BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang
Media baru atau internet telah mengubah khalayak dalam level yang jauh berbeda. Pada praktik komunikasi massa, media seringkali menempatkan khalayak sebagai komunikan pasif yang menerima pesan secara utuh. Namun, ketika kita membicarakan media baru, terutama dalam situs-situs berplatform 2.0 ke atas, kita akan mendapati bahwa khalayak sudah bukan lagi sekedar komunikan pasif. Situs-situs era 2.0 memungkinkan khalayak untuk merespon secara live pesan-pesan yang disampaikan komunikator. Dengan sistem comment yang tersedia, membuat tanggapan khalayak dapat langsung dilihat oleh komunikator, bahkan oleh komunikan yang lain. Hanya saja, pada internet era 2.0, sensor masih bisa diberikan secara ketat oleh pihak komunikan. Sensor itu semakin menipis seiring dengan berkembangnya teknologi. Ketika kita sekarang memasuki internet era 3.0, sensor hampir mustahil dilakukan oleh pihak media. Fenomena itu dimungkinkan lewat media sosial yang sekarang dapat memiliki pengaruh hampir sama besarnya dengan media mainstream. Lewat media sosial, semua orang dapat mengeluarkan pendapatnya, bahkan mengomentari berita atau pesan-pesan yang dikeluarkan oleh media mainstream. Akibatnya, media internet membuktikan bahwa sebenarnya khalayak memiliki sifat dasar aktif. Internet atau media baru, dengan segala pembaruan yang dibawanya, telah membawa khalayak ke dalam level yang jauh berbeda. Semakin membuktikan pendapat Hall bahwa sebenarnya khalayak selalu bersifat aktif. Di sisi lain, internet juga mengubah pola berkomunikasi komik. Komik sebagai salah satu bentuk kesenian populer (Pop Art) telah mengalami pergeseran penyampaian pesan semenjak internet ada. Kini, dengan adanya internet, model komik yang didistribusikan dalam bentuk buku utuh tidak lagi terlalu penting, justru model komik strip (komik yang terdiri dari satu halaman
14
atau lebih) menjadi lebih mudah menyebar. Komik strip yang bisa didistribusikan dalam satu file kecil berformat .jpeg atau .jpg dapat disebarluaskan oleh para pengguna internet secara masif. Perubahan pola distribusi itu pada akhirnya sangat membantu industri komik Indonesiayang notabene tidak memiliki biaya produksi sebesar industri komik Jepang- untuk dapat berkembang. Banyak tokoh komik Indonesia bermunculan. Menggunakan berbagai platform media sosial seperti Facebook, Twitter, Blog, dll, muncullah karakter khas Indonesia yang dapat diterima masyarakat. Beberapa karakter ataupun serial komik asli Indonesia yang cukup populer adalah: Si Gundul, Suara Akar Rumput, Komik Kampus, dan Si Juki. Ketika akhirnya sebuah karakter komik telah menjadi nyata, sangat mungkin dia melakukan gerakan kampanye, seperti yang dilakukan oleh Si Juki. Si Juki dengan mengandalkan berbagai media sosial yang dimilikinya, serta beberapa platform pihak ketiga seperti twibbon, melakukan digital campaign yang unik. Si Juki, tokoh fiksi itu, mencalonkan diri sebagai Presiden. Meskipun tidak terekam secara luas di media mainstream, tapi model kampanye digital di Internet memungkinkan hal itu terjadi. Pasalnya, kampanye digital memang memungkinkan seorang tokoh atau perusahaan untuk memperkenalkan diri atau brand-nya dengan sangat luas di masyarakat dengan biaya yang jauh lebih sedikit dibanding kampanye di media massa. Biaya produksi yang masih sangat kecil, ditambah dengan belum adanya pajak yang mengikat, membuat biaya yang dikeluarkan untuk kampanye digital bisa sangat minim. Efeknya, tergantung dari kampanye itu sendiri. Akun twitter @id_optimis pernah mengadakan upacara digital yang dihadiri oleh lebih dari 29.000 warga dunia maya pada pukul 11.00 tanggal 17 Agustus 2011. Sebuah angka yang fantastis untuk upacara. Angka yang lebih tepat untuk menggambarkan penonton pertandingan sepakbola, bukan peserta upacara. Sebuah bukti bahwa kampanye digital bisa memiliki efek sebesar kampanye menggunakan media-media above the line. Media baru atau internet dan kampanye digital unik dari Si Juki adalah perpaduan yang menarik untuk diterima khalayak. Dalam kasus ini, khalayak sudah pasti menerima pesan yang menarik dan memiliki kemampuan untuk langsung melakukan feedback terhadap pesan itu.
15
Khalayak dalam media interaktif, tidak lagi sekedar menjadi khalayak pasif, tapi juga menjadi user. Dalam sebuah judul artikel tentang Internet Marketing, pernah dikatakan bahwa “Your reader is your publisher.”Termasuk di dalamnya adalah audiens dalam program kampanye Berani Beda dari tokoh komik si Juki di dalam www.beranibeda.com. Berani Beda adalah program kampanye yang mengusung tokoh komik si Juki untuk menjadi Presiden Republik Indonesia pada periode 2014-2019. Khalayak program kampanye Berani Beda adalah orang-orang yang menjadi pengunjung situs www.beranibeda.com, lalu membaca dan memahami apa saja program yang diusung si Juki untuk membuat Indonesia menjadi lebih baik menurut versinya, hingga kemudian mereka dapat memilih, untuk mendukung program ini atau tidak. Bahkan, untuk khalayak yang sudah merasa sangat setuju dengan gerakan ini, bisa menjadi relawan. Para relawan ini bisa menyumbangkan ide dan karyanya untuk mendukung gerakan Berani Beda. Video testimoni dukungan, artikel di blog tentang Berani Beda, dan bahkan lagu tentang program ini adalah beberapa karya yang dihasilkan oleh para relawan itu. Sedang untuk menjadi pendukung program kampanye Berani Beda, khalayak cukup meng-klik tombol vote yang sudah disediakan. Setelah itu, mereka diminta untuk memajang badge dukungan melalui aplikasi twibbon pada avatartwitter ataupun profile picture facebook. Sekaligus, mereka akan diminta untuk men-tweet kalimat dukungan terhadap gerakan Berani Beda dan otomatis akan dibaca oleh follower dan teman-temannya di facebook. Artinya, secara tak langsung, para khalayak ini mengajak pada lingkaran sosialnya di dunia maya, untuk mendukung gerakan Berani Beda. Khalayak Berani Beda sendiri saat ini terdiri dari banyak elemen masyarakat. Tentu saja, golongan kelas menengah dan anak muda adalah golongan yang mendominasi. Tapi, ada juga sebagian kecil golongan atas dan orang-orang dewasa yang menyatakan dukungannya untuk si Juki. Hal itu bisa terlihat dari beberapa akun twitter yang memajang avatar yang dibubuhi pita dukungan untuk gerakan Berani Beda. Selain itu, aktivitas mereka juga bisa dimonitor melalui hashtag #BeraniBeda di twitter, yang akan secara langsung menunjukan siapa-siapa saja yang tertarik untuk membicarakan program kampanye ini.
16
Data terakhir yang dilansir situs Berani Beda, khalayak dan pendukung program ini saat ini sudah mencapai 5000-an orang. Jumlah yang sedikit untuk ukuran pendukung yang akan mengusung Presiden. Tapi, jika kita bandingkan dengan jumlah relawan program kampanye serupa yang dijalankan oleh Anis Baswedan, yaitu Turun Tangan, ternyata angka 5000 bukanlah angka yang buruk. Menurut situs resminya, Turun Tangan berhasil mendapatkan 37.000-an orang. Artinya, khalayak pendukung Berani Beda sudah mencapai hampir sepertujuh dari relawan Turun Tangan. Pendukung tokoh komik fiksi yang baru saja muncul di tahun 2009, tidak terpaut terlalu jauh dari pendukung tokoh pendidikan yang sudah menggagas banyak program sukses dari tahun 2000an! Khalayak program kampanye “Berani Beda” menjadi fokus utama dalam penelitian ini, karena tindakan mereka terhadap program ini, adalah sebuah sumber pertanyaan yang menarik untuk dikaji. Khalayak program kampanye Berani Beda terbilang cukup unik –karena mereka secara sporadis dari berbagai waktu dan tempat yang berbeda- mau memberikan dukungannya untuk si Juki, seorang tokoh fiksi untuk menjadi presiden. Tanpa komando tiap-tiap daerah seperti gerakan kampanye pada umumnya, mereka dengan senang hati mendukung gerakan Berani Beda, sambil “tanpa sadar” mengajak teman-temannya untuk ikut mendukung gerakan ini. Padahal, seperti kita tahu, jabatan presiden bukanlah jabatan yang sembarangan. Presiden menentukan arah berjalannya sebuah negara. Namun, dengan berbagai macam alasan, orangorang ini menyuarakan dukungannya pada seorang tokoh fiksi untuk menjadi presiden. Seandainya alasan khalayak ini untuk mendukung si Juki menjadi presiden adalah untuk alasan senang-senang dan iseng belaka, maka mungkin kita masih bisa tersenyum. Tapi seandainya mereka memilih si Juki karena sudah semakin pesimis dengan pilihan calon presiden yang ada, tentu saja ini menjadi alarm untuk dunia politik Indonesia. Karena itulah, bagaimana khalayak memaknai pesan yang ada di dalam program kampanye ini, menjadi sesuatu yang memiliki urgensi dan layak untuk dikaji lebih dalam.
B. Rumusan Penelitian 17
Berdasarkan latar belakang masalah yang telah dipaparkan sebelumnya, maka rumusan masalah dari penelitian ini adalah: “Bagaimana khalayak memaknai pesan dalam program kampanye Berani Beda di situs www.beranibeda.com pada Maret sampai Mei 2014?”
C. Tujuan Penelitian
Adapun tujuan dari penelitian ini adalah: 1. Mendeskripsikan makna pesan yang khalayak terima dari program kampanye digital “Berani Beda”. 2. Mendeskripsikanopini khalayak atas program kampanye digital “Berani Beda”. 3. Mendeskripsikanpandangan khalayak atas partisipasinya dalam sebuah praktik kampanye digital. D. Manfaat Penelitian
Penelitian ini diadakan dengan harapan dapat memberikan manfaat sebagai berikut: 1. Untuk memberikan gambaran tentang resepsi audiens terhadap kampanye politik yang menggunakan media online 2. Memberikan gambaran sosial tentang resepsi audiens terhadap kampanye politik seorang tokoh fiksi yang ingin menjadi presiden. 3. Kontribusi terhadap kajian ilmu komunikasi, terutama dalam memberikan referensi tambahan terhadap penelitian selanjutnya mengenai riset audiens di ranah media baru.
E. Kerangka Pemikiran
18
1. Khalayak dalam ilmu komunikasi
Secara bahasa, padanan kata dari khalayak adalah audiens yang sejatinya merupakan serapan dari kata dalam bahasa Inggris: audience. Merujuk pada pendapat Wilbur Schramm, kata audience adalah kata yang familiar sebagai istilah kolektif untuk penerima pesan (receivers) dalam model proses komunikasi massa yang dimanfaatkan oleh para pelopor di ranah penelitian tentang media1. Jadi bisa dikatakan, meskipun khalayak menempati posisi sebagai komunikan dalam alur proses komunikasi, tidak serta-merta khalayak adalah padanan dari komunikan. Khalayak dikhususkan pada komunikan dalam proses komunikasi massa. Karenanya, dalam proses komunikasi lainnya (intrapersonal, interpersonal, kelompok, dll) khalayak bukanlah termasuk dalam komunikannya. Khalayak sudah pasti komunikan, tapi komunikan belum tentu khalayak. Merunut pada sejarah, istilah audiens digunakan untuk penonton pertunjukan musik, pertandingan olahraga, atau teater pada masa Yunani dan Romawi. Pada perkembangannya, istilah itu kemudian mengalami perluasan makna. Khalayak menjadi representasi sebagai penerima pesan dari media massa. Karakteristik yang melingkupi khalayak media massa ini adalah: jumlahnya yang besar, tidak hadir secara fisik (tapi tetap menerima pesan), dan memilih media secara sukarela. Karakteristik terakhir, yaitu memilih media secara sukarela menjadi poin penting dalam kapasitas khalayak sebagai khalayak aktif. Dengan adanya kemampuan untuk memilih, menunjukan bahwa khalayak memiliki kuasa penuh atas media. Sebuah fakta yang dulu sempat tidak diindahkan oleh teori-teori media massa di awal. Seperti dalam teori hipodermik yang akhirnya mendapat banyak kritikan. Dalam model hipotermik ini, masyarakat dianggap tidak memiliki kuasa atas media sama sekali. Media menjadi ‘dewa’ yang mampu memasukkan pesan apapun ke dalam pikiran khalayak dan tidak dapat dilawan. Dalam model hipodermik, khalayak adalah massa yang mudah dipengaruhi ide, pikiran, dan sikapnya2. Tentu saja, pada perkembangannya, banyak teori tentang media massa yang mematahkan pendapat ini. Hingga 1
Denis McQuail. 1997. Audience Analysis. California: SAGE Publications. Hal.1 Todd Gitlin. 2002. Media Sociology: The Dominant Paradigm. Dalam Denis McQuail (ed). McQuail’s Reader in Mass Communication Theory. London: SAGE Publications. Hal.29
2
19
akhirnya, kita sekarang percaya bahwa khalayak aktif jauh lebih memungkinkan dibanding khalayak pasif. Sebenarnya, ketika kita membicarakan tentang hubungan media massa dan khalayak, tidak bisa disederhanakan seperti di atas. Hubungan media massa dan khalayak bukan sebatas pada bagaimana media massa mempengaruhi khalayak. Teoritisi media masih bertentangan dalam upaya mengkonseptualisasikan khalayak. Setidaknya ada dua perdebatan tentang konsep khalayak: yang pertama adalah gagasan mengenai khalayak itu tergolong sebagai masyarakat massa (mass society) atau komunitas (community) dan gagasan mengenai khalayak itu aktif atau pasif.3 Mass society memiliki gagasan yang kurang lebih sama dengan model hipodermik yang telah dijelaskan di atas. Khalayak sebagai mass society diposisikan sebagai massa yang bisa dipengaruhi sikap dan pemikirannya melalui powerful effect yang dimiliki oleh media massa. Dengan menempatkan khalayak sebagai mass society, bisa dikatakan pengaruh media terhadap khalayak dianggap sangat besar. Sedangkan khalayak sebagai community menganggap khalayak terdiri dari beragam kelompok yang terdiversifikasi sesuai dengan nilai, ide, dan minatnya sendiri. Richard T. La Piere dalam bukunya yang berjudul “Theory of Social Control”, berpendapat bahwa lingkungan inti seperti keluarga, rumah, dan jaringan persahabatan lebih mempengaruhi nilai, sikap, dan perilaku individu ketimbang media.4 Dari sini, dikatakan bahwa orang-orang lebih cenderung untuk mencari informasi yang mereka butuhkan, bukannya menyediakan diri sebagai massa untuk dipengaruhi oleh media. Dengan banyaknya media massa yang memiliki beragam kepentingan, khalayak sebagai community dimungkinkan untuk mencari informasi yang mereka inginkan dari media yang mereka percaya. Pesan-pesan yang disampaikan media massa pun tidak serta-merta langsung dipercaya oleh khalayak dan membuat mereka mengubah keyakinannya. Khalayak di sini lebih mempercayai pesan yang ada di lingkaran sosialnya, sehingga pesan media tidak terlalu kuat.
3
Stephen W. Littlejohn. 2002. Theories of Human Communication. Belmont, CA: Wadsworth Thomson Learning. Hal.310. 4 Jay W. Jensen, Theodore Peterson, & William L. Rivers. 2003. Media Massa dan Masyarakat Modern. Edisi Kedua. Jakarta: Kencana. Hal.41
20
Untuk perdebatan tentang khalayak termasuk aktif atau pasif, bisa dibilang cukup senada dengan perdebatan tentang mass society ataupun community. Khalayak pasif memiliki karakteristik yang hampir sama dengan khalayak pada mass society, di mana pesan dari media dapat dengan kuat mempengaruhi gagasannya. Khalayak aktif memiliki karakteristik yang hampir sama dengan khalayak pada community, di mana khalayak memiliki kekuatan untuk menela’ah pesan dari media. Khalayak dianggap aktif dalam memaknai pesan-pesan yang diberikan oleh media (active interpreter) dan tidak begitu saja menerima pesan yang dimaksud komunikator. Pada khalayak ini, pemaknaan yang diambil dari satu pesan yang sama, bisa berbeda-beda antara satu individu dengan individu lainnya.
2. Perkembangan studi khalayak
Studi mengenai khalayak sangat terpengaruh oleh perubahan dan perkembangan media di setiap zaman. Kenyataan itu menyebabkan studi mengenai khalayak terus berkembang dari waktu ke waktu secara pesat, sesuai dengan zamannya. Teknologi juga menjadi pertimbangan tentang studi khalayak, yang saat ini cukup banyak macamnya. Perbedaan sudut pandang masing-masing studi berpayung pada tradisi dan paradigma mengenai khalayak. Beberapa tujuan dari riset khalayak adalah: sebagai bentuk evaluasi media dari perspektif khalayak, mengetahui motif khalayak dalam memilih dan menggunakan media, menemukan interpretasi khalayak atas makna, serta mengeksplorasi konteks penggunaan media. Ada lima tradisi dalam riset khalayak yang dirumuskan oleh Jensen dan Rosengren (1990): studi efek (effect), uses and gratifications, literary criticism, cultural studies, dan analisis resepsi (reception analysis).5 Tradisi itu kemudian disederhanakan kembali dalam tiga besar studi khalayak: structural tradition, behaviourist tradition, serta cultural tradition-reception analysis. Structural tradition mengambil sudut pandang media massa sebagai peneliti. Studi ini bertujuan untuk memenuhi kebutuhan media massa dalam mengidentifikasi khalayaknya. 5
McQuail. Op. Cit. Hal. 16
21
Dengan tujuan itu, banyak penelitiannya bersifat kuantitatif. Sedangkan behaviourist tradition meneliti efek dan penggunaan media pada khalayak. Penelitian tentang efek media menempatkan khalayak sebagai individu yang pasif dalam menerima pesan media. Sedangkan penelitian tentang penggunaan media menempatkan khalayak sebagai individu yang aktif dalam mengolah pesan media. Sedangkan analisis resepsi sendiri merupakan studi khalayak yang cukup baru dan masih muda. Landasan teoritik terbesar dari analisis resepsi adalah pendapat dari Hall bahwa makna teks media tidak melekat pada teks media tersebut, melainkan diciptakan dalam interaksi antara khalayak dengan teks.6 Menurut Hadi, resepsi mencoba memberikan pemahaman sebuah makna atas pemahaman teks media (cetak, elektronik, dan internet) dengan memahami bagaimana karakter teks media dibaca oleh khalayak7. Pendapat itu juga senada dengan Bertrand dan Hughes,
mereka
mengatakan bahwa resepsi merupakan studi yang mempelajari khalayak aktif, khalayak mampu secara selektif memaknai dan memilih makna dari sebuah teks berdasarkan pada posisi sosial dan budaya yang mereka miliki8. Dari dua pendapat itu, kita dapat mengatakan bahwa analisis resepsi merupakan penelitian tentang decoding pesan yang dilakukan oleh khalayak. Konsep decoding ini merujuk pada konsep yang diperkenalkan oleh Stuart Hall tentang decoding dan encoding. Media meng-encode gagasan yang kemudian akan di-decode oleh khalayak. McQuail9 memberikan ketentuan-ketentuan mengenai studi analisis resepsi yaitu: 1. Teks media pada dasarnya harus dibaca dan dimaknai melalui persepsi khalayak. Dengan pemaknaan yang tentu akan saling berbeda satu sama lain, tergantung dari bagaimana latar belakang individu tersebut. Akibatnya adalah pemaknaan dari satu teks media tidak akan bisa diprediksi dan bersifat polisemis. 2. Analisis resepsi menitikberatkan pada proses pemaknaan dari pesan media yang diterima oleh khalayak. Proses adalah kata kunci penting dalam studi analisis resepsi, sekaligus 6
Ido Prijana Hadi. 2008. Penelitian Khalayak dalam Perspektif Reception Analysis. Dalam jurnal ilmiah Scriptura.Vol.(2).No.1.Hal.1-7. Terarsip di: http://puslit.petra.ac.id/journals/pdf.php?PublishedID:IKO0-030101. Diakses: 13 Oktober 2014. 7 Ibid. Hal. 1-2 8 Ina Bertrand & Peter Hughes. 2005. Media Research Methods: Audience, Institutions, Texts. New York. Palgrave Macmillan. Hal. 39. 9 McQuail. Op.Cit. 19-20.
22
menjadi inti dari penelitian ini. Proses akan menuntun peneliti pada resepsi yang dibentuk oleh masyarakat dari sebuah pesan media. 3. Penggunaan media didasarkan pada posisi khalayak sebagai community dan bukan sebagai mass society. Pesan dari media di sini akan diinterpretasikan oleh khalayak setelah melalui proses interaksi dengan lingkaran sosialnya. 4. Khalayak sebagai masyarakat memiliki andil dalam wacana dan kerangka pemaknaan media. Khalayak bukan sekedar masyarakat pasif yang pasrah saja menerima pesan yang disampaikan oleh media, tapi juga memiliki daya tawar untuk mengolah pesan yang diberikan oleh media tersebut. 5. Khalayak tidak bisa dikatakan pasif ataupun sederajat. Khalayak dalam penelitian resepsi adalah khalayak aktif yang bebas membaca dan memaknai pesan sesuai dengan latar belakang sosio kultural mereka ataupun sesuai dengan lingkaran sosialnya. 6. Penelitian tentang resepsi biasanya menggunakan metode penelitian kualitatif. Demikianlah, poin-poin penting tentang analisis resepsi menurut McQuail yang menempatkan khalayak sebagai masyarakat aktif yang memiliki kuasa untuk memaknai pesan dari media. Bagaimana pemaknaan pesan bisa terjadi biasanya sangat tergantung dengan latar belakang sosio kultural dan lingkaran sosialnya.
3. Komunikasi interaktif dan media baru
Perkembangan komunikasi dan media tidak bisa dilepaskan dari teknologi. Dari penemuan mesin cetak, televisi, hingga akhirnya internet, telah merubah pola komunikasi masyarakat suatu negara, bahkan dunia. Tak ayal, saat kita ingin membahas mengenai komunikasi interaktif dan media baru, kita mesti melihat pula perkembangan teknologi, terutama komputer dan internet. Penemuan jaringan internet telah mengubah pola komunikasi, hingga kita menyebutnya dengan komunikasi interaktif. Dengan adanya internet, pola komunikasi massa yang dulu sangat adidaya, perlahan tapi pasti semakin tergeser oleh komunikasi interaktif. John Vivianberpendapat 23
bahwa media baru seperti internet bisa melampaui pola penyebaran pesan media tradisional; sifat internet yang bisa berinteraksi mengaburkan batas geografis, kapasitas interaksi, dan bisa dilakukan secara real time.10 Tabel 1.1 Perbedaan Antara Era Media Pertama dan Kedua11
Era Media Pertama (Broadcast)
Era Media Kedua (Interactivity)
Tersentral (dari satu sumber ke banyak khalayak).
Tersebar (dari banyak sumber ke banyak khalayak).
Komunikasi terjadi satu arah.
Komunikasi terjadi timbal balik atau dua arah.
Terbuka peluang sumber atau media untuk
Tertutupnya penguasaan media dan bebasnya
dikuasai.
kontrol terhadap sumber.
Media merupakan instrumen yang melanggengkan
Media memfasilitasi setiap khalayak (warga
strata dan ketidaksetaraan kelas sosial.
negara).
Terfragmentasinya khalayak dan dianggap sebagai
Khalayak bisa terlihat sesuai dengan karakter dan
massa.
tanpa meninggalkan keragaman identitasnya masing-masing.
Media dianggap dapat atau sebagai alat
Media melibatkan pengalaman khalayak baik
memengaruhi kesadaran.
secara ruang maupun waktu.
Dalam klasifikasi terhadap media lama ataupun baru, terminologi broadcast mewakili media lama sedangkan interactivity mewakili media baru. Holmes membagi dua terminologi media ini dalam perspektif historis menjadi era media pertama (first media age) dengan pola broadcast dan era media kedua (second media age) dengan pola interactivity seperti yang tersaji dalam tabel di atas. Dengan karakteristik dari media baru tersebut, sebenarnya saat membicarakan tentang media baru, tidak selalu merujuk pada internet. Perangkat keras dan lunak yang ada di dalamnya juga termasuk dalam media baru. Saluran-saluran lain selain komputer seperti telepon genggam, smart tv, ataupun google glass juga termasuk sebagai media baru. Sedangkan untuk membicarakan media interaktif bisa dikatakan sebagai struktur kedua dari media baru yang telah kita singgung di atas. Jan Van Djik mengemukakan empat pendekatakan terhadap komunikasi interaktif ini. Pertama, media interaktif memungkinkan 10
Rulli Nasrullah. 2014. Teori dan Riset Media Siber (Cybermedia). Jakarta. Kencana. Hal. 13 Ibid. Hal 14.
11
24
komunikasi banyak pihak atau multilateral communication. Level ini memungkinkan dimensi ruang yang bisa dimasuki oleh banyak pihak sekaligus dalam waktu yang sama. Kedua, terjadinya sinkronisasi bahwa media interaktif dalam dimensi waktu ini menunjukan interaksi antar-pengguna yang bisa dilakukan, baik melalui waktu yang sama maupun pengguna bebas menentukan sendiri waktu komunikasi tanpa menghilangkan atau menghambat proses komunikasi itu sendiri. Ketiga, terjadinya keleluasaan kontrol dari para pengguna yang melakukan interaksi. Dalam proses interaksi, pihak sender dan receiver dapat berpindah posisi dalam waktu yang bersamaan. Batas-batas antara keduanya sudah semakin kabur. Keempat, pada level ini proses interaksi sejalan dengan pemahaman terhadap makna dan konteks yang melibatkan para pengguna. Pada level tertinggi ini, terciptalah pesan-pesan khusus yang bisa dipahami secara universal. Contohnya adalah akronim-akronim barat yang sering digunakan sebagai ekspresi dalam bercakap-cakap di media interaktif, seperti LOL (Laugh Out Loud), CMIIW (Correct Me If I’m Wrong), ataupun emotikon-emotikon yang sudah dipahami oleh sebagian besar pelaku komunikasi interaktif. Pada level ini, komunikasi interaktif sudah mencapai tingkatan tertingginya.12 Jadi, meskipun media baru lebih melibatkan pada perangkat yang melingkupinya, pembicaraan tentang komunikasi interaktif juga melibatkan beberapa aspek para penggunanya. Perangkat hanya akan berjalan sesuai dengan kode-kode ataupun algoritma yang dipasang oleh developer, tapi bagaimana proses komunikasinya, akan tergantung dari bagaimana pemaknaan pesan dari para khalayak (sekaligus komunikator) itu sendiri. Sedangkan tipe-tipe khalayak dalam media baru sendiri sebenarnya cukup beragam. Menurut White dan Le Cornu, khalayak media baru dibagi dalam dua jenis, visitors dan residents.13Visitors atau pengunjung adalah orang yang mendatangi situs-situs tertentu karena dilandasi minat mereka, tapi hanya sebatas itu. Mereka tidak menunjukan rasa kepemilikan terhadap situs itu dan hanya berniat mencari informasi yang dibutuhkan saja dari situs tersebut. Tipe khalayak macam ini sering kita dapati pada situs-situs sumber informasi yang memang hanya memberikan informasi saja, tidak membuat jaringan di dalam situs itu. Sedangkan residents atau penetap adalah pengunjung situs yang juga meninggalkan jejak mereka di situs 12
Jan Van Djik. 2006. The Network Society: Social Aspect of New Media. London. SAGE. Hal.8-9 David S. White & Allison Le Cornu. 2011. Visitor and Residents: A New Typology for Online Engagement. Dalam Rulli Nasrullah. Op.Cit. Hal. 86
13
25
tersebut. Bahkan, tak jarang mereka memiliki rasa kepemilikan yang tinggi terhadap situs tersebut. Biasanya, khalayak macam ini dapat kita temukan pada situs-situs berplatform media sosial.
4. Kampanye sebagai media persuasif
Pace, Peterson, dan Burnett mendefinisikan persuasi sebagai tindakan komunikasi yang bertujuan untuk membuat komunikan mengadopsi pandangan komunikator mengenai suatu hal atau melakukan suatu tindakan tertentu.14 Artinya, saat kita membicarakan tindakan komunikasi yang bertujuan untuk mengubah pemikiran, ide, dan perilaku seseorang, persuasif adalah poin pentingnya. Keterangan itu sangat sesuai dengan pengertian persuasif secara bahasa, yaitu bersifat membujuk secara halus (agar menjadi yakin) yang termaktub dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia. Tentu saja, konteks komunikasi persuasif ini sangat sesuai dengan kampanye. Pada tahun 1940-an kampanye mulai dibedakan konteksnya dengan propaganda. Faktorfaktor seperti sumber, waktu, sifat gagasan, tujuan, modus penerimaan pesan, modus tindakan, dan sifat kepentingan menjadi pembedanya. Venus menyebutkan kriteria kampanye komunikasi berdasarkan 7 karakteristik. Pertama, sumber kampanye selalu memungkinkan untuk diidentifikasi secara pasti dan transparan. Kedua, ada periode waktu tertentu yang membatasi kampanye tersebut. Ketiga, sifat gagasan-gagasan kampanye terbuka untuk diperdebatkan. Keempat, kampanye selalu memiliki tujuan yang jelas dan spesifik. Kelima, kampanye sangat menghindari pendekatan secara koersif. Sesuatu yang tentu saja sangat berbeda dengan propaganda, karena propaganda biasanya memerlukan power untuk mempermulus tujuannya. Keenam, ada kode etik dalam aturan main kampanye dan diikuti oleh semua pihak yang terlibat. Ketujuh, kampanye memperhatikan kepentingan kedua belah pihak demi mencapai tujuan.15
14
Wayne Parce, Brent D. Peterson, & Dallas Burnett. 1979. Techniques For Effective Communication. Ontario. Addison Westley Publishing Company. 15 Venus. 2004. Manajemen Kampanye, Panduan Teoritis dan Praktis dalam Mengefektifkan Kampanye Komunikasi. Bandung. Simbiosa Rekatama Media.
26
Setelah 7 kriteria tersebut dipenuhi, kita dapat membagi kampanye komunikasi yang dilakukan dalam beberapa jenis menurut permasalahan yang disasar. Charles
U. Larson
membaginya ke dalam tiga bagian: a. Product-oriented campaigns Kampanye yang berorientasi pada produk. Sesuai dengan namanya, biasanya kampanye ini digunakan untuk tujuan komersial yang pada akhirnya akan memberikan keuntungan secara finansial bagi pelaku kampanye. Atau dalam bahasa yang lebih sederhana, kita sebut dengan promosi produk. b. Candiate-oriented campaigns Kampanye yang berorientasi pada kandidat. Atau dalam bahasa yang lebih sering kita dengar melalui media massa adalah kampanye politik. c. Ideological or cause-oriented campaigns Kampanye yang berorientasi pada dimensi perubahan sosial. Biasanya, kampanye macam ini merupakan bentuk CSR perusahaan. Namun, dalam berbagai kasus ideologis dan sosial, banyak juga pihak yang berkampanye sosial tanpa mengharapkan balasan apapun secara langsung, melainkan hanya sebagai pembentuk kesadaran sosial di sekitar masyarakat.16
5. Pemaknaan pesan media
Dalam proses komunikasi, kita tidak bisa melepaskan fase pemaknaan di dalamnya. Kegiatan pemaknaan ini sendiri sebenarnya cukup kompleks dalam praktiknya. Pasalnya, untuk terciptanya pemaknaan seperti yang diinginkan oleh komunikator terhadap komunikan, pesan dan channel yang digunakan oleh keduanya harus berada pada pemahaman yang sama. 16
Charles U. Larson. 1992. Persuasion: Reception and Responsibility. Indiana. Wadsworth Pub.
27
Misalnya, dalam proses komunikasi interaktif dan interpersonal menggunakan sms, saat pengirim menggunakan emoticon, apabila si penerima tidak memahami makna dari emoticon itu, pesan yang disampaikan hanyalah sebatas coretan tanda baca tanpa makna yang tidak dipahami oleh komunikan. Dalam konteks komunikasi massa, akan semakin membingungkan lagi. Karena besarnya kemungkinan noise yang akan mungkin melekat pada proses pengiriman pesan dari komunikator kepada khalayak. Apalagi, khalayak adalah bagian dari interpretive communities. Interpretive communities adalah kelompok yang saling berinteraksi, membangun realitas dan makna bersama, serta menerapkannya pada pembacaan yang mereka lakukan.17 Dalam ruang lingkup komunitas interpretatif, biasanya individu yang tergabung dalam kelompok yang sama akan memiliki pemahamaan yang beriringan. Misalnya saat para remaja tinggal di lingkungan yang sama, pergi ke sekolah yang sama, dan beribadah di tempat yang sama. Para remaja itu bisa dikatakan sebagai bagian dari komunitas interpretatif, saat mereka memiliki pemahaman yang sama akan pilihan Presiden pada pemilu 2014 yang lalu.
Pemaknaan sendiri di dalam lingkup para filsuf dan linguis, masih dipersoalkan hubungannya antara bahasa (ujaran), pikiran, dan realitas alam. Sehingga dibutuhkan jawaban yang kuat dari teori yang memang dimunculkan untuk tujuan tersebut. Dan salah satu jenis makna yang bisa digunakan untuk menjawab pertanyaan itu adalah dengan pemaknaan konstektual. Pemaknaan kontekstual adalah makna sebuah leksem atau kata yang berada di dalam suatu konteks. Dalam kasus program kampanye “Berani Beda” sendiri, pemaknaan ini akan merujuk bagaimana sebenarnya konteks Presiden dan pencalonan Si Juki sebagai presiden diterima oleh masyarakat. Pemaknaan semacam inilah yang kemudian membuat pencalonan Si Juki dapat diramalkan pengaruhnya dalam ranahan sosial politik di Indonesia secara umum.
17
Stephen W. Littlejohn. Op.Cit. hal. 184.
28
F. Kerangka Konsep
Penelitian ini berangkat dari studi khalayak, yang menjadikan khalayak sebagai fokus utamanya. Pada penelitian ini, khalayak dari kampanye digital Berani Beda dari Si Juki adalah objek penelitian yang dikaji. User atau pengguna new media situs Berani Beda, yaitu www.beranibeda.com yang dihubungkan secara langsung dengan social media populer, yaitu facebook dan twitter, melalui bantuan platform pihak ketiga, twibbon. Sedangkan proses komunikasi yang ingin dilihat adalah pada proses pemaknaan terhadap pesan yang disampaikan kampanye digital Berani Beda melalui situs tersebut. Tentu saja, pembedahan konsep ini menggunakan reception analysis. Pemaknaan pesan oleh khalayak Berani Beda pada tahun 2014 mengacu pada segala bentuk pemaknaan teks oleh khalayak, baik itu dalam bentuk interpretasi, pemahaman, opini, dan pandangan. Peneliti juga berusaha mengidentifikasi pengalaman dan emosi yang dirasakan oleh khalayak saat ikut serta terlibat dalam program kampanye Berani Beda dengan meng-klik tombol dukung pada situs. Beberapa subkonsep yang akan diteliti, diantaranya: apa yang menjadi alasan untuk ikut mendukung Si Juki menjadi presiden Indonesia 2014; apa yang membedakan Si Juki dengan dua calon Presiden resmi lainnya; dan apa sisi positif dan negatif dari program kampanye Berani Beda di tahun 2014. Pembedahan konsep ini akan menggunakan proposisi khalayak terhadap teks yang ditetapkan oleh Hall19, yaitu: a. Dominant (hegemonic) Reading: pada posisi ini, khalayak menerima sepenuhnya pesan teks yang disampaikan oleh komunikator, berbagi kode teks, dan mereproduksi preferred reading (sebuah pembacaan yang bukan merupakan akibat dari maksud sengaja pengirim pesan). Bisa dibilang, pada posisi ini, pesan tersampaikan secara lazim dan jelas kepada khalayak. b. Negotiated Reading: Khalayak dalam beberapa bagian menerima dan berbagi pesan teks dengan komunikator, bahkan juga mereproduksi preferred reading, namun tetap melakukan modifikasi pesan berdasarkan kepentingan ataupun tujuannya sendiri. 19
Berdasarkan Parkin 1973 dalam Ina Bertrand dan Peter Hughes. Op.Cit. Hal. 54.
29
Sehingga pesan yang disampaikan oleh komunikator tidak seutuhnya diterima oleh khalayak, melainkan masih dinegosiasikan pemaknaannya. c. Oppositional
(counter-hegemonic)
Reading:
Khalayak
dengan
berbagai
latar
belakangnya yang tidak sesuai dengan pesan dari komunikator, memahami preferred reading yang ada, tetapi melawan dan tidak sependapat dengan pesan tersebut. Menjadikan pembaca sebagai oposisi dari teks media, dan memunculkan pesan yang bertentangan. Tabel 1.2 Konsep Operasional Penelitian
Konsep
Makna
Filter
Dalam
Indikator proses
penelitian
- Khalayak
memiliki
analisis resepsi, khalayak
kemampuan
tidak
memilih berita.
diposisikan
sebagai
penerima murni suatu pesan, tapi
juga
bargaining memilah
memiliki power
informasi
untuk yang
masuk.
untuk
- Khalayak memiliki filter untuk
menilai
sebuah
pesan yang disampaikan melalui media baru. - Khalayak
dapat
menemukan yang
komunitas
sesuai
membicarakan
untuk tentang
pesan yang disampaikan oleh komunikan. Interaktifitas
Media
baru
karakteristik berbeda
yang
dengan
konvensional. perbedaan
memiliki
media
Salah yang
mencolok
cukup
satu paling adalah
- Media
tersebar
dalam
beberapa channel - Khalayak
dapat
memberikan timbal balik secara cepat. - Khalayak
bisa
terlihat
interaktifitas yang mungkin
sesuai dengan karakter
dilakukan
dan tanpa meninggalkan
oleh
khalayak.
Konsep ini akan merujuk
keragaman
pada khalayak yang bersifat
masing-masing.
30
identitasnya
aktif pada penelitian analisis
- Media
resepsi.
melibatkan
pengalaman baik
khalayak
secara
ruang
maupun waktu. Interpretive Communities
kelompok berinteraksi,
yang
saling
- Khalayak
membangun
kelompok yang saling
realitas dan makna bersama, serta menerapkannya pada pembacaan
yang
memiliki
berinteraksi. - Khalayak
mereka
realitas
lakukan
membangun dan
makna
bersama
dengan
kelompoknya. - Khalayak
menerapkan
pembacaan
sesuai
dengan kelompoknya. Dominant
(Hegemonic) Khalayak
Reading
menerima
-
Khalayak
meng-klik
sepenuhnya pesan teks yang
tombol vote yang ada di
disampaikan
dalam situs.
oleh
komunikator, berbagi kode teks,
dan
-
mereproduksi
Khalayak badge
preferred reading.
memasang
twibbon
yang
disediakan oleh pihak Si Juki. -
Khalayak
men-share
ulang konten yang ada di dalam
situs
www.beranibeda.com. -
Khalayak
tetap
rajin
mengikuti perkembangan tokoh Si Juki setelah masa kampanye berakhir. -
Khalayak
mengetahui
dan menyetujui seluruh pesan yang ada di dalam kampanye. Negotiated Reading
Khalayak dalam beberapa
31
- Khalayak
mengunjungi
bagian
menerima
dan
situs kampanye Berani
berbagi pesan teks dengan
Beda.
komunikator, namun tetap
- Khalayak
men-share
melakukan modifikasi pesan
konten yang ada di situs,
berdasarkan
tetapi
kepentingan
ataupun tujuannya sendiri.
tetap
mengutarakan pendapatnya
sendiri
terhadap konten tersebut. - Khalayak
mengetahui
dan menyetujui sebagian isi kampanye. Oppositional
(counter- Khalayak
hegemonic) Reading
memahami
- Khalayak
membantah
preferred reading yang ada,
konten yang ada di situs
tapi dan melawan dan tidak
kampanye
sependapat
media-media sosial yang
dengan
pesan
tersebut, lalu memunculkan pesan yang bertentangan.
melalui
mereka miliki. - Khalayak memunculkan konten tandingan untuk menyaingi pesan yang dimunculkan
di
situs
kampanye. - Khalayak
mengetahui
pesan
kampanye,
tidak
setuju
tapi
dengan
pesan tersebut.
Dengan proposisi di atas, peneliti kemudian akan berusaha menemukan preferred reading dari program kampanye Berani Beda. Setelah preferred reading diketahui, barulah peneliti bisa mengkategorikan khalayak ke dalam salah satu proposisi yang ditetapkan oleh Hall tersebut di atas. Terakhir, peneliti akan menganalisis dari mana posisi pembacaan itu terbangun. Hal ini dilakukan dengan mengaitkan latar belakang sosio kultural informan dengan posisinya sebagai khalayak pada program kampanye Berani Beda.
32
G. Metode Penelitian 1. Metode
Penelitian ini merupakan jenis penelitian deskriptif yang bersifat kualitatif. Dengan jenis deskriptif, penelitian ini bertujuan mendeskripsikan fakta dan sifat dari objek yang dikaji secara faktual, sistematis, dan akurat. Penelitian deskriptif mempelajari masalah dalam masyarakat, tata cara yang berlaku dalam masyarakat serta situasi-situasi, sikap, pandangan, proses yang sedang berlangsung, dan pengaruh dari suatu fenomena. Dengan bersifat kualitatif, memungkinkan spontanitas dan adaptasi dalam interaksi antara peneliti dengan partisipan studi.20 Hubungan yang terjalin antara peneliti dengan informan pun bersifat informal, yang memungkinkan fakta yang digali dalam penelitian akan lebih dalam dan terperinci. Penelitian yang meneliti tentang proses penerimaan pesan disebut juga dengan analisis resepsi. Analisis resepsi merupakan tradisi penelitian baru yang masuk dalam 5 tradisi studi khalayak, yaitu studi tentang efek, uses and gratification, literary criticism, cultural studies, dan analisis resepsi. Pada analisis resepsi, khalayak dianggap memiliki kekuatan terhadap media untuk mengolah (decoding) pesan yang disampaikan oleh media. Oleh sebab itu, analisis resepsi berpijak pada pendapat bahwa khalayak adalah merupakan masyarakat aktif yang termasuk juga sebagai community. 2. Teknik Pengumpulan Data
Di dalam analisis resepsi, ada 4 cara pengambilan data yang lazim digunakan. Yaitu wawancara, etnografi, observasi, dan focus group discussion. Pada penelitian ini, metode yang digunakan oleh peneliti untuk mendapatkan data-data secara lengkap adalah wawancara 20
Cynthia Woodsong, Emily Namey, Greg Guest, Kathleen M. Macqueen, & Natasha Mack. 2005. Qualitative Research Methods: A Data Collector’s Field Guide. Research Triangle Park. NC: Family Health International. Hal. 4
33
mendalam (in-depth interview), observasi, dan dokumentasi. Berikut adalah penjelasan dari masing-masing metode: a. Wawancara mendalam (in-depth interview) Melalui wawancara mendalam, peneliti akan mendapatkan pandangan, sikap, dan tanggapan yang terperinci dari informan dan bisa terus berkembang. Informan akan bebas menjawab tentang pemikirannya terhadap program kampanye Berani Beda. Meskipun wawancara bersifat informal, tapi peneliti akan tetap menggunakan pedoman wawancara (interview guide) sebagai landasan pertanyaan-pertanyaan dasar terhadap informan, yang setelah itu akan dikembangkan sesuai jawaban dari informan. Setelah data dari wawancara didapatkan secara lisan, akan dibuat menjadi transkrip. b. Observasi Observasi berfungsi memberikan informasi tambahan yang diperlukan oleh peneliti terkait program kampanye Berani Beda itu sendiri, serta melihat polapola interaksi yang ada pada kegiatan itu. Observasi dilakukan peneliti dengan mengamati situs dan media online Si Juki ketika dan sesudah kampanye berlangsung. c. Dokumentasi Dokumentasi bermanfaat untuk menunjang data-data yang sudah didapatkan peneliti melalui wawancara mendalam dan observasi. Dokumentasi dapat berupa foto, screenshoot, tulisan, karya, dan lain sebagainya yang masih berhubungan dengan program kampanye Berani Beda.
3. Subjek Penelitian
Penelitian ini akan menjadikan dua orang informan sebagai sumber informasi utama. Sampel ini berdasarkan pendapat dari Potter dan Wetherell yang mengatakan bahwa fokus pembahasan ditujuan pada penggunaan bahasa, bukannya individu dan bahwa pola-pola
34
kewacanaan bisa diciptakan dan dipertahankan oleh beberapa orang saja.21 Dua orang informan yang dipilih ini memiliki latar belakang sosial yang berbeda, sehingga ada kemungkinan keduanya akan saling menjadi anti-thesis dari masing-masing pendapat yang didapat. Dengan begitu, pemaknaan akan semakin dalam dapat digali. Adapun kriteria-kriteria yang peneliti tetapkan untuk informan adalah merupakan follower akun twitter Si Juki (@JukiHoki) atau menyukai fanspage Juki Hoki di facebook, yang berarti juga harus memiliki akun di sosial media. Selain itu informan juga harus meng-klik tombol DUKUNG pada situs www.beranibeda.com yang merupakan poin utama dalam program kampanye Berani Beda. Memiliki latar belakang yang berbeda satu sama lain (umur, jenis kelamin, pendidikan, dan pekerjaan). Terakhir, berdomisili di wilayah Yogyakarta. Berikut adalah alasan kriteria-kriteria tersebut: 1. Twitter dan Facebook Si Juki merupakan elemen penting dari Si Juki untuk berkomunikasi dengan pembaca komiknya. Selain itu, Twitter dan Facebook juga merupakan syarat penting untuk dapat turut serta dalam program kampanye Berani Beda. 2. Tombol DUKUNG pada situs www.beranibeda.com merupakan inti dari program kampanye Si Juki yang menunjukan bahwa orang tersebut mendukung Si Juki untuk menjadi Presiden Indonesia pada periode 2014-2019. Dengan meng-klik tombol DUKUNG, berarti orang tersebut telah membaca pesan-pesan teks yang ada pada program kampanye Berani Beda. 3. Dengan adanya latar belakang yang berbeda, besar kemungkinan akan muncul pemaknaan pesan yang berbeda dari setiap individu dari teks yang sama. 4. Kota Yogyakarta merupakan kota penuh tradisi yang pembuatannya sangat terstruktur dan terencana. Bahkan, Civic center (CBD) yang dimilikinya berfungsi sebagai pusat bagi berbagai macam kegiatan penduduk, baik sebagai pusat politik, spiritual, ekonomi, pertahanan, dan rekreasi (Kostof, 1992). Ditambah dengan fakta bahwa Yogyakarta disebut sebagai kota pendidikan. Akibatnya, tingkat imigrasi di Kota
21
Marianne W. Jorgensen & Louise J. Phillips. 2007. Analisis Wacana, Teori dan Metode. Yogyakarta. Pustaka Pelajar. Hal.217
35
Yogyakarta sangat tinggi. Sehingga secara sosio kultural, Yogyakarta bisa disebut sebagai “Indonesia Mini”.
4. Teknik Analisis Data
Data pada penelitian ini dibagi menjadi 7 kategori, yaitu: Penggunaan New media; Pengalaman Emosional Pribadi; Pemahaman Politik; Perayaan Pesta Demokrasi Indonesia; Visi, Misi, dan Program Kerja Si Juki dalam Berani Beda; Alasan Memilih Si Juki; Dampak dari Program Kampanye Berani Beda. Sedangkan analisis data terdiri dari tiga elemen kegiatan, yaitu reduksi data, penyajian data, dan penarikan kesimpulan/verifikasi22. Berikut penjelasan dari ketiga elemen itu: 1. Reduksi Data Reduksi data adalah proses pemilihan, pemusatan perhatian pada penyederhanaan, pengabstrakan, dan transformasi data-data kasar yang muncul dari catatan-catatan tertulis di lapangan. Reduksi data dilakukan dengan memilih bagian-bagian mana yang dikode, membuang data, membuat pola-pola untuk meringkas bagian-bagian yang tersebar, dan mengungkapkan cerita yang sedang berkembang. 2. Penyajian Data Penyajian data adalah kumpulan informasi tersusun yang memberi kemungkinan adanya penarikan kesimpulan dan pengambilan tindakan. Dengan melihat penyajian data maka dapat dipahami apa yang sedang terjadi dan apa yang harus dilakukan berdasarkan pemahaman yang diperoleh dari penyajian-penyajian data tersebut. Penyajian data dilakukan dengan tabel, dan teks naratif. 3. Menarik Kesimpulan/Verifikasi Dari permulaan pengumpulan data, seorang penganalisis kualitatif mulai mencari arti benda-benda, mencatat keteraturan, pola-pola, penjelasan, konfigurasi yang mungkin, alur sebab-akibat, dan proposisi. Bagian ini akan berisi analisis dan interpretasi data 22
Matthew B. Miles dan Michael Huberman. 1992. Analisis Data Kualitatif: Buku Sumber Tentang Metode-Metode Baru. Jakarta: UI Press. Hal. 16-19.
36
resepsi audiens. Data yang didapat tersebut kemudian akan dijelaskan dengan mengaitkan pada konteks, baik konteks isi media maupun konteks sosial yang luas, dengan merujuk pada konsep/teori berdasarkan literatur.
37