BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang IPA (Ilmu Pengetahuan Alam) merupakan salah satu mata pelajaran wajib yang harus diajarkan di bangku sekolah dasar. Hal tersebut secara jelas tertuang dalam Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 pasal 37 ayat 1 yang menyebutkan bahwa kurikulum pendidikan dasar dan menengah wajib memuat pendidikan agama, pendidikan kewarganegaraan, bahasa, matematika, IPA, IPS, seni dan budaya, pendidikan jasmani dan olahraga, keterampilan/ kejuruan, serta muatan lokal. Sebagai tindak lanjut dari peraturan tersebut, maka disusunlah kurikulum mata pelajaran IPA di setiap tingkatan sekolah dasar secara sistematis sesuai dengan perkembangan anak. Pembelajaran IPA di setiap kelas di sekolah dasar disampaikan berbedabeda sesuai dengan perkembangan anak di usianya. IPA di kelas rendah disampaikan secara tematik dengan mata pelajaran lain karena perkembangan anak pada usia ini (7–9 tahun) masih bersifat holistik. Lain halnya dengan IPA di kelas tinggi yang sudah disampaikan sendiri tanpa terikat dengan mata pelajaran lain karena pada usia kelas tinggi (10–12 tahun) anak sudah dapat berpikir secara mandiri. Namun pada intinya proses pembelajaran IPA tetap harus menekankan pada pemberian pengalaman langsung agar siswa memperoleh pemahaman yang lebih mendalam tentang alam sekitar. IPA merupakan suatu mata pelajaran yang memberi kesempatan kepada siswa untuk berpikir kritis (Samatowa, 2009: 4). Untuk mewujudkan pemikiran kritis pada siswa, maka pembelajaran IPA dilakukan dalam kegiatan yang berorientasi pada proses penemuan. Hal ini dikarenakan IPA tidak hanya merupakan kumpulan pengetahuan tentang benda-benda dan makhluk-makhluk, tetapi juga merupakan cara kerja, cara berpikir, dan cara memecahkan masalah (Iskandar, 2001: 5). Pembelajaran IPA di SD/ MI menekankan pada pemberian pengalaman belajar secara langsung melalui penggunaan dan pengembangan keterampilan 1
2 proses dan sikap ilmiah (BSNP, 2006). Konsep-konsep yang ada dalam IPA tidak hanya diberikan secara mentah kepada siswa untuk kemudian dihafalkan, melainkan harus dapat ditemukan sendiri oleh siswa melalui proses penemuan. Namun kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa IPA selama ini disampaikan melalui pembelajaran langsung dengan memaksimalkan sumber belajar berupa buku sehingga penguasaan siswa dalam IPA diperoleh karena proses hafalan semata. Fakta tersebut ditemukan selama peneliti melakukan Praktik Pengalaman Lapangan (PPL) pada bulan September sampai November tahun 2015 di SD Negeri Mangkubumen Lor No. 15 Surakarta. Pembelajaran IPA yang diterapkan masih menekankan pada penguasaan kognitif siswa baik di kelas tinggi maupun di kelas rendah. Pada dasarnya setiap mata pelajaran di jenjang sekolah dasar berorientasi agar siswa memiliki kecakapan, baik ditinjau dari aspek pengetahuan, sikap, maupun keterampilan. Begitu pula dengan mata pelajaran IPA. Aspek pengetahuan pada IPA mengarah pada penguasaan siswa dalam memahami konsep-konsep IPA dan keterkaitannya dalam kehidupan sehari-hari. Aspek sikap mengacu pada sikap ilmiah yang harus dimiliki siswa dalam mengikuti pembelajaran IPA. Sementara aspek keterampilan mengacu pada kemampuan siswa untuk mengembangkan pengetahuan yang telah dimilikinya untuk dapat diterapkan dalam kehidupan sehari-hari. Ketiga aspek tersebut harus dimiliki oleh siswa selama mengikuti proses pembelajaran. Proses pembelajaran IPA akan lebih efektif jika ditekankan pada pendekatan keterampilan proses sehingga siswa dapat menemukan fakta-fakta, membangun konsep-konsep, teori-teori, dan sikap ilmiah siswa itu sendiri (Trianto, 2008: 71). Pembelajaran dengan menggunakan berbagai keterampilan proses akan menghantarkan murid pada suatu pengetahuan pemahaman pada ranah kognitif. Seiring dengan hal tersebut, proses pembelajaran akan menumbuhkan sikap dan nilai yang muncul dalam diri siswa dalam ranah afektif. Secara tidak langsung, pembelajaran dengan menekankan keterampilan proses akan mencapai tiga ranah yang harus dikuasai siswa dalam satu waktu, yaitu kognitif, afektif, dan psikomotorik.
3 Salah satu keterampilan proses yang dapat dilakukan untuk dapat menumbuhkembangkan
siswa
aktif,
kritis,
dan
kreatif
adalah
dengan
meningkatkan keterampilan bereksperimen. Soetardjo (Bundu, 2006: 30) menjelaskan bahwa keterampilan melakukan eksperimen merupakan suatu kegiatan yang mencakup keterampilan proses yang diuraikan, yang meliputi identifikasi variabel, membuat prediksi, menyusun hipotesis, mengumpulkan data, menginterpretasikan data, dan membuat kesimpulan sebagai jawaban pertanyaan yang diajukan. Khusus untuk tingkat sekolah dasar, keterampilan bereksperimen masih bersifat sederhana tidak seperti para ilmuwan yang sudah melakukan penemuan-penemuan besar. Keterampilan bereksperimen ini menempatkan murid sebagai produsen bukan sekedar menerima ilmu pengetahuan saja. Kegiatan bereksperimen melibatkan siswa aktif mengembangkan konsep dan pengetahuan yang tertanam di dalam dirinya untuk dapat diaplikasikan melalui eksperimen. Sikap kritis siswa muncul ketika mereka dihadapkan dalam suatu permasalahan atau dalam menyusun sebuah hipotesis. Ini berarti kegiatan eksperimen membawa siswa mendapatkan pengalaman langsung. Hal ini menyebabkan konsep yang didapatkan mereka tertanam dengan baik sehingga proses pembelajaran menjadi lebih bermakna dan tertanam dalam memori jangka panjang (long term memory). Pembelajaran
yang
mengarah
pada
peningkatan
keterampilan
bereksperimen sudah tercantum dalam silabus kelas V sekolah dasar. Namun kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa keterampilan bereksperimen kurang mendapat perhatian untuk ditingkatkan. Proses pembelajaran demikian masih sangat jarang dilakukan mengingat beberapa kendala yang dimiliki, antara lain, pemborosan waktu, tenaga, biaya, dan keterbatasan sarana serta prasarana yang diperlukan. Berdasarkan wawancara yang telah dilakukan kepada guru kelas V-3 SD Negeri Mangkubumen Lor No. 15 pada tanggal 1 Desember 2015 (Lampiran 4 Halaman 298), diperoleh informasi bahwa guru selama ini jarang melaksanakan kegiatan yang mengarah pada pengembangan keterampilan proses khususnya keterampilan bereksperimen. Selama ini pembelajaran IPA berfokus utama pada
4 peningkatan kemampuan kognitif siswa sehingga keterampilan bereksperimen kurang mendapat perhatian. Alasan guru belum mengarahkan kegiatan pembelajaran pada peningkatan keterampilan bereksperimen yaitu karena keterbatasan waktu, tenaga, dan dikejar oleh materi pelajaran yang lain sehingga hanya berfokus pada penguasaan materi siswa. Berdasarkan hasil wawancara tersebut juga diperoleh fakta bahwa penanaman konsep IPA dilakukan melalui pembelajaran langsung yang dilakukan oleh guru. Hal tersebut menyebabkan siswa mendapat pengetahuan bukan dari pengalamannya sendiri untuk membangun pengetahuan tersebut melainkan dari guru dan sumber belajar berupa buku. Kegiatan belajar siswa lebih diutamakan pada penguasaan materi yang ada pada buku sehingga siswa mudah lupa mengingat materi yang sudah disampaikan. Inilah yang menyebabkan guru harus mengajarkan kembali materi yang telah lalu jika mendekati Ulangan Tengah Semester (UTS) maupun Ulangan Akhir Semester (UAS). Dari hasil wawancara tersebut juga diperoleh informasi bahwa guru pernah melakukan satu kali kegiatan eksperimen yaitu pada materi organ-organ tubuh manusia di semester 1. Dari data yang diperoleh menunjukkan bahwa 23 dari 34 siswa atau 67,68 % siswa memperoleh nilai di bawah Kriteria Ketuntasan Minimal (KKM) yang ditetapkan yaitu 77. Sebagai tindak lanjut dari wawancara tersebut maka dilakukan observasi terkait pelaksanaan pembelajaran IPA, yaitu pada tanggal 3 Desember 2015 di kelas V-3 SD Negeri Mangkubumen Lor No. 15 Surakarta. Dari hasil observasi yang dilakukan ditemukan beberapa fakta yaitu 1) kegiatan pembelajaran IPA belum mengarah pada pendekatan keterampilan proses khususnya keterampilan bereksperimen; 2) belum menerapkan model maupun strategi pembelajaran yang mengarah pada keterampilan proses khususnya keterampilan bereksperimen 3) belum memaksimalkan penggunaan media dan alat peraga yang menunjang kegiatan eksperimen; 4) masih banyak siswa yang ramai sendiri dalam mengikuti pembelajaran. Untuk menguatkan hasil wawancara dan observasi maka dilakukan tes pratindakan mengenai keterampilan bereksperimen yang dilaksanakan pada
5 tanggal 10 Desember 2015 (Lampiran 11 halaman 323). Dari hasil tes pratindakan diperoleh data yaitu nilai rata-rata siswa kelas V-3 SD Negeri Mangkubumen Lor No. 15 Surakarta sebesar 65, 88. Siswa kelas V-3 SD Negeri Mangkubumen Lor No. 15 Surakarta termasuk dalam kategori terampil bereksperimen jika mendapatkan nilai ≥85. Dari 34 siswa yang mengikuti tes prasiklus, 4 siswa termasuk dalam kategori terampil dengan rentang nilai 85–94, 8 siswa termasuk dalam kategori cukup terampil dengan rentang nilai 75–84, 9 siswa termasuk kategori kurang terampil dengan rentang nilai 65–74, dan 13 siswa termasuk kategori tidak terampil dengan rentang nilai <65. Data tersebut menunjukkan bahwa terdapat 30 siswa dari 34 siswa atau 88,24% masih berada pada kategori kurang terampil. Sedangkan jumlah siswa yang lulus atau nilainya melebihi batas tuntas kelulusan (≥85) adalah 4 siswa atau 11,76%. Hal ini membuktikan bahwa keterampilan bereksperimen di kelas V-3 SD Negeri Mangkubumen Lor No. 15 masih rendah dan perlu ditingkatkan. Bercermin dari keadaan di atas maka guru bersepakat dengan peneliti untuk mengadakan proses perbaikan pembelajaran IPA di kelas V-3 SD Negeri Mangkubumen Lor No. 15 Surakarta. Tujuan dari perbaikan proses pembelajaran IPA ini yaitu untuk meningkatkan keterampilan bereksperimen siswa yang masih rendah. Dengan meningkatkan keterampilan bereskperimen diharapkan semua siswa dapat terlibat aktif dalam proses pembelajaran dan tidak terpaku pada cara hafalan untuk menguasai materi yang ada pada mata pelajaran IPA. Maka dari itu dicarilah sebuah strategi yang tepat untuk memperbaiki proses pembelajaran IPA ini. Cara yang dipilih untuk mengatasi masalah ini yaitu dengan menerapkan strategi pembelajaran inovatif yang melibatkan siswa selama proses pembelajaran. Strategi dapat diartikan sebagai garis-garis besar haluan untuk bertindak dalam rangka mencapai sasaran yang telah ditentukan (Kosasih dan Sumarna, 2013: 44). Dalam konteks pembelajaran, Kosasih dan Sumarna mendefinisikan strategi pembelajaran sebagai pola-pola umum kegiatan guru dan murid dalam perwujudan kegiatan belajar mengajar untuk mencapai tujuan yang telah ditentukan (2013: 44). Strategi pembelajaran yang inovatif diharapkan dapat
6 melibatkan siswa selama proses pembelajaran. Keterlibatan tersebut menyebabkan pembelajaran menjadi berpusat pada siswa, sehingga siswa mendapatkan informasi melalui pengalaman belajar secara langsung. Pengalaman belajar siswa akan lebih bermakna apabila siswa melakukan eksperimen secara langsung dalam memecahkan permasalahan yang dihadapi melalui pendekatan kontekstual. Strategi pembelajaran yang dimaksud dalam hal ini adalah strategi pembelajaran REACT (Relating, Experiencing, Applying, Cooperating, Transferring). Strategi REACT merupakan bagian dari pembelajaran kontekstual yang berlangsung lebih alamiah dalam bentuk kegiatan siswa bekerja dan mengalami, bukan transfer pengetahuan dari guru ke siswa, sebagaimana model pembelajaran konvensional atau metode ceramah (Putra, 2013: 242). Strategi REACT cocok diterapkan untuk meningkatkan keterampilan bereksperimen siswa sekolah dasar khususnya dalam pembelajaran IPA. Pembelajaran yang bersifat langsung dan bermakna memudahkan siswa dalam merekonstruksi pengetahuannya dan memecahkan permasalahan yang dihadapinya. Shoimin menyatakan bahwa sebagai strategi dalam pembelajaran kontekstual, REACT memiliki lima tahapan dalam pembelajaran yang meliputi relating (mengaitkan), experiencing (mengalami), applying (menerapkan), cooperating (bekerja sama), transferring (mentransfer) diharapkan peserta didik mampu mencapai kompetensi secara maksimal (2015: 41). Relating (mengaitkan), mempunyai arti bahwa dalam belajar, materi harus dikaitkan dengan konteks kehidupan sehari-hari siswa atau dikaitkan dengan pengetahuan awal siswa. Experiencing (mengalami), mempunyai arti bahwa siswa belajar dengan mengalami secara langsung melalui kegiatan eksplorasi, penemuan, dan penciptaan. Applying (menerapkan), yaitu belajar dengan menempatkan konsepkonsep untuk diaplikasikan pada masalah yang bersifat realistik dan relevan. Cooperating (bekerja sama), yaitu belajar dalam konteks saling berbagi, saling menanggapi,
dan
berkomunikasi
dengan
siswa
lainnya.
Transferring
(mentransfer), yaitu menggunakan pengetahuan dalam konteks baru atau situasi baru, yaitu konteks atau situasi yang belum tercakup dalam kelas (Crawford, 2001: 3-13).
7 Ultay dan Calik dalam jurnalnya yang berjudul “Necatibey Faculty of Education Electronic Journal of Science and Mathematics Education, 2011, Vol. 5, Issue 2” berpendapat bahwa pembelajaran dengan strategi REACT menjadikan guru berperan sebagai fasilitator dan siswa aktif berperan dalam pembelajaran, yakni dalam mengkonstruksi pengetahuan, menerapkan pengetahuan yang diperoleh untuk menyelesaikan permasalahan, menyampaikan pendapat dan mengaplikasikan konsep untuk menyelesaikan masalah yang lebih kompleks. Sejalan dengan pemikiran tersebut, Fadhila El Husna, Fitrani Dwina, dan Dewi Murni dalam jurnalnya yang berjudul “Penerapan Strategi REACT Dalam Meningkatkan Kemampuan Pemahaman Konsep Matematika Siswa Kelas X SMA N 1 Batang Anai Tahun pelajaran 2013/ 2014” mengemukakan bahwa strategi REACT diyakini dapat membantu guru dalam meningkatkan kemampuan pemahaman konsep matematika siswa karena pada pembelajaran dengan strategi tersebut
siswa
tidak
sekedar
menghafal
rumus,
tetapi
siswalah
yang
mengkonstruksi pengetahuannya dengan mengaitkan konsep yang dipelajari dengan konteks yang dikenali siswa dan ikut aktif dalam menemukan konsep yang dipelajari sehingga pembelajaran lebih bermakna. Strategi ini juga memberi kesempatan kepada siswa untuk menggunakan konsep yang diperolehnya dalam menyelesaikan masalah dalam kehidupan sehari-hari. Pendapat di atas diperkuat dengan pendapat Ana Fauziah dalam jurnalnya yang berjudul “Peningkatan Kemampuan Pemahaman dan Pemecahan Masalah Matematik Siswa SMP Melalui Strategi REACT Tahun Pelajaran 2009/ 2010” mengemukakan bahwa peningkatan kemampuan pemahaman matematika siswa yang pembelajarannya melalui strategi REACT lebih baik daripada peningkatan kemampuan pemahaman matematik siswa yang pembelajarannya secara konvensional. Selain itu, peningkatan kemampuan pemecahan masalah matematik siswa yang pembelajarannya melalui strategi REACT lebih baik daripada peningkatan kemampuan pemecahan masalah matematik siswa yang pembelajarannya secara konvensional. Hal tersebut diperkuat dengan perolehan informasi melalui angket bahwa pembelajaran melalui strategi REACT mendapat respon positif dari siswa. Respon dan minat siswa terhadap pembelajaran
8 matematika juga baik. Begitu pun dengan respon mereka terhadap soal-soal pemahaman dan pemecahan masalah yang diberikan. Dari ketiga hasil penelitian di atas menunjukkan bahwa strategi REACT terbukti dapat meningkatkan kemampuan siswa baik ditinjau dari ranah kognitif maupun afektif. Berbeda dengan beberapa penelitian yang sudah dikemukakan di atas, penelitian ini dilakukan dengan menerapkan strategi REACT untuk meningkatkan keterampilan bereksperimen (ranah psikomotorik) pada siswa sekolah dasar. Strategi pembelajaran REACT di sekolah dasar pada hakekatnya mengarahkan siswa untuk mendapatkan pengetahuan melalui pengalamannya secara langsung dalam kehidupan sehari-hari sehingga lebih bermakna. Keterlibatan siswa selama proses pembelajaran mengunakan strategi ini menyebabkan siswa bertindak aktif, kritis, dan kreatif terhadap segala permasalahan yang mereka hadapi. Akan lebih baik jika strategi ini dilaksanakan melalui kegiatan bereksperimen sehingga membantu siswa dalam meningkatkan keterampilan bereksperimennya. Melalui kegiatan eksperimen, siswa tidak hanya sekedar memahami konsep-konsep yang sudah ada tetapi juga membuktikan kebenaran dari konsep tersebut. Strategi REACT diterapkan dalam pembelajaran IPA karena pada mata pelajaran inilah siswa berkesempatan untuk mengeksplorasi semua yang ada di lingkungan sekitar untuk dijadikan kegiatan eksperimen. Salah satu pokok bahasan yang dilakukan melalui kegiatan eksperimen adalah materi sifat-sifat cahaya. Materi sifat-sifat cahaya dipilih karena sifat-sifat cahaya banyak digunakan dalam kehidupan sehari-hari, misalnya cahaya yang merambat lurus dimanfaatkan untuk lampu belajar, efek dari pemantulan cahaya dimanfaatkan untuk penerangan ruangan sehingga tidak gelap, dan sebagainya. Dengan demikian, siswa mampu memahami sifat-sifat cahaya berdasarkan kegiatan eksperimen yang telah dilakukannya dan tidak sekedar memahami sifat-sifat cahaya secara teoritis. Berdasarkan uraian di atas, strategi REACT terbukti telah efektif digunakan untuk memperbaiki proses pembelajaran untuk berbagai jenjang
9 pendidikan. Oleh karena itu, dalam rangka perbaikan proses pembelajaran IPA di kelas V-3 SD Negeri Mangkubumen Lor No. 15 Surakarta maka dilaksanakan penelitian tindakan kelas dengan rumusan judul Penerapan Strategi REACT (Relating,
Experiencing,
Applying,
Cooperating,
Transferring)
untuk
Meningkatkan Keterampilan Bereksperimen pada Pembelajaran IPA (Penelitian Tindakan Kelas pada Siswa Kelas V-3 SD Negeri Mangkubumen Lor No. 15 Surakarta Tahun Ajaran 2015/ 2016). B. Rumusan Masalah Sesuai dengan latar belakang yang telah dikemukakan di atas maka dilakukan perumusan masalah sebagai berikut: “Apakah penerapan strategi REACT (Relating, Experiencing, Applying, Cooperating, Transferring) dapat meningkatkan keterampilan bereksperimen pada pembelajaran IPA terhadap siswa kelas V-3 SD Negeri Mangkubumen Lor No. 15 Surakarta?” C. Tujuan Penelitian Adapun tujuan penelitian ini sesuai dengan rumusan di atas, yaitu “Untuk meningkatkan keterampilan bereksperimen pada pembelajaran IPA melalui
penerapan
strategi
REACT
(Relating,
Experiencing,
Applying,
Cooperating, Transferring) terhadap siswa kelas V-3 SD Negeri Mangkubumen Lor No. 15 Surakarta”. D. Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat secara teoritis dan praktis. 1.
Manfaat Teoritis Manfaat teoritis penelitian ini adalah meningkatnya khazanah keilmuwan para guru, khususnya dalam pembelajaran IPA. Selain itu, dapat juga digunakan sebagai bahan rujukan untuk penelitian selanjutnya.
2.
Manfaat Praktis a.
Bagi Siswa
10 1) Penerapan strategi REACT (Relating, Experiencing, Applying, Cooperating, Transferring) dapat meningkatkan motivasi siswa untuk melakukan kegiatan eksperimen dalam pembelajaran IPA. 2) Penerapan strategi REACT (Relating, Experiencing, Applying, Cooperating, Transferring) dapat meningkatkan keterampilan bereksperimen siswa dalam pembelajaran IPA. 3) Penerapan strategi REACT (Relating, Experiencing, Applying, Cooperating, Transferring) dapat meningkatkan kreativitas dan daya nalar siswa selama melakukan eksperimen dalam pembelajaran IPA. b.
Bagi Guru 1) Strategi REACT (Relating, Experiencing, Applying, Cooperating, Transferring) memberikan pengalaman dan keterampilan baru bagi guru dalam rangka meningkatkan keterampilan bereksperimen siswa dalam pembelajaran IPA. 2) Strategi REACT (Relating, Experiencing, Applying, Cooperating, Transferring) menjadi sarana guru untuk pengembangan kegiatan pembelajaran terutama dalam pembelajaran IPA.
c.
Bagi Sekolah 1) Proses pembelajaran dengan menerapkan strategi REACT (Relating, Experiencing, Applying, Cooperating, Transferring) meningkatkan kualitas sekolah dari segi guru maupun siswanya. 2) Penerapan strategi REACT (Relating, Experiencing, Applying, Cooperating,
Transferring)
meningkatkan
kualitas
proses
pembelajaran yang dilaksanakan. 3) Penerapan strategi REACT (Relating, Experiencing, Applying, Cooperating, Transferring) mewujudkan pembelajaran yang efektif, kreatif, dan inovatif di sekolah.