BAB I Pendahuluan
A. Latar Belakang
Sejak 2011 hingga 2013, Mesir mengalami dinamika sosial politik yang menjadikan adanya instabilitas di pemerintahan. 25 Januari 2011 merupakan hari pertama dari 18 hari demonstrasi yang terjadi di Mesir. Pemberontakan dari masyarakat tersebut telah berhasil melengserkan Hosni Mubarak, seorang presiden yang cenderung diktator dengan masa jabatan sejak 1981 hingga 2011, dan mendorong pelaksanaan demokrasi di negara Mesir. Namun dua tahun sejak revolusi itu terjadi, banyak masyarakat merasakan bahwa masih sedikit perkembangan yang patut dirayakan dan masih banyak harapan yang belum terpenuhi. Pada demonstrasi di tahun 2011 tersebut, masyarakat menginginkan perluasan lowongan perkerjaan, perbaikan pendidikan, hak untuk membentuk partai politik, kebebasan pers dan akhir dari pemerintahan yang diktator. Pemerintahan Muhammad Morsi dari kelompok Ihwanul Muslimin yang telah berhasil memenangkan pemilu demokratis pertama di Mesir pada bulan Mei dan Juni 2012 melalui Freedom and Justice Party dipandang belum berhasil untuk memenuhi seluruh tuntutan dan mendapatkan protes dari masyarakat. Masyarakat Mesir dibawah pemerintahan Morsi menjadi terpecah mengenai cara untuk menyelesaikan berbagai persoalan nasional, dua kubu dalam konteks ini adalah kubu pemerintahan yang didominasi kelompok Islam dan kubu oposisi sekuler yang merasakan bahwa suara mereka tidak didengar oleh pemerintah. Pada April 2013, Tamarod merupakan kelompok kecil yang dibentuk oleh lima aktivis muda dengan tingkat popularitas rendah di masyarakat umum. Dua bulan kemudian, kampanye yang diusung oleh gerakan ini menjadi sangat terkenal di seluruh Mesir. Tujuan dasar dari gerakan ini cukup sederhana yaitu: memaksa Mohammad Morsi untuk mundur dari posisinya sebagai presiden Mesir. Juru bicara dan anggota pendiri Tamarod menekankan bahwa gerakan ini merupakan bentuk dukungan terhadap asprasi masyarakat Mesir yang telah merasakan frustasi terhadap situasi politik, ekonomi dan sosial setelah satu tahun pemerintahan Morsi berjalan. Tamarod merupakan fenomena yang menarik untuk diteliti lebih lanjut. Hal ini disebabkan Tamarod secara efektif terbentuk pada bulan April, dan pada akhir Juni sebuah
petisi yang merupakan inisiatif dari Tamarod telah mendapat lebih dari 15 juta tanda tangan. Tamarod dapat memanfaatkan peluang politik yang tercipta sehingga berhasil mengumpulkan dukungan yang sangat besar dari masyarakat dalam periode yang singkat. Di sisi lain Tamarod berhasil mobilisasi ribuan massa untuk berdemonstrasi pada 30 Juni 2013. Tamarod juga mendapat dukungan dari berbagai partai oposisi di Mesir, bahkan beberapa partai oposisi bersedia membantu Tamarod dalam menyebarkan petisi dan mengumpulkan tanda tangan masyarakat Mesir. Demonstrasi pada 30 Juni merupakan momentum yang digunakan oleh pihak militer Mesir sebagai justifikasi untuk menjatuhkan Morsi dari posisinya sebagai presiden terpilih, menjadikan keberadaan Tamarod sebagai suatu organisasi gerakan sosial yang signifikan dalam usaha menurunkan Morsi dari posisi presiden.
B. Rumusan Masalah
Menilik latar belakang dari permasalahan dalam skripsi yang akan diteliti, maka didapatkan satu permasalahan utama yaitu “Bagaimana pola perkembangan peran gerakan sosial Tamarod sejak awal pembentukan hingga pacsa jatuhnya Muhammad Morsi sebagai presiden Mesir ?”
C. Landasan Konseptual
Dalam kajian ini penulis akan menganalisis perkembangan Tamarod dalam kerangka social movements dan untuk memahami tentang fenomena ini maka telebih dahulu dipaparkan tentang pengertian collective behavior, kemudian baru dapat dijelaskan mengenai social movements atau gerakan sosial, perbedaan dengan entitas sosial yang menjadi bagian dari collective behavior lain serta peran dalam tahapan-tahapan perkembangan gerakan sosial.
1. Collective behavior. Sub bab ini akan secara singkat menyampaikan batasan tentang collective behavior dari Herbert Blumer. Penjabaran mengenai collective behavior ini diperlukan karena gerakan sosial secara tradisional termasuk dalamnya. Collective behavior merupakan sebuah bidang studi yang mencakup topik seperti mobs, manias, panics, dancing crazes, stampedes, mass behavior, public opinion, propaganda, fashion, fads, dan termasuk revolusi, reformasi dan gerakan sosial. Studi mengenai collective behavior terfokus pada proses muncul dan berkembangnya suatu social order atau tatanan sosial, dalam arti kemunculan dan pemadatan norma baru dari collective behavior. Hal ini berbeda dengan bidang sosiologi lain yang tertarik dalam mempelajari tatanan sosial dan penyusunnya (budaya, peraturan, institusi dan lain sebagainya) sebagaimana adanya.1 Blumer menjelaskan bahwa terdapat suatu bentuk dari interaksi sosial yang disebut circular reaction. Bentuk interaksi ini memunculkan kolektivitas atau perilaku bersama yang 1
H. Blumer, ‘Collective Behaviour’, dalam AMC. Lee (ed), Principles of Sociology, Barnes &Noble, New York, 1951, p. 167.
tidak didasarkan dari kepatuhan terhadap suatu pemahaman atau peraturan bersama. Circular reaction adalah suatu bentuk dari interaksi antar manusia saat adanya respon dari seorang pelaku dengan menghasilkan suatu stimulasi yang dikarenakan adanya stimulasi dari pelaku lain. Jadi, interstimulasi tersebut dianggap mencapai circular form yang ditandai dengan seorang individu merefleksikan perasaan individu lain, dan dengan melakukan hal itu maka individu tersebut akan meningkatkan intensitas perasaannya. Hal ini berbeda dengan bentuk interpretative interaction yang merupakan bentuk interaksi saat suatu pelaku memberikan tanggapan dengan menginterpretasi tindakan dan ucapan pelaku lain. Secara sederhana, interpretative interaction menjadikan orang-orang berbeda sedangkan circular reaction menjadikan orang-orang semakin serupa. Dalam memahami collective behavior, Blumer mempercayai bahwa kemunculan fenomena ini terkait dengan keresahan dan gangguan terhadap rutinitas atau cara penghidupan yang lazim. Blumer melihat bahwa tidak ada alasan yang jelas bagi kemunculan norma baru dari collective behavior jika kehidupan berkelompok sudah dipandang memuaskan dan sesuai dengan peraturan atau budaya yang ada. Faktor yang memicu keresahan ini adalah saat masyarakat memiliki dorongan, keinginan, atau kecenderungan yang tidak dapat dipuaskan oleh bentuk kehidupan yang ada. Masyarakat merasakan dorongan untuk bertindak namun mendapat penolakan untuk melakukan hal tersebut, oleh karena itu masyarakat mengalami rasa frustasi, ketidak nyamanan, ketidakamanan, dan terkadang keterasingan. Perasaan-perasaan ini akan diekspresikan melalui tindakan yang acak dan tidak terkordinasi. Pada dasarnya, adanya keresahan ini tidak serta merta digolongkan menjadi suatu social unrest. Kondisi social unrest terbentuk saat keresahan bersangkutan dengan circular reaction sehingga dapat menyebar. Secara keseluruhan, collective behavior menurut Blumer diartikan sebagai prilaku yang berkaitan dengan perubahan. Hal ini dikembangkan lagi oleh E. Park dan Ernest W. Burgess seperti dikutip dalam buku della Porta dan Diani yang menekankan bahwa fenomena kolektif ini tidak serta merta mencerminkan krisis sosial tapi lebih kepada menghasilkan norma dan solidaritas baru, serta melihat bahwa gerakan sosial sebagai mesin perubahan, khususnya yang berkaitan dengan sistem nilai.2
2
D. Della Porta dan M. Diani, ‘Social Movements: An Introduction’, 2nd edn, Jstor (pdf), Blackwell Publishing, Victoria, 2006,
, diakses pada 30 Desember 2013, pp. 12.
Dengan memahami gerakan sosial sebagai bagian dari collective behavior, penulis dapat memahami secara garis besar mengenai karakteristik yang terdapat dalam fenomena gerakan sosial, khususnya mengenai circular reaction sebagai pola interaksi sosial yang dapat menyebarkan keresahan sehingga berkembang menjadi suatu social unrest. Untuk lebih jauh memahami gerakan sosial dan kemudian membedakan antara gerakan sosial dengan bentuk kolektivitas lain, penulis akan mengadopsi definisi dan pemikiran dari Herbert Blumer, John Wilson, Mario Diani dan Donatella della Porta.
2. Social movements. Sebelum lebih jauh membahas mengenai organisasi gerakan sosial, penulis ingin terlebih dahulu memaparkan definisi gerakan sosial yang dikemukakan oleh beberapa penulis mengenai gerakan sosial. Teori gerakan sosial merupakan sebuah teori yang berakar pada ilmu sosiologi mengenai fenomena aksi kolektif. Secara luas, suatu gerakan sosial bukanlah sebuah partai politik atau kelompok kepentingan yang merupakan entitas politik dengan akses regular kepada kekuatan politik dan para elit politik serta bukan sebatas tren secara massal yang tidak terorganisir dan tidak mempunyai tujuan utama, karena gerakan sosial terletak diantara kedua hal tersebut3. Christiansen mengartikan gerakan sosial sebagai sebuah entitas sosial terorganisasi dan informal dan terlibat dalam konflik ekstra institusional yang berorientasi pada sebuah tujuan4. Social Movement atau dalam bahasa Indonesia adalah gerakan sosial, didefinisikan oleh Herbert Blumer dalam bab ‘Collective Behavior’ dari buku ‘Principles of Sociology’ Alfred Mclung Lee sebagai suatu: “As collective enterprise to establish a new order of life. They have their inception in a condition of unrest, and derive their motive power on one hand from dissatisfaction with the current form of life, and on the other hand, from wishes and hopes for a new scheme or system of living. The career of a social movement depicts the emergence of a new order of life”5
3
Freeman dan Jhonson, 1999 sebagaimana dikutip dalam J. Christiansen, 'Four Stages of Social Movement', EBSCO (pdf), 2013, p.2. 4 J. Christiansen, 'Four Stages of Social Movement', EBSCO (pdf), 2013, , diakses pada 16 Oktober 2013. 5 Blumer, p. 199.
Dalam definisi ini, terdapat tiga poin penting yang diberikan Blumer untuk membatasi secara umum mengenai gerakan sosial. Poin pertama adalah gerakan sosial sebagai ‘collective enterprises’ yang dapat diartikan bahwa terdapat beberapa agen sosial yang berkerja sama dibawah suatu proyek bersama. Poin kedua, Blumer meyakini bahwa gerakan sosial muncul karena ketidak puasan terhadap bentuk kehidupan yang masyarakat tersebut jalani, sesuai dengan pemahaman Blumer sebelumya mengenai collective behavior bahwa jika masyarakat sudah merasa puas terhadap kehidupan mereka maka tidak ada alasan jelas untuk munculnya norma dan nilai baru. Hal ini diartikan bahwa tujuan adanya gerakan sosial adalah untuk memperbaiki atau memberikan perubahan dalam kehidupan sosial. Poin terakhir yang dapat digaris bawahi dalam definisi ini adalah hubungan gerakan sosial dan karir. Hal ini mengindikasikan bahwa dalam gerakan sosial terdapat perubahan dan perkembangan. Definisi ini pada dasarnya berhasil untuk membatasi gerakan sosial dengan jenis-jenis kolektivitas lain, namun belum cukup untuk memberikan perbedaan antara gerakan sosial dengan partai politik dan gerakan keagamaan. Definisi ini juga dapat menjelaskan partai politik dan gerakan keagamaan karena kedua kolektivitas tersebut bertujuan untuk memberikan perubahan sosial, terdiri dari aktor sosial yang saling berkerja sama dibawah satu proyek bersama dan kemungkinan perubahan dalam bentuk institusinya. John Wilson dalam bukunya ‘Introduction to Social Movements’ berpendapat bahwa: “A social movement is a conscious, organized attempt to bring about or resist large-scale change in the social order by noninstitutionalized means”.6 Lebih lanjut, hal yang dimaksud gerakan sosial sebagai suatu organized collectivities adalah adanya pembagian tugas dan pengakuan terhadap hierarki mengenai hak dan kewajiban, meskipun terdapat perbedaan mengenai tingkatan dan kerumitan organisasi. Hal ini dapat dipahami bahwa dalam pada perkembangannya gerakan sosial akan memiliki pengorganisasian yang membuka peluang adanya penyusunan strategi, batasan-batasan dalam tindakan dan prilaku, serta tumbuhnya kesamaan identitas. Namun perlu ditekankan kembali bahwa dalam gerakan sosial tidak diperlukan suatu organisasi formal yang secara resmi dibentuk dan dideklarasikan. Gerakan sosial dapat menjadi suatu kolektivitas yang terorganisasi tanpa adanya organisasi formal. Wilson juga menjelaskan bahwa gerakan sosial cenderung menggunaan pendekatan uninstitutionaized untuk mencapai tujuannya. Pola prilaku diartikan sebagai institutionalized 6
J. Wilson, Introduction to Social Movement, Basic Books, New York, 1973, p. 8.
saat hal tersebut telah diterima secara luas sebagai bagian dari masyarakat atau telah terikat dalam masyarakat. Telah banyak metode untuk mengekspresikan keluhan dan mendorong suatu solusi mengenai permasalahan sosial yang telah diterima secara luas. Hal ini termasuk menggunakan petisi, memilih perwakilan untuk suatu badan, menyelesaikan kasus tersebut melalui jalur pegadilan dan mengorganisasikan suatu aksi mogok. Gerakan sosial sebenarnya dapat menggunakan metode-metode tersebut selama pendekatan itu dipandang strategis dan menguntungkan. Namun gerakan sosial lebih cenderung untuk menggunakan metode yang tidak konvensionil atau diluar kebiasaan. Gerakan sosial dapat mengadopsi metode yang tidak ortodok bahkan mungkin illegal dengan tujuan menjadikan gerakan tersebut didengar. Karakteristik lain dari gerakan sosial menurut Wilson adalah tujuan gerakan sosial yang tidak terbatas pada kepentingan anggota-anggotanya. Gerakan sosial tidak harus membatasi tujuannya dalam hal hanya menguntungkan kelompok masyarakat tertentu. Pada dasarnya memungkinkan bagi gerakan sosial untuk memprioritaskan suatu kategori masyarakat tertentu, namun tujuan utama mereka adalah perbaikan kondisi masyarakat secara keseluruhan. Gerakan sosial secara umum menginginkan perubahan yang mereka bawa dapat mempengaruhi masyarakat secara luas. Poin lain yang diajukan Wilson adalah gerakan sosial memiliki potensi keanggotaan yang besar. Meskipun anggota awal atau aktor pendiri gerakan ini umumnya sedikit dan pada perkembangannya anggota yang terdaftar secara resmi mungkin juga tidak terlalu besar, namun ide dan pesan yang dibawa jenis kolektivitas ini berpotensi untuk menarik banyak massa. Terakhir, pemahaman dari Wilson bahwa gerakan sosial adalah gerakan yang secara sadar (conscious) dan bertujuan untuk membawa perubahan merupakan poin penting untuk membatasi gerakan sosial dengan fenomena collective behavior lain, seperti kepanikan massa atau keruntuhan pasar saham yang merupakan sekumpulan tindakan bersama. Hal ini sejalan dengan pendapat Blumer yang melihat bahwa gerakan sosial bertujuan untuk membawa perubahan dalam bentuk kehidupan masyarakat. Mario Diani dalam buku ‘Social Movement: an Introduction’ yang dia tulis bersama Donatella della Porta meyakini bahwa: “Social movements are a distinct social process, consisting of the mechanisms through which actors engaged in collective action: are involved in conflictual
relations with clearly identified opponents; are linked by dense informal networks; share a distinct collective identity”7 Diani dalam definisinya menekankan pada tiga poin yang menjadi karakteristik bagi gerakan sosial. Poin pertama yang diajukan Diani untuk mengidentifikasikan gerakan sosial adalah adanya hubungan konfliktual. Aktor-aktor gerakan sosial yang bertujuan untuk mempromosikan atau menentang gerakan sosial akan terlibat dalam konflik politik atau budaya. Konflik dalam konteks ini diartikan oleh Diani adalah hubungan saling berlawanan antara aktor bertujuan untuk menguasai suau hal yang sama (baik itu berhubungan dengan kekuatan politik, ekonomi ataupun budaya), yang jika terwujud akan mengganggu kepentingan aktor lain. Hubungan konfliktual ini juga membutuhkan adanya aktor lain yang diidentifikasikan sebagai aktor lawan, aktor yang dipandang menghalangi gerakan sosial untuk mencapai tujuannya. Selanjutnya Diani menjelaskan bahwa keberadaan jaringan informal yang padat merupakan karakteristik lain dari gerakan sosial. Karakteristik ini dipandang dapat membedakan proses gerakan sosial dengan banyak contoh aksi kolektif lain. Di dalam proses gerakan sosial terdapat pertukaran sumber daya yang berkesinambungan untuk mencapai tujuan bersama, sembari mempertahankan kemandirian dan otonomi aktor tersebut. Hal ini menjadi penting karena koordinasi mengenai inisiatif spesifik, peraturan mengenai sikap aktor individual, dan strategi yang diambil tergantung kepada negosiasi permanen antara individu dan organisasi yang terlibat dalam tindakan kolektif. Poin terakhir yang diajukan oleh Diani adalah identitas kolektif. Diani meyakini bahwa gerakan sosial bukan sekedar sejumlah protes terhadap isu tertentu, atau kampanye tertentu. Sebaliknya, Diani melihat bahwa proses gerakan sosial terbentuk saat tumbuhnya identitas kolektif yang berkembang tidak hanya terbatas pada kejadian dan insiatif tertentu. Diani mengutip Pizzorno yang mengartikan bahwa identitas kolektif berhubungan erat dengan pengakuan dan pembentukan keterhubungan (connectedness). Diani kemudian mengutip Touraine yang melihat adanya identitas kolektif ini membawa rasa memiliki tujuan dan komitmen bersama, sehingga memungkinkan aktivis dan organisasi tunggal untuk menganggap dirinya terhubung erat dengan aktor lain, tidak harus identik namun setidaknya kompatibel.8
3. Perbedaan antara social movements dengan beberapa jenis collective behavior.
7 8
D. Della Porta dan M. Diani, pp. 20-21. D. Della Porta dan M. Diani, p. 21.
Sub bab ini akan berusaha membedakan social movements dengan beberapa kolektivitas lain yang memiliki kesamaan karakteristik. Hal ini diperlukan karena social movements secara konvensional dipandang sebagai bagian dari collective behavior, dan terdapat beberapa fenomena sosial yang dapat diartikan sebagai bagian dari collective behavior tersebut. Dua jenis kolektivitas dengan batasan yang sulit untuk secara empiris dibedakan adalah partai politik dan kelompok kepentingan. a. Gerakan sosial dan sebagian besar jenis collective behavior lain. Pertama, keberadaan karakteristik organizational yang ditandai adanya pengakuan hierarki dan pembagian tugas merupakan pembeda dasar antara gerakan sosial dan fashion, land booms, fads dan gold rushes. Jenis-jenis fenomena tersebut dapat dipandang sebagai bagian dari collective behavior karena keberadaan karakteristik collective impulse, namun dalam jenis fenomena tersebut tidak terdapat pembagian tugas yang jelas antara individu yang terlibat, tidak ada pengorganisasian secara berkesinambungan dan peraturan mengenai prilaku yang dapat diterima. Meskipun keberadaan organisasi dalam gerakan sosial masih dalam tingkat yang rendah dengan struktur organisasi yang tidak harus lengkap dan rumit, namun masih terdapat pembagian tugas antar anggota gerakan sosial. Di sisi lain terdapat ketiadaan figur pemimpin dan pengikut yang diakui dan dapat diidentifikasi secara jelas. Keberadaan tokoh yang menonjol, dihormati, maupun memiliki pengaruh besar masih memungkinkan akan tetapi tidak secara jelas diakui sebagai pemimpin atau juru bicara kolektivitas tersebut secara keseluruhan. Kedua, pada gerakan sosial terdapat pesan dan ide yang dapat diterima masyarakat secara luas. Hal ini menjadikan gerakan sosial berpotensi untuk mendapatkan dukungan dan basis anggota yang luas. Ide yang dapat diterima secara luas merupakan manifestasi dari tujuan gerakan sosial yang ingin memberikan perubahan pada masyarakat umum, tidak terbatas pada kelompok masyarakat tertentu. Karakteristik ini dapat membatasi gerakan sosial dengan jenis kolektivitas lain dengan gagasan yang sempit dan terbatas, menjadikan cakupan individu yang tertarik menjadi relatif
sedikit. Cakupan potensi pengikut ini sedikit
memberikan perbedaan apakah suatu kolektivitas patut digolongkan sebagai suatu gerakan sosial. Ketiga, gerakan sosial bertujuan untuk membentuk suatu perubahan sosial, menolak suatu perubahan atau mengembalikan kondisi sosial sebelum terjadinya perubahan. Secara sederhana, gerakan sosial merupakan kolektivitas yang secara sadar terbentuk dan memiliki
tujuan. Karakteristik ini membedakan antara gerakan sosial dengan panics atau mass hysteria, yang bereaksi secara kolektif terhadap kondisi yang dialami secara bersama namun tidak bertujuan untuk membangun kembali kehidupan sosial dengan mengatasi akar permasalahannya. b. Gerakan sosial dan partai politik Perbedaan pertama antara gerakan sosial dan partai politik adalah pendekatan yang secara
umum
digunakan.
Gerakan
sosial
cenderung
menggunakan
pendekatan
uninstitutionalized dalam mencapai tujuannya sedangkan partai politik lebih cenderung menggunakan metode yang telah diterima secara luas. Partai politik merupakan suatu kolektivitas yang lebih menekankan penggunaan pemilihan umum untuk mendapatkan kekuasaan. Hal ini berbeda dengan gerakan sosial yang memiliki peluang dan cenderung bertindak di luar kebiasaan dan menggunakan metode-metode unkonvensionil. Usaha gerakan sosial untuk menggunakan metode yang diluar kebiasaan tersebut dapat merupakan manifestasi dari penolakan mereka terhadap sistem politik lama dan status quo yang ada. Meskipun sebenarnya partai politik memiliki kapabilitas untuk mengadopsi pendekatan yang tidak ortodok dan mungkin ilegal, namun gerakan sosial memiliki lebih banyak aspek yang uninstitutionalized dibandingkan bentuk-bentuk organized collectivites lain. Perbedaan berikutnya yang dapat memberikan perbedaan antara partai politik dan gerakan sosial adalah tujuan mereka dalam dimensi politik. Baik gerakan sosial dan partai politik sebenarnya dapat mengklaim bahwa tujuan utama mereka adalah perubahan sosial yang berdampak bagi masyarakat secara keseluruhan, namun partai politik bertujuan untuk mendapatkan posisi berkuasa secara permanen di dalam pemerintahan sedangkan gerakan sosial tidak secara langsung menginginkan posisi penting sebagai pengambil keputusan di pemerintahan. Perbedaan ini pada dasarnya disebabkan karena posisi partai politik berada di dalam pemerintahan sedangkan gerakan sosial berada di luar pemerintahan.
c. Gerakan sosial dan kelompok kepentingan Kelompok kepentingan dan gerakan sosial merupakan suatu kolektivitas memiliki beberapa kemiripan mendasar namun terdapat perbedaan yang dapat mengidentifikasikan antara dua jenis kolektivitas ini. Perbedaan pertama yang penulis ajukan adalah bentuk organisasi. Secara sederhana penulis melihat bahwa gerakan sosial tidak harus memiliki organisasi resmi dan terdaftar. Di sisi lain, kelompok kepentingan merupakan organisasi
formal dengan hierarki dan struktur organisasi yang tinggi dan kompleks. Keberadaan organisasi yang formal merupakan hal penting karena keanggotaan yang terbatas dan jelas merupakan karakteristik dari kelompok kepentingan. Berikutnya, terdapat pemahaman bahwa gerakan sosial tidak harus membatasi tujuanya untuk menguntungkan kelompok tertentu atau mengusung kepentingan anggotanya. Hal ini dapat membedakan gerakan sosial dengan kelompok kepentingan karena kelompok kepentingan merupakan suatu kolektivitas yang meskipun sama-sama tidak menginginkan posisi kekuasaan permanen, namun telah menspesifikasikan tujuannya. Tujuan dari kelompok kepentingan adalah menggunakan jalur komunikasi yang telah diterima secara luas untuk mempengaruhi para pengambil keputusan sehingga menguntungkan anggota dari kelompok kepentingan tersebut. Jenis kolektivitas seperti kelompok kepentingan ini tidak tertarik untuk memperluas tujuannya bagi bagian masyarakat yang dianggap bukan bagian komunitas seperti komunitas ekonomi, politik atau agama yang sama.
4. Tahapan dalam social movements. Untuk menganalisis tahapan perkembangan dan peran yang dijalankan oleh aktivis gerakan sosial, penulis kembali mengadopsi pemikiran Blumer yang dikembangkan oleh della Porta dan Diani serta Christiansen. Blumer menjelaskan bahwa terdapat empat tahapan dalam perkembangan gerakan sosial, dan terdapat perbedaan peran yang diharapkan dari aktivis di tiap tahapan tersebut. Empat tahapan gerakan sosial adalah social ferment, popular excitment, fomalization, dan terakhir adalah institutionalization. Tahapan pertama dari siklus kehidupan gerakan sosial adalah tahap social ferment. Dalam tahap ini, gerakan sosial masih dalam tahap awal dan hampir tidak terdapat pengorganisasian. Tahapan ini dapat diartikan sebagai periode adanya ketidak puasan masyarakat yang meluas.
Para partisipan potensial merasakan ketidak puasan terhadap
kondisi sosial maupun kebijakan tertentu dari pemerintahan, namun tidak mengambil tindakan secara jelas untuk mengatasi permasalahan tersebut. Christiansen melihat tahapan ini belum terbentuk suatu tindakan kolektif, yang terdapat dalam tahapan ini adalah tindakan individual seperti menyuarakan ketidak puasan yang mereka alami kepada lingkungan sekitarnya atau menggunakan media, namun tindakan ini bukan merupakan tindakan kolektif maupun suatu usaha strategis. Lebih jauh, dalam tahapan ini memungkinkan adanya peningkatan liputan dan kritik negatif dari media terhadap kondisi atau kebijakan yang tidak
populer sehingga ketidak puasan ini dapat menyebar. Dalam tahapan ini terdapat situasi social unrest, sehingga masyarakat menjadi sensitif dan mudah terpengaruh terhadap ide dan rangsangan baru. Peran aktivis dalam tahapan ini adalah sebagai agitator atau penghasut. Aktivis tersebut berusaha meningkatkan kesadaran mengenai suatu isu tertentu dan membantu untuk mengembangkan perasaan kecewa dan tidak puas diantara masyarakat umum. Tahapan berikutnya dari siklus ini adalah tahap popular excitement. Tahapan ini ditandai dengan semakin jelasnya perasaan tidak senang. Masyarakat tidak sekedar merasakan perasaan tidak nyaman, namun telah mengidentifikasikan penyebab munculnya perasaan tersebut. Mengutip Rex D. Hopper dalam tulisan Christiansen, dalam tahap ini discontent bukan sekedar individual dan tanpa terkordinasi; perasaan itu cenderung terfokus dan kolektif9. Pada titik ini, aktivis gerakan sosial berperan sebagai pemimpin dan pembawa reformasi dengan ide-ide mengenai hal yang menyebabkan permasalahan di masyarakat, pihak yang seharusnya bertanggung jawab dan cara untuk mencapai perbaikan bentuk kehidupan. Pada dasarnya aktivis berperan untuk mempertajam tujuan gerakan tersebut. Dalam tahapan ini memungkinkan adanya demonstrasi massa untuk menunjukkan kekuatan gerakan sosial dan menetapkan tuntutan-tuntutan mereka. Tahapan
ketiga
adalah
formalization,
didefinisikan
oleh
Blumer
sebagai
perkembangan gerakan yang lebih terorganisasi dengan peraturan, kebijakan, taktik, dan ketertiban10. Christiansen sendiri melihat bahwa tahapan ini ditandai dengan keberhasilan gerakan sosial dalam meningkatkan perhatian masyarakat hingga mencapai titik yang memerlukan adanya strategi yang terkordinasi antar aktor. Gerakan sosial tidak dapat bergantung pada pengerahan massa atau pemimpin inspirasional untuk terus berkembang dalam mencapai tujuannya; diperlukan adanya staf yang secara khusus berkerja untuk menjalankan fungsi organisasi. Dalam tahap ini, gerakan sosial diyakini memiliki pengaruh politik yang lebih besar dibanding tahapan sebelumnya, dan memungkinkan bagi aktivis dalam gerakan sosial tersebut untuk memiliki akses langsung kepada elit-elit politik. Tahapan ini tidak menekankan pada pembentukan organsisasi seperti metode pengorganisasian di partai politik atau kelompok kepentingan. Gerakan sosial umumnya tidak memiliki “keanggotaan” yang terdaftar atau memiliki data dan kartu anggota yang resmi, kantor permanen terdaftar dan lain sebagainya. Di sisi lain tahapan ini juga menunjukkan 9
J. Christiansen, 'Four Stages of Social Movement'. Blumer, p. 203.
10
karakteristik gerakan sosial yang lebih terorganisir dan bertujuan dibandingkan riots dan mobs. Tahapan terakhir dalam siklus hidup gerakan sosial adalah institutionalization. Setelah gerakan sosial muncul (emerge), bersatu, (coalesce), dan berkembang menjadi institusi yang birokratis (bureaucratize), maka suatu gerakan dapat menjadi sukses, gagal, pemimpin gerakan memilih untuk berkooptasi, mengalami tekanan dari kelompok yang lebih besar pada anggota-angggotanya, atau diterima sebagai bagian mainstream. Blumer sendiri meyakini tahapan ini sebagai periode berkembangnya gerakan sosial menjadi bagian organik dari masyarakat dan memiliki struktur professional dengan staf resmi11.
5. Pengaruh suatu social movement terhadap social movements lain. Della Porta dan Diani juga menjelaskan bahwa pilihan mengenai bentuk organisasi dipengaruhi oleh struktur yang telah terbentuk melalui pengadopsian ide, batasan, fasilitas serta kelompok sekutu dan musuh (oposisi). Pada periode mobilisasi, insurgen baru mengasimilasikan masukan dari gerakan yang telah terbentuk. Penelitian mereka memberikan contoh mengenai gerakan siswa yang menyediakan sumber daya organisional untuk pembentukan kelompok lain yang memiliki tujuan yang berbeda, seperti kelompok gerakan dengan tujuan perlindungan hak bagi yang miskin, kelompok perlindungan hewan bahkan bagi gerakan emansipasi wanita. Gerakan-gerakan ini pada gilirannya juga menyebarkan kerangka ideologi, inovasi taktik, struktur organisasi dan metode kepemimpinan bagi gerakan berikutnya seperti gerakan perdamaian. Seiring berjalannya waktu, sekelompok ingatan kolektif mengenai kemungkinan organisional diteruskan dari satu generasi gerakan pada generasi lainnya. Diani dan della Porta mengutip beberapa pemikir seperti Meyer dan Whittier yang melihat bahwa gerakan dapat mempengaruhi gerakan berikutnya melalui perubahan kondisi politik dan budaya di lingkungan eksternal gerakan tersebut, dan dengan mengubah individu, kelompok dan norma yang dimiliki gerakan-gerakan tersebut12.
11 12
Blumer, p. 203. D. Della Porta dan M. Diani, p. 154.
D. Argumen Utama
Berdasarkan rumusan masalah yang diangkat dan kerangka berpikir yang telah dijelaskan, dapat ditarik suatu kesimpulan sementara yang berkaitan dengan proses perkembangan Tamarod dan transformasi peran yang dijalankan di Mesir pada periode pemerintahan Muhammad Morsi. Perkembangan peran yang dimiliki Tamarod dapat diidentifikasi dan dibagi menjadi empat tahapan yaitu: tahapan pertama sebagai agitator yang bertujuan meningkatkan kesadaran mengenai suatu isu tertentu dan membantu mengembangkan perasaan kecewa dan tidak puas diantara masyarakat umum; tahapan kedua sebagai pemimpin dan pembawa reformasi dengan ide-ide mengenai hal yang menyebabkan permasalahan di masyarakat, pihak yang seharusnya bertanggung jawab dan cara untuk mencapai perbaikan bentuk kehidupan; tahapan berikutnya, Tamarod berperan sebagai negarawan, dengan mengkoordinir strategi melalui pengorganisasian yang lebih teratur dan rapi sembari menggunakan pengaruh politik yang dimilikinya untuk berkerjasama dengan aktor lain termasuk elit politik; Terakhir, Tamarod berkembang menjadi institusi resmi di Mesir.
E. Metode Penelitian
Metode penelitian yang akan digunakan dalam tulisan ini adalah metode penelitian kualitatif. Data tersebut kemudian akan penulis komparasikan dengan data-data lain yang menunjang dan berhubungan dengan pembentukan serta perkembangan Tamarod di era Mesir dibawah pemerintahan Morsi. Penulis menggunakan metode studi literatur yang bersumber pada buku, jurnal, dan informasi dari internet untuk menemukan informasi-informasi yang mendukung argumen utama penulis.