BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Studi ini membahas tentang konflik tanah ulayat antara Nagari Lubuk Kilangan dengan PT Semen Padang (PT SP) di Kota Padang Provinsi Sumbar. Sebagai pabrik semen tertua di Indonesia, PT SP tidak terlepas dari konflik tanah ulayat. Hal ini bermula dari meningkatnya permintaan semen nasional yang mendorong PT SP yang tergabung dalam PT Semen Gresik Group untuk melakukan pengembangan pabrik dalam rangka menambah kapasitas produksi. Bukit Tarjarang dan Batu Tinggi (selanjutnya dikenal dengan Bukit Karang Putih) dengan luas mencapai 412,03 ha menjadi pilihan sumber bahan baku bagi pengembangan pabrik. Kawasan ini telah dieksplorasi sejak tahun 1974 bekerjasama dengan Direktorat Geologi Departemen Pertambangan1. Disamping sebagai sumber bahan baku, pabrik Indarung VI pun direncanakan akan dibangun pada lahan tersebut. Berdasarkan studi kelayakan yang dilakukan PT SP, pabrik Indarung VI ditargetkan memiliki kapasitas produksi 2,5 juta ton/tahun dengan umur cadangan bahan baku ± 60 tahun2. Persoalannya adalah lahan 412,03 ha tersebut merupakan tanah ulayat Nagari Lubuk Kilangan. Bagi masyarakat adat Minangkabau, tanah ulayat merupakan salah satu pilar yang mendukung pembentukan masyarakat hukum adat. Tanah ulayat erat kaitannya dengan sistem matrilineal yang dianut oleh masyarakat Minangkabau. Sebagai konsekuensi dari sistem matrilineal, tanah ulayat merupakan salah satu harato pusako di Minangkabau yang dikuasai oleh kaum perempuan atau ibu. Sedangkan laki-laki di Minangkabau merupakan pelindung atas segala harta benda tersebut. Hukum adat Minangkabau tidak mengenal adanya sistem jual beli dalam pemanfaatan tanah ulayat. Pihak lain yang bukan warga hukum adat dapat memanfaatkan tanah ulayat dengan prinsip saling menguntungkan melalui musyawarah dengan kaedah ‘adat diisi, limbago dituang’. Bagi anak nagari yang menggarap tanah ulayat maka berlaku sistem siliah jariah yang merupakan ganti rugi 1
Historikal Penyelidikan Batu Kapur di Kuari Bukit Tarjarang dan Batu Tinggi (SIPD 412 Ha) Serta Bukit Karang Putih (SIPD 206 Ha) PT Semen Padang, hal3 2 Catatan Pertemuan Dengan DPR Republik Indonesia Komisi VI Dalam Kunjungan Kerja ke PT Semen Padang, 26 Juli 2011, hal 3
1
jerih payah atas tanah ulayat yang digarap. Konsep ‘adat diiisi limbago dituang’ dan siliah jariah bukan berarti ganti rugi tanah dalam makna pelepasan hak atas tanah secara hukum melainkan hanya pemberian kompensasi kepada pemegang hak penguasaan tanah ulayat untuk mendapatkan hak pakai. Upaya memperoleh izin pemanfaatan lahan oleh PT SP pada tanah ulayat 412,03 ha menarik untuk dikaji. Hal ini disebabkan karena terjadinya reproduksi konflik dalam pembangunan pabrik tersebut sejak zaman reformasi. Dua isu konflik yang paling menonjol dalam perjalanan PT SP adalah masalah privatisasi dan spin off. Dalam dua dasawarsa terakhir, kasus yang menguat adalah rencana pembangunan pabrik Indarung VI pada tanah ulayat 412,03 ha. Konflik ini bukan hanya antara korporasi dan masyarakat adat melainkan telah berkembang menjadi konflik antar korporasi, masyarakat adat, dan pemerintah. Konflik tanah ulayat 412,03 ha bermula dari pemberian izin pertambangan daerah oleh Pemerintah Provinsi Sumbar. PT SP mendapatkan izin melalui SK Gubernur Sumbar perihal Surat Pemberian Izin Pertambangan Daerah (SIPD) Eksploitasi No 503.545/9/EXPL/DTB-1997 tanggal 6 Juni 1997 dimana lahan yang diizinkan merupakan tanah ulayat Nagari Lubuk Kilangan. Belakangan diketahui bahwa Pemprov Sumbar dan PT SP tidak melibatkan Nagari Lubuk Kilangan dalam proses pemberian izin tersebut. Pemerintah daerah sebenarnya telah mengatur dan melindungi adanya hak ulayat dalam pemilikan tanah di Nagari Lubuk Kilangan, yaitu melalui Peraturan Daerah Provinsi Sumbar No 16 Tahun 2008 tentang Tanah Ulayat dan Pemanfaatannya. Namun di sisi lain, PT SP sebagai industri strategis nasional memerlukan dukungan berupa izin pemanfaatan lahan tersebut untuk pengembangan produksi guna memenuhi kebutuhan domestik. Berdasarkan permasalahan di atas, penulis tertarik melakukan penelitian mengenai posisi, kepentingan dan otoritas para aktor dalam konflik tanah ulayat seluas 412,03 ha di Nagari Lubuk Kilangan. Kajian ini berkaitan dengan upaya pemanfaatan tanah ulayat oleh PT SP, tuntutan pembayaran siliah jariah masyarakat Nagari Lubuk Kilangan, dan tarik menarik dukungan pemerintah daerah.
2
B. Rumusan Masalah Rencana PT SP untuk melakukan pemanfaatan lahan 412,03 ha di Bukit Karang Putih telah memunculkan konflik yang tidak dapat dihindarkan antara Nagari Lubuk Kilangan, PT SP dan pemerintah daerah. Konflik tanah ulayat ini meliputi status tanah dan harga ganti rugi tanaman dan tanah (siliah jariah). Hal tersebut mendorong terjadinya eskalasi konflik yang mengancam terhambatnya pembangunan Indarung VI. Jika dicermati lebih jauh, pembangunan mega proyek pabrik Indarung VI justru memunculkan harapan meningkatnya pertumbuhan ekonomi Sumbar. Berdasarkan permasalahan tersebut, dirumuskan pertanyaan sebagai berikut: 1.
Bagaimana anatomi dan dinamika konflik pemanfaatan tanah ulayat 412,03 ha ?
2.
Bagaimana upaya penyelesaian konflik pemanfaatan tanah ulayat 412,03 ha yang telah dilakukan?
C. Tujuan Penelitian Mengacu pada perumusan masalah yang dikemukakan di atas, tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah: 1.
Mengetahui anatomi dan dinamika konflik dalam pemanfaatan tanah ulayat 412,03 ha.
2.
Mengetahui upaya penyelesaian konflik pemanfaatan tanah ulayat 412,03 ha yang telah dilakukan.
D. Manfaat Penelitian Sedangkan manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah: 1.
Secara teoritis, penelitian ini diharapkan dapat menjadi literatur baru dalam studi empiris yang berkaitan dengan konflik tanah ulayat khususnya konflik pemanfaatan tanah ulayat pada masyarakat adat Minangkabau yang melibatkan korporasi, masyarakat adat, dan pemerintah.
2.
Secara praktis, hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi salah satu bahan evaluasi dan rekomendasi bagi pemerintah baik pusat maupun daerah dalam menentukan kebijakan di bidang pertanahan dan pengelolaan pertambangan terutama yang berkaitan dengan tanah ulayat. 3
E. Kerangka Teori 1.
Konsep Konflik
1.1. Pengertian Konflik Konflik merupakan sesuatu yang lumrah dan tidak dapat dihindari dalam kehidupan sosial. Setiap kelompok atau masyarakat selalu menghadapi kemungkinan akan terjadinya konflik sebagaimana juga yang terjadi pada tanah ulayat di Nagari Lubuk Kilangan seluas 412,03 hektar. Susan (2010:8) berpendapat bahwa, manusia adalah makhluk konfliktis (homo conflictus), yaitu makhluk yang selalu terlibat dalam perbedaan, pertentangan, dan persaingan baik sukarela maupun terpaksa. Pruitt dan Rubin (2009:9-10) mendifinisikan konflik sebagai persepsi perbedaan kepentingan (perceived divergence of interest), atau suatu kepercayaan bahwa aspirasi pihak-pihak yang berkonflik tidak dapat dicapai secara simultan. Memahami konflik pada dimensi ini, menurut Susan (2010:9), unsur-unsur konflik adalah persepsi, aspirasi, dan aktor. Artinya, dalam dunia sosial yang ditemukan persepsi maka akan ditemukan pula aspirasi dan aktor. Sementara itu, Mitchell dalam Fisher (2000:4) mengartikan konflik sebagai hubungan antara dua pihak atau lebih (individu atau kelompok) yang memiliki atau yang merasa memiliki sasaran-sasaran yang tidak sejalan. Dahrendrof merupakan tokoh utama yang berpendirian bahwa masyarakat memiliki dua wajah, yaitu konsenus dan konflik (Surata dan Andrianto 2001:21, Ritzer dan Goodman 2010:153). Menurut Dahrendrof, setiap organisasi sosial akan menunjukkan realita: -
Setiap sistem sosial akan menampilkan konflik yang berkesinambungan,
-
Konflik dimunculkan oleh kepentingan oposisi yang tak terhindarkan,
-
Kepentingan oposisi tersebut merupakan refleksi dari perbedaan distribusi kekuasaan di antara kelompok dominan dan kelompok lapisan bawah,
-
Kepentingan akan selalu membuat polarisasi ke dalam dua kelompok yang berkonflik,
-
Konflik selalu bersifat dialektik karena resolusi terhadap suatu konflik akan menciptakan serangkaian kepentingan oposisi yang baru, dan dalam kondisi tertentu akan memunculkan konflik berikutnya, 4
-
Perubahan sosial selalu ada pada setiap sistem sosial, dan hal ini merupakan hasil yang tidak terhindarkan dari konflik dialektik dan aneka tipe pola institusional. Dalam penelitian ini digunakan definisi konflik dengan pendekatan
Dahrendorf. Konflik merupakan perbedaan kepentingan nyata yang tidak terhindarkan yang berasal dari otoritas sebagai sumber yang langka. Perbedaan kepentingan dikarenakan struktur sosial dan konflik hanya timbul jika kesadaran akan kerugian dalam setiap keputusan pemegang otoritas, dan harus ada kelompok pejuang.
1.2. Penyebab konflik Bagi Dahrendrof dalam Susan (2009:55), konflik hanya muncul melalui relasirelasi sosial dalam sistem. Setiap individu atau kelompok yang tidak terhubung dalam sistem tidak akan mungkin terlibat dalam konflik. Dahrendrof memahami relasi-relasi dalam struktur sosial ditentukan oleh kekuasaan. Lebih jauh, Coser dalam Surata dan Andrianto (2001:23) mengatakan bahwa, konflik disebabkan oleh adanya kelompok lapisan bawah yang semakin mempertanyakan legitimasi keberadaan distribusi sumber-sumber langka. Pertanyaan tentang legitimasi tersebut diakibatkan oleh kecilnya saluran untuk menyampaikan keluhan-keluhan yang ada, dan perubahan deprivasi absolut ke relatif. Pendapat Coser tentang penyebab konflik adalah kekuasaan atau wewenang, merupakan konsep teori sentral dan landasan umum dari berbagai teori konflik. Berkaitan dengan perbedaan wewenang ini, Wahyudi dalam Surata dan Andrianto (2001:4) menjelaskan, bahwa konflik sosial bersumber dari adanya distribusi kekuasaan yang tidak merata. Distribusi yang tidak merata ini akan menjadikan masyarakat berada pada posisi yang berbeda sehingga memicu timbulnya konflik. Dalam banyak situasi, terdapat lebih dari satu penyebab konflik. Hugo Van Der Merwe dalam Fisher (2000:8), memberikan ringkasan teori-teori utama mengenai penyebab konflik. Ada 2 (dua) teori utama Hugo Van Der Merwe yang digunakan dalam penelitian ini sebagai indikasi penyebab konflik tanah ulayat 412,03 ha di Nagari Lubuk Kilangan, yaitu teori identitas dan teori kebutuhan manusia. Teori identitas, memiliki asumsi bahwa konflik disebabkan identitas yang terancam, sering berakar pada hilangya sesuatu atau penderitaan di masa lalu yang tidak diselesaikan. Lebih jauh Trijono (2007:24) menjelaskan, bahwa penguatan identitas kolektif bisa 5
menjadi sumber konflik karena identitas kelompok (sense of identity) juga merupakan sumber kebanggaan, kebahagiaan, kekuatan dan kepercayaan orang, kelompok, dan komunitas, yang sangat penting bagi pengembangan kapasitas dan modal sosial untuk pembangunan. Teori kebutuhan manusia, memiliki asumsi bahwa konflik yang berakar dalam disebabkan oleh kebutuhan dasar manusia --fisik, mental, sosial-- yang tidak terpenuhi atau dihalangi. Kebutuhan manusia yang mendasar harus dipenuhi jika ingin menciptakan masyarakat yang stabil. Keamanan, identitas, pengakuan, partisipasi, dan otonomi sering menjadi inti pembicaraan. Dalam masyarakat yang multikultur, konflik tak bisa dihindari kecuali jika kebutuhan identitasnya terpenuhi dan dalam setiap sistem sosialnya ada keadilan yang merata, rasa penguasaan, serta kemungkinan memperoleh semua kebutuhan pembangunan masyarakat. Hadi, dkk (2006:22-24) mengatakan bahwa, kajian konflik menunjukkan bahwa walaupun identitas merupakan satu faktor yang secara random muncul, faktor identitas secara metodologis belum merupakan kondisi yang mencukupi atau perlu (sufficient or necessary condition) bagi pecahnya suatu konflik. Michael E Brown merupakan salah satu ahli yang meragukan faktor identitas sebagai penyebab konflik3. Brown menegaskan bahwa faktor identitas secara random berperan sebagai inisiator konflik jika identitas berinteraksi dengan salah satu atau kombinasi dari empat faktor berikut. Yaitu, (1) faktor struktural yang terkait dengan proses pembentukan negara bangsa; (2) faktor politik yang bersumber dari cara negara dikelola; (3) faktor ekonomi dan sosial yang dibentuk dari kemampuan masyarakat dan negara untuk membentuk suatu struktur yang menjamin terpenuhinya kebutuhan dasar (basic human needs) masyarakat; dan (4) faktor budaya yang melihat sejauh mana proses pembentukan identitas kultural berpengaruh dalam interaksi antar kelompok sosial.
1.3. Aktor-aktor Konflik Dahrendrof dalam Susan (2009:57) membagi dua kelompok yang terlibat dalam lingkaran konflik. Pertama, kelompok semu (quasi groups). Subordinat menyadari ketertindasan mereka namun masih belum memiliki kepentingan untuk
3
Disintegrasi Pasca Orde Baru: Negara, Konflik Lokal dan Dinamika Internasional, hal 22-24
6
mengubah posisi subordinat. Mereka hanya memiliki kepentingan semu (latent interest) yang berada di level individu, tersimpan di bawah sadar. Namun, kepentingan semu ini tersebar pada mereka yang ditindas sebagai kelompok subordinasi. Sehingga menciptakan kelompok semu pula (quasi groups). Kedua, kelompok kepentingan (interest groups). Kepentingan semu dari kelompok semu menjadi kepentingan nyata (manifest interest) tatkala ada proses penyadaran yang dilakukan oleh beberapa orang yang terlebih dahulu mengerti kepentingan yang akan diperjuangkan. Dahrendrof mempersyaratkan beberapa kondisi sosiologis agar formasi kelompok kepentingan laten bisa menjadi kepentingan nyata: (1) dalam kelompok laten terdapat pemimpin yang berani dengan hubungan konflik; (2) kelompok memiliki ideologi konflik; (3) parra anggota kelompok laten memiliki kebebasan untuk mengorganisasi konflik; (4) memiliki anggota-anggota yang komitmen dan berkomunikasi diantara sesama.
1.4. Dinamika Konflik Setiap konflik memiliki peluang untuk mengalami peningkatan intensitas termasuk konflik tanah ulayat 412,03 ha pada kawasan industri PT SP. Pruit dan Rubbin (2004:195-196) menjelaskan, bahwa eskalasi akan semakin meningkat apabila persepsi yang tinggi mengenai kekuasaan, persepsi yang rendah mengenai potensi integratif, dan aspirasi yang tinggi terutama bila hal ini ada pada kedua belah pihak. Kemungkinan terjadinya eskalasi akan berkurang (sehingga situasinya cenderung mengarah pada stabilitas) dengan adanya norma dan lembaga yang membatasi konflik, ketakutan akan terjadinya eskalasi, pertalian diantara antagonis-antagonis potensial, serta pertalian dengan pihak ketiga dan keempat yang diharapkan dapat mengatasi konflik. Dalam menganalisis konflik tanah ulayat ini digunakan spiral eskalasi untuk menentukan letak konflik. Menurut IDEA (2000:48-49), ada empat tahapan yang dilalui oleh konflik, yaitu; diskusi, polarisasi, segregasi, dan destruksi. Tahap pertama, diskusi. Dalam situasi ini terdapat perbedaan pendapat antara pihak-pihak namun masih cukup dekat untuk bekerjasama. Hubungan antara kedua pihak diwarnai dengan kepercayaan dan saling menghargai. Isu-isu yang ditekankan dalam pertikaian adalah isu substantif dan objektif. Kemungkinan hasilnya diasumsikan mampu 7
memuaskan kedua belah pihak, solusi sama-sama menang. Metode yang dipilih untuk mengelola konflik adalah melalui kerjasama untuk mencapai penyelesaian bersama. Kedua, polarisasi. Kedua pihak mulai memberikan jarak, menarik diri dan menjauh satu sama lain. Komunikasi mulai tidak langsung dan bergantung pada interpretasi, selanjutnya persepsi mengenai pihak lainnya mengeras menjadi stereotip. Hubungan memburuk menjadi hubungan yang saling menghormati menjadi lebih dingin ketika semua pihak memandang pihak lain sebagai pihak yang tidak penting. Isu-isu yang ditekankan bukan lagi elemen yang obyektif, namun bergeser ke kecemasan psikologis mengenai hubungan itu. Hasilnya bukan lagi kemenangan kedua pihak, namun kompromi untuk memenangkan sebagian dan kehilangan yang lainnya. Metode pengelolaan konflik bergeser dari pembuatan kebijakan bersama menjadi negosiasi kompetitif. Ketiga, segregasi. Dalam tahap ini, kedua pihak saling menjauh dari pihak lawannya. Komunikasi terbatas pada ancaman. Persepsi menguat menjadi gambaran ”kita sebagai yang baik dan mereka sebagai yang jahat”. Hubungan diwarnai ketidakpercayaan dan tidak saling menghargai. Isu yang ditekankan dalam pertikaian ini adalah kepentingan dan nilai utama setiap kelompok. Hasilnya dianggap sebagai perhitungan zero-sum; situasi kalah atau menang sederhana. Dan metode yang dipilih adalah kompetisi defensif, ketika masing-masing pihak berusaha melindungi kepentingannya sendiri dan berusaha lebih cerdik dari lawannya. Keempat, destruksi. Ini merupakan tahap permusuhan yang sepenuhnya. Komunikasi hanya berupa kekerasan langsung atau tanpa hubungan sama sekali. Untuk menjustifikasi kekerasan, persepsi mengenai pihak lain menjadi penjelasan yang memojokkan mengenai pihak lawan sebagai bukan manusia, psikopat atau lainnya. Hubungannya dianggap berada dalam kondisi tanpa harapan. Isu yang ditekankan kini hanyalah keselamatan suatu pihak terhadap agresi pihak lainnya. Kemungkinan hasil yang dipersepsikan adalah sama-sama kalah. Metode yang digunakan untuk mengelola konflik pada tahap ini adalah usaha untuk menghancurkan pihak lawan; suatu keadaan perang. Hal senada juga diungkapkan oleh Fisher (2000: 19-20) tentang tahapantahapan konflik. Fisher membagi konflik menjadi 5 (lima) tahap. Tahap pertama, prakonflik, yakni terdapat suatu ketidaksesuaian sasaran diantara dua pihak atau lebih 8
sehingga muncul konflik. Pada tahap ini terdapat ketegangan hubungan diantara beberapa pihak dan/atau keinginan untuk menghindari kontak satu sama lain. Konflik yang semula berada di bawah permukaan mulai bergejolak. Tahap kedua, konfrontasi. Pada tahap ini konflik menjadi semakin terbuka karena masing-masing pihak saling mengumpulkan sumberdaya dan kekuatan untuk dapat meningkatkan konfrontasi dan kekerasan. Hubungan diantara kedua pihak menjadi sangat tegang, mengarah pada polarisasi diantara para pendukung di masingmasing pihak. Tahap ketiga, krisis. Ini merupakan puncak konflik yakni ketika ketegangan dan/atau kekerasan terjadi paling hebat. Komunikasi normal diantara kedua pihak kemungkinan terputus dan pernyataan-pernyataan umum cenderung menuduh dan menentang pihak lainnya. Tahap keempat, akibat. Dalam tahap ini dimana tingkat ketegangan, konfrontasi, dan kekerasan agak menurun dengan kemungkinan adanya penyelesaian. Satu pihak mungkin menaklukan pihak lain atau suatu pihak menyerah atas desakan pihak lain. Kedua pihak mungkin setuju bernegosiasi dengan atau tanpa bantuan perantara. Tahap kelima adalah pascakonflik, yakni situasi diselesaikan dengan cara mengakhiri berbagai konfrontasi kekerasan, ketegangan berkurang, dan hubungan mengarah ke lebih normal diantara kedua pihak. Namun, jika saja isu-isu dan masalah yang saling bertentangan tersebut tidak diatasi dengan baik, tahap ini sering kembali lagi menjadi situasi prakonflik. Berdasarkan teori tahapan konflik di atas dapat disimpulkan bahwa konflik dapat mengalami eskalasi dalam waktu yang sangat lama sehingga menimbulkan kerusakan. Konflik berubah setiap saat melalui berbagai aktivitas yang berbeda sehingga muncul situasi dimana kedua belah pihak mengalami kemandekan. Pruit dan Rubbin (2004:286) menjelaskan, ada 4 (empat) alasan utama terjadinya kemandekan, gagalnya taktik contentious; terkurasnya sumber-sumber daya yang diperlukan; hilangnya dukungan sosial; dan biaya yang tidak tertanggungkan.
1.5. Resolusi Konflik Fisher (2000:7-8) menjelaskan bahwa, resolusi konflik merupakan upaya menangani sebab-sebab konflik dan berusaha membangun hubungan baru dan yang bisa tahan lama diantara kelompok-kelompok yang bermusuhan. Dengan kata lain, 9
resolusi konflik mengacu pada strategi-strategi untuk menangani konflik terbuka dengan harapan tidak hanya mencapai suatu kesepakatan untuk mengakhiri kekerasan (penyelesaian konflik) tetapi juga mencapai suatu resolusi dari berbagai perbedaaan sasaran yang menjadi penyebabnya. Berikut tiga strategi dan langkah yang digunakan dalam pengelolaan konflik (Ikhsan Malik, 2003; Wirawan, 2010; Mitchel, 2007; Chritopher A. Moore dalam Wirawan, 2010): 1.
Coercive Pemerintah dapat melakukan kebijakan intervensi sebagai upaya untuk
mengendalikan konflik dengan pemaksaan secara fisik (coercive capacity). Hal ini dapat berupa ancaman dan penjatuhan sanksi kepada pihak yang berkonflik. 2.
Litigasi Pemilihan jalur litigasi untuk menyelesaikan konflik harus dipertimbangkan
secara bijak karena memiliki hambatan. Pertama, proses peradilan menyerap banyak waktu dalam jangka panjang. Hal ini menjadi kontraproduktif bagi kaum tertindas karena semangatnya menjadi merosot, menciptakan rasa frustasi, dan pada akhirnya organisasi perjuangan menjadi lemah dan rapuh. Kedua, badan peradilan cenderung berpihak kepada penguasa. Akibatnya, terdapat kecendrungan untuk mengalahkan kepentingan rakyat tertindas. 3.
Non-litigasi Model non-litigasi merupakan model penyelesaian konflik yang berada di luar
pengadilan. Penyelesaian konflik melalui lembaga non-peradilan semakin menarik karena lembaga peradilan tidak mampu menjawab permasalahan yang semakin banyak. Ada beberapa alternatif penyelesaian konflik melalui lembaga non-peradilan. Pertama, konsultasi publik. Konsultasi publik merupakan suatu cara alternatif untuk menyelesaikan masalah atau sengketa, disamping cara-cara hukum, administrasi dan politis. Melalui konsultasi publik isu-isu yang dipertentangkan dapat diselesaikan sebelumnya sehingga konflik dan sengketa dapat dihindari. Kedua, rekonsiliasi. Rekonsiliasi merupakan proses resolusi konflik yang mentransformasi keadaan sebelum terjadi konflik, yaitu keadaan hidup yang harmonis dan damai. Jika salah satu pihak konflik yang salah, lawan konfliknya harus memaafkan dan mengampuninya dari kesalahan dan dosa yang pernah dibuatnya. 10
Kedua belah pihak yang terlibat konflik saling memaafkan dan tidak menyisakan dendam yang dapat menimbulkan konflik di kemudian hari. Ketiga, negosiasi. Negosiasi merupakan suatu teknik mempengaruhi dan menyakinkan pihak lain untuk menggunakan kemampuan yang ada demi penyelesaian suatu konflik. Dalam negosiasi tidak ada pihak luar yang memberikan bantuan dan pihak yang bersengketa harus mempunyai kemauan untuk bertemu dan membicarakan sengketa bersama. Komunitas, korporasi dan juga negara akan melakukan negosiasi ketika membutuhkan bantuan pihak lain untuk menyelesaikan masalah yang tidak dapat diselesaikan sendiri. Ada beberapa strategi negosiasi yang dapat dilakukan yaitu kompetisi, akomodasi, menghindar, kompromi dan kolaborasi. Keempat, mediasi. Mediasi merupakan karakteristik khusus dari negosiasi, yaitu keterlibatan pihak ketiga yang netral sebagai mediator dalam negosiasi. Pihak ketiga tidak mempunyai kekuatan untuk memutuskan kesepakatan akan tetapi berfungsi sebagai fasilitator dan perumus persoalan dengan tujuan membantu pihak yang bersengketa agar sepakat. Dalam hal ini pihak-pihak yang terlibat konflik saling melakukan pendekatan untuk saling tawar menawar (bargaining) secara sukarela. Kelima, arbitrase. Arbitrase merupakan proses penyelesaian konflik secara sukarela dimana pihak-pihak yang terlibat berkonflik meminta bantuan pihak ketiga yang imparsial (tidak memihak) dan netral untuk membuat keputusan mengenai objek konflik. Dalam arbitrase, pihak ketiga yang terlibat mempunyai kewenangan untuk mengambil keputusan yang mengikat maupun tidak mengikat.
2.
Tanah Ulayat
2.1. Pengakuan Pemerintah Terhadap Tanah Ulayat Secara yuridis, hak ulayat diakui pemerintah dalam UU No 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UU PA). Dalam Pasal 3 UU PA disebutkan bahwa pemerintah mengakui setengah hati terhadap hak ulayat karena dilakukan dengan empat syarat. Yaitu; (1) sepanjang menurut kenyataannya masih ada, (2) sesuai dengan kepentingan nasional, (3) berdasarkan atas persatuan bangsa, (4) tidak boleh bertentangan dengan UU dan peraturan-peraturan lain yang lebih tinggi. 11
Pasal 5 UU PA menegaskan bahwa peraturan agraria yang berlaku bagi masyarakat Indonesia adalah hukum adat. Akan tetapi, dalam Pasal 5 dan Pasal 58 UU PA memberi pembatasan-pembatasan terhadap berlakunya hukum adat. Hukum adat dipakai sepanjang tidak bertentangan dengan hal-hal sebagai berikut. Yaitu; (1) kepentingan nasional atau negara, (2) prinsip-prinsip sosialisme Indonesia, (3) peraturan-peraturan dari UU PA, (4) perundang-undangan lainnya. Lebih jauh, dalam Pasal 1 Ayat (2) Peraturan Menteri Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional No 5 Tahun 1999 tentang Pedoman Penyelesaian Masalah Tanah Ulayat Masyarakat Hukum Adat disebutkan bahwa tanah ulayat adalah bidang tanah yang di atasnya terdapat hak ulayat dari suatu masyarakat hukum adat tertentu. Menurut Permenag 5/1999, untuk menentukan ada atau tidak adanya hak ulayat harus memiliki 3 (tiga) unsur penting, yaitu: 1. terdapat sekelompok orang yang masih merasa terikat oleh tatanan hukum adatnya sebagai warga bersama suatu persekutuan hukum tertentu, yang mengakui dan menerapkan ketentuan-ketentuan persekutuan tersebut dalam kehidupannya sehari-hari; 2. terdapat tanah ulayat tertentu yang menjadi lingkungan hidup para warga persekutuan hukum tersebut dan tempatnya mengambil keperluan hidupnya sehari-hari, dan; 3. terdapat tatanan hukum adat mengenai pengurusan, penguasaan dan penggunaan tanah ulayat yang berlaku dan ditaati oleh para warga persekutuan hukum tersebut.
2.2. Masyarakat Hukum Adat Sebagai Subjek Tanah Ulayat Membaca UU PA dan Permenag 5/1999, dapat dipahami bahwa tanah ulayat merupakan milik masyarakat hukum adat. Masyarakat hukum adat, menurut Ter Haar dalam ICRAF, LATIN dan P3AE-UI (2001:3) dapat diartikan sebagai kelompok masyarakat yang teratur, menetap di suatu daerah tertentu, mempunyai kekuasaan sendiri, dan mempunyai kekayaan sendiri baik berupa benda yang terlihat maupun tidak terlihat, dimana para anggota kesatuan masing-masing mengalami kehidupan dalam masyarakat sebagai hal yang wajar menurut kodrat alam dan tidak seorang pun diantara para anggota itu mempunyai pikiran atau kecenderungan untuk membubarkan 12
ikatan yang telah tumbuh itu atau meninggalkannya dalam arti melepaskan diri dari ikatan itu untuk selama-lamanya. Mempedomani Ter Haar maka dapat ditarik kriteria yang harus dipenuhi oleh sebuah masyarakat hukum adat, seperti dikemukakan oleh Mahadi dalam Kurnia Warman (2006:44-45) berikut ini: 1) Adanya sejumlah orang-orang tertentu bertindak, semua merasa terikat dan semua merasa sama-sama mendapat untung/rugi. 2) Dalam kelompok orang-orang tersebut, tampak adanya keteraturan, orangorang tertentu atau golongan-golongan tertentu mempunyai kelebihan, wibawa dan kekuasaan. 3) Adanya harta benda bersama seperti barang-barang tertentu, tanah, air, tanaman, tempat peribadatan dan gedung-gedung lainnya. Semua ikut memelihara harta tersebut, menjaga kebersihan fisiknya, kesuciannya, juga semua warga boleh menggenggam nikmat dari harta benda itu, yang bukan warga pada umumnya tidak boleh mengambil manfaat darinya (kalau boleh harus membayar rekognisi). 4) Dalam pikiran para warga persekutuan tersebut, tidak pernah terlintas untuk membubarkannya atau keluar dari persekutuannya.
2.3. Masyarakat Hukum Adat di Minangkabau Soerjono Soekanto dan Taneko dalam Kurnia Warman (2006:45) mengatakan, bahwa salah satu contoh nyata dari masyarakat hukum adat adalah masyarakat hukum adat di Minangkabau. Artinya, masyarakat hukum adat di Minangkabau termasuk kelompok masyarakat hukum yang memenuhi syarat dikatakan sebagai masyarakat hukum adat. Masyarakat adat di Minangkabau merupakan salah satu suku bangsa yang menganut sistem kekerabatan matrilineal. Masyarakatnya merasa terikat oleh satu kesatuan keturunan yang ditarik menurut garis ibu atau perempuan. Masyarakat Minangkabau mengenal berbagai istilah kekerabatan matrilineal, yaitu saparuik, kaum, suku, nagari. Kekerabatan matrilineal di Minangkabau dimulai dari saparuik atau samandeh (Syahmunir, 2005; Naim, 1984; Anwar dalam Kurnia Warman, 2006). Anggota saparuik menyadari mereka berasal dari satu ibu dan satu rumah gadang. Pimpinan dari saparuik adalah mamak rumah atau tungganai. Mamak 13
rumah adalah saudara sekandung ibu atau garis ibu yang serumah gadang yang dipilih menjadi wakil pembimbing/pembina anggota garis keturunan ibu4. Beberapa paruik menyatu dalam kekerabatan yang lebih besar, yang disebut kaum. Pemimpin kaum dikenal dengan panghulu kaum atau mamak kepala waris. Panghulu adalah seseorang yang dipilih diantara beberapa mamak rumah yang terikat dalam hubungan darah yang disebut kaum, sehingga mamak kaum disamping berfungsi sebagai mamak bagi keluarga (paruik) juga bertugas mengurus kepentingan-kepentingan umum5. Kumpulan dari beberapa kaum selanjutnya membentuk suku. Suku merupakan unit utama dari struktur sosial Minangkabau, dan seseorang tidak dapat dipandang sebagai orang Minangkabau kalau tidak mempunyai suku6. Suku dipimpin oleh seorang panghulu suku. Menurut Kurnia Warman (2006:47), suku merupakan kelompok genealogis murni tanpa dibatasi oleh teritorial, orang sesuku bisa saja menempati nagari yang berbeda. Oleh karena itu, suku bukanlah merupakan persekutuan hukum, seperti yang memenuhi syarat-syarat masyarakat hukum adat tersebut di atas. Suatu masyarakat hukum adat dikatakan sebagai nagari jika memiliki minimal 4 (empat) suku. Sebagaimana disebutkan dalam tambo “nagari kaampek suku, dalam suku babuah paruik, kampuang nan batuo, rumah batungganai” (nagari berempat suku, dalam suku berbuah perut, kampung bertua dan rumah bertungganai). Adapun kelengkapan suatu nagari di Minangkabau, yaitu: 1. Babalai bamusajik, maksudnya nagari mempunyai balairung sebagai tempat melaksanakan roda pemerintahan dan mesjid sebagai tempat peribadatan. 2. Basuku banagari, maksudnya setiap anak nagari harus jelas asal sukunya. Nagari dibentuk minimal oleh 4 (empat) suku. 3. Bakorong bakampuang, maksudnya setiap nagari harus mempunyai wilayah kediaman. 4. Bahuma babendang, maksudnya adanya pengaturan keamanan terhadap gangguan yang datang dari luar serta pengaturan informasi resmi.
4
Yahya, Samin, dkk. 1997. Peranan Mamak Terhadap Kemenakan Dalam Kebudayaan Minangkabau Masa Kini, hal 41-42. 5 Ibid, hal 41-42 6 Naim, Mochtar. 1984. Merantau: Pola Migrasi Suku Minangkabau, hal 18
14
5. Balabuah batapian, maksudnya nagari memiliki pengaturan perhubungan lalu lintas dan perdagangan. 6. Basawah baladang, maksudnya pengaturan sistem usaha pertanian serta harta benda yang menjadi sumber kehidupan dan hukum pewarisan. 7. Bahalaman bamedan, berupa pengaturan rukun tetangga, pesta perkawinan, dan sebagainya. 8. Bapandam bakuburan, artinya tempat pemakaman serta pengaturan acara penyelenggaraan anak nagari yang meninggal dunia. Dari uraian di atas terlihat bahwa nagari di Minangkabau merupakan kelompok masyarakat yang mempunyai wilayah dengan batas-batas tertentu dan memiliki harta kekayaan dengan pemanfaatan dan pengaturan. Jadi, nagari di Minangkabau merupakan persekutuan hukum yang berdasarkan teritorial dan genealogis. Suatu nagari mempunyai batas wilayah kekuasaan tertentu dan ia harus terdiri dari minimal empat suku yang berdasarkan genealogis. Selanjutnya dalam tulisan ini, masyarakat hukum adat di Minangkabau merupakan nagari, bukan kaum atau suku. Berlakunya Perda Sumbar No 9 Tahun 2000 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Nagari menjadi titik awal kembalinya urusan adat Minangkabau menyatu dalam pemerintahan secara umum. Dalam perkembangannya Perda No 9 Tahun 2000 dirubah menjadi Perda No 2 Tahun 2007. Menurut Perda 2/2007, nagari adalah kesatuan masyarakat hukum adat yang memiliki batas-batas wilayah tertentu, dan berwenang untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat berdasarkan filosofi adat Minangkabau (adat basandi syara’, syara’ basandi Kitabullah) dan atau berdasarkan asal usul dan adat istiadat setempat dalam wilayah Provinsi Sumbar.
2.4. Tanah Ulayat dan Masyarakat Hukum Adat Minangkabau Tanah ulayat terjadi seiring dengan terbentuknya masyarakat hukum adat Minangkabau. Tanah ulayat di Minangkabau dimiliki secara bersama-sama atau kolektif (Boerma Boerhan dan Sjofjan Thalib,1978; Mochtar Naim,1977). Pada prinsipnya di Minangkabau tidak dikenal adanya hak perseorangan atas tanah. Tanah yang dimiliki bersama itulah yang oleh masyarakat Minangkabau disebut dengan tanah ulayat. Lebih jauh, Kurnia Warman (2006:6) menegaskan bahwa prinsip 15
pemilikan bersama dari tanah komunal (common property) menjadi elemen perekat dan menyatukan aktivitas sosial ekonomi dalam keluarga matrilineal. Mhd Nasrun dalam Syamhunir (2005) mengatakan bahwa, tanah ulayat mempunyai
fungsi dan kedudukan
yang
penting bagi penampungan
dan
perkembangan anak kemenakan di masa-masa mendatang dan karena itu tidak boleh hilang. Tanah ulayat menunjukkan identitas orang Minangkabau. Kalau dari suatu kaum dalam suatu nagari tidak punya tanah ulayat sendiri meskipun punya tanah tembilang (tanah yang dibeli), hal ini menunjukkan mereka bukan penduduk asli nagari, mereka disebut orang pendatang. Dalam perspektif masyarakat adat Minangkabau, tanah memiliki beragam makna. Damsar (2004:390-395) menyebutkan ada beberapa makna tanah bagi masyarakat adat Minangkabau. Pertama, tanah sebagai identitas kultural. Seseorang yang mengaku sebagai masyarakat adat Minangkabau harus dapat menjelaskan suku dan nagari asalnya. Mereka juga harus mampu menunjukkan dimana lokasi sumber air, tanah pertanian, dan pemakaman kaum atau suku mereka. Ketiga hal tersebut dipandang penting bagi masyarakat Minangkabau karena berkaitan dengan prasyarat dan simbol keberadaan masyarakat adat Minangkabau. Sumber air dan tanah merupakan syarat utama bagi kelangsungan hidup sedangkan
pemakaman
menunjukkan identitas diri suatu kaum, suku atau identitas nenek moyang mereka bermukim. Kedua, tanah sebagai status sosial. Dalam masyarakat adat Minangkabau tanah dapat dijadikan indikator dari status sosial seseorang atau kaum. Jumlah tanah pusaka yang dimiliki berkaitan erat dengan keaslian seseorang atau suatu kaum sebagai penduduk asal. Sebaliknya, orang yang membaur dengan suku asal akan memiliki lebih sedikit tanah pusaka. Secara geografis keluarga atau kaum dari suku asal berada atau tinggal di daerah titik pusat nagari. Semakin jauh dari titik pusat semakin rendah status sosial orang atau kelompok tersebut. Ketiga, tanah sebagai perekat sosial. Tanah pusaka dalam masyarakat adat Minangkabau merupakan perekat hubungan sosial. Semakin dekat seserorang ke dalam pusaran lingkaran pewarisan tanah pusaka, maka semakin dekat hubungan kekerabatan matrilineal dan semakin kental pula rekatan hubungan sosialnya. Keempat, tanah sebagai sumber ekonomi. Dalam konsepsi masyarakat adat 16
Minangkabau, semua tanah memiliki manfaat ekonomi, tidak ada sepetak tanah pun yang tidak memiliki kegunaan. Konsepsi kegunaan ekonomis tanah merupakan refleksi kesadaran masyarakat adat Minangkabau terhadap lingkungan khususnya tanah. Dari konsepsi tersebut terlihat bahwa apapun jenis, bentuk, serta posisi tanah memiliki kegunaan ekonomis bagi masayarakat. Dalam masyarakat Minangkabau, menurut K. Von Benda-Beckmann (2000:266), tanah terbagi dalam dua kategori. Pertama, tanah yang merupakan harato pusako, terutama berupa lahan pertanian dan tanah perumahan. Tanah harato pusako -selanjutnya disebut tanah pusako--, terbagi menjadi dua, yaitu tanah pusako tinggi dan tanah pusako randah (harato pancaharian). K. Von Benda-Beckmann (2000:288) menjelaskan bahwa, sekalipun sistem adat digambarkan dari sudut adat sendiri dan tidak dalam istilah-istilah teknis hukum, penggambaran tersebut akhirnya diringkas dengan hak milik (eigendom). Pada dasarnya, harato pancaharian dianggap sebagai hak milik individual, sedangkan harato pusako tinggi sebagai hak milik bersama. Tanah pusako tinggi, menurut Freek Colombijn (2006:248), merupakan tanah yang dimiliki bersama oleh suatu kaum atau suku, hak gunanya berada di tangan wanita dan diwariskan menurut garis keturunan ibu. Laki-laki hanya bertugas memelihara tanah pusako tinggi, sedangkan pengaturan pemanfaatannya diatur oleh panghulu kaum atau suku. Sejak Islam masuk ke Minangkabau, tanah pusako tinggi dikenal dengan istilah tanah ulayat suku dan tanah ulayat kaum. Perkataan ulayat berasal dari bahasa arab, yang berarti suatu daerah atau kawasan. K. Von Benda-Beckmann (2000:272) mendifinisikan tanah pusako randah (harta pencaharian) sebagai properti yang bukan warisan melainkan diperoleh atas usaha sendiri, misalnya melalui pembukaan tanah pertanian, keuntungan dagang dan hasil dari kerja keras. Dalam sistem adat pusako, harato pencaharian dianggap sebagai pusako dalam tahapan kepompong (Willinck dalam K. Von BendaBeckmann:2000). Lebih lanjut Freek Colombijn (2006:248) menjelaskan, jika seorang perempuan memperoleh tanah, properti, setelah kematiannya, harta tersebut diturunkan kepada anak-anak perempuannya yang memiliki garis keturunan ibu. Sejak waktu itu tanah tersebut merupakan pusako tinggi, dengan pengertian bahwa anak perempuan dari wanita semula membeli tanah tersebut mewariskannya menurut garis 17
keturunanan perempuan (ibu), dan anak laki-lakinya mewariskan kepada anak perempuan dari saudara perempuannya (kemenakan). Kedua, tanah ulayat, yaitu tanah yang tidak secara terus menerus ditanami, terutama hutan yang belum dibuka. Sebelum Islam masuk ke Minangkabau tanah ulayat dikenal dengan harato pusako nagari. F. Von Benda-Beckmann (2001:139) menjelaskan bahwa, tanah ulayat merupakan tanah komunal yang menjadi milik seluruh anak nagari. Anggota nagari mempunyai hak untuk membersihkan dan mengolah tanah ulayat nagari. Tetapi, segera setelah mereka meninggalkan tanah tersebut, tanah akan kembali menjadi milik nagari secara penuh. Cara penguasaan hak atas tanah ini disusun berbeda antara satu nagari dengan nagari lain, dan juga tergantung pada status dan kualitas tanah. Seringkali penduduk nagari harus membayar kepada nagari untuk memakai tanah. UU PA menegaskan bahwa tanah ulayat sebagai milik masyarakat hukum adat. Berdasarkan penjelasan sebelumnya, persekutuan di Minangkabau yang memenuhi kriteria masyarakat hukum adat adalah nagari. Jadi, nagari merupakan subyek masyarakat hukum adat yang dimaksud dalam UU PA dan Permenag No 5 Tahun 1999. Dalam penelitian ini dikatakan bahwa tanah pusako nagari atau tanah ulayat nagari di Minangkabau merupakan tanah ulayat dalam teknis yuridis.
2.5. Tanah Ulayat dalam Peraturan Daerah Sumbar Pemerintah daerah telah mengakui keberadaan tanah ulayat dalam Perda Sumatera Barat No 9 Tahun 2000 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Nagari. Dalam pasal 7 Perda 9/2000 disebutkan bahwa salah satu harta kekayaan nagari meliputi tanah, hutan, batang air, tebat, danau dan atau laut yang menjadi ulayat nagari. Selanjutnya, pemanfaatan ulayat nagari diatur lebih lanjut dalam Peraturan Daerah Provinsi Sumbar No 16 Tahun 2008. Tanah ulayat didefinisikan sebagai bidang tanah pusaka beserta sumber daya alam yang ada di atasnya dan di dalamnya diperoleh secara turun menurun merupakan hak masyarakat hukum adat di Provinsi Sumbar7. Dalam Pasal 5 Perda 16/2008 disebutkan bahwa, ada 4 jenis tanah ulayat yaitu:
7
Peraturan Daerah Sumbar No 16 Tahun 2008 tentang Tanah Ulayat dan Pemanfaatannya, Pasal 1 Ayat 7.
18
1) Tanah ulayat nagari adalah tanah ulayat beserta sumber daya alam yang ada di atas dan di dalamnya merupakan hak penguasaan oleh ninik mamak Kerapatan Adat Nagari (KAN) dan dimanfaatkan sebesar-besarnya untuk kepentingan masyarakat nagari, sedangkan pemerintahan nagari bertindak sebagai pihak yang mengatur untuk pemanfaatannya. 2) Tanah ulayat suku adalah hak milik atas tanah beserta sumber daya di atas dan di dalamnya, merupakan hak milik kolektif semua anggota suku tertentu yang penguasaan dan pemanfaataannya diatur oleh penghulu-penghulu suku. 3) Tanah ulayat kaum adalah hak milik atas sebidang tanah berserta sumber daya alam yang ada di atas dan di dalamnya, merupakan hak milik semua anggota kaum yang terdiri dari jurai/paruik yang penguasaan dan pemanfaatannya diatur oleh mamak jurai/mamak kepala waris. 4) Tanah ulayat rajo adalah hak milik atas sebidang tanah beserta sumber daya alam yang ada di atas dan di dalamnya yang penguasaan dan pemanfaatannya diatur oleh laki-laki tertua dari garis keturunan ibu yang saat ini masih hidup di sebagian nagari Provinsi Sumbar.
2.6. Pemanfaatan Tanah Ulayat di Minangkabau Dalam adat Minangkabau disebutkan bahwa tanah ulayat, ‘airnya boleh diminum, buahnya boleh dimakan, tanah atau batangnya tetap tinggal’. Hasil ulayat dapat dinikmati oleh anggota masyarakat sedangkan tanahnya tidak boleh diganggu gugat. Tanahnya tidak boleh diperjualbelikan, dipindahtangankan kepada orang lain, sebagaimana disebutkan dalam tambo ‘tajua indak dimakan bali, tasando indak dimakan gadai’, kecuali mendapatkan persetujuan seluruh ninik mamak dalam KAN. Pada prinsipnya seluruh anak nagari dapat mengolah tanah ulayat atas izin pemilik ulayat dengan memenuhi persyaratan yang berlaku di tiap-tiap nagari. Selain anak nagari, tanah ulayat juga dapat dimanfaatkan oleh investor dari luar dengan menyampaikan keinginannya kepada ninik mamak dalam KAN. Investor diharuskan pula untuk memenuhi kaedah adat dengan memberikan kompensasi sebagaimana disebutkan dalam tambo ‘adat diisi, limbago dituang’. Untuk memberikan kepastian hukum, investor dan ninik mamak mengikat perjanjian dengan prinsip tidak saling 19
merugikan dan adanya keseimbangan, adat mengatakan ‘urang mandapek, awak indak kailangan’. Persentase bagi hasil tergantung kepada kesepakatan kedua belah pihak. Untuk kesejahteraan seluruh anak nagari maka anak nagari yang mengerjakan tanah ulayat harus menyerahkan sebagian hasilnya yang telah ditentukan oleh adat kepada nagari. Hasil-hasil yang dipungut dari hutan, ladang, laut, dan sungai yang berada dalam wilayah nagari sebagian harus diserahkan pada nagari. Dalam adat disebutkan “karimbo babungo kayu, kalauik babungo karang, ka ladang babungo ampiang”, (ke rimba berbunga kayu, ke laut berbunga karang, ke ladang berbunga emping). Apabila anak nagari atau investor tidak mau lagi mengolah tanah ulayat tersebut maka tanah menjadi milik nagari. Dalam adat disebutkan, ‘kabau tagak, kubangan tingga’. Secara adat, menurut Erwin (2006:77-78), anak nagari atau investor harus membayar kepada Kerapatan Adat Nagari (KAN) apabila menggunakan tanah tersebut, sebagaimana diungkapkan dalam pepatah berikut; 1) Adat bunga tanah, yaitu hasil dari tanah ulayat nagari yang digarap dan dimanfaatkannya. 2) Adat bunga kayu, yaitu sesuatu yang harus diserahkan kepada pemangku adat sebagai imbalan dari hasil hutan yang dimanfaatkan. 3) Adat tekuk kayu, yaitu sesuatu yang harus diserahkan sebagai imbalan pemanfaatan tanah untuk berladang. 4) Adat bunga emas, yaitu sesuatu yang harus diserahkan sebagai imbalan dari apa yang diperoleh dari hasil tambang. Pemanfaatan tanah ulayat telah diatur pemerintah daerah dalam Peraturan Daerah Provinsi Sumbar No 16 Tahun 2008. Dalam Pasal 3 Ayat (2) Perda 16/2008 disebutkan bahwa pemanfaatan tanah ulayat oleh pihak lain yang bukan warga hukum adat yang bersangkutan dilakukan dengan prinsip saling menguntungkan dan berbagi resiko dengan kaedah “adat diisi limbago dituang” melalui musyawarah mufakat. Tujuan pengaturan tanah ulayat dan pemanfaatannya adalah untuk tetap melindungi keberadaan tanah ulayat menurut hukum adat Minangkabau serta mengambil manfaat dari tanah termasuk sumber daya alam, untuk kelangsungan hidup dan kehidupannya
20
secara turun-menurun dan tidak terputus antara masyarakat hukum adat dengan wilayah yang bersangkutan8. Untuk mengatur pemanfaatan tanah ulayat dalam rangka penanaman modal, maka diterbitkanlah Peraturan Gubernur Sumbar No 21 Tahun 2012 tentang Pedoman dan Tata Cara Pemanfaatan Tanah Ulayat untuk Penanaman Modal. Dalam Pasal 7 Pergub ini dijelaskan bahwa setiap tanah ulayat dapat dimanfaatkan untuk penanaman modal berdasarkan kesepakatan antara penanam modal dan pemilik atau penguasa tanah ulayat. Pemanfaatan tanah ulayat untuk penanaman modal dilakukan dalam bentuk sewa menyewa, bagi hasil, pemilikan saham, dan bentuk lainnya berdasarkan asas kebebasan berkontrak sesuai kesepakatan9.
3.
Konflik Tanah Ulayat Konflik tanah ulayat bukanlah sesuatu yang baru terjadi di Sumbar. Freek
Colombijn dalam bukunya ‘Paco-Paco (Kota) Padang’, membahas berbagai macam konflik tanah pusako tinggi. Feek Colombijn membaginya menjadi 7 (tujuh) macam konflik yang berhubungan dengan kepemilikan dan perubahan tanah pusako tinggi. Sementara, K. Von Benda-Beckmann dalam bukunya ‘Goyahnya Tangga Menuju Mufakat’ menjelaskan tentang proses penanganan konflik di Sumbar. Dalam bukunya, penulis memberikan perhatian lebih besar kepada penanganan konflik properti (harato pusako) di Minangkabau. Berbeda dengan Feek Colombijn dan K. Von BendaBeckmann, penelitian ini fokus pada konflik pemanfaatan tanah ulayat nagari. Lembaga Kerapatan Adat Alam Minangkabau (LKAAM) Sumbar pada tahun 2012 mencatat ada 29 kasus konflik harato pusako dan tanah ulayat nagari yang belum selesai termasuk penyelesaian tanah ulayat nagari Lubuk Kilangan seluas 412,03 ha10. Dalam Workshop Tanah Ulayat di Padang Tahun 2000 dirumuskan tiga karakter latar belakang terjadinya sengketa tanah ulayat di Minangkabau. Yaitu, antara sesama anggota masyarakat, antara masyarakat hukum adat dengan pemerintah, antara masyarakat hukum adat dengan pengusaha. Konflik tanah ulayat 412,03 ha dalam hal ini tidak termasuk dalam tiga kategori yang dirumuskan dalam workshop tersebut. 8
Ibid, Pasal 4. Peraturan Gubernur Sumbar No 21 Tahun 2012 tentang Pedoman dan Tata Cara Pemanfaatan Tanah Ulayat Untuk Penanaman Modal, Pasal 10 10 Padang Ekspres, 13 Februari 2012. 9
21
Konflik tanah ulayat di Nagari Lubuk Kilangan merupakan konflik yang terjadi antara masyarakat hukum adat, korporasi dan pemerintah. Berdasarkan hasil kajian ICRAF, LATIN dan P3AE-UI (2001:23), ada 3 (tiga) materi konflik sumber daya alam. Pertama, konflik kewenangan atas ruang. Selama beberapa dekade ini terjadi perampasan kawasan (territory violence) terhadap masyarakat adat yang dilakukan atas nama undang-undang, peraturan dan kebijakan sehingga menciptakan kelompok yang diuntungkan (the winners) dan kelompok yang dipinggirkan (the loosers). Bentuk penguasaan kembali teritori oleh kelompok masyarakat adalah bentuk pelampiasan dari proses peminggiran yang terjadi. Kedua, konflik atas keberadaan masyarakat adat, kelembagaan dan kewenangannya. Masyarakat adat tersebut memiliki tata hukum serta nilai sendiri yang berlaku di dalam batas wilayah adatnya sehingga dikatakan otonom. Intervensi yang berlebihan dari pihak luar (pemerintah) dapat merusak bentuk pengaturan tentang kewenangan dari masyarakat adat yang telah berjalan dan berakibat runtuhnya sistem dan pola pengelolaan yang dimiliki. Ini sering terjadi dengan penetapanpenetapan pemerintah yang melakukan intervensi terlalu jauh terhadap suatu sistem yang sudah cukup mandiri. Ketiga, konflik atas pola pengelolaan sumber daya alam. Konflik atas pola pengelolaan yang ada pada masyarakat adat sering terjadi dengan memisahkan suatu pola pengelolaan dari sistemnya.
F. Definisi Konsepsional dan Operasional 1.
Definisi Konsepsional Berdasarkan teorisasi yang dijelaskan, dirumuskan kerangka konseptual
penelitian untuk menggambarkan kerangka logis yang dapat memudahkan proses penelitian sebagai berikut: •
Konflik adalah persilisihan maupun pertentangan yang terjadi antara Nagari Lubuk Kilangan dan PT SP, dimana masing-masing pihak memiliki kepentingan terhadap lahan 412,03 ha sebagai objek konflik.
•
Anatomi konflik merupakan uraian secara mendalam tentang pemicu konflik tanah ulayat 412,03 ha, aktor-aktor yang terlibat dalam konflik, penyebab konflik, dan akar atau permasalahan mendasar
yang
menyebabkan terjadinya konflik. 22
•
Dinamika konflik adalah fase dimana konflik mengalami peningkatan (eskalasi) dan penurunan intensitas konflik (de-eskalasi).
•
Resolusi konflik adalah tindakan dan upaya yang dilakukan Nagari Lubuk Kilangan, PT SP dan pemerintah daerah maupun melibatkan pihak ketiga agar dapat menyelesaikan konflik pada lahan 412,03 ha, dan membangun hubungan yang lebih baik antar pihak yang berkonflik.
2. Definisi Operasional Definisi operasional bertujuan untuk memudahkan dalam mengukur aspek yang diteliti. Dalam penelitian ini, ada beberapa aspek yang diteliti, yaitu: •
Faktor penyebab konflik o Nilai yang dipahami oleh pihak yang berkonflik o Faktor struktural para pihak yang berkonflik o Latar belakang sejarah
•
Aktor-aktor konflik o Peran dan posisi para aktor yang terlibat o Kepentingan para aktor terhadap objek konflik
•
Dinamika konflik o Waktu dan faktor penyebab terjadinya eskalasi konflik o Waktu dan faktor penyebab terjadinya de-eskalasi konflik o Posisi dan tindakan para aktor selama berkonflik
•
Upaya penyelesaian konflik o Bentuk dan intensitas penyelesaian konflik yang pernah dilakukan o Keterlibatan pihak ketiga dalam penyelesaian konflik o Hasil penyelesaian konflik
G. Metode Penelitian 1.
Jenis dan Pendekatan Penelitian Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dengan desain penelitian studi
kasus (case study). Metode kualitatif dapat memberikan rincian yang kompleks tentang suatu fenomena sosial. Metode ini berusaha melakukan deskripsi dan 23
interpretasi secara akurat makna yang terjadi dalam konteks sosial. Peneliti memotret konflik tanah ulayat ini secara lebih rinci dan kompleks. Konflik dideskripsikan secara jelas dan faktual sesuai dengan data-data yang diperoleh. Pemilihan studi kasus dipilih karena penelitian ini berkenaan dengan satu fase spesifik atau khas dari keseluruhan personalitas tetapi mempunyai kaitan dengan fenomena global. Konflik tanah ulayat merupakan fenomena kontekstual dan masih menjadi pembicaraan khalayak ramai sehingga peneliti memfokuskan pada fenomena kontemporer dalam konteks kehidupan nyata. Melalui studi kasus dapat dipelajari secara intensif tentang latar belakang keadaan dan posisi saat ini, serta interaksi lingkungan tertentu yang bersifat apa adanya (given). Hasil penelitian dengan pendekatan ini memberi gambaran luas dan mendalam mengenai konflik tanah ulayat.
2.
Teknik Pengumpulan Data Proses penelitian ini sudah dimulai sejak bulan Juni 2012, guna mencari data
awal untuk menentukan tema dan masalah yang akan diteliti. Adapun pelaksanaan penelitian ini efektif dilakukan selama bulan Oktober 2013 hingga akhir bulan Maret 2013. Dalam upaya memperoleh data aktual tentang konflik tanah ulayat maka peneliti menggunakan tiga teknik pengumpulan data, yaitu: a) Wawancara mendalam Wawancara mendalam dilakukan dengan key informan, yaitu orang-orang yang dijadikan sumber data untuk memberikan informasi tentang pokok bahasan yang sesuai dengan tujuan penelitian. Pemilihan key informan didasarkan pada pengetahuan mereka secara mendalam terhadap masalah-masalah yang dijadikan pokok bahasan, yaitu sejarah tanah ulayat 412,03 ha, anatomi dan dinamika konflik tanah ulayat dan upaya penyelesaian konflik. Adapun key informan dalam penelitian ini dapat dilihat dalam tabel berikut. Tabel 1. Daftar Key Informan Penelitian No
Nama
Keterangan
1
Drs M Sayuti Dt Rajo Penghulu
Ketua LKAAM Sumbar (2008-skrg)
2
Batrius Dt Rajo Alam
Ketua KAN Lubuk Kilangan (1986-2000)
3
Syabirin Dt Rajo Sampono
Sekretaris KAN Lubuk Kilang (1986-2007)
4
Basri Dt Rajo Sali
Ketua KAN Lubuk Kilang (2007-skrg)
24
5
H Asril Adjis Rajo Bujang
Wakil Ketua KAN Lubuk Kilang (2007-skrg)
6
Syafri Sadin Dt Rajo Basa
Sekretaris KAN Lubuk Kilang (2007-skrg)
7
Hasan Basri Panduko Alama
Wakil sekretaris KAN Lubuk Kilang (2007-skrg)
8
Hadison, S.Si, Apt
Ketua DPRD Kota Padang (2004-2009) Anggota DPRD Komisi II (2009-2014) Anggota Pansus RTRW Kota Padang
9
Surya Bitel
Ketua Komisi II DRPD Kota Padang (2009-2014)
10
Ir H Yandril
Anggota DPRD Kota Padang Ketua Pansus RTRW Kota Padang
11
Nurshal, SE
Mantan Sekretaris Perusahaan PT SP
12
Muhammad Nazif , SH
Mantan kepala biro hukum PT SP
13
Hisko Ari Tivon, SH
Biro hukum PT SP
14
Wirtimen, SH
Biro hukum PT SP
15
Wahendri
Staf operasional dan pengamanan PT SP
16
Kompol Afrizal Rasul
Kepala staf operasional dan pengamanan PT SP
17
Prof Afrizal
Dosen sosiologi UNAND Peneliti konflik tanah ulayat di Sumbar
18
Ir MGO Senatung
Kasi Pemantapan Kawasan Hutan Dishut Sumbar
19
Junaedi
Staf Dishut Sumbar
20
Syamsuir
Sekretaris Lurah Batu Gadang (1997-2001) Lurah Indarung (2001-sekarang) Anggota Tim Pembebasan Tanah KAN
21
Erwin
Ketua peladang 412,03 ha
22
Abdul Gaffar Tojok
Peladang
23
H Zulkardi MS
Peladang
24
Afrizal, SE, MBA
Anggota DPD RI (2012-2014) Sumber: diolah dari data primer
b) Studi dokumenter Studi dokumenter dilakukan untuk mendapatkan data sekunder berupa informasi yang diperoleh dari sumber yang dapat dipercaya. Teknik ini digunakan agar data yang diperoleh melalui wawancara dapat dibandingkan dengan dokumen yang ada sehingga dapat dimunculkan suatu kesimpulan dari penelitian ini. Dokumen diambil dari SK Gubernur Sumbar, SK Walikota Padang, SK Menteri Kehutanan, 25
notulen rapat, bahan rapat, arsip surat yang berkaitan dengan konflik, perjanjian atau akta notaris, berita koran, berita di media online. c) Teknik observasi Teknik ini digunakan untuk memperoleh informasi yang bersifat terselubung, yang tidak dapat diperoleh dengan cara wawancara, yang meliputi pola interaksi masyarakat dengan PT SP, pola interaksi antara masyarakat, pemerintah dan PT SP, dan kegiatan yang dilakukan PT SP pada lahan 412,03 ha. Hal ini penting dilakukan agar mendapatkan data yang lebih komprehensif disamping menggunakan wawancara dan studi dokumenter.
3.
Teknik Analisis Data Data yang dikumpulkan melalui penelitian lapangan dan dokumen, diolah dan
dianalisis dengan menggunakan analisis deskriptif dengan pendekatan kualitatif. Metode deskriptif adalah pencarian fakta dengan interpretasi yang tepat, bertujuan untuk mempelajari masalah-masalah yang ada dalam masyarakat, tingkah laku dan situasi tertentu termasuk hubungan, kegiatan-kegiatan, sikap, pandangan, serta proses yang sedang berlangsung dan pengaruh-pengaruh dari suatu fenomena. Analisis data dilakukan melalui kegiatan sebagai berikut: •
Reduksi data, yaitu kegiatan menelaah kembali seluruh catatan yang diperoleh melalui teknik observasi dan wawancara.
•
Display data adalah merangkum hal-hal pokok dan kemudian disusun dalam bentuk deskripsi yang naratif dan sistemik sehingga dapat memudahkan untuk mencari tema sentral sesuai dengan fokus atau rumusan unsur-unsur yang dievaluasi serta mempermudah untuk memberi makna.
•
Interpretasi data, yaitu melakukan pencarian makna dari data yang dikumpulkan secara lebih teliti.
H. KERANGKA PEMIKIRAN Adapun kerangka pikir dalam penelitian konflik tanah ulayat ini dapat digambarkan sebagai berikut:
26
Gambar 1. Kerangka Pikir Penelitian Eskalasi
Konflik Tanah Ulayat
Sejarah Areal 412,03 Ha
Anatomi Konflik
Dinamika Konflik
Penyelesaian Konflik
De-eskalasi
Tanah Ulayat Nagari
I.
Kawasan Hutan
SISTEMATIKA PENULISAN
BAB I PENDAHULUAN, berisi uraian latar belakang masalah, perumusan masalah, tujuan, manfaat penelitian serta kerangka teori, menguraikan tentang konsep konflik, konsep tanah ulayat dan konflik tanah ulayat. Disamping itu diuraikan juga definisi konsep dan operasional, metodologi penelitian, kerangka pemikiran serta sistematika penulisan. BAB II TANAH ULAYAT NAGARI LUBUK KILANGAN DAN PT SP, memberikan gambaran hal-hal yang terkait dengan kondisi geografis dan demografis masyarakat Nagari Lubuk Kilangan, seratustahun perjalanan PT SP, sejarah penyerahan tanah ulayat nagari Lubuk Kilangan kepada PT SP, dan sejarah tanah ulayat 412,03 ha. BAB III ANATOMI DAN DINAMIKA KONFLIK. Dalam bab ini diuraikan aktor utama konflik dan aktor lain yang berkepentingan, penyebab konflik, dan gambaran urutan waktu dan faktor-faktor yang mendorong konflik mengalami eskalasi dan deeskalasi. BAB IV UPAYA PENYELESAIAN KONFLIK, memberikan gambaran tentang berbagai upaya penyelesaian konflik dan posisi aktor dalam resolusi konflik tersebut. BAB V PENUTUP, terdiri dari kesimpulan dan rekomendasi.
27