenomena tersebut mungkin tampak sepele. Apa salahnya? Bukankah penonton akan lebih enjoy menyaksikan berita? Boleh jadi. Tetapi 3
sebenarnya, ada problem di sana. Yahoo Contributor Network, Mark Carter (Wijaya, 2012: 103) menjelaskan bahwa “itu merugikan kita (karena) memungkinkan kita untuk memisahkan diri dari realitas.” Ya. Orang bisa jadi senang dengan tayangan berita yang demikian. Tetapi dengan begitu, orang pun akan lupa bahwa sebenarnya ada hal penting dan mendesak yang harus disikapi.
Sepanjang Pilgub DKI Jakarta 2012, misalnya.
Pemberitaan di televisi berita kita dikemas sedemikian rupa, sehingga kita sebagai penonton merasa senang mengikuti berita tersebut, terhanyut dalam suasana lomba yang seru dan “panas” meski sebenarnya tidak menambah informasi yang berguna bagi pemirsa untuk menentukan pilihan. Misalnya, berita di TVOne 21 September 2012 bertajuk “Simpatisan Jokowi Cukur Kumis”, “Pendukung Jokowi Ahok Cukur Rambut” (Metro TV, 20 September 2012) sebagaimana terlihat pada gambar berikut: Gambar 1. Potongan Berita Pemilukada DKI Jakarta 2012
Meskipun bukan merupakan “pesta demokrasi” skala nasional, tetapi Pilgub DKI Jakarta beberapa waktu lalu memperoleh porsi pemberitaan yang cukup besar di media televisi nasional. Hal ini bisa dipahami mengingat pemilihan umum merupakan salah satu peristiwa penting dalam politik. Ditambah lagi keberadaan
4
Jakarta sebagai ibu kota negara dan menjadi representasai iklim politik nasional. Harian Kompas (22 September 2012) misalnya, pernah menyebutkan bahwa hasil Pilgub DKI Jakarta merupakan refleksi peta politik nasional. Hal inilah yang membuat Pilgub DKI Jakarta 2012 menjadi topik sentral penelitian. Kajian tentang gejala tabloidisasi dalam program berita ini sendiri penting untuk dilakukan. Sebab, dalam masyarakat kontemporer saat ini, pesan dalam bentuk berita merupakan referensi bagi partisipasi individu dalam kegiatan politik, ekonomi, maupun kultural (Lozano, 2004:26). Persoalannya, selama ini audiens tidak ditempatkan sebagai warga negara, melainkan konsumen berita untuk mendapat rating yang tinggi. Akibatnya, berita-berita penting yang menyangkut isu publik sering dikemas dengan gaya tabloid yang ringan dan dangkal. Jika demikian, audiens boleh jadi tidak mampu menerima informasi faktual yang berguna bagi pengambilan keputusannya sebagai seorang warga negara. Padahal, Walter Lippmann (dalam Brander, 2012: 10) telah lama mengingatkan bahwa publik mengharapkan media untuk member mereka public interest-focused news, tidak jika itu tidak menghasilkan keuntungan (materi). Sebab, publik memiliki keterbatasan dalam mengakses informasi dan memahami peristiwa yang berkaitan dengan kehidupan mereka sehari-hari. Karena itu, media yang memperoleh kepercayaan sebagai “gerbang” pengetahuan, diharapkan mampu memenuhi peran itu. Tabloid-style news, sebagaimana dinyatakan Brander (2012: 62), tidak mampu mewujudkan tujuan mulia jurnalisme: melayani publik. Peneliti hendak mengkaji gambran riil mengenai tabloidisasi dalam program berita televisi dengan melihat indikator-indikator tabloidisasi yang tampak pada pesan/isi berita. Meskipun telah banyak kritik yang dilayangkan pada praktik jurnalistik di televisi kita, sebagaimana telah disinggung di atas, tetapi sebetulnya belum banyak kajian yang menunjukkan bagaimana gambaran riil tabloidisasi yang
5
terjadi pada produk jurnalistik di televisi kita. Terutama data-data yang menjelaskan dan mengukur “kadar” tabloidisasi yang tengah terjadi. Mengingat banyaknya program berita, maka pembatasan terhadap objek kajian perlu dilakukan. Pada penelitian ini, pembatasan dilakukan pada program berita andalan di Metro TV dan TVOne, yakni Metro Hari Ini dan Kabar Petang yang sama-sama ditayangkan di jam prime time. Pemilihan dua progam acara di dua stasiun televisi berita tersebut bukan untuk mengetahui perbedaan frame antara keduanya. Melainkan keduanya merupakan representasi produsen berita televisi di Indonesia. Sehingga performa berita di kedua stasiun tersebut dapat ditelaah untuk mengetahui gambaran tabloidisasi yang terjadi dalam berita televisi di Indonesia.
B. Rumusan Masalah Sesuai dengan paparan dalam latar belakang masalah di atas, maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah: Bagaimana kecenderungan tabloidisasi yang muncul dalam pemberitaan Pilgub DKI Jakarta pada program Metro Hari Ini dan Kabar Petang selama Juni-September 2012?
C. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan menjawab rumusan masalah yang ada. Maka, tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui kecenderungan tabloidisasi yang muncul dalam pemberitaan Pilgub DKI Jakarta pada program Metro Hari Ini dan Kabar Petang selama Juni-September 2012.
6
D. Manfaat Penelitian 1. Secara Akademis Penelitian ini akan memperkaya kajian dan data empiris mengenai trivialisasi berita. Terutama yang terjadi di dua stasiun televisi berita nasional Indonesia, yakni Metro TV dan TVOne. Dimana di Indonesia sendiri kajian tentang tabloidisasi berita belum banyak dilakukan. Disamping itu, penelitian ini akan memberikan ruang bagi lahirnya penelitian-penelitian yang baru, karena menyajikan banyak data dan kemungkinan untuk penelitian yang lebih luas. 2. Secara Praktis Penelitian ini dapat menjadi rujukan untuk memberikan gambaran kepada masyarakat mengenai performa berita televisi. Khususnya di masa pemilihan umum, yang dapat digunakan sebagai bahan pertimbangan dan pembelajaran. Selain itu, data-data dalam penelitian ini secara praktis juga dapat digunakan oleh berbagai lembaga yang concern terhadap kajian media untuk melakukan telaah lebih lanjut.
E. Kerangka Pemikiran E. 1. Peran Berita Televisi Sebagai Basis Informasi Masyarakat Dalam keseharian, kita membutuhkan berita bukan hanya untuk memenuhi kebutuhan informasi. Melalui berita, orang bisa menjalin ikatan satu sama lain, bahkan mengenali kawan dan musuh. Jurnalisme tak lain adalah sistem yang dilahirkan masyarakat untuk memasok berita, yang telah dikenal sejak zaman Romawi. Secara sederhana, alasan-alasan tadi setidaknya bisa menjelaskan mengapa kita peduli terhadap karakter berita yang kita dapatkan: mereka mempengaruhi kualitas hidup, pikiran, dan budaya kita. Ini dimungkinkan karena media massa sebagai pemasok berita merupakan perangsang penting terhadap penilaian dan konsumsi informasi (McQuail, 1987: 75).
7
Hari ini, media massa tak lain adalah alat terpopuler bagi manusia untuk memenuhi kebutuhan informasinya. Keberadaan media massa di tengah kehidupan manusia telah mengubah pula cara hidup manusia. Ruang-ruang mediasi mulai menggusur pola-pola pertukaran pesan secara tradisional melalui tatap muka, misalnya. Hingga saat ini, konsumsi media di masyarakat kita pun tergolong tinggi, terlebih dengan hadirnya media baru. Ini bisa ditunjukkan dengan tingginya penggunaan media sebagai akses informasi. Gallup Broadcasting Board of Governoor mencatat bahwa sejumlah media massa secara intens digunakan oleh masyarakat Indonesia untuk memperoleh informasi dalam bentuk berita. Penggunaan media seperti internet misalnya, mencapai angka 20,6% hingga 51%. Penggunaan media komunikasi modern lainnya seperti telepon genggam juga mengalami kenaikan dari 31% pada 2011 menjadi 49,8% di tahun 2012. Setidaknya sekali dalam seminggu mereka menggunakan telepon seluler untuk memperoleh berita, termasuk akses internet. Meski media baru mulai menjejali kehidupan kita sehari-hari, tetapi riset Gallup Broadcasting Board of Governoor menunjukkan bahwa televisi masih menjadi medium terpopuler yang digunakan untuk mengakses berbagai informasi. Hampir seluruh warga Indonesia (94,1%) memiliki pesawat televisi, dan 95,9% mempergunakan televisi untuk memperoleh berita, setidaknya sekali dalam seminggu. Keberadaan kotak ajaib yang mulai dikenal di Indonesia sejak 1962, tak pelak semakin menggiatkan kegiatan jurnalistik dan pertukaran berita di masyarakat. Orang-orang tidak perlu lagi mendatangi suatu sumber untuk memperoleh informasi, tapi informasi akan datang sendiri lewat jurnalis yang bekerja di media massa. Dengan semakin gencarnya kegiatan jurnalistik yang dimungkinkan dengan adanya perkembangan teknologi media massa, maka mestinya media massa tidak 8
hanya menjadi perantara, tetapi merupakan jendela pengalaman yang meluaskan pandangan dan memungkinkan masyarakat mampu memahami apa yang terjadi di sekitarnya, tanpa campur tangan pihak lain. Dengan kata lain, media massa memiliki modal untuk mewujudkan kontrol sosial. Dalam konteks politik, masyarakat ditempatkan sebagai warga (citizen). Sehingga, media memiliki peran tersendiri dalam kaitannya dengan proses politik. Tidak hanya sebagai pemberi informasi, tetapi membantu mereka mewujudkan partisipasinya sebagai warga negara. Sehingga, media di sini berperan untuk menjembatani institusi politik dengan warga yang menjadi konstituennya. Peran sentral media dengan berita sebagai produk utamanya dalam kehidupan politik iniS telah dirumusan dengan baik oleh McNair (1999: 12). Proses mediasi tersebut digambarkan dalam bagan berikut: Gambar 2. Elemen Komunikasi Politik McNair
Dengan dasar bahwa media massa tidak hanya memediasi proses komunikasi politik, tetapi komunikasi massa secara umum, maka skema McNair tersebut juga 9
relevan untuk menggambarkan posisi media dalam satu sistem sosial. Media menjembatani kebutuhan warga terhadap akses di bidang politik, maupun yang lainnya. Berita, dalam hal ini adalah jembatan bagi kebutuhan tersebut. Berita merupakan salah satu produk utama media massa di satu sisi. Di sisi lain, berita adalah sumber utama untuk mengakses informasi tentang politik, ekonomi, dan berbagai isu lain bagi warga di negara-negara demokrasi (De Vreese, 2004: 1). Hal inilah yang menyebabkan masyarakat sangat tergantung pada media massa. Sehingga apapun yang disajikan akan dengan mudah dipercayai oleh penerima. Celakanya, kita tidak dapat mengecek peristiwa-peristiwa yang disajikan media. Kita cendeung memperoleh informasi itu semata-mata berdasarkan pada apa yang disajikan media massa. Pada akhirnya, kita membentuk citra tentang lingkungan sosial kita berdasarkan realitas kedua yang ditampilkan media massa. Setiap realitas yang dilaporkan oleh media massa bukanlah segalanya. Realitas yang ditampilkan media adalah realitas yang sudah diseleksi, atau dikenal dengan istilah realitas tangan kedua (second hand reality). Media memiliki cara tersendiri untuk meramu realitas. Dikarenakan tidak semua realitas yang ada seharihari bisa dijadikan berita. Istilah ‘gatekeeping’ sering dijadikan metafora untuk menjelaskan proses seleksi yang dibuat oleh media, terutama dalam memutuskan berita mana yang akan ditampilkan (McQuail, 2010: 308). Dengan peran dan juga wewenang khusus untuk mengelola informasi, maka tentu saja kepercayaan diberikan secara penuh pada media. Harapannya sudah pasti, media akan mampu menjembatani proses komunikasi yang kian kompleks dalam masyarakat demokratis melalui produk jurnalistik yang memenuhi standar kualitasnya.
10
E.2. Kualitas Berita Televisi Kerja jurnalistik diyakini sebagai sebuah kerja yang krusial bagi masyarakat (Harrington, 2008: 1). Di sisi yang lain, televisi hingga saat ini dipercaya sebagai saluran terpenting bagi akses informasi seseorang (van Santen&van Zoonen, 2011: 4). Perpaduan keduanyalah yang kemudian memposisikan jurnalistik televisi sebagai sebuah elemen penting dalam kehidupan masyarakat modern yang dicirikan dengan adanya akses informasi yang memadai guna mengawal demokrasi. Sebagai salah satu dampak dari kebebasan bermedia, ledakan jumlah media yang kita konsumsi sehari-hari tidak dapat terhindarkan. Masa kebebasan bermedia tidak saja memberi kebebasan bagi siapapun untuk memperoleh akses informasi. Tetapi juga memungkinkan organisasi media menjai institusi bisnis yang bertujuan untuk memperoleh profit. Inilah yang kemudian mendorong organisasi media untuk terjun dalam medan persaingan meraih perhatian penonton, agar mampu mengeruk kue iklan sebesar mungkin. Tentu saja hal ini dilakukan melalui produk-produk media yang dihasilkan, termasuk berita. Disinilah ancaman terhadap kualitas berita mulai terasa. Terlebih lagi pada berita televisi, dimana persaingan pada media televisi saat ini sangat ketat. William Randolph Hearst adalah taipan media yang di awal abad ke-19 mampu mempertontonkan bagaimana bisnis media bisa begitu profitable bak bisnis baja atau minyak. Ia mampu mengubah koran yang pailit, mentransformasikannya menjadi sebuah media beroplah tinggi. Hearst menggunakan konten yang “easy selling” untuk menarik audiens dari kelas menengah ke bawah. Terbitan itu dicirikan dengan harga yang murah dengan konten yang beda dari sebelumnya, yakni mempertontonkan banyak gambar, kisah berseri, dan komik (Baran dan Davis, 2009: 48). Beberapa pakar bahkan menyebut istilah “yellow journalism” lahir dari komik strips terbitan Hearst—The Yellow Kid.
11
Yellow journalism atau jurnalisme kuning identik dengan apa yang dikenal dengan isitilah tabloidisasi, yang diambil dari kata tabloid, sebuah produk media massa yang memprioritaskan lifestyle, hiburan, dan sensasi. Hal ini tidak terlepas karena tabloid merupakan salah satu produk nyata dari jurnalisme kuning dengan format yang berbeda dengan produk jurnalistik pada umumnya. Tabloid bisa dibilang sebagai produk jurnalisme populer yang kehadirannya menampilkan apa yang tidak dapat dimuat pada jurnalisme mainstream. Jika jurnalisme populer biasa dijumpai dalam bentuk pers kuning seperti tabloid, jurnalisme mainstream secara konseptual termasuk dalam pers elit (quality/serious press) (Harrington, 2008: 5). Sebagai bentuk pers populer, tabloid dikemas dengan berbagai ragam yang menghibur
agar
mampu
menarik
perhatian
audiens.
Misalnya,
dengan
gambar/ilustrasi yang mencolok dan besar, judul berita yang “wah”, tampilan berita yang mudah dipahami, eyecatching, bahkan dramatis. Beritanya pun memberikan prioritas pada hiburan, kejahatan, sex, dan hal-hal yang remeh temeh seperti kehidupan pribadi selebritis. Sedangkan pers elit biasanya dicirikan dengan menampilkan berita yang serius seperti politik, ekonomi, internasional, hukum, dengan format yang lebih “kaku” karena berorientasi pada kedalaman isi beritanya. Seiring berjalannya waktu, format-format tampilan leissure news tidak hanya dapat dijumpai pada tabloid. Berita yang ada ada di quality presspun kini mulai dibikin dengan formulasi tabloid. Sebagaimana cara yang digunakan Hearst dalam memajukan bisnis medianya, cara itu pula yang kurang lebih kini ditiru oleh para pelaku industri media untuk memperoleh ceruk dan mempertahankan hidupnya. Tidak peduli apakah mereka berangkat dari media yang pure beraliran “kuning”, ataupun mereka yang sebetulnya merupakan media elit. Jika “media kuning” jelas-jelas menggunakan gaya tabloid sebagai cara hidupnya, maka media yang dikategorikan sebagai pers elit kini sedikit banyak mengadopsi gaya pemberitaan pers kuning. Termasuk berita televisi 12
yang kini banyak mengalami perubahan format dan tampilan jika dibandingkan 10 hingga 15 tahun yang lalu. Adopsi karakter pers populer yang dilakukan oleh pers elit inilah yang kemudian dikenal dengan tabloidisasi. Format ini semakin lama kian dikritik karena mendatangkan problem tersendiri, yaitu penurunan standar kualitas berita televisi. Penurunan standar tersebut mau tak mau dilakukan organisasi media demi meraih sebanyak-banyaknya pemirsa berita melalui penjajakan rating. Apalagi jika mengingat program berita di televisi adalah tayangan yang secara rating paling rendah dibandingkan program televisi lainnya seperti sinetron dan reality show. Sehingga, untuk mendapat kue iklan, berita juga harus mampu bersaing merebut penonton sebanyak-banyaknya. Maka, format berita televisi mesti diubah agar tidak membosankan dan mampu menggugah gairah untuk menonton. Hasilnya adalah berita-berita yang muncul di televisi lebih mengedepankan konflik dan drama atas sebuah peristiwa yang sering terlalu dilebih-lebihkan. Selain itu, kualitas penyajian berita di televisi seringkali
lebih
hanya
menitikberatkan
pada
gambar,
sementara
unsur
pelaporannya tidak kuat. Efek yang ditakutkan adalah ketika masyarakat justru terbiasa dengan jenis jurnalisme yang hanya akan memuaskan mereka, menghibur, namun tidak mendidik dan membangun kesadaran mereka. Berita televisi sejatinya merupakan produk jurnalisme murni yang memiliki pakem tersendiri dan menyampaikan apa yang penting bagi khalayak. Namun, sejalan dengan logika bisnis, berita televisi kemudian hari beralih fungsi menjadi sebuah bentuk penayangan yang lebih condong menampilkan bentuk tabloidisasi untuk memenuhi “apa yang khalayak suka” dengan menurunkan standar jurnalistik yang dimiliki, menjadi standar tabloid yang dikenal sebagai terbitan yang meski faktual, tetapi lebih mengeksplor sisi hiburan. Contoh untuk rendahnya kualitas program televisi karena memburu rating ini sudah banyak. Misalnya, bagaimana kita disuguhi tontonan live report televisi berita 13
saat terjadi peristiwa penangkapan teroris di medium 2009 maupun letusan Gunung Merapi di penghujung 2010. Fakta menunjukkan bahwa dengan adanya liputan demikian, rating Metro TV dan TVOne pun melejit. Survei AGB Nielsen (2010) menunjukkan penonton Metro TV naik sebesar 196% dan penonton TVOne melonjak 220% dengan adanya pemberitaan tersebut. Hal tersebut setidaknya mampu menguatkan dugaan bahwa untuk kepentingan bisnis, standar kualitas jurnalistik pada berita televisi sengaja ditunrunkan mengikuti logika jurnalistik tabloid. Tabloid identik dengan gaya penyampaian berita yang sensasional, sedikit menitikberatkan pada kepentingan publik, justru seringkali menonjolkan aspek kehidupan pribadi ke ranah publik. Sebaliknya, pers non tabloid lebih menitikberatkan pada informasi publik dengan menggunakan cara penyampaian (bahasa) yang serius (McLachlan dan Golding dalam Sparks, 2000). Maka dari itu, secara konseptual, tabloid digolongkan ke dalam produk pers populer (popular press). Sejalan dengan karakternya yang menghibur, tabloid juga sering disebut sebagai produk jurnalistik hiburan. Jenis tabloid televisi yang paling populer adalah infotainment. Sedangkan berita televisi yang akarnya memang untuk membahas halhal serius tergolong dalam quality press. Karena itu, produk quality press ini dituntut untuk memiliki standar kualitas yang ketat terhadap produk jurnalistiknya. Sehingga, quality press ini juga sering disebut sebagai pers berkualitas (quality papers) atau pers elit (elite pers). Pada perkembangannya, fenomena serupa juga berlaku pada topik-topik yang lain, semisal pemberitaan tentang skandal korupsi Century, sidang DPR untuk masalah BBM, atau liputan kasus Hambalang. Topik yang juga rentan di-tabloidisasi-kan oleh televisi berita adalah pemilihan umum. Salah satunya ketika Pemilukada DKI Jakarta 2012 yang lalu. 14
Tampak berita seputar Pemilukada DKI Jakarta 2012 menyita perhatian televisi berita, dengan kemunculan berita setiap harinya. Menarik untuk kemudian melihat bagaimana tabloidisasi terjadi pada berita seputar pemilukada DKI Jakarta 2012 tersebut. Pada masa pemilu, berita sudah pasti menjadi salah satu instrumen penting bagi warga. Tidak hanya untuk memberi informasi tentang siapa saja kandidat yang bersaing. Lebih penting dari itu, warga membutuhkan informasi yang memadai untuk menentukan pilihan.
E.3. Tabloidisasi dalam Berita Pilkada DKI Jakarta 2012 di Metro TV dan TVOne Jurnalistik yang dilakukan
quality press seperti Metro TV dan TVOne
mestinya mampu menonjolkan aspek kepentingan publik dalam beritanya. Sebetulnya, harus diakui bahwa peran sebagai saluran people’s right to know telah dilakukan oleh kedua media ini melalu program-program beritanya. Misalnya dalam hal mengetengahkan pada publik akan terjadinya korupsi yang menyebabkan kerugian negara, atau memberikan informasi kepada audiens tentang pemilihan umum. Dalam konteks pemilihan umum, penonton akan menjadi lebih tahu siapa saja kandidat yang bisa dipilih, bahkan membawa mereka untuk mengetahui lebih dekat siapa para calon dan bagaimana program yang diusung. Tetapi masalahnya adalah bagaimana berita-berita itu disampaikan? Apakah disiarkan dengan kedalaman informasi dan analisis, atau sekadar memberi tahu. Apakah dikemas dalam bentuk yang kontekstual, atau sekadar menyampaikan berita yang enak ditonton. Sebagai media massa yang beraliran “serius”, televisi berita semestinya mampu menghadirkan berita dengan standar jurnalistik yang ketat. Standar ini umumnya merupakan representasi dari pers elit yang memberikan penekanan pada “rational and text-based, their counterparts play on the readers' emotions by using striking visuals, bold design, and colorful wording” (Lehman-
15
Wilzig&Seletzky, 2012: 2). Karena itu, biasanya jurnalistik yang serius ini memiliki tulisan/cerita yang panjang dan mendalam—cenderung terkesan membosankan. Problem muncul ketika praktik jurnalistik pada televisi berita MetroTV dan TVOne sebagai quality press, mengemas beritanya dengan gaya jurnalistik pers populer. Pola jurnalistik pers populer ini misalnya ditandai dengan “larger headline size, more pictures, and greater use of graphics” (Lehman-Wilzig&Seletzky, 2012: 2). Pada berita seputar Pilkada DKI Jakarta 2012, hal ini terlihat dari bagaimana fokus berita yang banyak menyoroti soal kandidat, dimana mereka ditempatkan secara personal, serta adanya aspek-aspek dramatis dalam muatan berita seperti penggunaan visualisasi dan musik yang telah diedit sedemikian rupa sehingga eye catching. Contoh adanya tendensi untuk menonjolkan liputan yang sifatnya personal adalah kebiasaan media dalam menayangkan kompetisi antar kandidat. Tribunnews Jakarta (CiriCara.com, 21 September 2012) mencatat bahwa Indonesia Media Watch (IMW) pernah mengadukan Metro TV dan TVOne karena menyiarkan hasil hitung cepat (quick count) sebelum waktu pencoblosan usai. Sehingga liputan ini melanggar Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran Pasal 71. Hal itu merupakan indikasi bahwa media memilih mengedepankan berita yang mampu menarik audiens, dengan mengabaikan standar jurnalistik yang ada. Kualitas berita pun menjadi terganggu. Pada titik inilah dapat diasumsikan bahwa telah terjadi tabloidisasi dalam pemberitaan seputar Pilkada DKI Jakarta 2012, yang bisa dilihat dari adopsi pola jurnalistik populer oleh Metro TV dan TVOne sebagai representasi dari pers elit/serius. Sebagai televisi berita yang 60% hingga 80% slot air time-nya digunakan untuk berita, keduanya dikategorikan ke dalam pers elit. Sebab berita menyuarakan kepentingan publik yang menyoroti kebijakan lokal dan internasional, ekonomi, keamanan nasional, dan sebagainya. Sementara pers populer dianggap tidak
16
mengindahkan social responsibility, sehingga isinya tidak banyak memuat berita yang lekat dengan kepentingan publik.
F. Kerangka Teori Dari kerangka pemikiran yang telah dijabarkan sebelumnya, dapat ditarik tiga konsep kunci yang membutuhkan detail lebih lanjut, yaitu tabloidisasi, berita televisi, dan pilkada. Tabloidisasi merupakan teori yang digunakan sebagai acuan dalam menjelaskan fenomena berita. Berita sendiri menjadi objek kajian dalam penelitian ini, dan pilkada sebagai topik sentral analisis. F.1. Tinjauan Tabloidisasi Konsep tabloidisasi tidak terlepas dari sejarah perkembangan media tabloid. Istilah tabloid digunakan untuk menyebut media cetak yang berukuran setengah broadsheet (setengah dari ukuran surat kabar normal). Di Indonesia, ini merupakan ciri umum untuk mengenali tabloid. Pemahaman ini berbeda dengan pemahaman tabloid di Barat yang lebih banyak mengacu pada sisi isi dan bahasa yang bermuatan ideologis. Tabloid pada awalnya merupakan media yang sengaja diciptakan untuk menyerang tatanan dan norma sosial yang telah mapan. Tatanan yang dimaksud adalah bentuk jurnalisme berkualitas yang dijalankan oleh pers elit (serious/quality press). Tabloid sendiri dikenal sebagai produk dari pers populer. Sebagai sebuah media perlawanan, maka jurnalisme populer sudah tentu tidak akan memakai standar baku yang dipunyai oleh jurnalisme serius. Ia akan membuat standar atau kriteria tertentu dalam tampilannya. Sensasi kemudian disebut sebagai standar dasar dalam jurnalisme populer. Ini sejalan dengan label tabloid itu sendiri yang sebetulnya diadopsi dari dunia farmasi yang berarti pil atau tablet yang bisa menghadirkan sensasi tertentu. Istilah ini diperkenalkan di Inggris tahun 1884 oleh merk dagang Welcome & Co, 17
yang menggabungkan kata tablet dan alkaloid (Harris, 2006: 3). Adopsi penggunaan istilah tabloid dalam dunia jurnalisme dilakukan oleh seorang editor Daily World bernama Alfred Harmsworth di tahun 1900 untuk merujuk media cetak yang menggunakan paragraf dan kalimat-kalimat singkat dalam pemberitaannya (Harris, 2006: 3). Dimana kalimat singkat ini biasanya berupa bahasa yang menarik perhatian, dan disandingkan dengan banyak gambar atau foto. Semuanya dimaksudkan untuk mengejar sensasi. Harmsworth kemudian mendirikan The Daily Mirror pada 1903 yang secara khusus dibuat oleh dan untuk wanita. Karena strategi ini gagal, Mirror kemudian diubah menjadi ‘popular newspaper’ ber-segmen umum dengan format berita sensational dan gosip (Anwar, 2000: 22-24). Di samping setting ideologis sebagaimana terjadi di Inggris, munculnya tabloid juga identik dengan orientasi pasar. Hal ini terjadi di Amerika yang pada saat itu, tahun 1893 hingga akhir abad ke- 19 mengalami depresi ekonomi, sehingga memaksa industri media cetak berbenah agar mampu memperoleh pembaca dan laba. Adalah William Randolph Hearst, taipan media di Amerika yang di awal abad ke-19 mampu mengubah koran yang pailit menjadi sebuah media beroplah tinggi. Hearst menggunakan konten yang “easy selling” untuk menarik audiens dari kelas menengah ke bawah. Terbitan itu dicirikan dengan harga yang murah, mempertontonkan banyak gambar, kisah berseri, dan komik (Baran dan Davis, 2009: 48). Cara inilah yang selanjutnya dikenal dengan jurnalisme kuning (yellow journalism). Beberapa pakar bahkan menyebut istilah “yellow journalism” lahir dari komik terbitan Hearst—The Yellow Kid. Dari sinilah kemudian tabloidisasi identik dengan jurnalisme kuning. Penekanannya pada aspek sensasi inilah yang sebetulnya membedakan tabloid dari jenis media cetak lainnya. Elizabeth Bird (dalam Harris, 2005: 3) 18
mencatat bahwa label tabloid paling banyak digunakan untuk mengacu pada “sensational tabloid—the paper whose stock in trade is human interest, graphically told story, heavy on pictures and short, pithy, highly stereotyped prose.” Proses
dimana
media
menerapkan
pola
yang
demikian
dalam
pemberitaannya itulah yang kemudian disebut sebagai tabloidisasi. Maka, karakteristik tabloid tidak hanya dilihat dari bentuk fisik media, melainkan juga dari aspek isi dimana tabloid berisikan berita yang menonjolkan sensasi. Berdasarkan konsepsi jurnalisme ini, bisa dipahami bahwa tidak semua media yang berukuran setengah broadsheet (11 inchi) seperti Tabloid Detik dan Koran Tempo dikategorikan sebagai ‘tabloid’. Hanya media yang betul-betul mengedepankan gosip dan sensasi yang dikategorikan sebagai tabloid. Disamping standar teknis dari tabloid yang disebutkan Bird di atas, Sparks (2000: 11) membedakan standar pemberitaan tabloid dari substansi beritanya yang sedikit memberikan ruang untuk politik, ekonomi, dan masyarakat. Sebaliknya, ruang tabloid digunakan untuk pemberitaan olahraga, skandal, dan hiburan (popular infotainment). Dari penekanan topiknya, jurnalisme tabloid berorientasi pada ranah personal dan privat. Proses politik, perkembangan ekonomi, serta perubahan sosial tidak menjadi fokus dari tabloid. Standar yang “dihindari” oleh jurnalisme populer itu pada dasarnya dianggap elitis, sehingga mereka ingin menerapkan standar baru agar dapat diterima oleh semua kalangan. Meski awalnya tabloid menjadi sebuah media perlawanan (sebagai produk budaya populer) terhadap tatanan mapan yang dijalankan oleh pers serius, tetapi satu hal yang tidak dapat dihindari adalah terpelantingnya produk populer tersebut dalam budaya massa. Konsekuensinya, semangat perlawanan budaya populer justru jatuh dalam komodifikasi. Artinya, semua produk media menjadi komoditas yang diproduksi secara massal dan ditujukan untuk kepentingan komersial. Standarstandar jurnalistik mulai diatur ulang hingga jurnalisme mengalami kemerosotan. 19
Inilah yang kemudian disebut dengan tabloidisasi: penurunan standar jurnalistik (Sparks, 2000: 17; Glynn, 2004: 1). Meski demikian, definisi tersebut masih terlalu luas. Penurunan standar bisa berarti setidaknya dalam 2 hal. Pertama, standar yang rendah karena disebabkan oleh buruknya profesionalitas jurnalis, yang bermuara pada problem objektivitas dan keberimbangan. Kedua, soal “taste” yang rendah, yang mengacu pada karakter hiburan, tetapi dilakukan oleh para jurnalis yang berkualitas. Karena itu, cara mengukur kualitas berita ini pun berbeda. Pada saat berita menjadi komoditas, segala sesuatunya dikemas untuk memenuhi kepentingan ekonomi dan politik. Media telah berubah menjadi alat kepentingan bagi pemiliknya, sehingga orientasi para jurnalisnya akan mengikuti kepentingan pemilik. Baik itu secara ekonomi maupun politis. Akibatnya, kualitas berita pun menurun. Menurut McQuail, salah satu konsep yang paling yang paling dekat untuk melihat kualitas informasi adalah dari segi obyektivitas (McQuail, 2010: 172). Bentuk objektivitas ini merujuk pada kerangka Westertahl yang membagi objektivitas dalam 2 bentuk, sebagaimana digambarkan berikut ini: Gambar 3. Skema Objektivitas Westertahl (dalam McQuail, 1992: 196)
Obyektivitas merupakan bentuk profesionalitas yang ideal untuk mencapai sebuah tujuan, menghendaki skill yang merata, dimana segala usaha tidak hanya dilakukan oleh perorangan, tetapi oleh keseluruhan organisasi media massa
20
tersebut (McQuail, 1992: 184). Objektivitas ini ditunjukkan dengan sikap netral, tidak memihak, serta akurat. Namun kenyataannya, berita, baik itu pada pers serius maupun populer (seperti infotainment) juga bisa dikatakan telah menerapkan prinsip tersebut. Dan memang, produk pers populer itu juga objektif. Tabloid juga memberitakan peristiwa nyata, dan kru pembuatnya adalah jurnalis (Bird, 1992: 104). Artinya, sumber peristiwa dalam jurnalisme tabloid itu tetap faktual (nyata; benar-benar terjadi), netral, berimbang (tidak memihak). Sebagai contoh, katakanlah berita tentang perseteruan artis A dan B. Infotainmen memberitakannya dengan menunjukkan pernyataan dari kedua belah pihak. Kemudian peristiwanya juga benar-benar terjadi. Diceritakan secara lengkap dan akurat. Maka, diihat dari prinsip objektivitas tadi, dia bisa dikatakan objektif. Tetapi pertanyaannya, apa ini penting bagi publik? Disinilah letak perbedaan jurnalisme berkualitas dengan tabloid. Inilah yang menjadi concern: soal taste of public. Jurnalisme berkualitas memandang bahwa tabloid memiliki taste of public yang rendah. Penyebabnya adalah tekanan pasar yang membuat para pekerja media memperlakukan produk jurnalistiknya (berita) sama seperti komoditas yang diperjualbelikan. Konsekuensinya, berita akan dipoles agar mampu menarik perhatian. Tanpa memperhatikan kemanfaatannya bagi publik. Berbeda dengan pola penurunan kualitas berita dari sisi objektivitas, penurunan kualitas berita di sini lebih dikarenakan adanya “trash taste” (Glynn, 2004). Menurut Bird, yang dimaksud dengan trash taste ini adalah: First, trash connotes that which ought to be discarded, a sort of instant garbage; second, it connotes cheapness, shoddiness, the overflow of the capitalist commodity system. Third, it connotes a superficial glitter designed to appeal to those whose tastes are ill-formed according to the dominant perspective. Fourth, trash is excessive: it has more vulgarity, more 21
tastelessness, more offensiveness than is necessary for its function as a cheap commodity. Maka, pemahaman terhadap penurunan standar jurnalistik ini dipersempit menjadi penurunan standar jurnalistik yang menjauh dari berita dan informasi, menjadi mendekati hiburan, atau bisa dianggap sebagai shifting boundaries of taste within different media forms (Sparks & Tulloch, 2000: 10-11). Inilah penurunan standar jurnalistik yang dimaksudkan dalam tabloidisasi: berita yang dikonversi ke dalam format dan selera hiburan. Jadi, apabila ditarik dalam gejala kehidupan pers saat ini, terdapat dua jenis penurunan kualitas berita. Yang satu berkaitan dengan penurunan kualitas berita yang diakibatkan oleh rendahnya kinerja/profesionalitas jurnalis, yang berakibat pada berita yang tidak objektif, tidak netral, dan tidak berimbang. Yang satunya lagi berkaitan dengan penurunan kualitas berita yang diakibatkan oleh penurunan cita rasa nilai berita, sehingga tidak memiliki nilai kepublikan yang tinggi. Hal ini terutama dipicu dengan adanya kompetisi dan market media. pada akhirnya, terjadi tabloidisasi—adopsi gaya pemberitaan tabloid yang mengedepankan hiburan. hasilnya jurnalisme berkualitas ditinggalkan. Tujuan awal jurnalisme untuk melayani kepentingan publik kemudian terkacaukan dengan kesibukan untuk membikin berita yang mudah dijual. Sebagai contoh penurunan kualitas berita yang dimaksudkan dalam penelitian ini bisa dilihat pada ilustrasi berikut: “Tragic events may be newsworthy (the assassination of a president) or carry a message (a drunk-driving crash), but sometimes there is no larger issue (an interview with a man who lost his wife in a plane crash). These stories serve no purpose, except to capitalise on someone’s tragedy” (Er & Xiaoming, 2002: 143). Pada model tabloidisasi, segala bentuk berita disimplifikasi. Contoh kasus kecelakaan yang diakibatkan oleh pengendara mabuk adalah peristiwa yang 22
berpengaruh pada publik. Bisa jadi ada banyak korban di situ. Tetapi, berita seringkali mengalihkan topiknya menjadi kesedihan seorang istri yang suaminya menjadi korban kecelakaan. Sehingga membuat berita ini kehilangan tujuan, dan hanya membesar-besarkan tragedi yang dialami seseorang. Inilah persoalan yang terjadi jika berita dikonversi dengan formula tabloidisasi. Bagi jurnalisme kuning yang memang memposisikan dirinya untuk memberitakan informasi di luar dunia politik, ekonomi, dan social, hal ini tidak jadi masalah. Tapi menjadi soal bila pola semacam itu diterapkan ke dalam pers serius yang mestinya mengedepankan isu publik. Misalnya perseteruan antar anggota DPR. Pernyataan dari kedua belah pihak disampaikan. Detail, lengkap, akurat. Tapi apa kemenfaatannya? Pokok persoalan politik justru seringkali disimplifikasi dengan formula tabloid sperti ini. Sama halnya dengan berita pemilukada. Informasi tentang proses pemilukada, serta bagaimana visi-misi kandidat dalam mengatasi problema sosial memiliki nilai kepublikan yang tinggi. Tetapi jika fokusnya digeser menjadi persaingan para kandidat dalam memperebutkan jabatan kepala daerah, tentu berita ini akan kehilangan esensinya. Atau ketika topiknya diarahkan pada kegiatan harian dari para kandidat. Beritanya menghibur dan menarik, karena menceritakan keseharian dari seorang tokoh yang jarang diketahui publik. Tetapi dalam konteks kemampuan media dalam memberikan berita yang menjadi referensi warga untuk memilih, tentu berita semacam itu tidak cukup relevan. Pada titik ini, pemahaman bahwa tabloidisasi mengindikasikan penurunan standar jurnalistik (kualitas berita) yang diakibatkan adanya “taste” yang rendah digunakan dalam memberikan batasan mengenai tabloidisasi dalam penelitian ini. Sebab, tabloidisasi bukanlah fenomena baik buruknya berita dari segi teknis atau rendahnya kapasitas jurnalistik di sebuah media (menghasilkan keberpihakan dan ketidakobjektivan). Melainkan, suatu fenomena ‘tabloid-minded’ yang dilakukan oeh 23
para jurnalis yang berkualitas. Sehingga, mereka menghasilkan produk jurnalistik yang secara kualitas kemasannya bagus, tetapi isinya sering disimplifikasi. Ini mengindikasikan adanya penurunan standar yang seharusnya dipenuhi oleh jurnalis yang berkualitas, menjadi berita bercita rasa rendah tapi renyah ala tabloid. Pola tabloidisasi ini muncul akibat persaingan industri media yang ketat. Televisi menjadi media yang lebih rentan tergerus tabloidisasi. Karena medium televisi mampu menerjemahkan semua tema diskursus ke dalam format menghibur, bahkan untuk berbagai persoalan yang memerlukan diskusi dan pembahasan mendalam seperti diskursus politik, keagamaan dan ilmu pengetahuan disajikan dalam format hiburan (Postman, 1995). Sparks (2000) memberikan kerangka untuk melihat kecenderungan media yang menerapkan tabloidisasi dengan mengidentifikasi keberadaanya dalam 2 kutub jurnalisme, yakni yang berkonsentrasi pada urusan publik dan privat. Gambar 4. Konsentrasi Jurnalisme
24
Sparks mengelompokkan pers ke dalam 5 tipologi. Klasifikasi ini mengadopsi dari tipologi pers (yang sudah ada sebelumnya) di Inggris yang merujuk pada media dengan konsentrasi pada isu politik, ekonomi, dan sosial. Namun, melihat jenis media di Indonesia yang secara isi tidak terdapat perbedaan/keragaman, maka tipologi pers tampaknya lebih relevan jika tetap dikelompokkan dalam 2 kutub (serius-populer). Contoh pers serius di Indonesia misalnya Kompas, Tempo. TVOne, dan Metro TV juga bisa dianalisis menggunakan kerangka yang dibuat oleh Sparks. Sebab, meskipun ilustrasi gambar diatas lebih banyak digunakan untuk menganalisis media cetak, tetapi Sparks juga berpendapat bahwa skema di atas bisa digunakan untuk melihat fenomena informasi di televisi. Adopsi konsep tabloidisasi untuk menganalisis tayangan televisi ini logis, karena tabloidisasi tidak hanya terbatas pada bentuk media saja, tetapi semangat pemberitaannya. Fiske (dalam Langer, 1997: 160-161) sebelumnya juga menggunakan konsep yang disebutnya sebagai “jurnalisme tabloid” untuk mengacu pada beberapa program televisi seperti Hard Copy, A Current Affair, Cops, Rescue 911, Emergency 000, Police, Camera, Action, Inside America’s Courts, Australia’s Funniest Home Videos, Before They Were Stars, Lifestyles of the Rich and Famous. Jurnalisme tabloid dimaksudkan Fiske sebagai: a type of reportage where the emphasis is on topics ‘produced at the intersection between public and private, [a] style [which] is sensational, sometimes sceptical, sometimes moralistically earnest; [a] tone which is populist and [a] modality fluidly deny[ing] any stylistic difference between fiction and documentary, between news and entertainment’. Jadi, konsep tabloidisasi sebagai penurunan standar jurnalistik ini bisa diberlakukan untuk semua media, tidak terbatas pada media cetak, dengan penggolongan standar jurnalistik pada dua kutub kategori “quality press” dan “popular press”. Pembedaan tipologi pers ini pula yang menjadi dasar untuk memberikan perspektif terhadap konsekuensi yang dibawa oleh tabloidisasi. 25
Keduanya harus dibedakan karena dua tipologi pers ini lahir dengan tujuan yang berbeda. Quality press atau juga disebut elite press biasa digunakan untuk merujuk pada jurnalisme mainstream, yang tujuan utamanya adalah melayani publik. Sedangkan popular press dibangun dengan logika yang berkebalikan, memposisikan dirinya sebagai ruang alternatif untuk menjauh dari urusan publik yang cenderung serius dan menjemukan. Pemahaman tersebut sebelumnya telah digarisbawahi oleh Gripsurd dan Paletz (dalam Harris, 2006: 6) bahwa quality press “tends to emphasize government and politics, strives to delve into issues and trends, and indulges in investigative journalism.” Sehingga, jurnlisme dalam kerangka pemahaman ini “supposed to provide public with news that makes them more informed as citizen and tabloid journalism does not accomplish this” (Hagmann, 2009: 23). Pers populer dibangun dengan logika yang berkebalikan dengan quality press. Pers ini memiliki ciri pemberitaan yang dengan sengaja disampaikan secara provokatif atau dimanipulasi untuk “memukau” atau menarik perhatian pemirsa. Produk-produk yang dikategorikan “pers populer” biasa mengambil pendekatan seperti tabloid. Jurnalisme jenis ini konsepnya adalah otentik, namun pada perkembangannya memanipulasi konsep dan kemasannya sehingga bergaya hiburan dan meninggalkan nilai-nilai murni jurnalistik. Jurnalisme ini lebih mengutamakan tingkat menarik-tidaknya berita dibanding isi dan informasi analisis itu sendiri (Harcup 2004: 90). Dalam aplikasinya, perbedaan antara quality press dan pers populer disarikan oleh Campbell (2001) sebagai berikut: Tabel 2. Perbedaan Quality Press dan Pers Populer Perbedaan Khalayak
Quality press (Quality Press) Spesifik.
Pers Populer (Popular Press) Umum. 26
Bentuk Informasi Layout
Analitis dan komprehensif. Singkat dan padat. - Single-column - Multi-column headlines headlines. yang memuat beragam - Ilustrasi gambar topik. sedikit, lebih banyak - Menggunakan ilustrasi teks. gambar dengan ukuran besar.
Legalitas narasumber
Tidak memperkenankan Melegalkan untuk untuk membayar narasumber. narasumber.
membayar
Hadirnya tabloidisasi kemudian membuat batas-batas antara quality press dengan popular press menjadi cair. Beberapa pandangan menyatakan bahwa tabloidisasi tidak selamanya buruk karena merupakan suatu bentuk demokratisasi dalam produksi media (Trampota-Koncelik, 2011: 289). Selain itu, mekanisme tabloidisasi terbukti mampu memberikan profit bagi industri media. Namun, secara normatif, implikasi negatif dari adanya praktik tabloidisasi ini lebih signifikan dibandingkan nilai positif yang bisa diberikan. Kenyataannya, demokrasi dalam cara penyajian berita justru membawa berita ke arah hiburan. Meski tetap fact-based, tetapi berita mulai tidak fokus kepada pokok persoalan ataupun melakukan simplifikasi terhadap permasalahan. Pada konteks kampanye, Linn Washington Jr. (1999: 67) mencontohkan: “political campaign coverage places more emphasis on poll results and reporting candidates’ faux pas than on probing campaign claims by candidates.” Karena itu, quality press “should not emulate the seedier tabloid tactics” (Washington Jr, 1999: 67). Beberapa dampak negatif yang bisa dirasakan ketika tabloidisasi terjadi pada quality press misalnya bahwa publik akan lebih ditempatkan sebagai konsumen ketimbang sebagai warga negara, serta replacing socially important information with entertaining content (tampota-Koncelik, 2011: 289). 27
Dampak lain juga dikemukakan oleh McManus (dalam Hagmann, 2009: 24), antara lain: 1. Penonton tidak banyak belajar dari berita. 2. Audiens bisa jadi memiliki pemahaman yang keliru terhadap suatu informasi (mislead). 3. Manipulasi sumber berita. 4. Audiens menjadi apatis dengan politik. Jika implikasi yang dibawa oleh tabloidisasi sedemikian rupa, lantas bagaimana kemudian melihat performa media dalam menyikapi tabloidisasi? Apakah quality press di Indonesia, yang diharapkan bisa dijalankan oleh stasiun televisi berita seperti Metro TV dan TVOne ikut terbawa dalam arus tabloidisasi? Jika iya, bagaimana bentuknya? Cara seperti apa yang bisa digunakan masyarakat awam untuk melihatnya? Sebelum menjelaskan bagaimana teknis pengamatan terhadap tayangan berita tersebut, ada baiknya menggarisbawahi pentingnya meneliti konten berita tersebut. Tanpa menafikan unsur-unsur komunikasi lainnya, komunikator, saluran, penerima, konteks, proses, dan dampak, pengelolaan pesan merupakan isu sentral dalam komunikasi. Artinya, komunikasi tidak akan tercipta tanpa adanya pesan. Sebab, komunikasi adalah proses menciptakan dan menafsirkan pesan. Tanpa ada pertukaran pesan, tidak ada makna yang diperoleh oleh para peserta komunikasi (Hamad, 2010: 6). Karena sentralnya pesan dalam kegiatan komunikasi, maka biasanya pesan ini rentan menjadi alat permainan dari para pembuatnya. Pada media televisi, berita merupakan sumber informasi yang paling banyak diakses dan dipercaya oleh masyarakat. Hal ini bisa dipahami mengingat televisi relatif murah dan memiliki kekuatan audiovisual. Sehingga menyaksikan televisi seolah melihat sendiri suatu peristiwa. Pada mekanisme pasar, daya tarik ini kemudian membuat televisi 28
senantiasa tergerak untuk menampilkan berita yang bisa mendatangkan banyak penonton. Sehingga, akan ada banyak iklan dan semakin untung pula pembuatnya. Padahal, pesan ini juga berfungsi secara sosial. Bagi para audiens, pesan yang dibawa oleh berita televisi juga digunakan untuk menambah pengetahuan dalam memahami realitas sosial. Maka, jurnalisme berkualitas menekankan pengabdian kepada publik dalam setiap produksi beritanya. Berbanding terbalik dengan jurnalisme tabloid yang mengejar sensasi dan hiburan. Adopsinya ke dalam jurnalisme berkualitas tentunya mengancam kualitas informasi (pesan) itu sendiri. Tendensi percampuran dua karakter yang berbeda itu yang akan dijelaskan secara statistik melalui penelitian ini. Cara pemberitaan pada pers serius tidak bisa disamakan dengan tabloidisasi karena keduanya memiliki tujuan dasar yang berbeda. Bukan sebagai upaya untuk mengukur kualitas berita secara kuantitatif, tetapi lebih kepada bagaimana secara statistik ditunjukkan elemen-elemen berita televisi sebagai produk quality press, dalam jumlah tertentu memiliki kadar karakteristik pers populer, yang seharusnya tidak bisa dicampuraduk. Mengapa? Brander (2011: 7) mencatat bahwa: Tabloid-style news does not inform citizens or its audience of local, national and/or world event, but rather informs them of celebrity happenings and gossip, failing to be the voice of democracy and instead being the voice of gossip. Tabloid-style news maybe diverting the public’s attention away from more important issues, public interest issues. Meski pembahasan mengenai tabloidisasi juga dapat meluas hingga ranah makro, seperti faktor penyebab maupun efek tabloidisasi, namun penelitian ini hanya dibatasi pada apek mikro, yaitu dilakukan terhadap format jurnalistik yang berubah ke arah populer lantaran tuntutan audiens dan pengiklan (Esser, 1999).. Yakni deskripsi mengenai hal-hal yang berada di dalam isi berita saja. Sedangkan hal lain yang berada di luar berita tidak disertakan, mengingat tujuan penelitian ini
29
adalah untuk memaparkan fakta-fakta tabloidisasi yang ada dalam isi berita secara empiris. Untuk meneliti konten tabloidisasi dalam sebuah berita bisa dilihat dari adanya adopsi standar jurnalisme populer ke dalam jurnalisme serius. Artinya, yang bisa dilakukan untuk meneliti muatan tabloidisasi dalam sebuah berita adalah dengan melihat keberadaan karakteristik jurnalisme populer dalam sebuah berita. Analogi ekstremnya, berita meniru gaya-gaya infotainment. Karakter tersebut ditunjukkan dengan adanya kombinasi berita dengan hiburan dan sensasi, yang oleh Lozano (2004) diteliti dari komponen personalisasi, fragmentasi, tendensi beropini dalam berita, kontekstualisasi, serta sensasi dalam bentuk visual. Pada umumnya, gejala tabloidisasi pada berita televisi bisa dilihat melalui 4 poin kritis dari Langer (2001: 1-6) yang mampu mendeskripsikan ciri-ciri dari penurunan kualitas berita, diantaranya: 1. Ketidakmampuan memberi informasi (Inability to Inform) Berita televisi tidak mampu memberikan informasi yang dirasa cukup karena tercampurnya nilai jurnalistik dan hiburan. Langer memberikan contoh ukuran ketidakmampuan berita televisi dalam memberikan informasi ini dengan menyebut durasi berita yang hanya ditayangkan selama 30 menit dengan kisaran 90 detik per beritanya. Dengan durasi yang pendek, hampir semua berita bermasalah dalam hal kedalaman beritanya. 2. Peliputan yang Salah (Irrelevant Coverage) Liputan yang salah ini memiliki kans untuk mengubah berita menjadi tidak serius. Bentuk peliputan yang salah dalam berita televisi, menurut Langer, dilakukan dengan melebih-lebihkan suatu peristiwa sekalipun peristiwa tersebut tidak relevan dan belum dipastikan kebenarannya. 3. Tercampur dengan Drama (Preoccupation with Drama)
30
Penayangan berita televisi dihadapkan dengan gaya bercerita naratif dan kedudukan berita sebagai hiburan. Cara ini secara positif dapat membuat berita lebih mudah dipahami oleh khalayak. Tapi secara negatif, hal-hal yang bersifat trivial akan mulai bermunculan, sehingga justru dapat membelokkan khalayak dari apa yang seharusnya mereka pahami. 4. Simplifikasi
dan
Reduktivitas
Populer
(Simplification
and
Popular
Reductivism) Bagi Langer, berita televisi tidak selamanya mengangkat substansi permasalahan sebagai fokus beritanya. Di sini, berita mengalami simplifikasi, dibikin simpel, dengan hanya berfokus pada personal. Dalam hal permasalahan politik misalnya, Langer menilai bahwa politik menjadi terkesan sangat personal. Penggambaran tokoh protagonis politik, tak banyak berbeda dengan penggambaran dalam peliputan selebriti atau olahraga. Sebelum diaplikasikan dalam penelitian, peneliti lebih dahulu membuat pemetaan terhadap kajian tabloidisasi terdahulu.
F.2.Tabloidisasi dalam Berbagai Penelitian Fenomena tabloidisasi merupakan fenomena global yang tidak dapat dilepaskan dari praktik jurnalistik dalam konteks sosial yang senantiasa mengalami perubahan. Media massa terus melakukan redefinisi terhadap praktik jurnalistiknya, melakukan penyesuaian terhadap format dan karakteristik pemberitaannya, hingga memodifikasi konten untuk merespon keinginan audiensnya. Di Indonesia, model tabloidisasi bisa ditemukan dalam beberapa pola (Lukmantoro, 2003: 4-6). Pertama, tabloidisasi dalam bentuk pers kuning. Jenis ini ditandai dengan penekanan berita pada tema-tema kriminalitas dan seks. Di Indonesia, kemunculan pers kuning ditandai dengan keberadaan Pos Kota di Jakarta 31
tahun 1970. Setelah itu, muncul beberapa terbitan serupa seperti Meteor di Semarang dan Merapi di Yogyakarta. Kedua, tabloidisasi yang menonjolkan berita gosip, hiburan, dan kehidupan privat kalangan selebritis. Contoh medianya adalah Monitor, Nyata, Nova. Ketiga, tabloidisasi pada media yang mengunggulkan berita-berita dengan topik kepentingan publik dan politik, tetapi disajikan dengan bahasa yang vulgar dan kasar. Misalnya, Rakyat Merdeka. Melihat perkembangan media saat ini, tampaknya pola tabloidisasi juga terus berkembang. Satu pola terkini dalam aplikasi tabloidisasi adalah penerapannya dalam berita yang diproduksi oleh pers serius. Praktik yang lazim digunakan dalam menerapkan tabloidisasi adalah dengan memoles produk jurnalistiknya dengan tampilan yang lebih stylish, eye catching, dan menyeleksi fakta-fakta yang lebih populer di mata masyarakat. Tidak lupa pula berita dibikin ringan dan menghibur, meski harus melakukan teknik editing yang rumit. Cara ini banyak dipelajari dari tayangan-tayangan non berita seperti reality show, bahkan drama. Alhasil, standar kualitas berita pun menurun, tetapi secara kemasannya lebih advance. Gaya pemberitaan yang serius, kini sedikit banyak mengadopsi pemberitaan yang populer. Inilah yang disebut dengan tabloidisasi. Tabloidisasi ini merupakan fenomena yang tak terhindarkan, mengingat keberadaannya terjadi dalam skala global. Meskipun, di setiap negara tidaklah sama kadar maupun karakteristiknya (Esser, 1999: 293). Secara mikro, kehadiran tabloidisasi ini bisa dilihat pada teks-teks berita yang diproduksi oleh stasiun televisi berita kita. Metro TV dan TVOne menjadikan pasokan berita televisi semakin banyak, sehingga memungkinkan untuk melihat tabloidisasi di dalamnya. Dengan banyaknya program berita yang diproduksi, persaingan pun akan semakin meningkat, sehingga para pekerja media mesti membuat formulasi untuk “menjual” beritanya. Saat itulah formulasi tabloidisasi ini 32
banyak digunakan. Meski dilakukan dalam skala mikro, melihat tabloidisasi melalui teks-teks berita yang dihasilkan ini cukup penting karena secara temuan mampu memberikan data empiris yang bisa digunakan sebagai acuan kritik maupun masukan yang membangun. Dalam analisis terhadap isi berita, tabloidisasi bisa ditinjau dalam 3 aspek (Sparks, 2000: 9). Pertama, istilah ini mengacu pada output surat kabar dan media siar, yang memprioritaskan hiburan, human interest, dan profitabilitas komersial, yang mana kesemua hal ini merupakan lawan dari jurnalisme yang serius dan bertanggung jawab. Disini, tabloidisasi merujuk pada sebuah produk, yakni koran kuning. Kedua, tabloidisasi dapat mengarah pada perubahan prioritas dalam sebuah media, misalnya pengurangan durasi atau marjinalisasi bagi berita yang serius, dan memperbanyak tayangan yang bernilai hiburan (entertainment-led value). Ini menyiratkan bahwa tabloidisasi terjadi dalam sebuah media (cetak, elektronik, internet) yang program-programnya/rubriknya mulai didominasi dengan rubrik yang bernilai hiburan, seperti olahraga dan keartisan. Terakhir, tabloidisasi dapat merujuk pada konten tabloid itu sendiri. Ini berarti tabloidisasi digunakan untuk menunjuk isi/muatan tabloid dalam sebuah program. Sparks menontohkan acara Jerry Spinger Show yang isi acaranya banyak mengeksploitasi voyeurism dan controversial populist. Berbagai peneliti telah melakukan pengamatan terhadap gejala tabloidisasi, baik yang dilakukan pada media mainstream maupun populer. Peneliti memetakan penggunaan konsep tabloidisasi sebagai berikut: Tabel 1. Penggunaan Konsep Tabloidisasi
1.
Perubahan standar jurnalistik.
Revisi/pergeseran format media mainstream
33
yang dicirikan dengan adopsi nilai/karakter jurnalistik
tabloid
pada
jurnalistik
mainstreeam (Esser, 1999: 293; Brander, 2012: 12; Lima, 2009: 5; Trampota, TomasKoncelik, Jakub. 2011: 1; Harrington, 2008: 7; Sparks, 2000: 17, Glynn, 2004: 1). 2.
Perubahan porsi berita dalam Peningkatan soft news, penurunan hard news sebuah media.
yang
diikuti
dengan
meningkatnya
pemberitaan tentang selebriti, sex, kejahatan, dan berkurangnya berita soal politik dan internasional (Esser, 1999: 292; Brander, 2012: 8; Lazaroiu, 2008: 113; McLahlanGolding, 2000: 77). 3.
Pers kuning
Bentuk media yang memang mengabdi pada nilai-nilai tabloid, mengaplikasikan formula tabloid (Lukmantoro, 2007: 4).
4.
Celebrity-centered
Liputan yang menonjolkan berita kehidupan privat kalangan selebritis (Lukmantoro, 2007: 6; Santoso, 2005).
Beberapa penelitian cenderung menggunakan konsep kedua, yang biasanya bertujuan untuk mengetahui seberapa banyak berita tentang skandal, kejahatan, sex, dan olahraga dalam sebuah produk surat kabar/televisi, atau dalam sebuah rubrik/ program berita, dengan menggunakan sampel jangka panjang (tahunan). Ini misalnya dilakukan oleh McLahlan dan Golding (2000) untuk meneliti tabloidisasi yang melanda media di Inggris dengan operasionalisasi range, form, dan style. Operasionalisasi ini kemudian juga diadopsi oleh Mooney (2008) untuk meneliti 34
tabloidisasi yang melanda di surat kabar Irlandia, serta Trampota dan Koncelik (2011) yang meneliti tabloidisasi di Ceko. Dengan sampel jangka panjang, penelitian semacam ini lebih ditujukan melalui pengukuran kecenderungan peningkatan soft news ketimbang hard news, serta porsi topik-topik tentang skandal, kejahatan, sex yang cenderung meningkat. Sedangkan, isi berita secara detai bukan menjadi perhatian utama.
F.3. Komponen Tabloidisasi Berbagai penelitian masing-masing menawarkan cara dan komponen yang berbeda untuk melihat tabloidisasi dalam kerangka adanya penurunan stamdar jurnalistik. Untuk menganalisisnya, ada beberapa metode yang bisa digunakan. Misalnya, analisis teks kualitatif sebagaimana digunakan Harris (2006) untuk mengetahui
adanya
tabloidisasi
dalam
surat
kabar
di
Amerika.
Harris
membandingkan teks yang ada di koran dan tabloid, sebagai representasi dari elit dan popular press, dengan isu pemberitaan yang sama (kasus “Runaway Bridge”). Hasil penelitian menunjukkan bahw koran ter-tabloidisasi, dibuktikan dengan adanya isi pemberitaan yang mirip antara koran dan tabloid. Artinya, ada adopsi cara pemberitaan tabloid yang diserap dalam berita yang ada di harian/koran bercorak “elite press”. Penelitian lain dilakukan oleh Pensar (2006) dan Hagman (2009), dengan metode berbeda. Pensar menggabungkan analisis isi kuantitatif dan analisis naratif untuk mengetahui adanya tabloidisasi dalam liputan schoolshooting di Dunblane dan school hostage di Beslan yang dimuat dalam harian Dagens Nyheters. Komponen yang dikoding adalah seberapa sering konsep hiburan, individu, politik, dan drama muncul dalam teks. Secara teknis, konsep ini dilihat dari penggunaan kata. Sementara analisis naratif dilakukan dengan meneliti jalan cerita yang dilihat dari komponen abstract, orientation, complaining action, evaluation, serta resolution. 35
Sementara itu, Hagman melihat tabloidisasi terjadi pada stasiun televisi lokal FoxTampa Bay. Isi dilihat dari dua kategori, jenis cerita (story type) dan bentuk berita (story form) yang lebih menekankan sisi teknis produksi berita. Namun, operasionlisasi dari penelitian-penelitian tersebut tidak bisa langsung diadopsi, karena beberapa komponennya tidak sesuai dengan batasan penelitian di sini. Maka, peneliti melakukan refleksi atas penelitian yang ada, dengan 4 poin penurunan kualitas berita dari Langer—lihat hal.23—sebagai pijakan dalam merumuskan poin-poin yang menjadi komponen tabloidisasi dalam penelitian ini. Sebab, batasan dari Langer di atas merupakan pengamatan khusus terhadap berita televisi. Meski demikian, batasan tersebut masih bersifat konseptual, sehingga perlu diturunkan lebih lanjut komponen operasionalnya agar dapat diukur secara kasat mata. Hasil refleksi tersebut dijabarkan dalam bagan berikut ini:
36
Tabel 3. Komponen Tabloidisasi dalam Berbagai Penelitian Kuantitatif No 1.
Penelitian Jorge
Carlos
Komponen Tabloidisasi 1. Personalisasi
Lozano (2004)
Indikator
Review
Melihat kecenderungan topik
Dalam berbagai penelitian, personalisasi
berita,
adalah komponen yang selalu muncul
antara
publik
dan
personal.
sebagai
salah
satu
indikator
adanya
tabloidisasi. Personalisasi dilihat dari topik berita yang diklasifikasikan antara publik dan personal. Ukuran ini masih relevan untuk
digunakan
tabloidisasi,
dalam
termasuk
penelitian
penelitian
ini,
dengan membuat klasifikasi yang jelas antara topik personal dan publik. 2. Kontekstualisasi
Dengan melihat kelengkapan
Meski formulasi “why” memang menjadi
unsur berita, terutama apakah
unsur penjelas yang ada dalam sebuah
formula
berita, tetapi ukuran ini masih lemah untuk
“why”
dalam berita.
digunakan
menjelaskan ada tidaknya konteks dalam sebuah berita. Karena bisa jadi, konteks yang dihadirkan melalui unsur “why” ini
37
tidak relevan, tidak mendalam. Sehingga, kontekstualisasi ini masih sulit diukur secara kuantitatif. Kontekstualisasi lebih sesuai jika dilihat dari ada tidaknya unsur trivial yang membuat informasi menjadi tidak berhubungan. Karena itu, penelitian ini tidak menggunakan kontekstualisasi dengan cara melihat kelengkapan berita, tetapi menggantinya dengan trivialisasi. 3. Fragmentasi
Menghitung
banyaknya
soundbyte yang digunakan.
Keberadaan soundbyte memang bisa jadi indikator fragmentasi. Tetapi, mengingat fungsi soundbyte sebagai “barang bukti” yang kerap menjadi tuntutan redaksi, maka tidak selamanya soundbyte adalah upaya fragmentasi
berita.
mengakibatkan
Soundbyte
fragmentasi
yang adalah
soundbyte yang dipotong berdasarkan keputusan
redaksi,
sedangkan
38
dalam
analisis isi, tidak mungkin untuk melihat. Maka,
indikator
fragmentasi
tidak
dimasukkan dalam penelitian ini. 4. Sensasionalisme
-
Menghitung
kemunculan
Tabloidisasi bisa dikatakan sebagai sebuah
fitur-fitur yang digunakan
kondisi dimana media lebih mementingkan
untuk menarik perhatian,
aspek penampilan/format dibandingkan isi
termasuk fitur teknis.
berita. Maka, media yang mengadopsi gaya tabloid akan lebih sibuk memikirkan berita yang atraktif, menghibur, renyah, dan mudah diterima orang banyak. Cara yang biasa
dilakukan
adalah
dengan
mengimbangi informasi dengan elemenelemen audio visual yang menarik, atau sering disebut sebgai sensasionalisme— karena
tujuannya
untuk
menciptakan
sensasi.
Maka,
sensasionalisme
menarik
untuk
dilihat
mengamati
gejala
dalam
tabloidisasi
39
tetap rangka pada
penelitian
ini.
Ada
banyak
indikator
sensasionalisme, tetapi tidak semuanya digunakan dalam penelitian ini. Indikator yang berkaitan dengan teknik pengambilan gambar/teknik produksi tidak disertakan dalam analisis. 2.
1.
McLahlan
dan
1. Range
Golding
(2000)
Membandingkan jumlah hard
Kategori range tidak digunakan dalam
news vs soft news dari masa ke
penelitian ini karena selain membutuhkan
masa.
perbandingan
kurun
waktu
tertentu,
2. Attracta M.
komponen ini tidak termasuk dalam isi
Mooney
berita. Sedangkan penelitian ini justru lebih
(2008)
berfokus pada isi yang ada di dalam berita.
3.
Trampota
dan (2011)
Koncelik
2. Form
Meneliti
banyaknya
yang
digunakan
gambar untuk
mendampingi naskah berita.
Pada dasarnya, ide ini sejalan dengan kebutuhan
penelitian,
yaitu
intensitas
penggunaan gambar yang semakin tinggi dalam berita. Hal ini sejalan dengan pemahaman bahwa tabloidisasi dicirikan dengan pemberian ruang bagi ilustrasi dan
40
gambar agar berita lebih menarik dan mudah dipahami. Sehingga dikategorikan sebagai sensaionalisme (semakin banyak gambar yang sifatnya hanya menjadi pelengkap dan penarik perhatian). Untuk analisis
berita
televisi,
menghitung
intensitas gambar ini menjadi lebih rumit. Sebab, pada televisi, gambar adalah bukti atas sebuah pelaporan berita. Maka, gambar
yang
dikategorikan
sebagai
ornamen dalam berita televisi antara lain ilustrasi grafis, karikatur, dan cover berita. 3. Style
Melihat penempatan isu, lebih
Maksud dari style ini serupa dengan
banyak merujuk ke personal
kategori personalisasi karena sama-sama
atau publik.
ingin melihat apakah berita lebih banyak mengangkat hal-hal yang sifatnya personal. Karena itu, kategori iniuntuk penelitian ini tetap menggunakan indikator personalisasi.
41
4. Market Structure
Melihat sirkulasi surat kabar
Struktur market tidak diteliti karena bukan
dalam kurun waktu tertentu.
merupakan bagian dari isi berita, serta melibatkan pengukuran dalam beberapa kurun waktu tertentu. Hal ini tidak sejalan dengan maksud penelitian.
3.
Pierre (dalam
1. Tema
hard news, soft news.
Sama dengan range, komponen ini tidak
Christantri,
digunakan karena bukan merupakan bagian
2010)
dari
isi
berita,
serta
membandingkan
jumlahnya dalam kurun waktu tertentu. 2. Tipe Aktor
narasumber serius, narasumber
Merupakan cara untuk melihat tabloidisasi
populis.
dari narasumber yang ditampilkan dalam berita. Ini merupakan satu poin yang dikemukakan oleh Pierre dan relevan untuk digunakan. Sebab, pemilihan narasumber merupakan salah satu cara pandang yang digunakan media untuk menjelaskan suatu persoalan. Karena sifat televisi yang lebih mementingkan aktualitas, maka seringkali
42
televisi melakukan apa yang disebut Langer sebagai simplifikasi. Simplifikasi ini bisa terjadi dalam 2 hal. Pertama, dalam hal substansi permasalahan, yang dilakukan melalui
personalisasi.
Kedua,
melalui
pemilihan narasumber. 3. Lokasi
berita lokal, berita internasional.
Sama halnya dengan jenis berita, lokasi berita juga merupakan bagian di luar isi berita. Sehingga, komponen ini juga tidak digunakan karena penelitian ini tidak bermaksud membandingkan proporsi berita lokal dan internasional. Penelitian ini hanya berfokus pada isi berita.
4. Durasi
long stories, short stories.
Melihat durasi berita adalah cara yang paling realistis dan mudah untuk melihat keseriusan
berita
dalam
memberikan
informasi yang detail dan memadai. Tetapi, berita yang panjang durasinya, dengan
43
informasi yang banyak dan detail juga belum tentu menghadirkan informasi yang penting. Bisa jadi dalam durasi yang lama, berita justru menyajikan hal-hal trivial yang tidak relevan dengan pokok persoalan. 4.
Carl
Philip
1. Story type
-
Hagman
Kecenderungan
topik Tujuan
berita -
Penempatan
penelitian
ini berbeda
dengan
penelitian yang akan dilakukan, sehingga tipe komponen
penelitian
Hagman
tidak
penonton
digunakan karena peneliti merasa kurang
-
Tipe kemasan berita
sesuai. Hagman meneliti penerapan nilai-
-
Narasumber
nilai entertainmen dalam berita televisi melalui teknik produksi berita, tetapi tidak banyak meneliti dari segi isi.
2. Story form
-
Editing pace
Penelitian
ini
-
Sound effects
perhatian
khusus
-
Transitional effect
produksi berita. Namun, mengingat adanya
-
Journalist
batasan
performance
memasukkan hal-hal diluar isi berita untuk
fokus
secara
format
pada
penelitian,
menaruh
teknik-teknik
yakni
44
tidak
diteliti, maka teknik pengambilan gambar juga tidak dimasukkan dalam penelitian.
45
Berdasarkan tujuan dan batasan penelitian yang berfokus pada pembahasan tabloidisasi pada aspek isi berita, beberapa komponen di atas diambil berdasarkan kriteria komponen yang dapat diterapkan untuk analisis isi berita. Sedangkan komponen yang sifatnya di luar isi berita, seperti teknik produksi, perbandingan isi antar periode, faktor penyebab, dan efek tidak digunakan. Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, bahwa tabloidisasi disini dimaknai sebagai penurunan standar jurnalistik dari segi orientasinya terhadap nilai-nilai hiburan. Sehingga dimensi tabloidisasi yang hendak dicari disini bukan pada objektivitas. Melainkan aspek-aspek hiburan yang diaplikasikan dalam produk berita. Maka, dalam konteks pemberitaan pemilukada, apa yang dicermati melalui seperangkat
indikator
tabloidisasi ini bukan
mengacu
pada objektivitas,
keberpihakan, serta keberimbangan media yang terlihat melalui teks. Analisis terhadap ukuran tabloidisasi lebih dimaksudkan untuk menunjukkan bahwa berita pemilukada disini mengandung dimensi hiburan, dan karenanya mengurangi kualitas informasi yang diterima oleh publik selaku pemilih. Maka, tabloidisasi dalam berita televisi coba dicari melalui keberadaan formula tabloidisasi yang diperoleh dari penelitian terdahulu, maupun konsep tabloidisasi secara definitif. Dalam hal perumusan ukuran tabloidisasi yang diperoleh secara definitif, maka operasionalisasinya dirumuskan oleh peneliti, dengan penyesuaian pada karakteristik datanya. Kerja ini menghasilkan perumusan komponen tabloidisasi yang hendak dicari dalam penelitian, yang meliputi: 1. Personalisasi Ada dua pemahaman yang berbeda terhadap personalisasi dalam konteks kajian media. Pertama, personalisasi merupakan karakter dasar dalam produk hiburan. Dimana dalam setiap tayangan, unsur pertamanya adalah talent (person). Dalam berita, personalisasi berarti menempatkan isu person sebagai topik sentral. Dengan kata lain, pada sebuah peristiwa, isu
46
yang ditonjolkan oleh media adalah orangnya, bukan substansi dari masalah itu sendiri. Dalam konteks politik, penggunaan personalisasi ini akan menjauhkan audiens dari persoalan publik (substansi), misalnya kebijakan, dan lebih terfokus pada citra (person). Tidak dapat disangkal bahwa ini merupakan sifat dasar dari televisi yang selalu membutuhkan gambar. Sedangkan topik seperti kebijakan itu abstrak. Problem tabloidisasi dalam komunikasi politik adalah, aspek yang ditonjolkan dari seorang person itu bukanlah pemikirannya tentang sebuah kebijakan, program, maupun visimisinya, melainkan apa yang tengah terjadi pada person itulah yang menjadi topik utama. Penelitian ini ingin melihat posisi Metro TV dan TVOne dalam mengemas beritanya. Apakah lebih berorientasi pada publik, atau justru mem-privatkan isu publik. Jika keduanya lebih menonjolkan isu personal, tentu ini akan berdampak terhadap informasi yang diterima publik. Publik membutuhkan informasi mengenai program dan kebijakan yang seperti apa yang ditawarkan para kandidat. Jika persoalan ini kemudian disimplifikasi menjadi diskursus tentang siapa kandidat, maka sebetulnya ini menjauhkan mereka dari konteks politik (tidak memahami persoalan politik, tapi hanya paham persoalan kandidat). Tetapi, personalisasi juga dapat dimaknai sebagai penggunaan gaya bahasa yang menonjolkan seseorang menjadi tokoh sentral dalam pembahasan. Secara gramatikal, gaya bahasa ini disebut majas pars pro toto (individu
mewakili
keseluruhan),
sehingga
penggunaannya
dinilai
mengurangi objektivitas. Misalnya, dalam kalimat “SBY Naikkan Harga BBM”, terkesan bahwa SBY-lah orang yang menaikkan harga BBM, padahal sebetulnya yang mengambil kebijakan adalah pemerintah. Sehigga, menggunakan gaya bahasa semacam ini dianggap bisa menimbulan ketidaknetralan atau menyudutkan seseorang.
47
Personalisasi yang dibahas disini merujuk pada pemahaman yang pertama, yaitu membawa persoalan publik menjadi urusan privat. Dalam konteks pemilukada, berita soal bagaimana mengatasi penataan PKL yang semrawut tentu memiliki nilai publik yang tinggi. Tetapi jika topik pemberitaannya diubah menjadi kegiatan calon gubernur mengunjungi PKL, nilainya akan jadi sangat berbeda. Jika yang disoroti adalah kegiatan calon gubernur, maka yang akan mendapat perhatian adalah calon gubernurnya. Bukan persoalan penataan PKL-nya. Misalnya apa saja kegiatan calon gubernur selama mengunjungi PKL? Bersalaman; berdiskusi; berfoto bersama; dan sebagainya. Tetapi substansi masalah tentang mengapa PKL di Jakarta perlu penataan dan bagaimana caranya, akan jauh dari pemberitaan. Padahal, pengetahuan itu penting bagi publik. Inilah yang terjadi ketika media melakukan personalisasi. Publik dengan sendirinya akan menjauh dari persoalan publik itu sendiri. Berdasarkan kajian Rosa van Santen dan Liesbet van Zoonen (2011: 11-14), personalisasi bisa terjadi di wilayah institusi politik dan media. Di wilayah institusi, personalisasi terjadi ketika institusi seperti partai politik lebih memberi perhatian pada aktor politik mereka. Termasuk menjadikan pemimpin mereka sebagai ikon partai. Poin ini tidak akan dibahas dalam penelitian, karena tidak berada pada dimensi teks. Kedua adalah personalisasi yang dilakukan oleh media—yang menjadi salah satu elemen tabloidisasi yang akan diteliti dalam tulisan ini. Dalam kajian keduanya, personalisasi terjadi ketika media: -
Lebih banyak memberitakan aktor politik ketimbang partai politik.
-
Lebih menyoroti kemampuan dan karakter individu seorang aktor politik.
-
Banyak memberitakan soal kehidupan pribadi politikus.
-
Berfokus pada emosi dan pengalaman pribadi dari seorang aktor politik.
48
Pandangan ini sejalan dengan Lozano (2004:6) yang menilai personalisasi dilakukan dengan memperlakukan berita politik sebagaimana berita hiburan
atau kompetisi olahraga (horse race) yang lebih
mengutamakan emosi, bukan pada substansi. Personalisasi oleh media inilah yang digunakan dalam konteks penelitian ini. Berdasarkan pemahaman di atas, kemudian disusun seperangkat indikator yang masuk dalam kategori personalisasi, antara lain: a. Pertarungan antar kandidat. b. Aktivitas kampanye kandidat. c. Aktivitas personal kandidat. d. Profil pribadi kandidat. e. Tanggapan individu atas isu yang menimpa dirinya (tanggapan personal). 2. Tipe Aktor Selain personalisasi, kualitas informasi yang diberikan oleh media bisa dilihat dari orang-orang atau aktor yang ditampilkan (diberikan kesempatan untuk berbicara) oleh media. Aktor ini adalah narasumber berita. Dalam kajian media, dikenal 2 tipe aktor, yakni populis dan serius. Pentingnya melihat tipe aktor yang digunakan oleh media adalah untuk mengetahui perspektif pengetahuan (knowledge)yang ingin disampaikan media kepada audiens. Aktor serius adalah mereka yang memiliki kompetensi berdasarkan bidang keahlian masing-masing. Sehingga, kehadiran aktor serius ini pada dasarnya membawa informasi yang sifatnya expert knowledge. Yang populis itu lay knowledge. Hanya saja dia mampu menghadirkan kedekatan dan keterikatan dengan audiens. Lay knowledge biasa dilakukan dalam jurnalisme populer dan sifat pengetahuan yang diberikan adalah awam dan
49
menyentuh. Karena itu, pada berita tabloid atau infotainmen, mayoritas aktornya adalah tokoh terkenal dan warga biasa. Djerf Pierre (dalam Christantri, 2010: 12) melihat tabloidisasi terjadi ketika berita semakin banyak menggunakan narasumber populis ketimbang narasumber yang dianggap serius. Narasumber serius ini misanya politikus, ahli, pejabat, jurnalis, organisasi kemasyarakatan. Sedangkan narasumber populis merujuk pada kalangan selebritis dan masyarakat umum. Pilihan narasumber ini bisa menjadi sebuah bentuk simplifikasi jurnalis dalam menghadirkan informasi. Persoalannya bukan sekadar mendikotomikan tipe aktor ini. Media adalah jembatan bagi masyarakat untuk memahami persoalan yang terkait dengan kelangsungan hidup mereka sebagai makhluk sosial. Mereka memiliki keterbatasan untuk mengakses pengetahuan. Tidak semua orang, misalnya, mengerti tentang persoalan politik. Karena itu, mereka membutuhkan media untuk memberikan pengetahuan itu (Lipmann). Dengan menghadirkan perspektif ahli, maka masyarakat setidaknya bisa mengakses informasi dari orang yang berkompeten. Tetapi, hal ini sering dianggap elitis, sehingga justru dianggap berpotensi menjauhkan masyarakat dari hal-hal yang relevan dengan kehidupan mereka. Namun, jika direnungkan lagi, bukankah dengan membawa informasi yang elit kepada masyarakat, maka mereka akan memperoleh pengetahuan yang lebih “tinggi”, yang tidak bisa mereka akses jika tidak melalui media? Dengan demikian, mereka juga akan mampu untuk melakukan pengawasan terhadap para elit dan pada saat yang sama, media bisa mewujudkan kontrol sosialnya. Namun, pada tabloidisasi, media terjebak untuk memberikan informasi yang “ringan” dan dekat dengan kehidupan mereka sehari-hari.
50
Akibatnya, media akan lebih banyak menampilkan aktor-aktor populis yang memiliki sifat interconnectedness (keterhubungan) dengan audiens. Artinya, ketika menyaksikan perspektif mereka, audiens dengan mudahnya mengangguk dan mengiyakan pesan yang dibawa oleh si aktor (narasumber). Tetapi, pada saat bersamaan mereka tidak diajak berpikir untuk mengamati persoalan serius yang berdampak terhadap kehidupan mereka, meskipun tidak secara langsung. Penelitian ini mencoba melihat, apakah pada konteks pemilukada, pengetahuan yang disampaikan oleh Metro TV dan TVOne merupakan pengetahuan dasar (lay knowledge), ataukah pengetahuan yang serius. Memberikan
pengetahuan
berbasis
kompetensi,
tentu
akan
lebih
menguntungkan publik. Misalnya, dalam penanganan banjir di Jakarta. Ketika seorang jurnalis mengajukan pertanyaan: “bagaimana sebaiknya penanganan banjir di Jakarta?” kualitas jawaban dari kalangan ahli dan orang biasa tentu akan sangat berbeda. Kemunculan aktor populis dalam berita yang diteliti ini dapat terjadi dengan berbagai bentuk penyebutan/pelabelan. Termasuk ketika adanya kemungkinan dalam sebuah berita terdapat aktor yang berposisi ganda, sebagai politisi sekaligus selebritis. Dalam hal ini, pelabelan media terhadap narasumbernya-lah yang menjadi penentu. Apakah menyebutkan posisinya sebagai politisi saja (yang artinya narasumber tersebut bertindak atas nama narasumber expert), ataukah masih membawa pelabelan selebritisnya. 3. Sensasionalisme Sensasionalisme biasanya digunakan dalam pengertian yang luas. Ditinjau dari objektivitas berita, maka sensasionalisme adalah elemen yang potensial dalam mengurangi kenetralan dan keberimbangan. Tetapi, ditinjau dari perspektif hiburan, sensasionalisme adalah segala bentuk ciptaan yang
51
direkayasa agar mampu membangkitkan sensasi. Dalam telaan objektivitas berita, sensasionalisme biasanya menjadi konsep yang berdiri sendiri. Pemahaman paling jelas mengenai sensasionalisme dilihat dari objektivitas berita, bisa didapat melalui 3 dimensi sesnsasionalisme McQuail (1992: 233), yaitu dramatisasi, emosionalisasi, dan personalisasi. Pada dasarnya dimensi ini melihat pada penggunaan gaya bahasa. Bahwa pilihan kata yang dihadirkan oleh media itu menunjukkan adanya ketidak-objektiv-an atau keberpihakan. Dramatisasi misalnya, ia dilihat dari penggunaan
kata
(majas)
hiperbola.
Kemudian,
dimensi
kedua:
emosionalisasi. Dimensi ini melihat bahwa pemilihan kata didasarkan pada aspek emosi (senang, sedih, marah, dll) ketimbang rasio, sehingga bisa mengurangi netralitas. Ketiga, personalisasi, yang berarti penggunaan gaya bahasa yang menonjolkan seseorang menjadi tokoh sentral dalam pembahasan. Secara gramatikal, gaya bahasa ini disebut majas pars pro toto (individu
mewakili
keseluruhan),
sehingga
penggunaannya
dinilai
mengurangi objektivitas. Misalnya, dalam kalimat “SBY Naikkan Harga BBM”, terkesan bahwa SBY lah orang yang menaikkan harga BBM, padahal sebetulnya yang mengambil kebijakan adalah pemerintah. Sehigga, menggunakan gaya bahasa semacam ini dianggap bisa menimbulan ketidaknetralan atau menyudutkan seseorang. Tetapi karena sensasionalisme disini merupakan konsep yang dinaungi dalam tabloidisasi, maka penggunaannya tentu perlu lebih dispesifikkan. Biasanya sensasionalisme ini mengacu pada isi berita yang menghebohkan, menarik perhatian. Sebagaimana dinyatakan Zhou (dalam Oktaviana, 2010) bahwa sensasionalisme diartikan sebagai segala sesuatu dalam pemberitaan yang dimunculkan untuk menarik/merangsang panca indera, terutama mata dan telinga.
52
Tetapi pengertian ini masih terlalu umum karena semua aspek pada berita bisa menjadi ukuran sensasionalisme. Padahal, sensasionalisme bisa jadi bersumber dari peristiwanya itu sendiri (media hanya meliput), atau karena hasil rekayasa media. Maka, pada konteks ini sensasionalisme diartikan secara spesifik sebagai fitur-fitur tambahan yang mampu merangsang perhatian audiens. Artinya, dramatisasi dilakkukan secara sengaja oleh media
yang bisa dilihat secara kasat mata melalui verbal
emotionality, visual emotionality, dan sound emotionality (Uribe dan Gunter, 2007: 216-217). Karena itu, pers populer mengidentikkan dirinya dengan daya tarik font, tulisan yang memancing emosi, serta gambar ilustrasi. Bahkan, sejumlah penelitian menemukan bahwa space berita pada jenis tabloid memuat lebih banyak gambar ketimbang narasi/teks. Maka dari itu, kecenderungan dalam memuat ilustrasi ini juga menjadi ciri media yang melakukan tabloidisasi. Pada berita televisi, ilustrasi ini tidak saja bisa dilakukan melalui penyajian gambar, tetapi juga visualisasi bergerak, seperti rangkaian potongan adegan yang sering dijadikan sebagai cover berita, backsound, maupun komentar. Untuk membedakannya dengan komponen yang lain, sensasionalisme di sini dikhususkan pada aspek dekoratif atau buatan, tidak termasuk narasi dan gambar visual yang berasal dari bahan mentah berita. Sensasionalisme ini menjadi masalah karena berita menjad tidak substansial, akibat fokusnya lebih ditujukan untuk menciptakan berita yang menghibur dan menarik. Mengikuti
klasifikasi
Uribe
dan
Gunter
(2007),
kategori
sensasionalisme dalam berita televisi bisa terjadi dalam 3 bentuk, yakni
53
sensasionalisme audio, verbal, dan visual. Masing-masing bentuk memiliki indikator yang berbeda, sebagai berikut: a. Sensasionalisme audio Sensasionalisme jenis ini dilakukan dengan menambahkan suara latar (backsound) pada berita. Ini merupakan karakter jurnalisme populer dalam membuat dramatisasi. Indikatornya adalah jika ada suara latar yang mengiringi tayangan berita, seperti: Lagu Musik b. Sensasionalisme verbal Tercermin melalui kata-kata yang digunakan dengan bahasa yang emotif
(memancing
reaksi)
seperti
pemberian
opini/komentar.
Penambahan komentar dalam berita televisi bisa terjadi dalam 3 bentuk: b.1. Reporter lapangan. Indikatornya adalah jika ada ungkapan dari reporter yang disampaikan ketika memberikan laporan berita. b.2. Anchor. Indikatornya adalah jika ada pernyataan dari anchor yang disampaikan untuk mengomentari peristiwa/berita. Baiasanya setelah berita selesai dibacakan. b.3. Diselipkan dalam narasi berita. Indikatornya adalah jika ada ungkapan dari pembaca naskah berita yang bisa dikenali dari kalimat opini. c. Sensasionalisme visual Apa yang patut dicermati dari penerapan sensasionalisme visual ini adalah berkurangnya kualitas berita televisi karena tidak mampu menghadirkan video. Kekuatan medium televisi dalam bentuk gambar bergerak dan bersuara, justru digantikan dengan adanya rekayasa ilustrasi, yang sebetulnya bukan merupaan kerja jurnalistik. Adanya visual
54
tambahan yang merupakan hasil olahan atau rekayasa kru media, seperti: Bagan matematis Karikatur Designed text (teks yang bersumber dari dokumen tetapi didesain ulang oleh media. Misal: teks Undang-undang. 4. Level Faktualitas Komponen ini tidak terdapat pada penelitian terdahulu, sebagaimana pemetaan terhadap komponen tabloidisasi dalam berbagai penelitian. Tetapi, komponen ini dimasukkan sebagai respon atas kriteria tabloidisasi lainnya, yakni adanya ‘irrelevant coverage’ (Langer, 1997). Istilah ini digunakan untuk menjelaskan adanya liputan yang dibikin heboh, meski belum tentu kebenarannya. Cara pandang ini mirip dengan konsepsi McQuail tentang faktualitas (factuality). McQuail (1992: 203) membuat kerangka untuk melihat faktualitas dari 2 dimensi, yakni kebenaran (truth) dan relevansi (relevance). a) Kebenaran Syarat sebuah faktualitas adalah adanya kebenaran. Kebenaran adalah keutuhan laporan, tepat, akurat yang ditopang oleh pertimbangan independen, dan tak ada usaha mengarahkan khalayak (Nurudin, 2009:83). Pada aspek ini, McQuail membaginya ke dalam tiga hal utama, yakni factualness, accuracy, dan completeness. Factualness dirujuk dari bahan baku berita yang terdiri dari fakta sosiologis dan fakta psikologis. Fakta sosiologis adalah pemberitaan yang bahan bakunya berupa peristiwa/kejadian nyata/faktual. Sedangkan fakta psikologis adalah berita yang bahan bakunya berupa interpretasi subjektif (pernyataan/opini) terhadap fakta kejadian/gagasan.
55
Kedua, akurasi adalah kecermatan atau ketepatan fakta yang diberikan. Indikator yang digunakan adalah check dan re-check, yaitu menguji kebenaran atau ketepatan fakta kepada subjek, objek, atau saksi berita sebelum disajikan. Ketepatan ini diteliti dari penggunaan kalimat yang mengindikasikan adanya pernyataan yang belum tuntas. Ketiga, completeness berkaitan dengan kelengkapan informasi pada peristiwa yang diberitakan. Ini biasanya diukur dengan ada tidaknya formula 5W+1H. b) Relevance/ Relevansi Relevansi berkaitan dengan proses seleksi. Proses seleksi yang dilakukan seorang wartawan memegang peranan penting apakah sebuah berita dikatakan berkaitan atau tidak (Nurudin, 2009:85). Relevansi yang berkaitan dengan standar jurnalistik tersebut meliputi aspek kelayakan berita (newsworthiness). Yang termasuk dalam kategori ini antara lain significance (penting),
magnitude
adalah besarnya peristiwa,
timeliness
adalah
ketepatan waktu peristiwa (waktu, aktualitas), proximity adalah kedekatan khalayak dengan peristiwa (emosional, jarak, geografis), prominence adalah ketokohan orang-orang yang terlibat dalam sebuah peristiwa (ada tidak orang penting atau tenar terlibat), human interest adalah peristiwa yang diberitakan mampu menyentuh perasaan emosional. Pola pengukuran tidak sepenuhnya didasarkan pada kerangka kebenaran McQuail, karena beberapa pertimbangan: 1. Ketika dibenturkan pada kegunaan berita bagi publik, kualitas berita tidak cukup diukur dari kelengkapan, keberimbangan, dan objektivitas fakta. Misalnya, pada berita korupsi. Ada pemberitaan mengenai “Angie Dikunjungi Pacar dan Anak”. Berita ini memang memenuhi nilai berita (unsur prominence) dan kelengkapan (5W+1H). Tetapi jika dilihat dari
56
kepentingan publik, mengapa jurnalis memilih berita ini untuk ditayangkan? Jawabnya hanya satu: menarik. Menarik untuk melihat apa yang terjadi pada orang terkenal. Tetapi apa manfaat yang bisa diperoleh dengan menyaksikan berita itu? Ya hanya sebatas tahu. Tidak lebih. Maka dalam konteks tabloidisasi, yang dipermasalahkan adalah seleksi fakta di level yang rendah. Level yang rendah ini, dalam kajian tabloidisasi biasanya diidentifikasi dari adanya rumor, kontroversi, dan skandal (Kurtz, 1996). Pada praktiknya, berita pemilukada di TVOne dan Metro TV tidak mengetengahkan persoalan skandal sebagaimana sering didapati pada isu lain seperti korupsi. Sehingga, persoalan skandal ini sendiri tidak ditelusuri dalam penelitian ini. 2. Meski demikian, persoalan akurasi masih tetap relevan untuk diketengahkan dalam melacak kualitas berita. Karena akurasi merupakan prinsip dasar dari sebuah berita. Esensi dari jurnalisme adalah verifikasi (Kovach & Rosenstiel, 2004), dan disiplin verifikasi ini bisa dilihat pada akurasi berita. Dengan kata lain, praktik jurnalistik yang mengadopsi karakter tabloid akan minim faktualitasnya atau menyampaikan informasi yang tidak tuntas. Sebab, bentuk jurnalistik tabloid lebih mengedepankan sisi kemenarikan, sehingga seringkali melebih-lebihkan fakta. Melebihkan fakta ini biasanya berwujud berita yang masih simpang siur dan debatable. Semakin simpang siur sebuah berita, maka akan semakin menarik karena ia akan menjadi perbincangan di masyarakat. Masalahnya, pola ini bisa berakibat negatif bagi si penerima informasi (audiens). Sebab, mereka akan berada pada ketidakpastian informasi, saking banyaknya informasi tetapi belum tentu benar. Yang lebih fatal adalah ketika nantinya terjadi kekeliruan informasi. Menggiring pada keadaan semacam ini
57
tentu tidak menguntungkan publik. Terlebih lagi di masa pemilukada. Mereka membutuhkan informasi yang jelas, agar mampu memahami proses politik. Maka, persoalan seleksi fakta yang dilakukan oleh Metro TV dan TVOne selama pemilukada DKI Jakarta 2012 ini menjadi penting untuk dilihat. Peneliti menelusuri kualitas fakta yang ditinjau dari kemanfaatannya terhadap publik. Yang dikategorikan sebagai level fakta yang rendah, tidak member kemanfaatan bagi publik adalah yang mengacu pada formula tabloidisasi. Dilihat dari ciri tabloidisasi secara definitif, maka level fakta yang rendah itu bisa dikategorikan menjadi 3 hal: a. Spekulasi b. Rumor c. Kontroversi 5. Trivialisasi Salah satu elemen kuat tabloidisasi ditinjau dari konversinya terhadap “trash taste” adalah ketika berita televisi mulai sering mengetengahkan sisisisi ‘lain’ dalam berita. Sisi ‘lain’ ini bisa berupa pernak-pernik atau atribut trivial yang meskipun nyata, tetapi sebetulnya tidak penting untuk disampaikan. Berita televisi melakukan tabloidisasi saat atribut yang tidak penting tersebut dicampurkan dalam narasi. Mengukur trivialisasi dalam berita televisi ini bisa dikatakan paling sulit dibandingkan mengukur elemen yang lain, karena tidak ada referensi dari penelitian empirik. Kesulitannya adalah untuk mengkategorikan hal-hal yang termasuk ‘penting’ dan ‘trivial’. Namun demikian, peneliti mencoba merumuskan kategorisasi tersebut melalui elemen yang bisa diamati dalam berita televisi. Trivialisasi bisa dilihat dari adanya berita yang memuat: a. Atribut Fisik.
58
b. Selera individu c. Suasana lingkungan. d. Pembelokan isu e. Aktivitas emosional
59
Tabel 4. Skema Tabloidisasi No 1.
Elemen Personalisasi
2.
Tipe Aktor
3.
Sensasionalisme
4.
Level Faktualitas
Berkurang Publik: yang termasuk dalam isu publik diataranya adalah soal program kampanye, kebijakan pemerintah daerah, serta pandangan/komentar kandidat terhadap sebuah program/kebijakan. Narasumber serius, seperti politikus dan ahli (politik, media, dan sejenisnya).
Bertambah Personal: meliputi berita seputar profil, karakter, aktivitas (keseharian) kandidat, kampanye kandidat, serta persaingan pemilihan (termasuk di dalamnya polling dan dukungan parpol).
Narasumber populis, seperti selebritis/tokoh masyarakat, warga/masyarakat umum (termasuk di dalamnya PNS, kluarga kandidat).
Formalitas, seperti netralitas Sensasional, yaitu ditandai dengan anchor, narasi yang panjang. adanya: - Komentar/opini - Ilustrasi (karikatur peta, peristiwa, diagram, bagan, grafik, teks jadwal kampanye dan UU) - Efek suara Atribusi: dicirikan dengan - Spekulasi: dicirikan dengan kataadanya narasumber yang jelas kata yang belum pasti dan verifikasi berita. kebenarannya seperti ‘diduga’, ‘konon’, ‘kabar’, ‘menurut pendapat yang beredar’, ‘santer diberitakan’.
Keterangan Salah satu elemen inti dari perkara politik yang ditabloidisasi adalah topik berita yang lebih berfokus pada aspek personal (Lozano, 2004; Bek, 2004; Langer, 2001). Tabloidisasi terjadi ketika berita lebih banyak memakai narasumber populis ketimbang yang serius (Bek, 2004; Pierre, 2006) Tabloidisasi terjadi saat media lebih mementingkan penampilan format fisik berita yang cenderung sensasional (Kurtz, 1996; Langer 2001; Lozano, 2004). Tabloidisasi umumnya lebih mementingkan aspek aktualitas berita, tetapi tidak pada faktualitasnya. Media yang melakukan tabloidisasi pada beritanya seringkali 60
-
5.
Trivialisasi
-
Rasional (atribut yang relevan dengan topik)
Rumor (isu yang tidak diketahui secara pasti kebenarannya) - Kontroversial, yakni berita yang memicu pro dan kontra Atribut yang tidak relevan dengan topik utama: - Berita yang tidak berkaitan langsung dengan topik utama atau dibelokkan dengen menyertakan isu lain. Misalnya, mengaitkan dengan perolehan dukungan capres 2014. - Aktivitas emosional seperti selebrasi simpatisan. - Atribut fisik: warna baju, perawakan, sifat seseorang. Selera Kenangan
hanya menyampaikan spekulasi dan percaya pada rumor. (Kurtz, 1996; Langer,2001) Tabloidisasi ditunjukkan dengan adanya penurunan kualitas berita dari segi isi, dengan membuat berita yang lebih mudah dipahami audiens melalui atribut-atribut emosional meskipun tidak relevan dengan berita (Langer, 2003: 3).
61
F.4. Pemilihan Kepala Daerah Berdasarkan pasal 1 ayat 4 UU Nomor 15 Tahun 2011 Tentang Penyelenggara
Pemilihan
Umum,
Pemilihan
Gubernur,
Bupati,
dan
Walikota dimaksudkan sebagai Pemilihan untuk memilih gubernur, bupati, dan walikota secara demokratis dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Adapun pemilihan gubenur yang digunakan dalam penelitian ini adalah Pilgub DKI Jakarta yang dilakukan dalam rangka menentukan Kepala DKI Jakarta periode 2012-2017. Masa Pilgub DKI Jakarta 2012 ini diawali dengan kampanye putaran 1 pada 24 Juni-7 Juli 2012 dan diakhiri ketika pengumuman Gubernur dan Wakil Gubernur terpilih secara resmi, yaitu tanggal 28 September 2012. F.5. Berita Televisi Kerja jurnalisme adalah menghasilkan berita yang bermanfaat bagi publik dan sudah pasti menjadi “menu wajib” bagi televisi bergenre news. Beragam definisi tentang apa itu berita sudah dibuat oleh para ahli, baik dari akademisi maupun praktisi. Singkatnya, sebuah peristiwa dapat dianggap sebagai berita jika peristiwa tersebut baru, jarang terjadi, memengaruhi orang banyak, dan mempunyai kekuatan untuk membangkitkan selera mengikutinya (Idris, 1987: 141). Idris (1987: 142) merujuk berita berasal dari bahasa Inggris news yang kemungkinan merupakan bentuk jamak dari newe (kata dari bahasa Inggris zaman pertengahan) yang berarti sesuatu yang baru. Dengan demikian, berita merupakan sesuatu yang faktual dan aktual. Jurnalistik Televisi memiliki karakteristik yang berbeda dengan jurnalistik media lainnya. Yang menjadi ciri khas dari jurnalistik televisi adalah: 1. Penampilan Anchor (Penyaji Berita) Dengan penampilan audiovisual, televisi mampu memberi alternatif tontonan yang informatif. Anchor yang tampak memiliki integritas dan cerdas 62
mampu menghinoptis penonton untuk memelototi tayangan berita. Penampilan anchor yang santai, bersahabat, dan komunikatif mampu mengajak penonton untuk lebih antusias mengikuti tayangan berita. 2. Narasumber Salah satu kelebihan televisi adalah khalayak dapat mendengar narasumber yang menuturkan kesaksiannya tentang suatu kejadian secara langsung. Hal ini tidak dapat ditemukan di surat kabar. Menurut J.B. Wahyudi, dalam menyusun berita elektronik, reporter dituntut memiliki ketrampilan dalam mengombinasikan fakta, uraian pendapat, dan penyajian pendapat yang relevan dari narasumbernya. 3. Bahasa Pengertian bahasa menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah sistem lambang bunyi yang arbiter, yang dipergunakan oleh para anggota masyarakat untuk bekerjasama, berinteraksi, dan mengidentifikasi diri. Di dunia jurnalistik, terdapat perbedaan dalam menggunakan bahasa. Bahasa formal ditekankan pada media cetak seperti koran dan majalah, sedangkan bahasa informal sering dipakai di dunia jurnalistik televisi. Bahasa formal artinya bahasa tulis yang kaku dan tidak menimbulkan intimacy, kecuali dalam penulisan khas seperti feature. Sementara itu, bahasa informal merupakan bahasa tutur yang memungkinkan terjadinya kontak antara komunikator dalam hal ini news anchor dengan komunikan (audience). G. Operasionalisasi Operasionalisasi atas konsep diatas dilakukan dengan menurunkan konsep pada kategorisasi. Kategorisasi dalam riset ini dilakukan dengan mempertimbangkan beberapa hal. Pertama, kategori dibuat mengacu pada. Kedua, indikator dari dirumuskan dengan melakukan kajian terhadap konsep-konsep yang terkait dengan kategori dan dapat diukur. Penyesuaian terhadap framework juga dilakukan guna memenuhi kebutuhan penelitian.
63
Tabel 5. Operasionalisasi No 1.
2.
Dimensi Personalisasi
Tipe Aktor
Kategori 1. Personal Meliputi berita seputar profil, karakter, aktivitas (keseharian) kandidat, kampanye kandidat, serta persaingan pemilihan (termasuk di dalamnya polling dan dukungan warga). 2. Publik Yang termasuk dalam isu publik diataranya adalah soal program kampanye, kebijakan pemerintah daerah, serta pandangan/komentar kandidat terhadap sebuah program/kebijakan. 1. Narasumber serius Jika narasumber yang digunakan adalah politikus dan ahli (politik, media, dan sejenisnya).
2. Narasumber populis
Kelas - Persaingan antar kandidat - Aktivitas kampaye kandidat - Aktivitas personal kandidat - Opini personal - Profil kandidat
-
-
Contoh Skala “Foke Berziarah Nominal ke Makam KH Zainuddin MZ” Foke Menolak Berkomentar Duel Final Foke vs. Jokowi
- Kebijakan - “Foke: KBT Akan - Program/visi-misi kandidat Kendalikan Banjir” - Tren ekonomi dan bisnis - Program 100 Hari - Transportasi Jokowi-Ahok” - Lingkungan - “Pengembangan - Partai politik Rumah Susun” - Proses pilkada - Politisi Politisi: Ramadan Nominal - Kandidat Pohan-PD; Lutfi Hasan- Tim sukses Ketua Umum PKS - Penyelenggara pemilu Kandidat: Jokowi- Aktivis/ormas Basuki, Foke-Nara, - Intelektual Faisal-Biem - Lembaga Pemerintah Adam-warga Jakarta - Lay person Rhoma Irama-Raja 64
3.
4.
Sensasionalisme
Level Fakta
Jika narasumber yang digunakan - Tokoh terkenal adalah selebritis/tokoh masyarakat, warga/masyarakat umum (termasuk di dalamnya PNS, kluarga kandidat). *Dalam hal terdapat posisi ganda (ahli sekaligus populis, penentuan dilihat berdasarkan keterangan narasumber yang disebutkan media secara eksplisit. 1. Anchor mengomentari berita a. Komentar/opini: yang disampaikan. - Anchor 2. Anchor netral (tidak memberi - Reporter komentar) - Voice over 1. Ada penambahan ilustrasi dalam a. Ilustrasi: berita, meliputi reka peristiwa, - Karikatur peristiwa, diagram, grafik, teks penjelas. orang 2. Tidak ada ilustrasi dalam berita. - Ilustrasi peta - Bagan matematis - Designed text 1. Ada penambahan efek suara, b. Efek suara: meliputi lagu dan musik. - Musik 2. Tidak ada penambahan efek suara (suara hanya berasal dari pembaca berita dan soundbyte) 1. Kurang memenuhi a. Rumor Jika dalam berita terdapat: b. Kata-kata spekulatif, a. Rumor. c. Berita yang memicu b. Kata-kata spekulatif. kontroversi
Dangdut; AnggodoKoruptor; Hercules
“Apapun cara dan Nominal strateginya, nyatanya masyarakat memerlukan…” Nominal
Nominal Backsound lagu “Fokelah Kalau Begitu”
-
“Beredar Buku Nominal Tentang Jokowi” “Dugaan Dana Fiktif Kampanye” 65
5.
Trivialisasi
c. Berita yang memicu kontroversial. 2. Memenuhi level fakta Jika narasumber disebutkan dengan jelas dan tidak ada katakata spekulatif dan kontroversial. 1. Ada trivialisasi Jka ada atribut yang tidak relevan dengan topik berita.
-
Atribut fisik: warna baju, perawakan, mengacungkan 1 jari Aktivitas emosional: perayaan kemenangan, luapan kegembiraan Selera: masakan kesukaan, rumah makan favorit, grup musik favorit. Pembelokan isu Mengaitkan isu lain di luar pilkada DKI Suasana lingkungan: sepi, ramai
“Kontroversi Ucapan Fauzi Bowo”
- “Jokowi Pakai Nominal Baju Putih” - “Pendukung Jokowi-Ahok Cukur Rambut” - “Warung Makan Langganan Jokowi” - Aktivitas Istri Gubernur” - Posko Jokowi dan Foke Sepi”
66
H. Metode Penelitian H.1. Jenis Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif dengan metode analisis isi kuantitatif (quantitative content analysis). Sebagaimana yang dikatakan oleh Krippendroff (1993:15) penelitian kuantitatif biasanya bertujuan terutama untuk memberikan gambaran mengenai suatu gejala sosial dengan mengembangkan konsep dan menghimpun fakta. Bertolak dari pandangan demikian maka penelitian ini bermaksud untuk menyajikan gambaran tentang tabloidisasi pada pemberitaan Pilgub DKI Jakarta 2012 di televisi berita nasional dengan bertumpu pada data kuantitatif. Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan metode analisis isi. Analisis isi sebagai suatu metode ilmiah yang lazim digunakan dalam studi komunikasi merupakan sebuah metode penelitian yang mengamati kode-kode dari sebuah pesan untuk mendapatkan keterangan dari isi pesan. Keterangan-keterangan ini nantinya akan digunakan untuk memahami keseluruhan dari isi pesan yang terkandung didalamnya. Fred N. Kerlinger berpendapat bahwa analisis isi adalah suatu metode untuk mengamati dan mengukur isi komunikasi. “Tidak seperti mengamati secara langsung perilaku orang atau meminta orang untuk menjawab skala-skala, atau mewawancarai orang, sang peneliti mengambil komunikasi-komunikasi yang telah dihasilkan oleh orang dan mengajukan pertanyaan-pertanyaan tentang komunikasikomunikasi itu.” (Flourney, 1989: 12) Analisis isi telah sering dipakai untuk mengkaji pesan-pesan media. Oleh karena metode ini adalah suatu cara untuk menguji isi secara kuantitatif bagaimana keyakinan dan kepentingan para editor dan penerbit-penerbit, kecenderungan para pembaca (berdasarkan asusmsi bahwa bahan-bahan yang diterbitkan secara berhasil
bagi
sesuatu
golongan
tertentu,
mencerminkan
secara
akurat 67
kecenderungan golongan yang bersangkutan), dan pola-pola kebudayaan dari bangsa-bangsa seutuhnya. Semuanya telah dipelajari dengan menggunakan teknik penelitian ini (Flourney, 1989: 12-13). Pendekatan analisis isi bercirikan sebagai berikut: -
Memiliki populasi dan sampling.
-
Membangun kerangka teori yang relevan dengan tujuan penelitian.
-
Memilki unit analisis.
-
Mencari kesesuaian antara isi dengan kerangka kategori dengan menghitung unit yang diteliti dan membuat presentase frekuensi.
-
Mengungkapkan hasil temuan berdasarkan frekuensi. (Antoni, 2004: 96)
Dari ciri-ciri diatas, dapat disimpulkan bahwa dalam analisis isi, validitas metode dan hasil-hasilnya sangat tergantung dari kategori-kategorinya. Oleh sebab itu, penelitian secara luas dilakukan untuk menetapkan kategori-kategori yang layak bagi analisis isi berita dan tajuk rencana yang memungkinkan pengkodingan scara akurat di satu pihak dan kemungkinan perbandingan hasil-hasilnya dilain pihak. Stempel (1981: 122-123) mencatat beberapa hal penting tentang pengkategorian dalam analisis isi, yakni pentingnya menggunakan sistem penggolongan yang pernah dipakai dalam studi-studi sebelumnya. Dengan begitu, dapat dinyatakan bahwa sistem penggolongan sudah terbukti dapat dipakai, serta memperoleh berbagai hasil yang diperoleh. Masalah validitas dan reliabilitas dengan sendirinya akan berkurang. Namun demikian, beberapa perubahan dalam kategorikategori yang sudah pernah digunakan dianggap perlu untuk mencapai sasaran studi ini. Begitu pula dengan pengembangan indikator yang lebih rinci sehingga mampu menangkap sejumlah gejala yang merepresentasikan sebuah kategori.
68
H.2. Objek Penelitian Objek dalam penelitian ini adalah berita seputar Pilgub DKI Jakarta 2012 yang ada pada program Metro Hari Ini dan Kabar Petang 25 Juni- 28 September 2012. Pemilihan waktu ini didasarkan pada waktu berlangsungnya Pilgub DKI Jakarta, dari kampanye putaran I di tanggal 24 Juni hingga penetapan gubernur dan wakil gubernur terpilih di tanggal 28 September 2012. Karakteristik dua stasiun berita televisi ini setidaknya dapat digunakan sebagai perbandingan pola pesan. Artinya, apakah terdapat perbedaan karakteristik, dalam hal tabloidisasi pada Metro TV dengan TVOne. Sedangkan Alasan pemilihan topik sentral telah dikemukakan dalam latar belakang. Yakni karena Pilgub DKI Jakarta 2012 merupakan ajang pemilihan kepala daerah yang selalu memperoleh porsi besar dalam pemberitaan di televisi nasional. Hal ini memperkuat alasan bahwa apa yang ditampilkan dalam Pilgub DKI Jakarta 2012 merupakan representasi politik nasional (Kompas, 22 September 2012).
H.3. Teknik Pengumpulan Data Usaha mengumpulkan data berita di program acara Metro Hari Ini dan Kabar Petang ini dilakukan dengan mengumpulkan rekaman tayangan kedua program acara yang dihimpun melalui data rekaman Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Pusat. Untuk kebutuhan penelitian, peneliti meminta salinan (copy) rekaman tersebut. Pengalaman peneliti yang pernah mengakses salinan berita televisi di KPI membuat teknik ini relevan untuk dilakukan. Data penelitian diperoleh kemudian dikumpulkan sesuai dengan waktu penayangannya. Adapun data yang terkumpul adalah tayangan berita Metro Hari Ini daan Kabar Petang dari tanggal 24 Juni- 28 September 2012. Masing-masing terdapat 46 edisi untuk Metro Hari Ini dan 52 edisi untuk Kabar Petang yang memuat pemberitaan seputar Pilkada DKI Jakarta 2012.
69
H. 4. Unit Pencatatan Yaitu satuan tertentu yang diperhitungkan sebagai objek penelitian. Untuk memenuhi tujuan penelitian, maka unit analisis pada penelitian ini adalah 1 unit/item berita. Pertimbangan pemilihan unit analisis ini adalah karena memungkinkan pencatatan untuk analisis terhadap berita yang sifatnya tematik, seperti tema Pemilukada. Penghitungan/pencatatan data dilakukan untuk mengetahui gejala dalam setiap item berita, sehingga tidak menghitung dalam lingkup yang lebih spesifik seperti scene atau segmen.
H. 5. Unit Analisis Penelitian ini merupakann penelitian teks berita dan hanya meneliti apa yang terdapat dalam teks berita. Pengkodean berita dimaksudkan untuk mengukur komponen tabloidisasi yang ada dalam berita. Adapun skema unit analisis penelitian ini dijabarkan sebagai berikut: Tabel 6. Unit Analisis Content unit Berita Pemilukada DKI Jakarta 2012
Recording unit Item berita: - Hard news - Live report
Kategori
Topik berita
Kelas
Publik
Kebijakan Program/visi-misi kandidat Tren ekonomi dan bisnis Transportasi Lingkungan
Personal
Persaingan antar kandidat Aktivitas kampanye Kegiatan personal Profil kandidat Tanggapan personal Politisi Kandidat Tim sukses Penyelenggara Pemilu 70
Sumber berita
Level fakta
Elemen Sensasional
Atribut Trivial
Aktivis/ormas Intelektual Lembaga pemerintah Warga Tokoh terkenal Narasumber pasif Berupa spekulasi Berupa rumor Berupa kontroversi Memuat musik Memuat komentar anchor Memuat opini reporter Memuat opini dalam narasi berita Memuat bagan matematis Memuat karikatur Memuat ilustrasi teks (designed text) Menyebutkan atribut fisik Menyebutkan selera individu Menyebutkan suasana lingkungan Memuat pembelokan isu Memuat aktivitas emosional
H. 6. Populasi dan Sampel Populasi adalah jumlah keseluruhan dari unit analisis yang ciri-cirinya dapat diduga. Pada penelitian ini, populasinya adalah berita pada program acara Metro Hari Ini dan Kabar Petang selama masa Pilgub DKI Jakarta 2012, dari tanggal 24 Juni hingga 30 September 2012. Berdasarkan analisis data, total terdapat 46 edisi dengan 200 item berita seputar Pilkada DKI Jakarta 2012 pada program Metro Hari Ini, serta 52 edisi dengan 137 item berita seputar Pilkada DKI Jakarta 2012 pada program Kabar Petang.
71
Dalam studinya, Krippendorf (1989: 69) membandingkan sampel berjumlah 6, 12, 18, 24 dan 48 isu dalam surat kabar dengan isu-isu dalam satu tahun dan menemukan bahwa menggunakan proporsi rata-rata sebagai ukuran dimana menambah ukuran sampel diatas 12 tidak menambah hasil yang lebih akurat. Artinya, penggunaan sampel dalam jumlah besar tidak selalu lebih akurat. Berangkat dari pernyataan di atas maka peneliti memutuskan mengambil sampel sebesar 50% dari jumlah populasi. Mengingat unit pencatatan yang ditetapkan adalah berupa item berita, maka yang merupakan populasi adalah 200 item berita seputar Pilkada DKI Jakarta 2012 pada program Metro Hari Ini dan 137 item berita pada program Kabar Petang. Dengan demikian, sampel penelitian adalah masing-masing 50% dari kedua program. Sehingga, diperoleh sampel sebanyak 100 berita dari Metro Hari Ini dan 67 berita dari Kabar Petang. Pengambilan anggota sampel dilakukan dengan teknik random sampling yakni secara acak mengambil sampel dari populasi yang ada. Karena populasi dapat diketahui dengan pasti, maka pemilihan sampel dilkukan dengan metode acak sistematis dengan terlebih dahulu menentukan interval penarikan sampel. Seluruh berita yang telah dicatat dalam daftar kemudian diberi nomor urut sesuai waktu penayangan. Dari urutan tersebut, kemudian diambil sampel dengan interval yang telah ditentukan. Sesuai dengan jumlah sampel yang diambil, yaitu 50%, maka interval pengambilan sampel adalah 2. Dengan demikian, sampel pertama diambil secara acak antara item berita yang bernomor urut 1 dan 2. Tabel 7. Klasifikasi Sampel Objek Penelitian
Populasi
Sampel (50%)
Metro Hari Ini
200
100
Kabar Petang
137
69
72
H.7. Teknik Analisis Data Peneliti menggunakan statistik on-off, yaitu pemberian skor 1 dan 0 untuk dua kategori berlawanan guna mendeskripsikan data yang terkumpul. Kemudian data yang telah dikoding, diproses untuk mendapatkan frekuensi, prosentasi dan tabulasi berikut interpretasinya dengan menggunakan rumus: P=
F x 100% N
dengan: P = angka prosentase F = frekuensi yang sedang dicari prosentasenya N = Number of cases (jumlah frekuensi atau banyak sumber informasi)
H.8. Reliabilitas dan Validitas Untuk mengetahui dan menjamin keakuratan serta validitas dari data yang telah dikoding dan diinterpretasikan, digunakan rumus reliabilitas. Karena data dalam penelitian ini menggunakan skala nominal, maka uji reliabilitas penelitian ini menggunakan rumus Holsti (Holsti, 1963 : 49-50): R=
2 (C1,2) C1+C2
dengan: R
= koefisien reliabilitas
C1,2
= jumlah pernyataan yang disetujui oleh dua orang pengkoding
C1 + C2
= jumlah pernyataan yang diberikan kode oleh pengkoding Selanjutnya, untuk membuktikan valid tidaknya perhitungan penelitian
terhadap populasi penelitian, peneliti akan menggunakan sampel penelitian yang dikerjakan orang lain yang juga mengetahui tentang pengkodingan.
73
Dari hasil pengkodingan I kemudian dilakukan uji reliabilitas terhadap pengkodingan sampel yang dilakukan pengkoding II. Uji reliabilitas dalam statistik digunakan untuk mengetahui kesalahan dalam pengukuran. Tujuan digunakannya pengkoding I dan pengkoding II adalah untuk memperoleh kesepakatan atau tujuan bersama sehingga diharapkan input reliabilitasnya tinggi. Tentang patokan tingkat persetujuan bersama dikatakan Lasswell sebagai pemberi angka yang menunjukkan kesamaan sebanyak 70% sampai 80% antara atau di antara pelaksana koding atau analisis adalah dapat diterima sebagai kendala yang dapat memadai (Fluorney, 1989: 33). Karena rumus reliabilitas tidak memperhitungkan tingkat persetujuan antar pengkoding (interkoder) akibat peluangnya yang terjadi, maka selanjutnya digunakan rumus Scott: Pi= Persetujuan yang nyata –Persetujuan yang diharapkan 1- Persetujuan yang diharapkan dengan: Pi adalah Probability of Index (persetujuan intercoder) % persetujuan yang nyata = nilai R % persetujuan yang diharapkan = jumlah kuadrat tiap prosentase kategori
I. Keterbatasan Penelitian Penelitian yang akan dilakukan ini tentunya jauh dari sempurna. Dikarenakan adanya batasan-batasan yang dibuat untuk dapat direalisasikan. Adapun beberapa keterbatasan yang ada dalam penelitian ini diantaranya adalah: 1. Sesuai karakteristik pada metode analisis isi kuantitatif, maka penelitian ini hanya menganalisis pesan tersurat (manifest content) saja. Sehingga deskripsi tentang makna laten dibalik sebuah teks tidak akan didapati dalam penelitian ini. 74
2. Penelitian ini menganalisis isi pesan di media televisi dengan tema spesifik, yakni berita seputar Pilgub DKI Jakarta 2012. Topik atau tema di luar pemberitaan tersebut tidak masuk dalam penelitian ini. Hal ini bertujuan agar klasifikasi lebih mudah dilakukan, serta membuat penelitian lebih fokus. 3. Dengan adanya batasan tema, otomatis periode pengambilan berita sebagai sampel dalam penelitian ini pun terbatas pada masa Pilgub DKI Jakarta 2012 saja, kurang lebih selama 4 bulan, tepatnya 25 Juni hingga 28 September 2012. Pemilihan waktu ini didasarkan pada waktu berlangsungnya Pilgub DKI Jakarta, dari kampanye putaran I di tanggal 24 Juni hingga penetapan gubernur dan wakil gubernur terpilih di tanggal 28 September 2012.
75