BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Swamedikasi adalah penggunaan obat oleh masyarakat untuk tujuan pengobatan tanpa resep atau intervensi dokter (Shankar, et al., 2002). Di Indonesia obat yang dapat digunakan secara swamedikasi adalah obat dari golongan bebas dan obat bebas terbatas. Keuntungan swamedikasi menggunakan obat bebas dan obat bebas terbatas antara lain aman bila digunakan sesuai dengan aturan, efektif untuk menghilangkan keluhan (karena 80% keluhan sakit bersifat self-limiting), efisiensi biaya, efisiensi waktu, lebih mudah karena pengobatan dilakukan sendiri menggunakan obat-obat yang mudah diperoleh, aman karena obat yang dipakai adalah obat yang telah melewati serangkaian pengujian dan tertera aturan (dosis) pemakaian obat, dan meringankan beban pemerintah dalam keterbatasan jumlah tenaga dan sarana kesehatan di masyarakat (Widayati, et al., 2008). Bila digunakan secara benar, obat bebas dan obat bebas terbatas seharusnya bisa sangat membantu masyarakat dalam swamedikasi secara aman dan efektif. Namun sayangnya, seringkali dijumpai bahwa swamedikasi menjadi sangat boros karena menggunakan obat-obat yang sebenarnya tidak dibutuhkan, atau malah bisa berbahaya misalnya karena penggunaan yang tidak sesuai dengan aturan pakai. Bagaimanapun, obat bebas dan obat bebas terbatas bukan berarti bebas efek samping, sehingga pemakaiannya pun harus sesuai dengan indikasi, lama pemakaian yang benar, disertai dengan pengetahuan tentang risiko efek samping dan kontraindikasinya (Suryawati, 1997). Penggunaan obat bebas dan obat bebas terbatas yang sesuai dengan aturan dan kondisi penderita akan mendukung upaya penggunaan obat yang rasional. Kerasionalan penggunaan obat menurut WHO (2012) adalah ketepatan indikasi, kesesuaian
dosis,
mempertimbangkan
kontraindikasi,
memperhatikan
kemungkinan tidak ada efek samping obat, memperhitungkan interaksi dengan obat lain dan makanan, polifarmasi yang tidak diperlukan, harga obat yang
1
2
terjangkau, cara pemberian dan interval yang tepat, lama pemberian obat yang tepat, kepatuhan pasien terhadap pengobatan, dan penggunaan obat yang terbukti efektif dengan mutu terjamin dan aman. Di Indonesia, penduduk yang mengeluh sakit pada tahun 2011 sebanyak 29,31%. Upaya pencarian pengobatan pertama kali yang dilakukan oleh masyarakat yang mengeluh sakit sebagian besar adalah pengobatan sendiri (87,37%). Sisanya mencari pengobatan antara lain ke puskesmas, paramedis, dokter praktek, rumah sakit, balai pengobatan, dan pengobatan tradisional. Di Provinsi Lampung, penduduk yang mengeluh sakit selama 1 bulan terakhir pada tahun 2011 sebesar 30,59%, dan sebesar 88,59% pasien mencari pengobatan sendiri (BPS, 2012). Common cold atau biasa dikenal dengan flu, menduduki peringkat kedua di sepuluh besar penyakit yang ada di Provinsi Lampung tahun 2010, yaitu sebanyak 23,41% dari total kunjungan (Badan Perencanaan dan Pembangunan Daerah Provinsi Lampung, 2012). Common cold merupakan penyakit yang disebabkan oleh infeksi virus di hidung. Gejala common cold adalah bersin, pilek, hidung tersumbat, sakit tenggorokan, batuk, suara serak, dan gejala ringan seperti sakit kepala, demam, menggigil, dan tidak enak badan. Pilek biasanya berlangsung selama satu minggu, pilek ringan berlangsung hanya 2 atau 3 hari, sementara pilek berat dapat berlangsung sampai 2 minggu (Gwaltney, 2000). Berdasarkan observasi awal yang telah dilakukan peneliti ke delapan apotek, common cold merupakan keluhan yang paling banyak dialami oleh pasien di Kota Metro. Rata-rata satu apotek di Kota Metro melayani lebih dari 75 pasien per hari yang mengeluh common cold, dimana jumlah obat common cold yang tersedia di apotek rata-rata lebih dari 50 macam obat. Banyaknya jumlah obat common cold yang tersedia di pasaran mempengaruhi pasien dalam memilih obat. Supardi & Notosiswoyo (2005) memaparkan bahwa pengetahuan pengobatan sendiri umumnya masih rendah dan kesadaran masyarakat untuk membaca label pada kemasan obat juga masih kecil. Sumber informasi utama untuk melakukan pengobatan sendiri umumnya berasal dari media massa.
3
Menurut Suryawati (1997), informasi dari pabrik obat melalui iklan ada yang kurang mendidik masyarakat, bahkan ada yang kurang benar. Ada beberapa metode intervensi yang dapat dipilih sebagai upaya peningkatan pengetahuan dan perilaku dalam swamedikasi common cold, diantaranya melalui konseling, edukasi secara langsung ke pasien, ceramah, diskusi kelompok kecil, cara belajar insan aktif, seminar, media masa, pameran, demonstrasi, dan sebagainya. Intervensi edukasi yang dapat mengatasi masalah salah satunya adalah metode ceramah, dimana metode ini merupakan metode yang banyak dan umum digunakan untuk meningkatkan pengetahuan. Pemakaian metode ini tidak terlepas dari keunggulannya karena sifatnya yang praktis, murah, lebih mudah dilakukan, dan mudah disesuaikan. Cara Belajar Insan Aktif (CBIA) juga merupakan metode intervensi edukasi yang diadopsi dari metode belajar mengajar anak sekolah Cara Belajar Siswa Aktif (CBSA) yang digunakan di Indonesia. Metode ini menumbuhkan sikap kritis dari peserta didik dan menimbulkan motivasi untuk melakukan sesuatu. Tujuan CBIA adalah terbentuknya kemampuan untuk menggali sumber informasi dan meningkatkan kebiasaan berpikir secara kreatif dan kritis, sehingga mampu memecahkan masalah. CBIA telah terbukti efektif dalam meningkatkan pengetahuan dan keterampilan memilih dan mengurangi konsumsi jenis obat keluarga per bulan. Siswa SMA merupakan kelompok masyarakat yang beranjak dewasa. Kemampuan untuk melakukan swamedikasi belum sepenuhnya dikuasai, namun sudah banyak yang melakukan swamedikasi (Widayati, et al, 2008). Siswa SMA Negeri 1 dan SMA Negeri 3 Metro mempunyai kemudahan untuk mengakses obat swamedikasi karena banyaknya apotek di sekitarnya. Berdasarkan uraian di atas, informasi yang tepat merupakan suatu bagian penting dari penggunaan obat secara rasional. Oleh karena itu, perlu dilakukan penelitian untuk mengetahui peranan CBIA dalam peningkatan pengetahuan dan perilaku dalam swamedikasi common cold pada siswa SMA di Kota Metro.
4
B. Perumusan Masalah Berdasarkan uraian latar belakang tersebut dapat dikemukakan bahwa perumusan masalah yang diambil adalah bagaimana pengaruh CBIA terhadap pengetahuan dan perilaku dalam swamedikasi common cold pada siswa SMA di Kota Metro? C. Tujuan Penelitian 1. Tujuan umum: Meningkatkan pengetahuan dan perilaku siswa SMA di Kota Metro dalam swamedikasi common cold. 2. Tujuan khusus: a. Dengan mengadaptasi metode CBIA dapat meningkatkan pengetahuan dan perilaku siswa SMA di Kota Metro dalam swamedikasi common cold. b. Mengetahui perbedaan keefektifan metode CBIA dan metode ceramah dalam swamedikasi common cold pada siswa SMA di Kota Metro.
D. Manfaat Penelitian Penelitian
ini
diharapkan
dapat
mengembangkan
modul
untuk
meningkatkan pengetahuan dan perilaku siswa SMA di Kota Metro dalam swamedikasi common cold secara tepat dan benar.
E. Keaslian Penelitian Penelitian tentang peningkatan pengetahuan dan perilaku siswa SMA di Kota Metro dalam swamedikasi common cold, sepengetahuan peneliti belum pernah dilakukan. Adapun beberapa penelitian yang memiliki kemiripan sebagai berikut. Septyowati (2009) menyatakan bahwa kader CBIA menggunakan obat dengan sesuai aturan, sedangkan pada kader non CBIA meskipun tepat dalam dosis obat namun tidak tepat dalam hal jenis dan lama penggunaan. Pengetahuan obat cenderung meningkatkan kewaspadaan penggunaan obat, serta obat yang dipublikasi pada media elektronik diduga mempengaruhi pilihan nama obat yang
5
akan digunakan. Faktor karakteristik individu, akses, keterpaparan informasi obat media elektronik, serta dukungan tenaga kesehatan dan keluarga cenderung mempengaruhi perilaku pemilihan penggunaan obat bebas. Hal ini dipaparkan dalam penelitiannya yang berjudul Studi Pemilihan dan Penggunaan Obat Bebas dalam Upaya Swamedikasi Pada Kader Kesehatan di Kabupaten Pandeglang. Latumahina (2009) dalam penelitiannya mengenai Penerapan Cara Belajar Aktif (CBA) dalam Penanggulangan Penyakit Kecacingan Pada Anak Sekolah Dasar di Kota Ambon menyatakan bahwa pendidikan dengan metode CBA dapat mempengaruhi perilaku subyek penelitian sehingga terjadi penurunan penderita disertai jumlah telur cacing secara signifikan. Intervensi pendidikan dengan metode CBA terbukti lebih efektif dibandingkan dengan ceramah dalam meningkatkan pengetahuan, keterampilan, dan perilaku hidup bersih dan sehat subyek penelitian tentang penyakit kecacingan. Penelitian Rossetyowati (2012) dengan judul Meningkatkan Pengetahuan, Sikap, dan Perilaku Penggunaan Antibiotik dengan Metode Cara Belajar Ibu Aktif (CBIA) di Kabupaten Jember menyatakan bahwa setelah dilakukan kegiatan CBIA ada peningkatan pengetahuan, sikap, dan perilaku ibu dalam penggunaan antibiotika yang tepat dan memberikan wacana kepada ibu untuk tidak menggunakan antibiotika tanpa resep dokter. Perbedaan dengan penelitian ini yaitu dilakukan peningkatan pengetahuan dan perilaku swamedikasi common cold pada siswa SMA di Kota Metro, dan terdapat kelompok ceramah sebagai pembanding dari kelompok CBIA, selain itu jenis penyakit dan lokasi penelitian juga menjadi perbedaan diantara penelitian lain yang telah dilakukan.