33
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Berkembangnya teknologi dan bertambah baiknya tingkat perekonomian seperti saat ini mempengaruhi pergeseran pola penyakit yang ditandai dengan beralihnya penyebab kematian, semula didominasi oleh penyakit menular bergeser ke penyakit tidak menular (non-communicable disease) yang dipengaruhi oleh keadaan demografi, sosial ekonomi, dan sosial budaya. Pergeseran pola penyakit ini seperti tercatat pada hasil Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) tahun 1997 dan Survei Kesehatan Nasional Tahun 2000, diketahui penyebab kematian tertinggi pada kelompok orang dewasa adalah penyakit kardio-vaskuler (Depkes RI, 1997 dan 2000). Word Health Organization
(WHO) menyatakan pergeseran kematian
akibat penyakit tidak menular sudah melanda negara-negara berkembang. Tahun 2000 WHO melaporkan sebanyak 55.694.000 kematian, ternyata 59 persen akibat kecelakaan dan sisanya akibat penyakit lain. Menurut World Health Report 2000 oleh WHO menyatakan bahwa 5 penyakit paru utama merupakan 17,4 % dari seluruh kematian yang ada di dunia yang meliputi penyakit infeksi paru 7,4 %, Penyakit Paru Obstruksi Kronik
4,8 %, tuberkulosis 3 %, kanker
paru/trakea/bronkus 2,1% dan asma 0,3%. Sementara itu Bank Dunia menyatakan bahwa 13,3 % dari seluruh Disability Adjusted Life Years (DALY) disebabkan oleh kelima penyakit tersebut. The Asia Pacific Chronic Obstructive Pulmonary Disease Roundtable Group memperkirakan jumlah penderita Penyakit Paru Obstruksi Kronik sedang hingga berat di negara-negara Asia Pasifik tahun 2006 mencapai 56,6 juta penderita dengan prevalensi 6,3%, sementara di Indonesia berkisar 4,8 juta dengan prevalensi 5,6% (Kemenkes, 2011). Penyakit Paru Obstruksi Kronik merupakan salah satu masalah besar di bidang kesehatan
dengan prevalensi 4-6% pada penduduk dewasa di Eropa
dengan prevalensi didominasi jenis kelamin laki-laki dan meningkat seiring dengan bertambahnya usia (Gulsvik, 1999).
Penyakit Paru Obstruksi Kronik
adalah penyebab utama kematian bagi individu berusia diatas 65 tahun dan merupakan penyebab kematian ke empat penduduk di Amerika Utara (Hackett, 2010). Menurut Widjaya (2006) dalam Suradi (2007), Penyakit Paru Obstruksi Kronik menempati urutan ke-4, naik dari peringkat ke-6 pada 5 tahun sebelumnya dalam daftar penyakit penyebab kematian, dan diperkirakan pada tahun 2020 PPOK akan menempati urutan ke-3. Hal ini sama dengan yang dikatakan Lopez (2006) yang mengatakan bahwa PPOK menempati urutan kelima penyakit terbanyak di seluruh dunia pada tahun 2002 dan akan menempati urutan ketiga pada tahun 2020. Studi nasional di Inggris menyebutkan 10% laki-laki dan 11% perempuan berumur 16 – 65 tahun mengalami obstruksi ringan, sedangkan di Kota Manchester dilaporkan sekitar 11% orang dewasa berumur lebih dari 45 tahun mengalami obstruksi saluran nafas yang irreversible, 6,8% penduduk dewasa di Amerika mengalami PPOK ringan, 1,5 % derajat sedang dan 0,5 % dalam kondisi derajat berat (Devereux, 2006). Sedangkan menurut Suradi (2007) mengatakan bahwa angka kesakitan penderita PPOK laki-laki mencapai 4%, angka kematian mencapai 6% dan angka kesakitan pada wanita adalah 2% dengan angka kematian 4% pada umur di atas 45 tahun. Prevalensi PPOK pada laki-laki sebesar 8,5-22,2% dan pada perempuan sebesar 5,1-16,7%, sedangkan pada orang dewasa pada usia lebih dari 40 tahun mencapai 9-10% (Buist,
et.al., 2007).
Pada laki-laki usia 55-74 tahun PPOK merupakan penyebab kematian ke tiga dan pada perempuan merupakan penyebab kematian ke empat. Antara tahun 1980 dan tahun 2000, didapat angka kematian akibat PPOK meningkat 28,2% pada perempuan dan 13% pada laki-laki (Mahler, et al., 2007). Demikian juga dengan tingkat mortalitas dan morbiditas juga meningkat dengan kematian mencapai 30.000 jiwa setiap tahun di Inggris dan di Amerika Utara merupakan penyebab kematian ke empat (Mannino, 2007). Word Health Organization (WHO) menyebutkan angka kematian akibat PPOK tahun 2010 diperkirakan menduduki peringkat ke empat bahkan dekade mendatang menjadi peringkat ke tiga. Data WHO juga menunjukkan bahwa pada
34
tahun 1990 PPOK menempati urutan ke-6 sebagai penyebab utama kematian di dunia, sedangkan pada tahun 2002 telah menempati urutan ke-3 setelah penyakit kardiovaskuler dan kanker
(Depkes RI, 2008).
Hasil survei penyakit tidak
menular oleh Direktur Jenderal Pemberantasan Penyakit Menular dan Penyehatan Lingkungan di lima rumah sakit propinsi di Indonesia (Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Lampung, dan Sumatera Selatan) tahun 2004, menunjukkan PPOK menempati urutan pertama angka kesakitan (35%), diikuti asma bronkial (33%), kanker paru (30%) dan lainnya (2%) (Depkes RI, 2008). Timbulnya kasus PPOK disebabkan oleh
meningkatnya usia harapan
hidup dan semakin tingginya paparan faktor risiko, antara lain semakin banyaknya jumlah perokok khususnya pada kelompok usia muda, serta pencemaran udara di dalam ruangan maupun di luar ruangan dan di tempat kerja (Kepmenkes, 2008). Diperkirakan di tahun 2012
PPOK telah menduduki peringkat ke empat di
Indonesia dan dari hasil prediksi di tahun 2020 nanti, PPOK menjadi penyebab kematian ketiga nasional (Abner, et al. 2010). Indonesia diperkirakan terdapat 4,8 juta penderita PPOK dengan prevalensi 5,6 persen dan ada kecenderungan terjadi peningkatan jumlah kasus PPOK yang mencapai 100 persen dibandingkan 5 tahun lalu ( Yunus, 2005). Hal itu disebabkan oleh beberapa faktor antara lain peningkatan usia harapan hidup orang Indonesia, dan prevalensi merokok yang makin tinggi di kalangan penduduk, terutama kalangan muda, disamping semakin majunya teknologi kedokteran, tersedianya dokter ahli dan semakin lengkapnya sarana pelayanan kesehatan. Salah satu faktor risiko PPOK adalah paparan debu atau polusi udara terutama di kota besar, lokasi industri dan di pertambangan (PDPI, 2003). Dan salah satu jenis industri yang berisiko terhadap PPOK tersebut adalah industri tobong genteng, tobong gamping, tambang batu kapur dan sejenisnya. Hasil penelitian pada pekerja tambang batu kapur di Desa Darmakradenan Kecamatan Ajibarang Kabupaten Banyumas Tahun 2005 menunjukkan bahwa faktor-faktor instrinsik yang terbukti berhubungan dengan penurunan kapasitas paru adalah indek masa tubuh kurus (OR=2,5; 95%CI= 1,9-24,4) dan faktorfaktor ekstrinsik yang terbukti berhubungan juga adalah kadar debu lebih dari 350
35
mg/m3 udara / hari (OR=2,8; 95%CI=1,8-9,9), bekerja pada proses produksi pembakaran (OR=7,9; 95% CI = 1,6-78,9), kebiasaan merokok tingkat sedang (OR=6,0; 95% CI=1,6-78,9), dan kebiasaan tidak pernah memakai masker OR=5,4; 95% CI = 1,5-32,5 (Jati, 2010). Sedang hasil penelitian Syamsudin (2003) di Kecamatan Cepogo Kabupaten Boyolali pada pekerja pengrajin tembaga di dapatkan bahwa proporsi kasus yang tidak terpapar faktor risiko debu terendap sebesar 26,7% dan yang terpapar faktor risiko debu terendap sebesar 59,8% dengan nilai RP sebesar 6,5. Faktor risiko penyakit paru obstruktif kronik (PPOK) adalah hal-hal yang berhubungan dan atau yang mempengaruhi/menyebabkan terjadinya PPOK pada seseorang atau kelompok tertentu. Faktor risiko tersebut meliputi faktor pejamu (host) yaitu genetik, jenis kelamin, dan anatomi saluran nafas. Faktor paparan lingkungan meliputi merokok, status sosio ekonomi, hipereaktivitas saluran nafas, pekerjaan, polusi lingkungan, kejadian saat perinatal, infeksi bronkopulmoner rekuren dan lain-lain (Kemenkes, 2011). Polusi udara yang terdiri dari polusi di dalam ruangan (asap rokok, asap kompor) dan polusi di luar ruangan (gas buang kendaraan bermotor, debu jalanan), serta polusi di tempat kerja (bahan kimia, zat iritasi, gas beracun) adalah faktor risiko yang perlu diwaspadai (Widjaya, 2006) dalam Suradi, 2007).
Sementara itu faktor yang mempengaruhi terjadinya
gangguan faal paru pada pekerja tambang dan sejenisnya adalah lama paparan debu dan karakteristik penambang seperti usia penambang, kebiasaan merokok, dan status gizi pekerja (Guyton, 2006). Hasil Survei Sosial Ekonomi Nasional (SUSENAS) tahun 2001 menunjukkan jumlah perokok di Indonesia sebesar 31,8% dan meningkat menjadi 32% di tahun 2003 dan menjadi 35% di tahun 2004. Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS) tahun 2007 menunjukan prosentase nasional perokok yang merokok di dalam rumah ketika bersama anggota keluarga lain sebesar 85,4%. Kementerian Kesehatan RI tahun 2010 menunjukkan bahwa jumlah perokok yang berisiko menderita PPOK atau kanker paru berkisar antara 20-25%. Saat ini Indonesia menjadi salah satu produsen dan konsumen rokok atau tembakau serta menduduki urutan kelima setelah negara dengan konsumsi rokok terbanyak di
36
dunia, yaitu China dengan konsumsi rokok 1.643 miliar batang rokok per tahun, Amerika Serikat dengan 451 miliar batang setahun, Jepang dengan 328 miliar batang per tahun, Rusia dengan 258 miliar batang per tahun, disusul Indonesia dengan 215 miliar batang rokok per tahun (Suradi, 2007). Suatu hal yang menjadi kebiasaan para perokok bahwa jika batuk setelah merokok maka dianggap karena jenis rokoknya yang tidak cocok dan akan sembuh kalau menghisap rokok merek tertentu.
Masyarakat telah mengenal
kanker paru, asma, bronkitis, penyakit jantung atau penyakit lain yang berhubungan kebiasaan merokok, namun sedikit yang mengenal PPOK. Padahal seiring dengan banyaknya faktor risiko yang ada karena alamiah atau karena perilaku manusia, PPOK telah menjadi burden of disease, dimana semakin lama semakin berkembang pesat bahkan diprediksi akan melebihi kanker paru (Mangunnegoro, 2002).
Faktor risiko lain
yang berkaitan dengan merokok
adalah penyalahgunaan alkohol dan stres kejiwaan, bahwa penelitian di Irlandia menunjukkan hubungan yang signifikan antara PPOK dengan konsumsi alkohol (OR 2,1, 95% CI 1,4-3,3), sedangkan hubungan stres kejiwaan dengan kejadian PPOK juga menunjukkan angka yang berarti dengan OR 1,8, 95% CI 1,2-2,7 (Kupiainen, 2012). Menurut Kementerian Kesehatan (2011) faktor risiko PPOK selain asap rokok adalah polusi udara oleh karena asap kendaraan bermotor yang mencapai 70% sampai 80% dari total pencemaran udara. Penyebab polusi yang lain adalah karena asap dari aktifitas rumah tangga yang menurut Kemenkes tahun 2011 pula menunjukkan 40% rumah tangga di Indonesia memasak menggunakan arang atau kayu sebagai bahan bakar. Sementara itu keluhan yang mendorong penderita PPOK datang ke dokter biasanya pada saat penyakit sudah pada tahap lanjut dimana perjalanan penyakit sudah mencapai 75%. Padahal sampai saat ini belum ada cara untuk mendeteksi PPOK secara dini, alat spirometer ataupun peak flow meter hanya bisa mendeteksi setelah penyakit berjalan mencapai 50% (Mangunnegoro, 2002). Keluhan yang paling sering dikeluhkan adalah intoleransi latihan fisik. Penderita sering merasa depresi, terisolasi karena selalu berusaha untuk menghindari sesak napas saat
37
melakukan aktivitas sehari-hari (Petty, 2000).
Pengobatan PPOK tergolong
mahal, sebagai perbandingan untuk tuberkulosis (TB) biaya pengobatan enam bulan membutuhkan biaya Rp. 100.000,- per bulan dengan tingkat kesembuhan tinggi. Namun untuk PPOK tidak bisa sembuh dan pengobatan ini hanya bersifat suportif paliatif, hanya untuk memperbaiki kualitas hidup, harga obat dua hingga tiga kali lipat obat TB dan perlu pengobatan seumur hidup (Suradi, 2007). Wilayah Kabupaten Kebumen memiliki potensi untuk mendukung timbulnya PPOK pada penduduk karena adanya industri tobong genteng, tobong gamping, pertambangan pasir dan pertambangan batu kapur yang tersebar di hampir semua wilayah kecamatan yang ada di Kabupaten Kebumen. Dinas Perindustrian Perdagangan dan Koperasi Kabupaten Kebumen memberikan gambaran bahwa ada 2.295 industri kecil dan 1.151 (50,15%) adalah industri proses penggalian non logam termasuk didalamnya adalah galian tanah liat untuk bahan baku genteng dan penggalian batu kapur. Jumlah tenaga yang bekerja pada sektor industri tersebut mencapai 74.405 orang (76,91%) dari jumlah total tenaga kerja sebanyak 96.743 orang pada tahun 2010. Jumlah industri genteng sejumlah 736 buah, batu kapur 130 buah dan penggalian pasir 118 buah.
Menururt Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi
Kabupaten Kebumen bahwa setiap satu industri genteng atau batu kapur bisa menyerap 3 sampai dengan 5 orang tenaga kerja, sehingga dapat diperkirakan ada 3.695 pekerja di industri genteng dan 650 pekerja di industri batu kapur. Berdasarkan data dari Dinas Perindustrian Perdagangan dan Koperasi penyebaran industri genteng tersebut tersebar di 6 wilayah kecamatam di Kabupaten Kebumen seperti pada Tabel 1 berikut:
38
Tabel 1. Distribusi Industri Genteng Tiap Kecamatan di Kabupaten Kebumen tahun 2012 No
Kecamatan
Jenis Industri
Jumlah Industri
1
Pejagoan
Genteng
332
1.660
185 95 79 24 21 736
930 475 395 120 105 3.695
2 3 4 5 6
Sruweng Genteng dan bata Klirong Genteng dan bata Kebumen Genteng dan bata Buluspesantren Genteng Petanahan Genteng dan bata Jumlah
Jumlah Pekerja
Sumber: Dinas Perindagkop Kabupaten Kebumen 2012
Dari Tabel 1 di atas dapat diketahui bahwa industri genteng tersebar di 6 kecamatan dengan distribusi terbanyak di Kecamatan Pejagoan (332 buah) dan paling sedikit di Kecamatan Petanahan yaitu 21 buah. Banyaknya industri tobong genteng ini dicurigai berhubungan dengan peningkatan kasus PPOK di Kabupaten Kebumen yang kasusnya menyebar di beberapa puskemsas. Jumlah pekerja yang berisiko terkena penyakit pernapasan termasuk PPOK ada 3.695 orang ditambah penduduk yang bukan pekerja yang jumlahnya lebih banyak. Puskesmas yang melaporkan adanya kasus PPOK melalui format laporan bulanan tahun 2011 adalah seperti Tabel 2 berikut: Tabel 2. Data Kasus PPOK Terbanyak Kabupaten Kebumen Bersumber Data Puskesmas Tahun 2011 No
Puskesmas
Jml. PPOK
1 2 3 4 5 6 7 8
Gombong I Pejagoan Buluspesantren Ambal I Sruweng Kutowinangun Mirit Alian Jumlah
124 100 40 36 22 17 14 12 365
Sumber: Laporan Program PTM Dinas Kesehatan Kabupaten Kebumen tahun 2011
39
Dari Tabel 2 diatas dapat diketahui bahwa jumlah kasus PPOK terlaporkan paling banyak dari Puskesmas Gombong I dan paling sedikit dari Puskesmas Mirit. Sedangkan data kasus PPOK yang dilaporkan oleh Rumah Sakit adalah seperti tabel 3 berikut: Tabel 3. Data Kasus PPOK Terbanyak Kabupaten Kebumen Bersumber Data Rumah Sakit Tahun 2011 No
Rumah Sakit
Jumlah
1 PKU Muh. Gombong 217 2 RSUD Kebumen 145 3 Palang Biru Gombong 92 4 PKU Muh. Sruweng 35 Jumlah 489 Sumber: Laporan Program PTM Dinas Kesehatan Kabupaten Kebumen tahun 2011
Sedangkan dari Tabel 3 di atas menunjukkan bahwa kasus PPOK paling banyak dilaporkan dari Rumah Sakit PKU Muh. Gombong.
Hal ini
dimungkinkan karena Kecamatan Gombong adalah salah satu kecamatan yang banyak industri, salah satunya adalah pabrik rokok yang memungkinkan terjadinya pencemaran udara yang akan berpengaruh dengan penyakit paru. Untuk tingkat konsumsi rokok bagi masyarakat Kebumen bahwa dari data Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS) di Dinas Kesehatan Kabupaten Kebumen menunjukkan bahwa presentase rumah tangga bebas asap rokok baru mencapai 13%.
Walaupun belum pernah dilakukan survei komsumsi rokok
namun dapat dikatakan bahwa komsumsi rokok bagi masyarakat Kebumen sangat tinggi.
Demikian juga konsumsi rokok bagi pekerja, dari hasil pengamatan
langsung di lokasi tobong genteng ternyata rata-rata pekerja tobong adalah perokok. Disamping komsumsi rokok tinggi, kondisi kesehatan bagi pekerja pada umumnya juga tidak diperhatikan. Selama ini baik Dinas Tenaga Kerja maupun Puskesmas belum pernah melakukan kegiatan program Kesehatan dan Keselamatan Kerja (K3). Pelayanan kesehatan dan gizi yang belum memadai antara lain dapat dilihat bahwa pekerja kelas menengah kebawah umumnya menderita kurang gizi seperti Kurang Energi Protein (KEP), anemia serta sering
40
menderita penyakt infeksi. Sedangkan pada pekerja kelas menengah atas, umumnya terjadi kegemukan atau obesitas. Sebagian besar masalah gizi pada pekerja adalah sebagai akibat langsung kurangnya asupan makanan yang tidak sesuai dengan beban kerja (Hendrayati, et al., 2009). Dari hasil pengamatan ke lapangan dengan menanyakan kepada pekerja rata-rata pekerja sudah bekerja lebih dari 5 tahun dan usia mulai kerja rata-rata usia 25 tahun atau setelah menikah. Didapat informasi dari pemerintah desa setempat bahwa kenyataan di desa yang penduduknya banyak sebagai pekerja tobong, rata-rata pekerja tobong genteng ini setelah tua menderita gangguan pernapasan. Dan penyebab kematiannya adalah karena menderita penyakit organ dalam seperti paru, ginjal, hati, dan sebagainya. Alat pelindung diri (APD) khususnya masker adalah sangat penting bagi pekerja industri yang pada proses produksi hasil industrinya menghasilkan debu, namun kenyataannya sangat sedikit pekerja yang mau memakai karena alasan mengganggu aktifitas pekerjaan. Hasil dari pengamatan ke lokasi tobong genteng 70% pekerja tidak
memakai masker pada saat bekerja. Hal ini akan sangat
berbahaya bagi kesehatan parunya salah satunya adalah menimbulkan PPOK jika paparannya lama. Sampai saat ini belum diketahui bagaimana kondisi kesehatan masyarakat hubungannya dengan kesehatan paru-paru, pada para pekerja maupun penduduk di sekitar industri tersebut. Penelitian mengenai penyakit paru khususnya PPOK di daerah ini belum pernah dilakukan untuk mengetahui sejauh mana dampak kondisi paparan polusi yang dialami oleh pekerja tobong genteng maupun penduduk di sekitarnya dan kemudian diharapkan dapat dilakukan tindakan penanggulangan. Pemantauan kualitas udara ambien telah dilakukan oleh Kantor Lingkungan Hidup Kabupaten Kebumen dengan hasil yang bervariasi untuk masing-masing lokasi. Pada umumnya kadar flourides, H₂S, CO telah melebihi nilai ambang batas, sedangkan untuk SO₂, NO₂ dan O₃ tidak diketahui karena keterbatasan alat.
41
Prevalensi kasus PPOK bersumber dari laporan bulanan Penyakit Tidak Menular (PTM) di Dinas Kesehatan Kabupaten Kebumen untuk empat tahun terakhir adalah seperti grafik berikut: 4000 3000
Jml
2000
Ranap
1000
Rajal
0 2008
2009
2010
2011
Gambar 1. Grafik Kasus Penyakit Paru Obstruksi Kronis di Dinas Kesehatan Kabupaten Kebumen Tahun 2008 – 2011 Dari Gambar 1 di atas menunjukkan adanya peningkatan jumlah kasus PPOK dari tahun ke tahun yang dimungkinkan karena adanya beberapa faktor risiko. Berdasar uraian di atas menunjukkan bahwa faktor risiko untuk terjadinya PPOK di Kabupaten Kebumen sangat mendukung, sehingga peneliti tertarik untuk melakukan penelitian hubungan antara beberapa faktor risiko PPOK pada pekerja tobong genteng di Kabupaten Kebumen. B. Perumusan Masalah Berdasarkan uraian latar belakang tentang paparan faktor risiko dan bahayanya terhadap PPOK , maka rumusan masalah pada penelitian ini adalah sebagai berikut: Apakah ada hubungan antara umur, status gizi, kebiasaan merokok, lama kerja/terpapar dan kebiasaan memakai masker dengan kejadian PPOK
pada
pekerja tobong genteng di Kabupaten Kebumen? C. Tujuan Penelitian. 1. Tujuan Umum Untuk mengetahui faktor risiko kejadian PPOK pada pekerja tobong genteng di Kabupaten Kebumen.
42
2. Tujuan Khusus a. Untuk mengetahui hubungan umur terhadap kejadian PPOK pada pekerja tobong genteng di Kabupaten Kebumen. b. Untuk mengetahui hubungan status gizi terhadap kejadian PPOK pada pekerja tobong genteng di Kabupaten Kebumen. c. Untuk mengetahui hubungan kebiasaan merokok terhadap kejadian PPOK pada pekerja tobong genteng di Kabupaten Kebumen. d. Untuk mengetahui hubungan lama kerja dengan kejadian PPOK pada pekerja tobong genteng di Kabupaten Kebumen. e. Untuk mengetahui hubungan kebiasaan memakai masker terhadap kejadian PPOK pada pekerja tobong genteng di Kabupaten Kebumen.
D. Manfaat Penelitian 1. Bagi Masyarakat Dapat memberikan informasi adanya hubungan umur, status gizi, kebiasaan merokok, lama kerja, kebiasaan memakai masker dengan kejadian PPOK pada masyarakat pekerja tobong genteng di Kabupaten Kebumen. 2. Dinas Kesehatan Kabupaten Kebumen, penelitian ini dapat memberikan masukan dalam menyusun langkah, strategi dan kebijakkan kesehatan yang berhubungan dengan industri genteng untuk peningkatan derajat kesehatan masyarakat. 3. Untuk fakultas, sebagai tambahan kepustakaan kesehatan masyarakat terutama pada minat epidemiologi bahwa keberadaan industri akan berakibat terhadap lingkungan dan berpengaruh terhadap kesehatan bila tidak dikelola dengan baik. 4. Untuk peneliti lain, hasil kegiatan ini diharapkan dapat melengkapi penelitian adanya hubungan antara umur, status gizi, kebiasaan merokok, lama kerja, kebiasaan memakai masker dengan kejadian PPOK pada pekerja tobong genteng.
43
E. Keaslian Penelitian Penelitian faktor risiko penyakit paru obstruksi kronik pada pekerja tobong genteng di Kabupaten Kebumen Provinsi Jawa Tengah belum pernah dilakukan. Beberapa penelitian yang berhubungan dengan Penyakit Paru Obstruksi Kronik ini, dapat dilihat pada Tabel 4 berikut: Tabel. 4: Keaslian Penelitian Peneliti Yulianto (2006)
Judul Beberapa faktor yang berhubungan dengan kejadian PPOK di Kabupaten Magelang
Persamaan Variabel dependen : Kejadian PPOK Analisis silang
data:
tabulasi
Perbedaan Subyek penelitian : penderita PPOK di RS Soedjono, Magelang Variabel independen : Riwayat keluarga, Penggunaan racun serangga bakar, Paparan polutan di tempat kerja. Desain penelitian : case control Lokasi penelitian: Kabupaten Magelang
Indiarto (2009)
Hubungan kebiasaan merokok dengan kejadian Penyakit Paru Obstruksi Kronik
Varibel dependen: Kejadian PPOK
Syamsudin (2003)
Hubungan kualitas udara dengan kejadian PPOK pada pengrajin tembaga di Kecamatan Cepogo Kabupaten Boyolali
Suharnadi (2005)
Prevalensi dan faktorfaktor yang berhubungan dengan PPOK pada pekerja pabrik tekstil.
Variabel dependen : Kejadian PPOK Variabel independen: umur, merokok, lama kerja, status gizi, penggunaan masker . Desain : crossectional Analisis : tabulasi silang Variabel dependen : Kejadian PPOK
Wulan (2006)
Hubungan derajat keparahan PPOK dengan kualitas hidup
Analisis silang
data:
tabulasi
Variabel independen: merokok, lama kerja Analisis data: tabulasi silang Desain penelitian : crossectional Variabel dependen : Kejadian PPOK Analisis data: tabulasi silang
Variabel independen : Jumlah rokok, Cara merokok, Jenis rokok, kontinuitas merokok. Lokasi penelitian: Kota Semarang Desain : case control Subyek penelitian: pengrajin tembaga Lokasi : Kabupaten Boyolali.
Variabel independen: kadar debu kapas, Subyek penelitian : pekerja pabrik tekstil Lokasi: Kabupaten Sleman
Subyek penelitian : pasien RS Sardjito Varibel independen : kualitas hidup Lokasi penelitian: RS. Sardjito
44
BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Telaah Pustaka 1. Pengertian Penyakit Paru Obstruksi Kronik Penyakit paru obstruktif kronik (PPOK) adalah penyakit yang ditandai dengan hambatan aliran udara di saluran napas yang tidak sepenuhnya reversibel. Hambatan aliran udara ini bersifat progresif dan berhubungan dengan respons inflamasi paru terhadap partikel atau gas yang beracun atau berbahaya ( Kemenkes RI, 2011). The National Institute for Clinical Excellence in England (2004), PPOK didefinisikan sebagai “ ditandai dengan obstruksi aliran udara biasanya progesif, tidak sepenuhnya reversibel dan tidak berubah dalam beberapa bulan dan penyakit ini terutama disebabkan oleh merokok” (Devereux, 2006). Menurut Waspodo (2003) dalam Abner (2008) bahwa bentuk utama PPOK yaitu Emfisema Paru dan Bronkitis Kronis dan ternyata Emfisema merupakan kontributor terbesar pada kejadian PPOK. Kelainan pada emfisema berbentuk pelebaran abnormal dan permanen ruang udara distal bronkiolus terminalis yang diakibatkan oleh destruksi difus dinding alveoli tanpa fibrosis yang nyata, bersifat kronik, progresif dan memberikan kecacatan yang menetap. Pada PPOK paru-paru rusak secara permanen dan bronkus menyempit secara permanen yang disebabkan peradangan kronik pada bronkus akibat asap rokok atau kerusakan permanen pada alveoli yang disebut sebagai emphysema. Kadang kedua kondisi ini terjadi bersamaan (Puhan, et al., 2010) Menurut Buku Pedoman Pengendalian Penyakit Paru Obstruksi Kronik dari Kementerian Kesehatan (2011) menyatakan bahwa saluran napas dan paru berguna untuk proses respirasi yaitu pengambilan oksigen untuk keperluan metabolisme dan pengeluaran karbondioksida dan air sebagai hasil metabolisme. Proses ini terdiri dari tiga tahap, yaitu ventilasi, difusi dan perfusi. Ventilasi adalah proses masuk dan keluarnya udara dari dalam paru.
Difusi adalah
peristiwa pertukaran gas antara alveolus dan pembuluh darah, sedangkan perfusi adalah distribusi darah yang sudah teroksigenisasi. Gangguan ventilasi terdiri atas 45
gangguan restriksi yaitu gangguan pengembangan paru serta gangguan obstruksi berupa perlambatan aliran udara di saluran napas. Pengobatan
PPOK akan membutuhkan biaya yang tinggi dan
keberhasilannya tidak bisa terjamin. Saat ini ada sekitar 30 juta penderita PPOK di Amerika, biaya yang harus dikeluarkan untuk mengobati penderita tersebut mencapai 61,2 milyar dolar pertahun (Alamsyah, 2008).
Sebuah penelitian
menyimpulkan bahwa bukti yang kuat menunjukan statin dapat mengurangi morbiditas dan mortalitas pada pasien dengan PPOK (Dobler, 2009). Menurut Buku Pedoman Pengendalian Penyakit Paru Obstruksi Kronik tahun 2011, bahwa parameter yang sering dipakai untuk melihat gangguan restriksi adalah kapasitas vital (KV).
Sedangkan untuk gangguan obstruksi
digunakan parameter volume ekspirasi paksa detik pertama (VEP1) dan rasio volume ekspirasi paksa detik pertama terhadap kapasitas vital paksa (VEPI/KVP). Sedangkan alat yang biasa dipakai adalah spirometer yang dapat untuk mengukur berbagai parameter ventilasi paru). Sementara itu penemuan dan Tatalaksana Kasus merupakan salah satu kegiatan penting dalam Program Pengendalian PPOK. Tujuan dilakukannya kegiatan ini yaitu agar terlaksananya deteksi dini pada kelompok masyarakat berisiko PPOK dan terlaksananya penegakkan diagnosis dan tatalaksana pasien PPOK sesuai standar, serta menurunnya angka kesakitan dan kematian PPOK. Sasaran kegiatan ini yaitu kelompok masyarakat berisiko dan penderita PPOK. deteksi dini.
Sedangkan kegiatan yang dilakukan meliputi
Deteksi dini dilakukan dengan pemeriksaan spirometri pada
kelompok masyarakat atau individu berisiko tinggi secara berkala. Kelompok berisiko tinggi antara lain: a. Perokok Semua perokok dengan usia > 35 tahun dan semua orang yang mempunyai riwayat merokok atau masih merokok sebanyak 20 batang rokok setiap hari selama minimal 24 bulan, dengan atau tanpa gejala respirasi. b. Kelompok masyarakat yang bekerja atau tinggal di daerah pertambangan (batu, batu bara, asbes), pabrik (bahan baku asbes, baja, mesin, perkakas logam keras, tekstil, kapas, semen, bahan kimia), penghalusan batu,
46
penggerindaan logam keras, penggergajian kayu dan pekerja khusus (salon, cat, foto copy), polantas, karyawan penjaga pintu tol, dan lain–lain. c. Termasuk dalam kelompok berisiko adalah ibu rumah tangga yang memasak dengan menggunakan kayu bakar atau kompor minyak tanah dengan ventilasi ruangan yang kurang baik. 2. Diagnosis PPOK Diagnosis PPOK secara klinis ditegakkan apabila: a.
Anamnesis: 1. Ada faktor risiko : usia (pertengahan), riwayat pajanan (asap rokok, polusi udara, polusi tempat kerja) 2. Gejala: batuk kronik, berdahak kronik dan sesak napas terutama pada saat melakukan aktivitas. Anamnesis sesak napas disesuaikan dengan skala sesak tabel berikut:
Tabel 5: Skala Sesak Skala sesak
Keluhan sesak berkaitan dengan aktivitas
1
Tidak ada sesak, kecuali beraktivitas berat
2
Sesak timbul jika berjalan cepat atau berjalan mendaki
3
Berjalan lebih lambat dibanding orang sebaya, karena sesak
4
Harus berhenti untuk bernapas setelah berjalan 50 meter.
5
Sesak napas saat memakai/melepas pakaian
Sumber: Kemenkes RI, 2011. b. Pemeriksaan fisik Pada pemeriksaan fisik seringkali tidak ditemukan kelainan yang jelas terutama pada PPOK derajat ringan, namun sudah mulai terdapat hiperinflamasi alveoli. Sedangkan pada PPOK derajat sedang dan berat terlihat perubahan cara bernapas. c. Pemeriksaan penunjang
47
Pemeriksaan penunjang yang diperlukan pada diagnosis PPOK antara lain: Radiologi (foto toraks), Spirometer, Laboratorium darah rutin, Analisa gas darah, Mikrobiologi sputum. 3. Derajat PPOK Penentuan derajat PPOK sesuai dengan Kemenkes tahun 2011 adalah sebagai berikut: Faal Paru
Keterangan
Derajat I: PPOK Ringan
Derajat
Sesak kadang-kadang tapi tidak selalu, batuk kronik dan berdahak
Klinis
VEP1/KVP <70% VEP1 ≥ 80% prediksi
Pasien belum menyadari terdapatnya kelainan fungsi paru
Derajat II: PPOK Sedang
Perburukan dari penyempitan jalan napas, ada sesak napas terutama pada saat exercise
VEP1/KVP <70% 50% ≤ VEP1 <80% Prediksi
Pada kondisi ini pasien datang berobat karena eksaserbasi atau keluhan pernapasan kronik
Derajat III: PPOK Berat
Perburukan penyempitan jalan napas yang semakin berat, sesak napas bertambah, kemampuan exercise berkurang berdampak pada kualitas hidup
VEP1/KVP <70% 30%≤ VEP1 <50 % prediksi
Derajat IV: PPOK Sangat Berat
Penyempitan jalan napas yang berat
VEP1/KVP <70% VEP1 < 30% prediksi atau VEP1 < 50% prediksi dengan gagal napas kronik
Sering disertai komplikasi. Pada kondisi ini kualitas hidup rendah dan sering disertai eksaserbasi berat/mengancam jiwa
Sumber: Kemenkes RI, 2011 Perlu diketahui bahwa gagal napas kronik pada PPOK ditunjukkan dengan hasil pemeriksaan analisa gas darah, dengan kriteria: hipoksemia dengan normokapnia atau hipoksemia dengan hiperkapnia.
4. Faktor Risiko PPOK
48
Faktor risiko penyakit paru obstruksi kronik (PPOK) adalah hal–hal yang berhubungan dan atau yang mempengaruhi atau menyebabkan terjadinya PPOK pada seseorang atau kelompok tertentu. Faktor risiko tersebut meliputi pejamu (umur, genetik, jenis kelamin), perilaku (kebiasaan merokok, kebiasaan memakai masker) dan faktor lingkungan yang terdiri dari pencemaran debu, partikel dan gas kimia (Kemenkes, 2011). Dari penelitian sebelumnya telah teridentifikasi beberapa faktor risiko yang ada pada pejamu yang berkaitan dengan kejadian PPOK yang terdiri dari: a. Faktor umur Fungsi paru mulai meningkat sejak lahir hingga mencapai puncaknya sekitar usia 18-25 tahun kemudian fungsi paru menurun seiring bertambahnya usia. Fungsi paru pada penderita PPOK lebih cepat menurun dibandingkan orang normal dengan usia yang sama. Penurunan fungsi paru tersebut berupa nilai VEP1 yang turun sebesar 50-100 ml/tahun pada penderita PPOK, sedangkan nilai VEP1 sebesar 20 ml/tahun pada orang normal dengan usia yang sama (MacNee, 2009). Perubahan fisiologis paru pada penderita PPOK ditandai dengan rekoil elastik paru yang menurun, dinding dada yang kaku dan kekuatan otot pernapasan yang melemah yang mengakibatkan penurunan nilai VEP1/KVP dengan volume residu yang meningkat (Fukuchi, 2009).
Salah satu
masalah besar di bidang kesehatan di Indonesia adalah kejadian Penyakit Paru Obstruksi Kronik dan menyerang 10 % penduduk usia lebih dari 40 tahun (Mangunnegoro, 2001). Hasil studi di Inggris menyatakan bahwa usia rata-rata terjadinya PPOK adalah sekitar 67 tahun dan meningkat prevalensinya dengan bertambahnya usia. Sedangkan menurut jenis kelamin bahwa kejadian pada laki-laki lebih besar dibanding pada wanita (Devereux, 2006). Penyakit Paru Obstruksi Kronik jarang terjadi pada usia 20 – 30 tahun, demikian pula pada anak-anak.
Akan tetapi tidak menutup
kemungkinan di masa tuanya anak – anak tersebut bisa terkena PPOK karena perubahan paru-paru bisa disebabkan karena penyakit asma (Schachter, 2009).
49
Penyakit Paru Obstruksi Kronis adalah penyebab utama kematian bagi individu berusia diatas 65 tahun dan menjadikan ancaman serius bagi sebagian penduduk Amerika (Hackett, 2010). Sedang menurut Tabrani (1996), umur berpengaruh terhadap elastisitas paru, dan penurunan elastisitas paru akan berpengaruh pada terjadinya PPOK. Sementara itu kejadian penyakit paru obstruksi kronik banyak ditemui pada kelompok umur 55 – 77 tahun (Sheril, et al., 1996). Faktor genetik yang utama adalah kurangnya alfa 1 antitripsin, yaitu suatu serin protease inhibitor. Hiperesponsif jalan napas juga dapat terjadi akibat pajanan asap rokok atau polusi. Pertumbuhan paru dikaitkan dengan masa kehamilan, berat lahir dan pajanan semasa anak-anak. Penurunan fungsi paru akibat gangguan pertumbuhan paru diduga berkaitan dengan risiko mendapatkan PPOK (Kemenkes, 2011).
Stres oksidatif
terjadi oleh karena ketidakseimbangan oksidan dan antioksidan yang tidak hanya menghasilkan perlukaan langsung pada paru tapi juga mengaktivasi mekanisme molekuler yang menginisiasi inflamasi paru (PDPI, 2011). Infeksi oleh bakteri dan virus dapat berkontribusi pada patogenesis dan progresi PPOK. Kolonisasi bakteri dihubungkan dengan inflamasi saluran nafas yang dapat juga berperan pada eksaserbasi. Namun hal ini jarang terjadi dan hanya 1-2% dari pasien dengan total PPOK (Anton, et al., 2001). Asma dapat menjadi faktor risiko berkembangnya PPOK meskipun buktinya tidak bersifat konklusif. Dalam suatu penelitian kohort berjangka panjang yaitu The Tucson Epidemiological Study of Airway Obstructive disesase, pada orang dewasa dengan asma menunjukan risiko 12x lebih besar menderita PPOK dibandingkan orang dewasa tanpa asma. Riwayat infeksi berat semasa anak–anak berhubungan dengan penurunan faal paru dan meningkatkan gangguan pernapasan saat dewasa. Hal ini kemungkinan disebabkan oleh hiperesponsif jalan napas dan infeksi virus (Depkes, 2008). b. Faktor status gizi
50
Hasil penilitian kohort menunjukan bahwa kematian akibat PPOK disebabkan oleh karena kegagalan aliran udara di paru. Hal ini disebabkan oleh karena beberapa faktor, salah satunya adalah karena indeks masa tubuh yang rendah dengan nilai RR 1,63, 95% CI 1,48-1,80. (Bartolome, et.al., 2004). Menurut Suma’mur (1983), menurunnya kekuatan dan daya tahan otot respirasi dapat diakibatkan oleh karena malnutrisi dan penurunan berat badan.
Status gizi yang buruk akan menyebabkan daya tahan tubuh
seseorang menurun dan menurunnya daya tahan tubuh seseorang akan mudah terinfeksi mikroba. Berkaitan dengan infeksi saluran pernapasan jika terjadi secara berulang-ulang dan disertai batuk dahak akan dapat menyebabkan terjadinya bronkitis kronis. Ketidakseimbangan nutrisi, stres oksidatif dan gangguan elektrolit merupakan salah satu yang menyebabkan disfungsi otot skeletal yang mendukung terjadinya PPOK (Ambrosino, et al., 2006). Ada beberapa metode untuk menentukan status gizi seseorang yaitu diantaranya dengan metode antropometri, biokimia, asupan pangan dan klinis serta riwayat kesehatan. Dengan pertimbangan untuk memudahkan pelaksanaan penelitian maka biasanya digunakan pengukuran dengan antropometri dengan penentuan status gizi diukur berdasar penghitungan indeks masa tubuh (IMT) dengan rumus: Berat Badan (kg) IMT= -------------------------------------------------Tinggi Badan (m) x Tinggi Badan (m) Cara ini hanya dapat diterapkan pada orang dewasa berumur lebih dari 18 tahun dan tidak dapat diterapkan pada wanita hamil. Kriteria status gizi dapat dilihat pada tabel 6 berikut:
51
Tabel 6: Status Gizi Berdasar Indek Masa Tubuh IMT
Status Gizi
Kategori
<17,0 17,0 – 18,5 18,5 – 25,0 >25,0 – 27,0 >27,0
Gizi Kurang Gizi kurang Gizi baik Gizi lebih Gizi lebih
Sangat kurus Kurus Normal Gemuk Sangat gemuk
Sumber: Depkes, 2005 Kebutuhan gizi terutama kebutuhan energi bagi pekerja sangat dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu usia, ukuran tubuh, jenis kelamin, jenis pekerjaan, keadaan fisiologis dan keadaan lingkungan kerja. Faktor lingkungan yang berpengaruh dengan status gizi pekerja adalah (Ratnawati, 2010). : 1. Suhu : tempat kerja dengan suhu tinggi akan terjadi penguapan yang tinggi sehingga pekerja mengeluarkan banyak keringat. 2. Bahan kimia : bahan kimia ada yang mengakibatkan keracunan yang berdampak pada menurunnya napsu makan, terganggunya metabolisme tubuh dan gangguan fungsi alat pencernaan sehingga menurunkan berat badan. 3. Bahan radiasi : mengganggu metabolisme sel sehingga diperlukan tambahan protein dan antioksidan untuk regenerasi sel. 4. Parasit dan mikroorganisme: pekerja yang kontak dengan tanah sering terserang kecacingan yang dapat mengganggu fungsi alat pencernaan sehingga kehilangan zat gizi. c. Faktor kebiasaan merokok Disamping faktor genetik, merokok dan ketergantungan nikotin adalah faktor risiko utama untuk mendukung terjadinya PPOK (Kim, 2011). Oleh karena itu salah satu cara untuk menghindari PPOK adalah dengan berhenti merokok, dan berhenti merokok akan memperlambat laju percepatan penurunan fungsi paru dan meningkatkan kelangsungan hidup dibanding dengan terus merokok. Usia mulai merokok dan jumlah rokok yang dihisap setiap tahunnya berpengaruh besar terhadap kejadian PPOK
52
(Godfredsen, 2012). Peningkatan usia harapan hidup, prevalensi merokok yang makin tinggi di kalangan penduduk terutama kalangan usia muda, dan semakin majunya teknologi kedokteran serta tersedianya dokter ahli dan semakin lengkapnya sarana pelayanan kesehatan merupakan faktor penyebab tingginya angka kejadian PPOK di Indonesia (Yunus, 2006). Asap rokok merupakan faktor risiko terpenting terjadinya PPOK. Prevalensi tertinggi terjadinya gangguan respirasi dan penurunan faal paru adalah pada perokok. Usia mulai merokok, jumlah bungkus per tahun dan perokok aktif berhubungan dengan angka kematian. Akan tetapi tidak seluruh perokok menjadi PPOK, hal ini mungkin berhubungan juga dengan faktor genetik. Perokok pasif dan merokok selama hamil juga merupakan faktor risiko PPOK. Laki-laki yang merokok akan berisiko mengalami kematian akibat rokok pada usia 50 tahun, lebih muda dibanding yang tidak merokok (Woloshin, 2008). Merokok dengan kejadian PPOK menunjukkan hubungan dose response, yang hubungan tersebut dapat dilihat pada Indeks Brigman, yaitu jumlah konsumsi batang rokok per hari dikalikan jumlah hari lamanya merokok (tahun), misalnya bronkitis 10 bungkus tahun artinya kalau seseorang itu merokok sehari sebungkus, dia menderita bronkitis kronik minimal setelah 10 tahun merokok (Depkes RI, 2008). Pemeriksaan spirometri yang dilakukan orang usia di bawah 45 tahun belum menujukkan perbedaan yang bermakna antara yang merokok dengan yang tidak merokok, akan tetapi perbedaan semakin nyata dengan bertambahnya usia. Pada perokok setelah usia 45 tahun fungsi paru akan menurun lebih cepat dibanding yang tidak merokok, walaupun masih banyak faktor lain yang mempengaruhi (Suradi, 2007). Penggunaan tembakau di Indonesia diperkirakan menyebabkan 70% kematian karena penyakit paru kronik dan enfisema. Lebih dari setengah juta penduduk Indonesia menderita karena penyakit saluran pernapasan yang disebabkan oleh penggunaan tembakau pada tahun 2001 (Kepmenkes, 2008).
53
d. Faktor lama kerja/terpapar Sekitar 20% dari kasus PPOK disebabkan karena pekerjaan yang berakibat pada paparan gas beracun dan partikel debu, isosianat, kadnium, batubara, dan asap (Devereux, 2006). Pengelolaan lingkungan kerja yang baik dapat mendukung peningkatan kesehatan tenaga kerja sehingga proses bekerja dapat terselenggara dengan baik (Budiono, 2007).
Lingkungan
kerja yang banyak menghasilkan debu, uap, gas dan lainnya yang dalam jangka waktu yang lama akan dapat menimbulkan gangguan pernapasan atau fungsi paru bagi tenaga kerja (Suma’mur, 2009). Paparan debu yang lama akan mengakibatkan kerusakan paru dan fibrosis yang berakibat berkurangnya elastisitas otot paru untuk menampung volume udara sehingga kemampuan mengikat oksigen menurun (Depkes, 2003). Paparan debu yang terhirup akan menunjukkan hubungan yang bermakna dengan terjadinya gangguan fungsi paru pada pekerja yang berada di lingkungan dengan kadar debu tinggi dalam waktu yang lama (Anderson, 1983). Masa kerja yang mempunyai kecenderungan sebagai faktor risiko terjadinya obstruksi pada pekerja di industri yang berdebu adalah lebih dari 10 tahun (Hendrawati, et al., 1998). Pajanan yang terus menerus oleh polusi udara merupakan faktor risiko lain PPOK. Peran polusi luar ruangan (outdoor polution) masih belum jelas tapi lebih kecil dibandingkan asap rokok.
Polusi dalam ruangan
(indoor polution) yang disebabkan oleh bahan bakar biomassa yang digunakan untuk keperluan rumah tangga merupakan faktor risiko lainnya (Kemenkes, 2011). e. Faktor kebiasaan memakai masker Bagi pekerja yang bekerja di tempat yang banyak mengandung debu pemakaian masker bertujuan untuk melindungi saluran pernapasan dari paparan debu yang berlebih. Namun demikian pemakaian masker tidak bisa menjamin seseorang akan terbebas dari panyakit pernapasan tergantung banyak faktor. Jenis dan karakteristik debu, serta jenis masker merupakan
54
faktor penting untuk menentukan terkena dan tidaknya seseorang untuk menjadi sakit. Menurut Suma’mur (1983) dalam Syamsudin (2003), bahwa salah satu upaya untuk melindungi kesehatan pekerja adalah pemakaian masker bagi pekerja pada saat bekerja pada lingkungan yang berdebu. Salah satu kegiatan untuk program PPOK adalah perlindungan khusus dengan tujuan untuk memberikan perlindungan dan menurunkan jumlah kelompok masyarakat yang terpajan faktor risiko PPOK. Adapun sasarannya adalah masyarakat umum dan kelompok masyarakat khusus (kelompok masyarakat berisiko PPOK). Kegiatan yang dilakukan meliputi (Kemenkes, 2011).: i. Penerapan peraturan perundangan, misalnya Peraturan Daerah tentang Pengendalian Masalah Merokok (perokok aktif dan pasif) ii. Penerapan Peraturan Daerah tentang (udara bersih/langit biru), dan monitoring (kerjasama Direktorat Penyehatan Lingkungan dan Lintas Sektor) iii. Sosialisasi penggunaan alat pelindung diri (masker, misalnya hepha filter, N95, dan lain-lain) pada individu atau kelompok masyarakat yang berisiko (terpapar faktor risiko), seperti pekerja penambangan (batu, batu bara, asbes), pabrik (bahan baku asbes, baja, mesin, perkakas logam keras, tekstil, kapas, semen), penghalusan batu, penggerindaan logam keras, dan pekerja khusus (salon, cat, foto copy). Termasuk polantas, karyawan penjaga pintu tol, dan lain-lain. iv. Sosialisasi ventilasi dan cerobong asap dapur rumah tangga, fasilitas umum dan industri yang memenuhi syarat. Secara umum ventilasi yang memenuhi syarat adalah dengan luas 10% dari luas lantai atau menggunakan exhouse fan. f. Faktor risiko kadar debu terendap Polusi udara dapat menimbulkan berbagai penyakit dan gangguan fungsi tubuh, termasuk gangguan faal paru. Polusi udara juga dapat meningkatkan kejadian asma bronkial dalam masyarakat. Zat yang paling banyak pengaruhnya terhadap saluran pernapasan dan paru adalah sulfur dioksida, nitrogen dioksida dan ozon.
55
Partikulat adalah zat dengan diameter kurang dari 10 mikron, berdasarkan ukurannya, partikel dibagi menjadi dua : a) Diameter kurang dari 1 mikron: aerosol dan fume (asap) b) Diameter lebih dari 1 mikron: debu dan mists (butir cairan). Perjalanan debu yang masuk ke saluran pernapasan dipengaruhi oleh ukuran partikel tersebut. Ukuran partikulat debu yang membahayakan kesehatan umumnya berkisar antara 0,1 mikron sampai dengan 10 mikron. Partikel yang berukuran 5 mikron atau lebih akan mengendap di hidung, nasofaring, trakea dan percabangan bronkus. Partikel yang berukuran kurang dari 2 mikron akan berhenti di bronkiolus respiratorius dan alveolus. Partikel yang berukuran kurang dari 0,5 mikron biasanya tidak sampai mengendap di saluran pernapasan akan tetapi akan dikeluarkan lagi. Partikulat bersama polutan lain seperti ozon dan sulfurdioksida akan menimbulkan penurunan faal paru, sedangkan partikulat saja tidak menimbulkan gangguan faal paru pada orang normal. Gangguan faal paru yang terjadi adalah penurunan VEP 1 dan rasio VEP 1/KVP, yaitu gangguan obstruksi saluran napas. Sulfur dioksida, nitrogen dioksida dan partikulat yang masuk ke dalam saluran napas akan bereaksi dengan air yang terdapat di saluran napas atas dan bawah membentuk H2SO4 dan HNO3. Asam sulfat dan asam nitrat yang terjadi merupakan iritan yang sangat kuat. Efek kerusakan terhadap saluran napas dapat bersifat akut dan kronik. Besar dan luasnya kerusakan tergantung pada jenis zat, konsentrasi zat, lama paparan dan ada atau tidaknya kelainan saluran napas atau paru sebelumnya (Kemenkes, 2011). g. Faktor sosial ekonomi Status sosial ekonomi merupakan faktor risiko untuk terjadinya PPOK, kemungkinan berkaitan dengan polusi, ventilasi yang tidak memenuhi standar pada tempat tinggal, gizi buruk atau faktor lain yang berkaitan dengan sosial ekonomi.
Selain itu polusi udara dapat
menimbulkan berbagai penyakit dan gangguan fungsi tubuh, termasuk
56
gangguan faal paru (Depkes RI, 2008). Status ekonomi juga berpengaruh terhadap gaya hidup seseorang, salah satunya adalah berolah raga. Orang yang tingkat ekonominya cukup cenderung akan rajin berolah raga dibanding orang yang tingkat ekonominya kurang. Padahal latihan fisik adalah modalitas yang penting dalam pencegahan dan pengobatan PPOK. Latihan fisik yang teratur akan dapat memperbaiki daya tahan fisik, kapasitas aerobik dan kapasitas oksidatif otot skeletal, kecuali pada penderita PPOK yang sudah berat maka aktifitas fisik yang tinggi justru akan menyebabkan perburukan sacara perlahan-lahan kapasitas latihan dan kekuatan otot skeletal (Mohsenin, et al., 2002). h. Faktor lingkungan Penelitian telah menunjukan bahwa konsentrasi yang lebih tinggi polusi udara atmosfer berkaitan dengan peningkatan kasus batuk, sesak napas dan fungsi ventilasi berkurang karena paparan partikulat dan nitrogen dioksida yang berakibat pada gangguan fungsi paru orang dewasa dan gangguan pertumbuhan paru pada anak-anak (Devereux, 2006). Menurut Kemenkes (2011), faktor risiko lingkungan terjadinya PPOK adalah terdiri dari polusi di dalam ruangan (indoor) seperti asap rokok, asap kompor, briket batu bara, asap kayu bakar, asap obat nyamuk bakar dan polusi di luar ruangan (outdoor), seperti gas buang industri, gas buang kendaraan bermotor, debu jalanan, kebakaran hutan, gunung meletus, dan lain-lain, serta polusi di tempat kerja, seperti bahan kimia, debu/zat iritasi, gas beracun. Sementara itu pencemaran udara dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain : 1. Keadaan Cuaca Keadaan cuaca yang mempengaruhi pencemaran udara antara lain: a. Suhu udara
57
Keadaan suhu udara naik dan turun akan berpengaruh pada konsetrasi bahan pencemar di udara. Perubahan suhu akan membuat suatu aliran udara menjadi cepat turun atau naik yang akan mengakibatkan terjadinya penurunan atau kenaikan konsentrasi pencemar di udara. b. Tekanan udara Diketahui zat-zat yang ada di udara akan bereaksi dengan pencemar secara kimia di udara, dimana tekanan udara akan mempercepat atau memperlambat proses terjadinya reaksi kimia tersebut, sehingga konsentrasi pencemar bisa bertambah atau berkurang karena tekanan udara. c. Kelembaban udara Kelembaban udara mempengaruhi banyak sedikitnya kadar uap air di udara yang berakibat pada konsentrasi pencemar di udara. Keberadaan uap air akan beraksi dengan bahan pencemar, maka dari itu akan terjadi penurunan konsentrasi pencemar udara. d. Keadaan awan Keberadaan awan akan mempengaruhi cuaca udara dan banyaknya sinar matahari yang dipancarkan ke bumi. Awan dan sinar matahari akan mempengaruhi proses reaksi zat pencemar dan zat yang ada di udara. Reaksi tersebut akan meningkatkan atau menurunkan bahan pencemar yang ada di udara. e. Angin Dengan pergerakkan udara ini maka akan memperluas penyebaran zat pencemar di udara, di samping itu juga udara dapat mengencerkan zat pencemar, karena pengaruh arah dan kecepatan angin akan terjadi penurunan kadar pencemar udara setempat. f. Curah hujan Kadar curah hujan berbanding lurus dengan kadar bahan pencemar di udara, semakin tinggi curah hujan di suatu tempat maka
58
semakin rendah konsentrasi pencemar udara, karena partikel-partikel pencemar akan jatuh bersama hujan ke tanah sehingga pencemaran udara yang terjadi berkurang karena adanya pengaruh air hujan itu. g. Sinar matahari Banyak sedikitnya konsentrasi sinar matahari yang menyinari bumi berpengaruhi pada cepat lambatnya reaksi laju pencemaran udara dengan zat-zat lain di udara sehingga konsentrasi zat pencemar di udara akan berbeda-beda tergantung konsentrasi sinar matahari. 2. Topografi Tinggi rendahnya suatu wilayah memiliki pengaruh pada pergerakan udara, dan ada tga macam pengaruhnya antara lain: a. Dataran Rendah Pada daerah dataran rendah, polutan akan terbawa angin terbang jauh ke seluruh penjuru sampai dapat melewati batas negara hingga mencemari udara di negara lain. b. Dataran Tinggi Pada daerah dataran tinggi akan terjadi temperatur inversi dan udara dingin yang terperangkap akan menahan polutan sehingga keberadaanya tetap di lapisan permukaan bumi. c. Lembah Pada daerah lembah, pergerakan udara
sangat sedikit dan
cenderung tidak bertiup ke segala penjuru, dengan demikian bahan polutan akan tertahan dan akan menetap dipermukaan bumi (Dirjen PPM dan PLP,1991). Sumber pencemar udara menentukan jenis bahan pencemarnya. Hal tersebut dapat dilihat pada Tabel 7 berikut: Tabel 7: Sumber bahan pencemar yang menghasilkan bahan pencemar udara (Esmen, 1989 dalam Mukono, 2005) Parameter Sumber Pencemar HC CO2 CO SO2 NO NO2 59
1. 2. 3. 4.
Sumber stationer Proses industry Sampah padat Pembakaran sisa pertanian 5. Transportasi 6. Bahan bakar batubara 7. Bahan bakar minyak 8. Bahan bakar gas alam 9. Bahan bakar kayu 10. Incenerator 11. Kebakaran hutan
+ + -
+ + +
+ + -
+ + +
+ +
+ + +
+ + + + + + +
+ + + + + + + +
+ + + + + + +
+ + + + -
+ + + + + + + -
+ + + + + +
Menurut Mukono (2005) efek pencemaran udara terhadap kesehatan manusia secara umum baik gas maupun partikel yang berada di atmosfer dapat menyebabkan kelainan pada tubuh manusia. Secara umum dampak pencemaran udara terhadap individu atau masyarakat dapat berupa: a. Sakit, baik yang akut maupun kronis. b. Penyakit
yang
tersembunyi,
yang
dapat
memperpendek
umur,
menghambat pertumbuhan, dan perkembangan. c. Mengganggu fungsi fisiologis dari: paru, saraf, transport oksigen oleh haemoglobin, dan kemampuan sensorik. d. Kemampuan penampilan, misalnya pada: aktivitas atlet, aktivitas motorik, aktivitas belajar, iritasi sensorik, penimbunan bahan berbahaya dalam tubuh, dan rasa tidak nyaman, karena faktor bau. Sedangkan efek pencemaran terhadap saluran pernapasan secara umum dapat menyebabkan terjadinya: a. Iritasi pada saluran pernapasan. b. Peningkatan produksi lendir akibat iritasi oleh bahan pencemar yang menyebabkan penyempitan saluran pernapasan.. c. Rusaknya sel pembunuh bakteri di saluran pernapasan. d. Pembengkakan saluran pernapasan dan merangsang pertumbuhan sel, sehingga saluran pernapasan menjadi menyempit. e. Lepasnya silia dan lapisan sel selaput lendir.
60
f. Akibat dari hal tersebut di atas, akan menyebabkan terjadinya kesulitan bernapas, sehingga benda asing termasuk bakteri/mikroorganisme lain tidak dapat dikeluarkan dari saluran pernapasan dan hal ini akan memudahkan terjadinya infeksi saluran pernapasan. Sementara itu sulfur dioksida, nitrogen dioksida, dan partikel yang masuk ke dalam saluran napas akan bereaksi dengan air yang terdapat di saluran napas atas dan bawah membentuk asam sulfat dan asam nitrat yang merupakan iritan yang sangat kuat. Efek kerusakan terhadap saluran napas paru dapat bersifat akut dan kronik dengan besar dan luasnya kerusakan tergantung pada jenis zat, konsentrasi zat, lama paparan dan ada tidaknya kelainan saluran napas atau paru sebelumnya (Kemenkes, 2011). 5. Pemeriksaan Fungsi Paru Penentuan diagnosis PPOK masih sangat terbatas karena keterbatasan ketersediaan alat. Biasanya hanya berdasar gejala klinis yaitu dispnea, mengi, dan batuk dengan adanya faktor risiko usia dan merokok (Broekhuizen, 2009). Dari hasil penelitian bahwa ada 73% penderita PPOK tidak diketahui karena tidak dilakukan pemeriksaan dengan spyrometer, sehingga baru diketahui setelah stadium lanjut (Monteagudo, 2010). Dalam menegakkan diagnosis penyakit paru disamping menilai kondisi organ perlu juga ditentukan kondisi fungsionalnya. Dengan mengetahui kondisi fungsional paru maka diharapkan keberhasilan pengobatan dapat di ketahui sejak dini. Untuk pemeriksaan fungsi paru yang saat ini sedang dikembangkan pada program Penanggulangan Penyakit Tidak Menular, khususnya penyakit paru adalah dengan menggunakan alat yang disebut Spyrometer. Alat ini mempunyai banyak keuntungan yaitu: 1) ringan sehingga mudah di bawa kemana-mana, (2) mudah dalam pengoperasiannya, (3) biaya operasionalnya murah, (4) hasilnya dapat segera diketahui. Spyrometer ini dapat untuk mengetahui parameter faal paru yang meliputi: a. Forced Expiratory Volume in 1 Second (FEV1)
61
Forced Expiratory Volume in 1 Second (FEV1) atau Volume Ekspirasi Paksa detik pertama (VEP1) diartikan sebagai banyaknya volume udara yang diekspirasikan selama 1 detik pertama.
Rata-rata lama ekspirasi pada orang
normal berkisar antara 4-5 detik, dimana pada orang normal dapat megeluarkan udara pernapasan sebesar >80% dari VC nya. b. Kapasitas Vital Paru Diartikan sebagai volume udara maksimal yang dapat dikeluarkan setelah inspirasi yang maksimal. Terbagi menjadi 2 macam cara pengukuran, yaitu Vital Capacity (VC) dan Force Vital Capacity (FVC) atau Kapasitas Vital Paksa (KVP). Pemeriksaan dengan VC maka tidak perlu melakukan aktifitas pernapasan dengan kekuatan penuh, sebaliknya pemeriksaan dengan FVC, penderita harus dengan kekuatan penuh. Vital Capacity sebagai gambaran yang menunjukan kemampuan elastisitas jaringan paru atau kekuatan pergerakan dinding toraks. Menurunnya VC berarti ada kekakuan jaringan paru atau dinding toraks. Sementara itu FVC berkorelasi dengan complience paru atau dinding toraks, sedangkan pada orang yang sakit akan ada perbedaan antara VC dengan FVC (Tabrani, 1996 dalam Syamsudin, 2003). c. Peak Expiratory Flow Rate (PEFR) Peak Expiratory Flow Rate (PEFR) atau Arus Puncak Ekspirasi (APE) adalah Flow maksimal yang dihasilkan oleh sejumlah volume tertentu yang dapat menggambarkan keadaan saluran pernapasan. Menurunya PEFR menujukan adanya hambatan pada aliran udara di saluran pernapasan. Dari uraian di atas dapat disusun kerangka teori dan kerangka konsep sebagai berikut:
B. Kerangka Teori Umur
Genetik
Sosial Ekonomi
62
Penurunan elastisitas paru
-Masa kehamilan -Berat badan lahir -Pajanan masa anak-anak
Status gizi
Gangguan pertumbuhan paru
Penurunan kekuatan dan daya tahan otot respirqasi
Penurunan fungsi paru
IMT
-Gizi buruk -Saniatsi rumah Infeksi bakteri dan virus
PPOK
Dosis respon
Infeksi saluran pernapasan
Gangguan saluran pernapasan
Polusi udara Lama paparan dan pemakaian APD
Lingkungan
Gambar 2. Kerangka Teori PPOK C. Kerangka Konsep
63
1. 2. 3. 4. 5.
Umur Status gizi Kebiasaan merokok Lama kerja Kebiasaan memakai masker
PPOK
Gambar 3. Kerangka Konsep Faktor Risiko PPOK pada Pekerja Tobong Genteng di Kabupaten Kebumen Tahun 2012
D. Hipotesis 1. Ada hubungan antara umur dengan kejadian PPOK pada pekerja tobong genteng di Kabupaten Kebumen. 2. Ada hubungan antara status gizi dengan kejadian PPOK pada pekerja tobong genteng di Kabupaten Kebumen. 3. Ada hubungan antara kebiasaan merokok dengan kejadian PPOK pada pekerja tobong genteng di Kabupaten Kebumen. 4. Ada hubungan antara lama kerja dengan kejadian PPOK pada pekerja tobong genteng di Kabupaten Kebumen. 5. Ada hubungan antara kebiasaan memakai masker dengan kejadian PPOK pada pekerja tobong genteng di Kabupaten Kebumen.
64
BAB III METODE PENELITIAN A.
Jenis dan Rancangan Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian analitik dengan menggunakan rancangan cross sectional, dimana pengukuran pengambilan variabel dilakukan pada satu saat yang bersamaan (Murti, 2003).
Kasus PPOK (VEP1/KVP<70% atau VEP1 < 80% prediksi)
Faktor risiko positif
2)
Populasi sasaran 3)
Non PPOK (VEP1/KVP>70% atau VEP1 ≥80% prediksi)
Populasi sampel
Kasus PPOK (VEP1/KVP<70% atau VEP1 < 80% prediksi)
Faktor risiko negatif Non PPOK (VEP1/KVP>70% atau VEP1 ≥80% prediksi)
Gambar 4. Rancangan penelitian cross sectional
65
B. Tempat, Waktu Penelitian dan Subyek Penelitian 1.
Lokasi penelitian Penelitian ini dilaksanakan di kecamatan yang ada tobong genteng yaitu Kecamatan Pejagoan, Sruweng, Klirong, Kebumen, Buluspesantren dan Petanahan, Kabupaten Kebumen.
2. Waktu penelitian Pelaksanaan penelitian dan pengumpulan data dari bulan Mei – Juni 2013. 3. Subjek Penelitian a. Batasan Populasi Populasi adalah semua pekerja tobong genteng yang berada di wilayah Puskesmas Pejagoan, Sruweng, Klirong, Kebumen, Buluspesantren dan Petanahan. b. Sampel 1. Kelompok terpapar Kelompok terpapar adalah semua pekerja tobong genteng di wilayah Puskesmas Pejagoan, Sruweng, Klirong, Kebumen, Buluspesantren dan Petanahan yang merokok. 2. Kelompok tidak terpapar Kelompok tidak terpapar adalah semua pekerja tobong genteng di wilayah
Puskesmas
Pejagoan,
Sruweng,
Klirong,
Kebumen,
Buluspesantren dan Petanahan yang tidak merokok. c. Besar Sampel Besar sampel dihitung dengan menggunakan rumus menaksir proporsi sebuah populasi (Lemeshow, et al, 1997) :
66
n=
{Z1-α/2√2p(1-p) + Z1- √{p1(1-p1) + p2(1-p2)}² (p1-p2)²
Keterangan: n Z Z
= Jumlah sampel α/
= 1,96 (tingkat kemaknaan 5%)
β
= 1,282 (kekuatan uji 90%)
P1
= Proporsi prevalensi kelompok terpapar (0,64)
P2
= Proporsi prevalensi kelompok tidak terpapar (0,32)
P
= (p1+p2)/2 = 0,8
RP
=2
Berdasarkan penelitian Syamsudin, (2003) diperoleh ratio prevalence (RP) untuk variabel kebiasaan merokok sebesar 2 untuk risiko biasa merokok dengan kekuatan uji (β) sebesar 90%, maka jika dimasukkan ke dalam rumus di atas didapatkan besar sampel minimal sebanyak 50 orang. Dalam penelitian ini untuk mengatasi terjadinya design effect maka ukuran sampel diperbesar 2 kali dan untuk menghindari lose responden maka peneliti menambahkan jumlah sampel sebanyak 10% dari sampel minimal, maka jumlah sampel menjadi 110 responden. d. Cara Pemilihan kecamatan Pemilihan sampel kecamatan diambil dengan cara non probability sampling (purposive simple sampling) dengan cara menunjuk kecamatan yang wilayah kerjanya memiliki tobong genteng serta mendapatkan ijin dari Dinas Kesehatan dan Kepala Puskesmas yang mewilayahi. e. Cara Pengambilan Sampel Pengambilan sampel pada
penelitian ini dilakukan dengan cara
consecutive sampling yaitu semua subyek yang ditemukan pada saat penelitian dimasukkan kedalam penelitian sampai jumlah sampel terpenuhi dengan perhitungan untuk masing-masing kecamatan sebagai berikut: 1. Kecamatan Pejagoan
:
x 110 = 50
67
2. Kecamatan Sruweng
:
x 110 = 28
3. Kecamatan Klirong
:
x 110 = 14
4. Kecamatan Kebumen
:
x 110 = 11
5. Kecamatan Buluspesantren:
x 110 = 4
6. Kecamatan Petanahan
x 110 = 3
:
C. Identifikasi Variabel Penelitian Variabel terikat dalam penelitian ini adalah kejadian PPOK pada pekerja tobong genteng di Kabupaten Kebumen. Variabel bebas dalam penelitian ini adalah faktor-faktor risiko kejadian PPOK, antara lain: 1.
Umur responden
2.
Status gizi
3.
Kebiasaan merokok
4.
Lama kerja
5.
Kebiasaan memakai masker.
D. Definisi Operasional Variabel Variabel PPOK
Defenisi Cara Skala Kategori Operasional Pengukuran Penyakit kronik saluran Pemeriksaan Nominal 1. Sakit
68
napas yang ditegakkan dengan menghitung perbandingan antara VEP1/KVP, diukur dengan spyrometer. Kategori dibagi menjadi 2 yaitu :
dengan spyrometer
2. Tidak sakit
1. PPOK jika VEP1/KVP < 70% atau VEP1 <80% prediksi 2.Normal jika VEP1/KVP > 70% atau VEP1 ≥80% prediksi
Umur
(Kemenkes, 2011). Umur adalah usia responden Wawancara dalam satuan tahun, dibagi menjadi 2 kategori yaitu: 1. Umur ≥ 40 tahun atau berisiko 2. Umur < 40 tahun atau tidak berisiko
Nominal 1. ≥40tahun
2. <40 tahun
Nominal 1. Tidak baik Status gizi Adalah status gizi Pengukuran 2. Baik tinggi badan responden yang ditentukan dan berat berdasar Indeks Masa Tubuh (IMT) yang nilainya badan diperoleh dengan cara menghitung perbandingan berat badan dan tinggi badan responden. Berat badan dengan penimbangan sedangkan tinggi badan diperoleh melalui pengukuran. Status gizi baik jika hasil pengukuran didapat angka antara 18,5 – 25,0 kg/m² dan tidak baik jika didapat angka <18,5 kg/m² atau >25,0 kg/m². Kategori kecukupan nutrisi dibagi 2 yaitu baik dan tidak baik.
Variabel
Defenisi Cara Skala Kategori Operasional Pengukuran Nominal 1. Ya Kebiasaan Adalah keadaan dimana Wawancara 2. Tidak merokok responden merokok atau dengan kuesioner mempunyai riwayat merokok.
69
Adalah waktu dimana Wawancara responden mulai diterima dengan bekerja di tobong genteng kuesioner hingga sekarang, dihitung berdasarkan lamanya individu bekerja di kawasan tobong genteng (dalam tahun). Kategori lama paparan dibagi menjadi 2, yaitu ≤ 10 tahun dan > 10 tahun.
Lama kerja
Nominal 1. ≥ 10
tahun 2. < 10 tahun
Nominal 1. Tidak Kebiasaan Adalah kebiasaan pekerja Wawancara 2. Ya memakai dalam penggunaan masker dengan kuesioner dan masker pada saat responden melaksanakan pekerjaan observasi untuk melindungi paparan debu/asap pada saat beraktivitas atau bekerja.
E. Instrumen dan Cara Pengumpulan Data Istrumen yang di gunakan dalam penelitian ini adalah : 1.
Instrumen a.
Kuesioner terstruktur
b.
Seperangkat komputer
c.
Kamera Digital
d.
Alat pemeriksaan kapasitas vital paru (spyrometer), timbangan berat badan dan pengukur tinggi badan..
2.
Cara pengumpulan data a. Untuk penegakan diagnosis PPOK diperoleh dengan melakukan pemeriksaan faal paru dengan menggunakan alat spirometer.
70
b. Lama kerja, umur, kebiasaan merokok, lama kerja dan kebiasaan memakai masker diperoleh dengan wawancara langsung dan observasi langsung di tempat kerja. c. Status gizi diperoleh dengan cara menghitung perbandingan berat badan dan tinggi badan responden dengan alat timbangan untuk berat badan dan pengukuran langsung untuk tinggi badan. F. Cara Analisis Data Pengolahan data dilakukan dengan menggunakan aplikasi secara komputerisasi. Data yang sudah terkumpul dilakukan pengolahan dan analisa secara diskriptif dan analitik terhadap semua variabel penelitian yaitu dengan: 1. Analisis bivariat Analisis bivariat yaitu analisis antara variabel bebas dengan variabel terikat untuk melihat hubungan masing-masing variabel bebas dengan variabel terikat.
Analisis dilakukan dengan tabel silang 2x2 untuk
menghitung nilai odds ratio dan nilai Confidence Interval (CI). Uji statistik yang digunakan adalah Chi square dengan menggunakan tingkat kemaknaan 95% (α = 0.05). 2. Analisis Multivariat Analisis multivariat yang digunakan pada penelitian ini adalah dengan regresi logistik berganda. Variabel bebas yang bermakna secara statistik pada analisis bivariat dan atau memiliki p ≤ 0,25 atau secara substansi variabel tersebut cukup penting akan dilakukan uji secara bersama-sama dengan analisis multivariat menggunakan analisis regresi logistik berganda (Yasril, 2009). G. Etika Penelitian Sebelum melaksanakan penelitian, peneliti terlebih dahulu mendapat persetujuan/izin dari komisi etik Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada. Pemerintah Kabupaten Kebumen dan Kepala Puskesmas yang bersangkutan. Semua data-data, foto dan informasi yang dikumpulkan dari penelitian digunakan semata-mata untuk kepentingan ilmiah. Pada pelaksanaan penelitian terhadap
71
responden, diminta kesediannya terlebih dahulu untuk menjadi subyek penelitian dengan mengisi informed consent. H. Keterbatasan Penelitian 1. Kesulitan Peneliti tidak bisa melakukan pengukuran post bronkodilator untuk diagnosis pasti PPOK karena keterbatasan kemampuan. Penentuan diagnosis PPOK hanya berdasar pada hasil pengukuran VEP1 pra bronkodilator saja yang seharusnya jika pada pengukuran pra bronkodilator menunjukkan indikasi PPOK maka dilakukan uji bronkodilator dan setelah 15 menit kemudian dilakukan pengukuran nilai VEP1 post bronkodilator untuk menentukan reversibillitas. 2. Kelemahan a. Kerena hanya melakukan pengukuran nilai VEP1 pra bronkodilator saja, maka penentuan diagnosis PPOK terlalu longgar, dengan demikian kemungkinan mendapatkan kasus lebih banyak. b. Penelitian ini tidak meneliti berdasarkan derajat PPOK , sehingga tidak dapat diketahui prevalensi berdasarkan derajat PPOK. I. Jalannya Penelitian Dalam pelakasanaan penelitian ini dilakukan melalui tiga tahap yaitu sebagai berikut: 1.
Tahap persiapan a. Konsultasi dengan pembimbing akademik. pembimbing penelitian dan pembimbing lapangan. b. Studi pustaka untuk membuat acuan penelitian dan referensi. c. Mempelajari penggunaan spyrometer dan timbangan dan pengukur tinggi badan. d. Mengadakan konsultasi dengan pihak-pihak yang dapat membantu dalam jalannnya penelitian (Dinas Kesehatan Kabupaten Kebumen, Puskesmas bersangkutan).
72
e. Mengajukan permohonan penelitian. 2.
Tahap pelaksanaan a. Melakukan pengukuran faal fungsi paru responden dengan menggunakan spyrometer yang telah terstandarisasi yang dilakukan oleh pemegang program Penyakit Tidak Menular Dinas Kesehatan Kabupaten Kebumen yang sudah dilatih menggunakan spirometer. Sedang untuk pengukuran tinggi dan berat badan digunakan alat berupa portabele wooden board untuk tinggi badan dan timbangan TANITA untuk berat badan. Untuk pengumpulan data faktor risiko umur, lama kerja, kebiasaan merokok dan kebiasaan memakai masker responden dengan wawancara menggunakan kuesioner dan pengamatan langsung. b. Melakukan pengumpulan data sekunder sebagai data pendukung yang di ambil di Kabupaten Kebumen ke institusi terkait.
3.
Tahap akhir a. Melakukan pengolahan data dan penyususnan laporan penelitian b. Melapor kembali kepada pejabat terkait bahwasanya telah selesai melakukan penelitian dilapangan.
73
74
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Hasil Penelitian 1. Deskripsi Lokasi Penelitian a. Keadaan Geografis Propinsi Jawa Tengah dengan jumlah Kabupaten/Kota sebanyak 35 memiliki keadaan geografi yang berbeda-beda. Salah satu diantaranya adalah Kabupaten Kebumen, yang berada pada posisi garis lintang 7027’7050’ Lintang Selatan dan 109022’- 109050’ Bujur Timur, dengan batasbatas wilayah sebagai berikut : Sebelah Barat
: Kabupaten Cilacap dan Banyumas
Sebelah Timur
: Kabupaten Purworejo
Sebelah Utara
: Kabupaten Wonosobo dan Banjarnegara
Sebelah Selatan
: Samudera Indonesia
b. Keadaan Alam. Pembagian keadaan alam atau topografi di
Kabupaten Kebumen
adalah terdiri dari 70% daerah pegunungan dan 30% lainnya adalah daerah dataran rendah dan pantai dengan ketinggian permukaan tanah dari air laut berkisar 5 - 91 meter. Sebagian besar wilayah berada pada ketinggian dibawah 40 meter dari permukaan air laut. Pada umumnya ketinggian diatas 50 meter dari permukaan air laut berada pada wilayah Kabupaten Kebumen di sebelah Utara bagian barat yaitu Kecamatan Sempor (66 meter) dan Kecamatan Karanggayam (91 meter). Kabupaten Kebumen memiliki luas wilayah sebesar 128.111,50 hektar atau 1.281,11 km2 sebagian besar merupakan dataran rendah, sedangkan kondisi beberapa wilayah merupakan daerah pantai dan perbukitan. Berdasarkan Kebumen Dalam Angka pada tahun 2010 tercatat 39.768,00 hektar atau sekitar 31,04% merupakan lahan persawahan dan 88.343,50 hektar atau 68,96% merupakan lahan kering.
c. Keadaan penduduk Jumlah penduduk Kabupaten Kebumen pada tahun 2012 (data tahun 2011) tercatat 1.258.947 jiwa, yang tersebar di 26 kecamatan, dengan 326.388 rumah tangga/KK atau rata-rata 3 jiwa per rumah tangga. Luas wilayah Kabupaten Kebumen adalah 1.281,11 km2 dengan kepadatan penduduk 983 jiwa/km2. Distribusi penduduk selengkapnya pada Tabel 9. Tabel 9. Distribusi dan Kepadatan Penduduk Menurut Kecamatan di Kabupaten Kebumen Tahun 2011 No Kecamatan Luas Jml Distribusi Kepadatan Wilayah penduduk Penduduk Penduduk (km2) (%) per km2 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26
56.796 57.843 53.340 53.193 55.901 53.087 56.681 46.810 20.126 27.899 14.441 47.917 61.114 16.665 124.387 51.114 61.178 36.207 44.026 45.018 66.828 48.936 37.083 54.734 19.979 47.644
4,51 4,59 4,24 4,23 4,44 4,22 4,50 3,72 1,60 2,22 1,15 3,81 4,85 1,32 9,88 4,06 4,86 2,88 3,50 3,58 5,31 3,89 2,95 4,35 1,59 3,78
744 845 861 1.186 1.293 1.089 908 894 963 1.215 499 1.421 1.058 609 2.959 1.478 1.401 834 1.301 837 667 2.512 1.181 501 368 731
Jumlah 1.281,11 1.258.947 Sumber : Kebumen dalam Angka 2011
100,00
983
Ayah Buayan Puring Petanahan Klirong Buluspesantren Ambal Mirit Bonorowo Prembun Padureso Kutowinangun Alian Poncowarno Kebumen Pejagoan Sruweng Adimulyo Kuarasan Rowokele Sempor Gombong Karanganyar Karanggayam Sadang Karangsambung
76,37 68,42 61,97 44,84 43,25 48,77 62,41 52,35 20,91 22,96 28,95 33,73 57,75 27,37 42,04 34,58 43,68 43,43 33,84 53,79 100,15 19,48 31,40 109,29 54,23 65,15
Menurut Tabel 9 di atas terlihat bahwa dari 26 kecamatan yang ada Kecamatan Karanggayam merupakan kecamatan yang paling luas areanya yaitu seluas 109,29 km2, sedangkan Kecamatan Gombong
75
merupakan kecamatan yang paling sempit yaitu 19,48 km2. Wilayah kecamatan dengan jumlah penduduk terbanyak adalah Kecamatan Kebumen sebanyak 124.387 jiwa (9,88 %) dan terendah Kecamatan Padureso sebanyak 14.441 jiwa (1,15%).
Kecamatan dengan tingkat
kepadatan penduduk tertinggi berada di Kecamatan Kebumen sebanyak 2.959 jiwa/km2 dan yang terendah adalah di Kecamatan Sadang sebanyak 368 jiwa/km2. Berdasarkan jenis agama yang di anut, sebagian besar penduduk beragama Islam (99,17%), kemudian yang lainnya memeluk Agama Kristen, Katholik dan Kepercayaan lain. Pencapaian tingkat pendidikan sebagian besar penduduk tamat Sekolah Dasar (43,77%), sedangkan mata pencaharian penduduk sebagian besar adalah petani (52,55 %). Dilihat dari kesehatan lingkungan sebagian besar rumah tangga mempunyai jamban keluarga atau tempat pembuangan air besar sendiri (77,58%) dan kepemilikan sarana air bersih (SAB) sebesar 98,18%.
d. Sarana Pelayanan Kesehatan Seperti pada daerah di pulau Jawa pada umumnya, jenis sarana pelayanan kesehatan yang ada di Kabupaten Kebumen adalah terdiri dari rumah sakit, poliklinik, puskesmas, poskesdas, polindes dan posyandu, seperti Tabel 10 berikut:
Tabel 10. Jumlah dan Jenis Sarana Pelayanan Kesehatan di Kabupaten Kebumen Tahun 2013
76
No
Jenis sarana pelayanan
Jumlah
kesehatan 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Rumah sakit khusus Poliklinik kesehatan swasta Puskesmas perawatan Rumah sakit umum Puskesmas non perawatan Poskesdes Puskesmas pembantu Puskemas keliling Polindes Posyandu Jumlah
Persentase (%)
2 6 7 10 28 54 58 60 250 2.082 2.550
0,07 0,23 0,27 0,39 1,09 2,11 2,27 2,30 9,80 81,64 100,00
Dari Tabel 10 di atas dapat diketahui bahwa jumlah sarana kesehatan yang ada di Kabupaten Kebumen sejumlah 2.550 buah. Dari sejumlah itu, sebagian besar merupakan sarana kesehatan paling dasar yaitu posyandu sejumlah 2.082 (81,64%). Sarana pelayanan kesehatan yang lebih tinggi berupa rumah sakit khusus sejumlah 2 buah (0,07%), puskesmas perawatan hanya ada 7 buah (0,27%), sedangkan rumah sakit umum ada 10 buah (0,39%). 2. Karakteristik Subyek Penelitian ini dilaksanakan selama kurun waktu 6 minggu, yaitu sejak tanggal 1 Mei sampai dengan tanggal 15 Juni 2013 dengan jumlah sampel yang diteliti sebanyak 110 reponden. Gambaran karakteristik responden berdasarkan variabel epidemiologi menurut waktu tidak dapat digambarkan karena penelitian ini dengan rancangan penelitian potong lintang, sedangkan gambaran menurut variabel orang dan tempat adalah sebagai berikut: a. Distribusi Subyek Berdasarkan Variabel Epidemiologi Distribusi subyek berdasarkan variabel epidemiologi orang dapat dilihat pada Tabel 11 berikut. Tabel 11. Distribusi Subyek Berdasarkan Variabel Orang
77
Karakteristik Subyek
Persentase (%)
110 0 51 59 36 74 58 52 49 61 63 47
100 0 46,36 53,64 32,73 67,27 52,73 47,27 44,55 55,45 57,27 42,73
Terpapar asap selain asap Terpapar
38
34,54
tobong
Tidak
72
65,45
Gejala klinis PPOK
Batuk Tidak Lingkungan tobong Tidak PPOK Tidak
35 75
31,81 68,18
48
43,63
62 42 68
56,36 38,18 61,82
Jenis kelamin Kelompok umur Status gizi Kebiasaan merokok Lama kerja Kebiasaan memakai masker
Lingkungan tempat tinggal Status sakit
Laki-laki Perempuan ≥ 40 <40 Tidak baik Baik Merokok Tidak ≥ 10 tahun < 10 tahun Tidak Biasa
Jumlah
Dari Tabel 11 di atas dapat dilihat bahwa subyek penelitian semua berjenis kelamin laki-laki. Hal ini terjadi karena yang bekerja pada tobong genteng bagian pembakaran hanya dilakukan oleh laki-laki sedangkan tenaga kerja perempuan hanya pada bagian percetakan, dengan demikian pekerja perempuan tidak termasuk subyek dalam penelitian ini. Sementara itu berdasarkan Tabel 11 di atas pula dapat dilihat bahwa jumlah subyek dalam penelitian ini sebagian besar (53,64%) adalah kelompok umur < 40 tahun, sedang yang berumur ≥ 40 tahun sebesar 51 (46,36%). Hal ini terjadi karena pada pekerja yang telah berumur ≥ 40 cenderung untuk bekerja pada bagian yang lain karena faktor kondisi fisik, dimana pada bagian pembakaran ini membutuhkan tenaga yang kuat. Jika dilihat dari status gizi maka berdasarkan Tabel 14 pula menunjukkan bahwa 67,27% berstatus gizi baik, sedangkan yang berstatus
78
gizi tidak baik mencapai 32,73%. Ini menunjukkan bahwa sebagian besar pekerja memiliki kecukupan pangan yang berarti secara kualitas maupun kuantitas terjaga. Berdasarkan Tabel 11 pula dapat diketahui bahwa pekerja yang memiliki kebiasaan merokok mencapai 52,73%, sementara pekerja yang tidak biasa merokok mencapai 47,27%. Ini berarti sebagian besar pekerja di industeri tobong genteng di Kabupaten Kebumen mempunyai kebiasaan merokok, sejalan dengan data Perilaku Hidup Bersih dan Sehat di Dinas Kesehatan Kabupaten Kebumen menyebutkan bahwa rumah tangga dengan angka bebas rokok baru mencapai 13%. Jika dilihat dari lama kerja, Tabel 11 menunjukkan pula bahwa antara pekerja yang bekerja ≥ 10 tahun dengan pekerja yang bekerja < 10 tahun hampir sama yaitu 44,55% untuk yang bekerja ≥ 10 dan 55,45% untuk yang bekerja < 10, tetapi data ini tidak ada hubungannya dengan apapun, tetapi hanya karena faktor kebetulan saja. Dari pemerintah setempat atau pihak industeri pun tidak ada aturan tentang setelah berapa lama tenaga kerja ini tidak boleh lagi bekerja.
Hubungannya dengan
kesehatan perseorangan, kebiasaan menjaga diri dengan alat pelindung diri merupakan hal yang sulit dilakukan para pekerja pada umunya. Dari hasil observasi langsung di lokasi penelitian yang terangkum dalam Tabel 11 menunjukkan bahwa pekerja yang memakai masker pada saat bekerja hanya mencapai 42,73%, sedangkan yang tidak biasa memakai masker mencapai 57,27% subyek. Hal ini merupakan suatu kondisi yang perlu diperhatikan baik oleh pihak pengusaha ataupun oleh pemerintah dalam hal ini Dinas Kesehatan Kabupaten Kebumen pada bagian Upaya Kesehatan Kerja
dan juga Dinas Tenaga Kerja, karena jika tidak
diperhatikan maka dalam waktu yang lama akan menjadi masalah bagi kesehatan tenaga kerja. Untuk mengetahui faktor risiko lingkungan akibat dari kegiatan industri tobong genteng ini terhadap kesehatan khususnya kejadian PPOK pada
masyarakat sekitar, maka pada penelitian ini dilakukan pula
penggalian informasi tentang keterpaparan responden terhadap asap selain 79
asap tobong. Karena disamping keterpaparan asap tobong mungkin juga pekerja tersebut ketika dirumah terpapar asap, seperti asap dapur atau kendaraan bermotor.
Dari hasil wawancara dengan kuesioner
yang
hasilnya terangkum dalam Tabel 11 menunjukkan bahwa sebagian besar (65,45%) subyek tidak terpapar asap selain asap tobong dalam kehidupan sehari-hari. Hal ini terjadi karena walupun ketika di rumah masih menggunakan dapur dengan bahan bakar kayu tetapi karena pekerja yang diwawancarai adalah kaum laki-laki maka ketika di rumah tidak terpapar asap dapur. Sementara itu ada 34,54% pekerja yang terpapar asap selain asap tobong, walaupun dalam penelitian ini tidak bisa menujukkan jenis asap yang mengakibatkan keterpaparan tersebut. Penyakit PPOK ini biasanya disertai dengan gejala klinis yang khas yaitu batuk dan atau disertai sesak napas. Tabel 11 menunjukkan bahwa terdapat 68,18% subyek yang tidak mengalami gejala klinis PPOK berupa batuk dan ada 31,81% yang mengalami gejala klinis batuk. Hal ini menjadi perhatian penting bagi petugas kesehatan bahwa walaupun tidak menunjukkan gejala kilinis namun perlu diwaspadai karena ada yang ketika diperiksa dengan spirometer ternyata mengalami gangguan obstruksi. Ada sedikit gambaran bahwa bahan polutan yang dihasilkan industeri tobong genteng ini tidak menimbulkan beban ganda bagi pekerja karena jika tempat tinggal pekerja berdekatan dengan tobong genteng, maka pekerja tersebut akan terpapar polutan pada saat di rumah maupun di tempat kerja. Tabel 11 menunjukkan bahwa sebagian besar (56,36%) subyek tidak tinggal di sekitar lokasi tobong. Dengan demikian pekerja akan terpapar bahan polutan hanya ketika bekerja saja. Hasil pemeriksaan dengan spirometer yang terangkum dalam Tabel 11 menunjukkan bahwa dari 110 subyek yang diperiksa didapatkan penderita Penyakit Paru Obstruksi Kronik sebanyak 42 (38,18%) orang, sementara yang 68 (61,82%) adalah tidak PPOK. Angka ini menjadi
80
perhatian bagi petugas kesehatan oleh karena itu perlunya dilakukan sistem langkah untuk kewaspadaan dini. b. Distribusi Subyek Berdasarkan Tempat Tinggal Distribusi subyek berdasarkan puskesmas dan kecamatan lokasi tempat tinggal dapat dilihat pada Tabel 12 berikut. Tabel 12. Distribusi Subyek Berdasarkan Tempat Tinggal Puskesmas dan Kecamatan. Puskesmas Pejagoan Sruweng Klirong Kebumen II Buluspesantren II Petanahan Jumlah
Kecamatan Pejagoan Sruweng Klirong Kebumen Buluspesantren Petanahan
Jumlah 50 28 14 11 4 3 110
Persentase (%) 45,50 25,50 12,70 10,00 3,60 2,70 100,00
Berdasarkan Tabel 12 diatas dapat dilihat jumlah sampel untuk masing-masing puskesmas tidak sama, yang terbanyak di Puskesmas Pejagoan (45,50%) dan terkecil adalah Puskesmas Petanahan (2,70%). Besar kecilnya subyek ini didasarkan atas banyak sedikitnya jumlah pekerja dan jumlah tobong genteng yang ada di masing-masing puskesmas atau kecamatan. Walaupun besar kecilnya industeri mempengaruhi jumlah tenaga kerjanya akan tetapi pada umumnya semakin banyak jumlah industeri tobong genteng maka semakin banyak pula jumlah tenaga kerja yang ada. 3.
Distribusi Subyek Berdasarkan Faktor Risiko Penyakit Paru Obstruksi Kronik Hasil analisis univariat terhadap variabel-variabel yang diteliti pada penelitian faktor risiko Penyakit Paru Obstruksi Kronik di Kabupaten Kebumen dapat dilihat pada Tabel 13 berikut:
81
Tabel 13. Distribusi Subyek Berdasarkan Faktor Risiko PPOK di Kabupaten Kebumen Variabel Umur Status Gizi Kebiasaan merokok Lama kerja Kebiasaan memakai masker
≥ 40 th < 40 th Total Tidak baik Baik Total Merokok Tidak merokok Total ≥ 10 th < 10 th Total Tidak biasa Biasa Total
n 25 17 42 12 30 42 30 12
PPOK % 59,52 40,47 100 28,57 71,42 100 71,42 28,57
42 23 19 42 32 10 42
100 54,76 45,23 100 76,19 23,80 100
Tidak PPOK n % 26 38,23 42 61,76 68 100 24 35,29 44 64,70 68 100 28 41,17 40 58,82
Total n % 51 100 59 100 110 100 36 100 74 100 110 100 58 100 52 100
68 26 42 68 31 37 68
110 49 61 110 63 47 110
100 38,23 61,76 100 45,58 54,41 100
100 100 100 100 100 100 100
a. Variabel Umur. Berdasarkan tabel 13 di atas dapat dilihat bahwa jumlah subyek penelitian yang ditinjau menurut variabel umur menunjukkan bahwa subyek yang berumur ≥ 40 tahun lebih kecil dibanding yang berumur < 40 tahun yaitu sejumlah 51 orang (46,3%%), sedangkan subyek yang berumur < 40 tahun sejumlah 59 orang (53,6%). Pada kelompok umur ≥ 40 tahun dari 51 responden yang diteliti terdapat kasus PPOK sebanyak
25
(59,52%) subyek dan 26 (38,23%) subyek yang tidak PPOK, sedang pada kelompok umur < 40 tahun dari 59 responden terdapat kasus PPOK sebanyak 17 (40,47%) subyek dan 42 (61,76%) subyek yang tidak PPOK. Ini berarti bahwa jumlah responden yang mengalami PPOK lebih banyak pada kelompok umur ≥ 40 tahun. b. Variabel status gizi Berdasarkan tabel 13 di atas dapat dilihat bahwa jumlah subyek penelitian menurut variabel status gizi menunjukan bahwa subyek yang status gizi tidak baik sejumlah 36 (32,4%) orang, sedangkan subyek dengan status gizi baik sejumlah 74 (67,2%) orang. Pada kelompok status 82
gizi tidak baik dari 36 responden terdapat kasus PPOK sejumlah 12 (28,57%) dan 24 (35,29%) subyek yang tidak PPOK, sedangkan pada kelompok status gizi baik dari 74 responden dengan status gizi baik, terdapat 30 (71,42%) kasus PPOK dan 44 (64,70%) yang tidak PPOK. Hal ini menunjukkan bahwa sebagian besar pekerja tobong genteng yang menderita PPOK mempunyai status gizi baik. c. Variabel kebiasaan merokok Berdasarkan tabel 13 di atas dapat dilihat pula bahwa jumlah subyek penelitian menurut kebiasaan merokok menunjukkan bahwa subyek yang mempunyai kebiasaan merokok sejumlah 58 (52,7%) orang, sedangkan subyek yang tidak merokok sejumlah 52 (47,3%) orang. Pada kelompok yang biasa merokok dari 58 responden terdapat 30 (71,42%) kasus PPOK dan 28 (41,17%) tidak PPOK, sedangkan pada kelompok yang tidak merokok dari 52 responden terdapat kasus PPOK sejumlah 12 (28,57%) subyek dan 40 (58,82%) subyek tidak PPOK. Keadaan ini dapat diartikan bahwa antara pekerja yang merokok dan PPOK lebih besar dibanding pekerja yang tidak merokok dan PPOK. d. Variabel lama kerja Berdasarkan tabel 13 di dapat dilihat bahwa jumlah subyek penelitian menurut variabel lama kerja menunjukkan bahwa subyek yang mempunyai masa kerja ≥ 10 tahun terdapat 49 (44,55%) orang, sedangkan subyek yang mempunyai masa kerja < 10 tahun terdapat 61 (55,45%) orang. Pada kelompok dengan masa kerja ≥ 10 tahun dari 49 responden terdapat 23 (54,76%) kasus PPOK dan 26 (38,23%) tidak PPOK, sedangkan pada kelompok yang mempunyai masa kerja < 10 tahun dari 61 responden terdapat kasus PPOK sejumlah 19 (45,23%) subyek dan 42 (61,76%) subyek tidak PPOK. Hal ini dapat diartikan bahwa pekerja yang memiliki lama kerja ≥ 10 tahun lebih banyak yang mengalami PPOK dibanding yang lama kerjanya < 10 tahun.
83
e. Variabel kebiasaan memakai masker Berdasarkan tabel 13 di atas dapat dilihat bahwa jumlah subyek penelitian menurut kebiasaan memakai masker menunjukkan bahwa subyek yang mempunyai kebiasaan tidak memakai masker sejumlah 63 (57,3%) orang, sedangkan subyek yang mempunyai kebiasaan memakai masker sejumlah 47 (42,7%) orang. Pada kelompok dengan tidak biasa memakai masker dari 63 responden terdapat 32 (76,19%) kasus PPOK dan 31 (45,58%) tidak PPOK, sedangkan pada kelompok yang biasa memakai masker dari 47 responden terdapat kasus PPOK sejumlah 10 (23,80%) subyek dan 37 (54,41%) subyek tidak mengalami PPOK. Hal ini berarti bahwa kejadian PPOK lebih banyak pada pekerja yang tidak biasa memakai masker dibanding pekerja yang memakai masker. 4. Analisis Bivariat Faktor Risiko Penyakit Paru Obstruksi Kronik Setelah melihat distribusi menurut faktor risiko PPOK, maka dilakukan analisis bivariat dengan tujuan untuk mengetahui ada tidaknya hubungan antara 2 variabel dengan menggunakan uji statistik Chi-square. Hasil analisis bivariat terhadap variabel-variabel yang merupakan faktor risiko PPOK di Kabupaten Kebumen dapat dilihat pada tabel 14 berikut: Tabel 14. Hasil Analisis Bivariat Pada Penelitian Faktor Risiko PPOK di Kabupaten Kebumen Tahun 2013 PPOK Variabel Umur Status gizi Kebiasaan merokok Lama kerja Kebiasaan memakai masker
≥ 40 th <40 th Tdk baik Baik Biasa Tdk biasa ≥ 10 tahun < 10 tahun Tdk biasa Biasa
Ya n 25 17 12 30 30 12 23 19 32 10
% 59,52 40,47 28,57 71,42 71,42 28,57 54,76 45,23 76,19 23,80
Tidak n % 26 38,23 42 61,76 24 35,29 44 64,70 28 41,17 40 58,82 26 38,23 42 61,76 31 45,58 37 54,41
OR
CI 95%
2,375
1,007-5,635 Ref 0,288-1,811 Ref 1,458-8,964 Ref 0,834-4,594 Ref 1,516-10,039 Ref
0,733 3,571 1,955 3,819
P value 0,029 0,465 0,002 0,090 0,001
84
a. Hubungan antara faktor risiko umur dengan kejadian PPOK Berdasar tabel 14 diatas dapat dilihat bahwa hasil analisis bivariat hubungan antara faktor risiko umur dengan kejadian PPOK diperoleh nilai OR 2,375 dengan CI 95% 1,007-5,635, p-value 0,029.
Hasil analisis
bivariat tersebut dapat diinterpretasikan bahwa risiko untuk terkena PPOK adalah 2,375 kali lebih besar pada pekerja tobong yang berumur ≥ 40 tahun dibandingkan dengan pekerja tobong yang berumur < 40 tahun, dan secara statistik bermakna (p = 0,029). b. Hubungan antara faktor risiko status gizi dengan kejadian PPOK. Berdasar tabel 14 diatas dapat dilihat bahwa hasil analisis bivariat hubungan antara faktor risiko status gizi tidak baik dengan kejadian PPOK diperoleh nilai OR 0,733, dengan CI 95% 0,288-1,811, p-value 0,465. Hasil analisis bivariat tersebut dapat diinterpretasikan bahwa resiko untuk terkena PPOK adalah 0,733 kali lebih besar pada pekerja tobong yang status gizinya tidak baik dibandingkan dengan pekerja tobong yang status gizinya baik namun dengan melihat CI 95% 0,288-1,811 dan nilai p-value 0,465, maka secara biologis bermakna protektif namun tidak bermakna secara statistik. c. Hubungan antara faktor risiko kebiasaan merokok dengan kejadian PPOK. Berdasar tabel 14 diatas dapat dilihat bahwa hasil analisis bivariat hubungan antara faktor risiko kebiasaan merokok dengan kejadian PPOK diperoleh nilai OR 3,571, CI 95% 1,458-8,964, dengan p-value 0,002. Hasil analisis bivariat tersebut dapat diinterpretasikan bahwa risiko untuk terkena PPOK adalah 3,571 kali lebih besar pada pekerja tobong yang biasa merokok dibandingkan dengan pekerja tobong yang tidak merokok, dan secara statistik bermakna (p = 0,002). d. Hubungan antara faktor risiko lama kerja dengan kejadian PPOK. Berdasar tabel 14 diatas dapat dilihat bahwa hasil analisis bivariat hubungan antara faktor risiko lama kerja dengan kejadian PPOK diperoleh nilai OR 1,955, CI 95% 0,834-4,594, p-value 0,090. Hasil analisis bivariat
85
tersebut dapat diinterpretasikan bahwa risiko untuk terkena PPOK adalah 1,955 kali lebih besar pada pekerja tobong yang lama kerja ≥ 10 tahun dibandingkan dengan pekerja tobong yang lama kerja < 10 tahun, namun secara statistik tidak bermakna (p = 0,090). Walaupun seorang pekerja telah lama bekerja namun kalau pekerja tersebut menjaga diri dengan tertib memakai APD ditunjang dengan sistem ketahanan badan yang kuat maka tidak akan terkena PPOK. Sebaliknya pekerja yang belum lama bekerja namun tidak tertib menjaga diri maka walaupun belum lama bekerja dan sistem ketahanan tubuh yang rendah maka akan terkena PPOK. e. Hubungan antara faktor risiko kebiasaan memakai masker dengan Kejadian PPOK. Berdasar tabel 14 diatas dapat dilihat bahwa hasil analisis bivariat hubungan antara faktor risiko kebiasaan memakai masker dengan kejadian PPOK diperoleh nilai OR 3,819, CI 95% 1,516-10,039, p-value 0,001. Hasil analisis bivariat tersebut dapat diinterpretasikan bahwa risiko untuk terkena PPOK adalah 3,819 kali lebih besar pada pekerja tobong yang tidak memiliki kebiasaan memakai masker dibandingkan dengan pekerja tobong yang memiliki kebiasaan memakai masker, dan secara statistik bermakna (p = 0,001). 5. Analisis Multivariat Faktor Risiko PPOK Analisis multivariat dilakukan untuk menganalisis beberapa faktor risiko secara bersama-sama terhadap kejadian PPOK dengan menggunakan uji statistik regresi logistik berganda. Untuk menghindari kemungkinan adanya variabel yang tidak memiliki kemaknaan secara statistik namun memiliki kemaknaan secara biologi maka semua variabel faktor risiko yang memiliki nilai p value <0,25 dimasukkan dalam analisis multivariat. Variabel yang tidak masuk dalam analisis multivariat tahap I adalah variabel status gizi. Sedangkan variabel-variabel yang masuk dalam analisis multivariat tahap pertama diantaranya variabel umur, kebiasaan merokok, lama kerja dan kebiasaan memakai masker seperti terlihat pada tabel 15 berikut:
86
Tabel 15. Hasil Analisis Regresi Logistik Berganda Pada Penelitian Faktor Risiko PPOK di Kabupaten Kebumen Tahun 2013 Mode l
Variabel Umur Rokok
I
Lama Masker Umur Rokok
II
Masker
OR 2,999 4,432 1,226 3,703 3,204 4,761 3,811
CI 95% 1,1657,697 1,71011,488 0,4983,0217 1,4569,416 1,2788,035 1,83912,324 1,4799,702
SE 1,442 2,153 0,564 1,763 1,503 2,310 1,817
p> [Z] 0,02 3 0,00 2 0,65 6 0,00 6 0,01 3 0,00 1 0,00 5
a. Model I Berdasarkan tabel 15 dapat dilihat bahwa hasil analisis multivariat dengan regresi logistik berganda pada Model I dari ke 4 variabel yang diujikan ada 3 variabel yang memiliki kemaknaan secara biologi (nilai OR >1) dan kemaknaan secara statistik (p-value ≤0,05) yaitu variabel umur, kebiasaan merokok dan kebiasaan memakai masker. Pada faktor risiko lama kerja diperoleh nilai OR 1,226,
(CI 95% 0,678-1,031, p-value
0,656), yang berarti secara praktis sebagai faktor risiko terjadinya PPOK namun secara statistik tidak bermakna maka tidak diikutkan pada uji multivariat tahap ke dua. b. Model II Berdasarkan tabel 15 dapat dilihat bahwa hasil analisis multivariat dengan regresi logistik berganda pada Model II dari ke 3 faktor risiko yang dimasukkan ke dalam analisis, semua faktor risiko memiliki kemaknaan secara biologi maupun statistik yaitu pada faktor risiko umur (OR 3,161, 87
CI 95% 1,265-7,895, p-value 0,014) , merokok (OR 4,603, CI 95% 1,79611,801, p-value 0,001), dan faktor risiko kebiasaan memakai masker (OR 3,783, CI 95% 1,493-9,586, p-value 0,005). Dengan melihat nilai OR untuk masing – masing faktor risiko maka faktor risiko kebiasaan merokok memiliki kemaknaan paling tinggi (OR 4,603, CI 95% 1,796-11,801, pvalue 0,001) diikuti faktor risiko kebiasaan memakai masker (OR 3,783, CI 95% 1,493-9,586, p-value 0,005) kemudian faktor risiko umur (OR 3,161, CI 95% 1,265-7,895, p-value 0,014). B.
Pembahasan
Rancangan yang dipakai dalam penelitian Faktor Risiko Penyakit Paru Obstruksi Kronik di kabupaten Kebumen tahun 2013 ini adalah crossectional study yang bertujuan untuk mengetahui apakah kejadian PPOK akan lebih berpeluang atau berisiko pada pekerja tobong genteng yang berumur ≥ 40 tahun, berstatus gizi tidak baik, merokok, memiliki masa kerja ≥ 10 tahun dan tidak memiliki kebiasaan memakai masker pada saat bekerja pada industri tobong genteng di Kabupaten Kebumen, dengan jumlah sampel sebanyak 110 orang. Dari hasil analisis multivariat di dapat nilai OR untuk variabel kebiasaan merokok sebesar 4,6 dengan nilai P1 = 0,51 dan P2 = 0,23, yang jika dimasukkan ke dalam rumus besar sampel diperoleh nilai sebesar 30, berarti jumlah sampel dalam penelitian ini sudah mencukupi. Dari hasil analisis multivariat pula di dapatkan nilai Pseudo R2 sebesar 0,1754 yang berarti persamaan regresi yang didapat mempunyai kemampuan untuk memprediksi kejadian PPOK sebesar 17%, selebihnya disebabkan oleh faktor risiko yang lain. Berdasarkan hasil pengukuran nilai VEP1 pra bronkodilator saja pada subyek penelitian tanpa dilanjutkan uji bronkodilator, didapatkan prevalensi Penyakit Paru Obstruksi Kronik pada pekerja tobong genteng di Kabupaten Kebumen sebesar 38,18%. Jenis analisis data yang digunakan adalah analisis bivariat dengan uji Chi Square dan analisis multivariat dengan uji regresi logistik berganda dengan STATA-11. Pada uji bivariat dengan chi square menunjukkan bahwa variabel umur, kebiasaan merokok, dan kebiasaan memakai masker
88
menunjukkan kemaknaan secara biologi maupun statistik. Sedangkan variabel status gizi dan lama kerja secara statistik tidak menunjukkan hubungan yang bermakna. Sementara itu hasil uji multivariat dengan regresi logistik berganda tahap II menunjukkan bahwa hanya ada tiga variabel yang memiliki kemaknaan secara biologi maupun statistik yaitu variabel kebiasaan merokok, kebiasaan tidak memakai masker dan variabel umur. Setelah dilakukan analisis bivariat lalu dilakukan analisis multivariat dengan regresi logistik berganda model I - II yang bertujuan untuk menemukan model regresi yang paling sesuai untuk menggambarkan peran beberapa faktor risiko sekaligus terhadap kejadian PPOK di Kabupaten Kebumen. Berdasarkan Tabel 15 dengan membandingkan Model I-II, maka yang dipilih adalah Model II yang terdiri dari 3 variabel. Dengan melihat nilai OR untuk masing-masing variabel maka variabel yang bermakna secara berturut-turut adalah variabel kebiasaan merokok disusul variabel kebiasaan tidak memakai masker dan yang terakhir adalah variabel umur. Untuk masing-masing variabel dapat dijelaskan sebagai berikut: a. Hubungan antara faktor risiko memiliki kebiasaan merokok dengan kejadian PPOK. Hasil analisis multivariat hubungan antara faktor risiko kebiasaan merokok kejadian PPOK diperoleh nilai OR 4,603, CI 95% 1,796-11,801, p-value 0,001. Hasil tersebut menggambarkan bahwa risiko untuk terkena PPOK sebesar 4,6
kali pada pekerja tobong genteng yang memiliki
kebiasaan merokok dibandingkan dengan yang tidak merokok, dan secara statistik bermakna (p-value = 0,00). Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian Kupiainen. et.al (2012) di Finlandia yang menyatakan bahwa ada hubungan yang bermakna antara faktor risiko kebiasaan merokok dengan dengan kejadian PPOK (OR 2,50, CI 95% 1,55-4,03, p-value 0,001). Namun tidak sejalan dengan penelitian Kumendong, et. Al (2012), yang menyatakan bahwa tidak ada hubungan yang bermakna antara kebiasaan merokok dengan kejadian gangguan paru pada pekerja pabrik di CV. Sinar Mandiri di Manado
89
(p=0,071), demikian pula hasil penelitian Syamsudin (2003) di Kabupaten Boyolali bahwa tidak ada hubungan yang bermakna secara statistik antara kebiasaan merokok dengan kejadian PPOK namun secara biologi bermakna (OR 2,497, CI 0,949-6,570, p= 0,064). Merokok dengan kejadian PPOK menunjukkan hubungan dose response, yang hubungan tersebut dapat dilihat pada Indeks Brigman, yaitu jumlah konsumsi batang rokok per hari dikalikan jumlah hari lamanya merokok (tahun), misalnya bronkitis 10 bungkus tahun artinya kalau seseorang itu merokok sehari sebungkus, dia menderita bronkitis kronik minimal setelah 10 tahun merokok. Penggunaan tembakau di Indonesia diperkirakan menyebabkan 70% kematian karena penyakit paru kronik dan enfisema. Lebih dari setengah juta penduduk Indonesia menderita karena penyakit saluran pernapasan yang disebabkan oleh penggunaan tembakau pada tahun 2001 (Depkes RI, 2008). Hubungan antara rokok dengan PPOK adalah terletak pada kandungan bahan-bahan kimia berbahaya pada asap rokok yang dapat merusak saluran pernapasan. Mekanisme dari asap rokok ini adalah menekan sistem pertahan saluran napas, paralisis pada silia dan penurunan aktivitas makrofag alveolus, dan produksi mukus yang berlebihan sehingga terjadi obstruksi saluran napas. Penyakit Paru Obstruksi Kronik mempunyai tanda dan gejala batuk produktif atau non produktif, mengi saat inspirasi maupun ekspirasi, dada seperti terikat dan sesak nafas, pernafasan cuping hidung, ketakutan dan diaforesis, inspirasi ronkhi kasar dan whezzing, (Suriadi dalam Nasution, 2012). Pencegahan merokok merupakan intervensi yang penting, oleh karena itu fokus intervensi perlu dirubah dari intervensi penyakit menjadi intevensi faktor risiko (Ghambarian, et. al. (2004). Sementara itu disamping polusi udara oleh karena asap rokok seseorang bisa juga terkena PPOK oleh karena asap rumah tangga dan kendaraan bermotor. Namun dalam penelitian ini dari 42 kasus hanya ada 14 (33,33%) subyek yang disamping terpapar asap di tempat kerja juga
90
terpapar asap dari rumah tangga dan secara statistik maupun biologi tidak bermakna (RP = 0,94, p = 0,833). Hasil penelitian menunjukkan bahwa dari 110 sampel terdapat 58 (52,78%) dengan kebiasaan merokok, dan ada 52 (47,25%) yang tidak merokok. Dari 58 subyek dengan kebiasaan merokok terdapat 30 (51,72%) subyek yang PPOK dan 28 (48,27%) yang tidak PPOK. Sementara itu dari 52 subyek yang tidak merokok terdapat 12 (23,07%) subyek yang PPOK dan 40 (76,92%) yang tidak PPOK. Hasil penelitian ini memberikan bukti bahwa risiko untuk terkena PPOK 4,6 kali lebih besar pada pekerja tobong genteng yang merokok dibandingkan dengan pekerja yang tidak merokok. Berdasar hasil penelitian ini dapat diinterpretasikan bahwa kebiasaan merokok merupakan faktor risiko terjadinya PPOK pada pekerja tobong genteng di Kabupaten Kebumen.
b. Hubungan antara faktor risiko kebiasaan memakai masker dengan kejadian PPOK. Hasil analisis multivariat hubungan antara faktor risiko kebiasaan memakai masker dengan kejadian PPOK diperoleh nilai OR 3,783, CI 95% 1,493-9,586, p-value 0,005. Hasil analisis tersebut menggambarkan bahwa risiko untuk terkena PPOK sebesar 3,7 pada pekerja tobong yang tidak biasa memakai masker dibandingkan dengan pekerja yang biasa memakai masker, dan secara statistik bermakna. Hasil penelitian sejalan dengan penelitian Syamsudin (2003) di Boyolali, bahwa kebiasaan tidak memakai masker menjadi faktor risiko yang berhubungan dengan kejadian PPOK dengan nilai OR 2,554 CI 95% 1,048-6,223, p-value 0,039 namun berbeda dengan hasil penelitian Kumendong et al. (2012) di Kota Bitung yang mengatakan
bahwa tidak ada hubungan yang bermakna antara
penggunaan alat pelindung diri (masker) dengan kejadian PPOK dengan nilai OR 2,890, CI 95% 1,050-7,954, p-value 0,040. Demikian juga hasil penelitian Kumaidah (2009) di Kabupaten Jepara bahwa penggunaan APD menunjukkan nilai p = 0,028 (p < 0,05), Exp (ß) = 6,542. Hal ini menunjukan bahwa pekerja yang tidak menggunakan APD
mempunyai risiko terjadi PPOK sebesar 6 kali lebih tinggi dari pekerja yang menggunakan APD.
91
Menurut pendapat Harrington and Grill (2003) bahwa disamping faktor pekerjaan penurunan kapasitas paru juga dipengaruhi oleh sejumlah faktor nonpekerjaan yang terdiri dari usia, jenis kelamin, kelompok etnis, tinggi badan, merokok, suhu lingkungan kerja dan pemakaian alat pelindung diri. Debu yang masuk ke saluran pernapasan debu yang membahayakan kesehatan umumnya berkisar antara 0,1 mikron sampai dengan 10 mikron. Partikel yang berukuran 5 mikron atau lebih akan mengendap di hidung, nasofaring, trakea dan percabangan bronkus. Partikel yang berukuran kurang dari 2 mikron akan berhenti di bronkiolus respiratorius dan alveolus. Partikel yang berukuran kurang dari 0,5 mikron biasanya tidak sampai mengendap di saluran pernapasan akan tetapi akan dikeluarkan lagi. Partikulat bersama polutan lain seperti ozon dan sulfurdioksida akan menimbulkan penurunan faal paru, sedangkan partikulat saja tidak menimbulkan gangguan faal paru pada orang normal. Gangguan faal paru yang terjadi adalah penurunan VEP 1 dan rasio VEP 1/KVP, yaitu gangguan obstruksi saluran napas (Kemenkes, 2011). Pope dalam Kumaidah (2009) mengatakan bahwa debu yang masuk dalam jaringan alveoli dipengaruhi oleh solubilitas dan reaktivitas jenis debu polutan. Semakin tinggi reaktivitas mencapai alveoli maka menyebabkan reaksi inflamasi yang akut dan oedema paru. Pada reaksi sub akut dan kronis ditandai dengan pembentukan granuloma dan fibrosis interstitial
Hasil penelitian di wilayah penelitian dari 110 sampel ditemukan 63 (57,27%) orang yang tidak biasa memakai masker dan 47 (42,72%) yang biasa memakai masker. Dari 63 pekerja yang tidak biasa memakai masker terdapat 32 (60,08%) yang PPOK dan 31 (65,95%) yang tidak PPOK. Sedangkan dari 47 pekerja yang biasa memakai masker terdapat 10 (21,27%) yang mengalami PPOK dan 37 (78,72%) yang tidak PPOK. Dengan demikian penelitian ini telah membuktikan bahwa risiko untuk terkena PPOK adalah 3,7 kali lebih besar pada pekerja tobong yang tidak memakai masker dibandingkan dengan pekerja yang biasa memakai masker. Berdasar hasil penelitian ini dapat diinterpretasikan bahwa kebiasaan tidak memakai masker merupakan faktor risiko terjadinya PPOK pada pekerja tobong genteng di Kabupaten Kebumen.
c. Hubungan antara faktor risiko umur dengan kejadian PPOK.
92
Hasil analisis multivariat hubungan antara faktor risiko umur dengan kejadian PPOK diperoleh nilai OR 3,161, CI 95% 1,265-7,895, pvalue 0,014. Hasil analisis tersebut menggambarkan bahwa risiko untuk
terkena PPOK sebesar 3,1 kali pada pekerja tobong genteng yang berumur ≥ 40 tahun dibandingkan dengan pekerja yang berumur < 40 tahun, dan secara statistik bermakna. Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian Syamsudin (2003) di Boyolali bahwa semakin tua usia seseorang maka semakin tinggi risiko terkena PPOK yaitu pada kelompok umur 50-60 tahun akan memberikan risiko lebih besar terkena PPOK dibanding kelompok umur < 50 tahun dan kelompok umur > 60 tahun akan memberikan risiko lebih besar dibanding pada kelompok umur < 60 tahun dengan nilai OR 1,026, CI 95% 1,0243,263, p-value 0,05. Demikian juga penelitian Suharnadi (2005) di PT PRIMISSIMA, bahwa dengan analisis Spermen’s correlation test didapatkan hubungan antara umur dengan kejadian PPOK pada pekerja pabrik tekstil (p 0,01, r: 0,260). Hasil penelitian ini sejalan dengan pendapat Yunus (1997) yang menyatakan bahwa volume udara yang dihembuskan pada saat bernapas secara maksimal menjadi petunjuk kesehatan paru seseorang yang berhubungan dengan faktor usia. Difusi udara pada paru-paru, ventilaasi, ambilan oksigen dan semua parameter faal paru akan menurun sesuai dengan usia. Namun hasil penelitian ini memberikan hasil yang berbeda dengan yang dilakukan
Kaidah (2012) di Kabupaten Banjar pada
penambang batu gunung yang menyatakan tidak ada hubungan antara usia dengan kejadian gangguan fungsi paru. Hasil penelitian dengan 110 sampel menunjukkan bahwa yang berumur ≥ 40 tahun ada 51 (46,36%) subyek dan beumur < 40 tahun sebanyak 59 (53,63%) subyek. Pada kelompok berumur ≥ 40 tahun terdapat 25 (49,01%) subyek yang PPOK dan 26 (50,98%) yang tidak PPOK, sedangkan pada kelompok yang berumur < 40 tahun terdapat 17 (28,81%) yang PPOK dan 42 (71,18%) yang tidak PPOK.
Dengan
93
demikian hasil penelitian ini telah membuktikan bahwa risiko untuk tekena PPOK adalah 3,1 kali lebih besar pada pekerja tobong genteng yang berusia ≥ 40 tahun dibandingkan dengan pekerja yang berusia < 40 tahun, dan secara statistik bermakna. Sementara itu untuk variabel status gizi dan lama kerja dari hasil analisis multivariat bukan merupakan faktor risiko terjadinya PPOK pada pekerja tobong genteng di Kabupaten Kebumen. Untuk itu apabila akan dilakukan intervensi untuk menanggulangi kejadian PPOK pada pekerja tobong genteng di Kabupaten Kebumen difokuskan pada hal-hal yang berhubungan dengan kebiasaan merokok, umur pekerja dan kebiasaan memakai masker bagi para pekerja tobong genteng di Kabupaten Kebumen.
94
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan 1. Umur merupakan faktor risiko terjadinya PPOK pada pekerja tobong genteng di Kabupaten Kebumen dan secara statistik bermakna. 2. Merokok merupakan faktor risiko terjadinya PPOK pada pekerja tobong genteng di Kabupaten Kebumen dan secara statistik bermakna. 3. Kebiasaan tidak memakai masker merupakan faktor risiko terjadinya PPOK pada pekerja tobong genteng di Kabupaten Kebumen dan secara statistik bermakna
B. Saran 1. Bagi puskesmas a. Perlu melakukan pemeriksaan rutin bagi para pekerja tobong genteng agar jika terjadi penyakit PPOK ini dapat terdeteksi sejak dini untuk dapat dilakukan penanggulangan. Akan lebih baik jika bisa bekerjasama dengan sektor terkait untuk pemeriksaan kualitas lingkungan sekitar tobong agar dapat diketahui sedini mungkin jika ada keruksakkan lingkungan yang berpengauh terhadap kesehatan. b. Perlu melakukan penyuluhan kepada pekerja tobong dan masyarakat tentang faktor risiko terjadinya PPOK agar dapat dilakukan pencegahan, demikian pula kepada pemilik perusahaan agar ikut serta menjaga kesehatan tenaga kerja dalam rangka penanggulangan dan penanganan terjadinya PPOK pada pekerja tobong genteng di Kabupaten Kebumen. 2. Bagi masyarakat yang sudah terlanjur menderita penyakit ini agar menjaga kondisi, berobat secara teratur dan menghindari faktor risiko yang memperberat derajat sakit. Berhenti merokok adalah sangat perlu dilakukan baik bagi yang terlah sakit maupun yang belum sakit.
95
3. Bagi peneliti lain perlu melakukan penelitian lebih lanjut tentang faktor risiko yang berasal dari kondisi lingkungan kerja dengan kejadian PPOK bagi pekerja tobong genteng di Kabupaten Kebumen.
96
DAFTAR PUSTAKA Abner, P.B., Nusdwinuringtyas, N., Ratnawati, A., Widyahening, I.S., (2010) Pengaruh Electrical Stimulation terhadap Kekuatan Quadriceps Femoris Penderita PPOK Eksaserbasi dan Pasca Eksaserbasi Akut, Maj Kedokt Indon. Volume : 60, Nomor: 6, Juni 2010. Ambrosinno (2006) American Thoracic Society/European Respiratory Society Statement on Pulmonary Rehabilitation, Am J Respir Crit Care Med. 2006; 1973 : 1390-413. Anderson (1989) Pathophysiologi Clinical Conseps of Disease Processes (terj. Adji Dharma), Bagian 1 edisi 2 Cetakan VII. ECG, 1989, :515-21, Jakarta. Anto, J.M., Vermiere, P., Vestbo, J., Sunyer, J., (2001) Epidemiology of COPD, Eur Respire J; 17: 982-94. Bartolome, R., Celli, M.D., Claudia, G., Cote, M.D., Jose, M., Marin, M.D., (2004) The Body-Mass Index, Airflow Obstruction, Dyspnea, and Exercise Capacity Index in Chronic Obstructive Pulmonary Disease, N Engl J Med,350:1005-1012. Bellamy, D. (2005) Spirometry in Practice, A Practical Guide to Using Spirometry in Primary Care, Second Edition, British Thoracic Society (BTS) COPD Consortium, London. [Internet] Tersedia dalam :www.brit.thoracic.org.uk/link click. Broekhuizen. B.D., Sachs. A.P., Oostvogels. R., Cangkul,A.W., Verheij. T.J., Moons, K.G. (2009) The Diagnostic Value of History and Physical Examination for COPD in Cases of Suspected or Known: A Systematic Review. Pubmed, Family Practice ; 26 (4): 260-268. Budiono (2007) Faktor Risiko Gangguan Fungsi Paru pada Pekerja Pengecetan Mobil (Studi pada Bengkel Pengecetan Mobil di Kota Semarang). Tesis. Semarang: UNDIP. Buist (2007) International Variation in The Prevalence of COPD (The BOLD Study) :A Population-based Prevalence Study, Lancet., 370: 741-50. CDC. (2012) A Guide to COPD in Their 20s, 30's, 40's and Beyond, [Internet], Tersedia dalam :
.
Depkes RI. (2000) Survei Kesehatan Nasional Departemen Kesehatan RI Tahun 2000. Jakarta. 97
Depkes RI. (1988) Petunjuk Pengukuran Kualitas Udara, Direktorat Jenderal Pemberantasan Penyakit Menular dan Penyehatan Lingkungan Pemukiman (PPM-PLP), Jakarta. Dinas Perindustrian, Perdagangan dan Koperasi Kabupaten Kebumen (2011). Profil Perindustrian, Perdagangan dan Koperasi Kabupaten Kebumen Tahun 2011, Kebumen, Jawa Tengah. Dinas Kesehatan Kabupaten Kebumen (2011) Profil Kesehatan Kabupaten Kebumen tahun 2011, Kebumen, Jawa Tengah Depkes. RI., (2005) Buku Pedoman Umum Gizi Seimbang , Departemen Kesehatan RI tahun 2005. Jakarta. Depkes. RI. (2008) Pedoman Pengendalian Penyakit Paru Obstruktif Kronik, Nomor : 1022/Menkes/SK/XI/2008, Tanggal : 3 Nopember 2008. Devereux, G., (2006) Definition, epidemiology, and risk factors, BMJ; Tersedia dalam < 332(7550): 1142-1144, [Internet] www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMI459603>. Dobler, C.C., Wong. K.K., Marks. G.B., Assosiation betwen statin and COPD: review sistematic, 2009; 09:32, [Internet] Tersedia dalam : <www. Err.ersjournals.com/content/18/114222.full.>. Fukuchi (2009) The Aging Lung and COPD: Similarity and Difference, Proc Am Thorac Soc. 6:570-2, Tersedia dalam: < www. Ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/19934351>. Fatkhur, A. (2010) Pemeriksaan Faal Paru (Auto) Spirometry Test [Internet] Tersedia dalam : http://ahliparu.files.wordpress.com/ 2012/02/pemeriksaan-faal-paru-blogpdf.pdf. Ghambarian M.H, Feenstra T.L, Zwanikken P Kalinina, A.M. COPD: can prevention be improved? Proposal for an integrated intervention strategy. Prev Med. 2004; 39(2):337-43. Global Initiative for Chronic Obstructive Lung Disease (GOLD). (2005) Global Strategy for the Diagnosis, Management and Prevention of Chronic Obstructive Pulmonary Disease. [Internet] Tersedia dalam : . Godfredsen. N.S, Lam. T.H, Hansel. T.T, et al. (2008), “COPD –related morbidity and mortality after smoking cessation: Status of the evidence,” European Rispiratory Journal, vol. 32, no. 4, pp.844-853. Gulsvik, A (1999) Mortality and Prevalence of Chronic Obstruktive Pulmonary Disease in Differet Part of Erope. Dept of Thoracic Medicine, University of Bergen. Monaldi-Arch-Chest-Dist. 54(2): 160-2.
98
Guyton, A.C., & Hall, J.E., (2006) Texbook of Medical Physiologi, Edisi 11. , Philadelphia: Elsevier Saunders [Internet] Tersedia dalam : <www. Books.google.com/books.about/texbook_of medical_physiology.html>. Hackett, T.L., Knighht, Sin, D.D., (2010) Potential role of stem cell in management of COPD, Int J Chron Obstruct Pulmon Dis.,27: ;5:81-1. Hariman Alamsyah (2010) Efek Latihan Pernapasan terhadap Faal Paru Derajat Sesak Napas dan Kapasitas Fungsional Penderita Penyakit Paru Obstruksi Kronis Stabil, Tesis, Unversitas Sumatera Utara tahun 2010. [Internet] Tersedia dalam : < (http;//library, usu.ac.id>. Hendrawati (1998) Pengaruh Debu Kayu Terhadap Paru dan Faktor Risikonya di Kalangan Pekerja Industri Permebelan Kayu PT.X di Bogor. Journal Respir Indo vol 18, No. 4: 137-145. Hendrayati (2009) Gambaran Asupan Zat Gizi, Status Gizi dan Produktifitas Karyawan CV. Sinar Matahari Sejahtera di Kota Makasar, Media Gizi Pangan, Vol. VII, Edisi Januari-Juni 2009. Jati, A (2010) Skrining Penyakit Paru Opstruksi Kronik pada Pekerja Tobong Batu Gamping di Wonosari, Gunungkidul, Yogyakarta :Gadjah Mada University Press. Joan, B., & Soriano, O., (2009) Program de Epidemiologia e Investigacion Balears, Arch Clinica, Foundacion Caubet-CIMERA, Illes Bronconeumol, Espana, 45 (Supl.4) : 8-13. Kemenkes. RI. (2011) Buku Pedoman Pengendalian Penyakit Paru Obstruksi Kronik, Jakarta. Kim, D.K., Hersh,C.P.,Washko, G.R., (2011) ”Epidemiology, radiologi, and genetics of nicotin dependence in COPD,” Respiratory Research, vol. 12, p. 9.I,. Kumaidah (2009), Analisis Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Gangguan Fungsi Paru pada Pekerja Mebel PT Kota Jati Furnindo Desa Suwawal Kecamatan Mlonggo Kabupaten Jepara, Tesis, Semarang, Universitas Diponegoro. Kupiainen. H., Kinnula.V.I., Lindqvist. A., Postma. D. S., Boezen. H. M., Laitinen. T., Kilpelainen. M., (2012), Succesful Smoking Cessation in COPD: Association with Comorbidities and Mortality, Pulmonary Medicine, Article ID 725024, 7 pages doi:10.1155/2012/725024.
99
Lopez, A.D., Shibuya, K., Rao, C., Mathers, C.D., Hansen, A.L., Held, L.S., (2006) COPD : Current Burden and Future Projection, Eur Respir J.,27:397-412. Lemeshow, S., Lwanga, S..K., Klar, J., & Hosmer, D.W., (1997) Besar Sampel Dalam Penelitian Kesehatan. (terjemahan) , Gadjah Mada University Press, Yogyakarta. Mangunnegoro, H. (2001) Nilai normal Faal Paru Orang Indonesia Pada Nilai Usia Sekolah dan Pekerja Dewasa Berdasarkan Rekomendasi American Thoracic Society (ATS), Surabaya: Airlangga University Press. Mannino, D.M., Buist, A.S., (2007) Global burden of COPD: Risk Faktors, Prevalence and Future Trends, Lancet,370:765-73. Mahler, D.A., (2007) Pulmonary Rehabilitation: joint ACCP/AACVPR Evidence-based Clinical Practice Guidlines, Chest;131 : 4S-42S. McNee,W., (2009) Accelerated Lung Anging: a novel pathogenic mechanism of COPD, Biochem Soc Trans.;, 37:819-23. Mukono (2005) Toksikologi Lingkungan, Surabaya: Airlangga University Press . Murti B. (2003) Prinsip dan Metode Riset Epidemiologi, Yogyakarta :Gadjah Mada University Press. Mohsenin, Bourjely-Habr, Rochester, Palermo, Synder (2002) Randomised Controlled Trial of Transcutaneous Electrical Muscle Stimulation ofthe Lower Exstremities in Patiens With Cronic Obstructive Pulmonary Disease, Thorax ;57:1045-9. Monteagudo, M., Blanco, T.R., (2012) Variability in Performing Spirometry and Its
Consequences in the Treatment of COPD in Primary Care, Pulmonary Medicine, vol 18-Issue 2.p. 168-172.
Nasution , M., Jamelau, R., Saputra, B (2012)., Modul VII Respirasi (Pernapasan)
Skenario-4, Fakultas Kedokteran Universitas Islam Sumatera [Interet] Tersedia dalam : . PDPI. (2003) Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK), Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan di Indonesia [Interet] Tersedia dalam : . Petty, T.L., (2000) Scope of the COPD problem in North America: early studies of prevalence and NHANES III data; basic for early identivication and intervention, Chest ;117:326S-31S.. Puhan, M. A., Gimeno-Santos, E., Scharplatz, M., Troosters, T., Walters, E. H., Steure, J., (2010) Pulmonary rehabilitation after aksaserbasi chronic obstructive pulmonary disease, Cochrane Database of Systematic Reviews: Issue
11.
CD005305
[Internet]
Tersedia
dalam
<
http://www.klikpdpi.com/konsensus/konsensus-ppok/ppok.pdf>. Ratnawati (2010) The Effect of Electrical Stimulation (ES) on Strength of Quadricep Femoris Muscle in Acute Exacerbation and Post Acute
100
Exacerbation COPD Patien, Maj Kedokt Indon, Volume:60, Nomor : 6, Juni 2010. Razir, F., Amrir. Z., lchsano, M., Faisal (2008) Pengaruh Debu Batu Bara terhadap Paru Pekerja pada Bagian Penggalian di Bucket Wheel Escavator PT “X”. Departemen llmu Kedokteran Komunitas Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Departemen Pulmonologi dan llmu Kedokteran Respirasi Fakultas Kedokteran, Maj Kedokt Indon, Volume 58, Nomor : 2, Februari 2008. Syamsudin (2003) Hubungan Kualitas Udara dan Terjadinya Penyakit Paru Obtruksi Kronis Pada Pengrajin Tembaga di Kecamatan Cepogo Kabupaten Boyolali, Tesis, Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Suradi (2007) Pengaruh Rokok Pada Penyakit Paru Obstruksi Kronik (PPOK) Tinj auan Patogenesis, Klinis dan Sosial, Pidato Pengukuhan Guru Besar Pulmonologi dan Ilmu Kedokteran Respirasi, Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret, tanggal 10 Maret 2007 [Interet] Tersedia dalam : . Sherril, Castellsague, Saez, Tobias, Anton (1996) Air pollution and mortality in Barcelona, Journal of Epidemiologi and Community Healht. Vol. 50: 576-80. Tabrani, R., (1996) Ilmu Penyakit Paru. Lektor Fisiologi dan Biokimia, Universitas Riau , Direktur Chest Clinic Pekan Baru, Cetakan I, Hal. 190-206. Woloshim, S., Schwartz, L.M., Welch, H.G., (2008) The risk of death by age, sex, and smoking status in the United States: putting health risk in context, J Natl Cancer Inst, 100(12):845-53. Yulaekah (2007) Hubungan Antara Lama Paparan dengan Kapasitas Paru Tenaga Kerja Industri Mebel di CV. Sinar Mandiri Kota Bitung, Tesis, Universitas Syam Ratulangi Manado. Yunus (2005) “Uji Faal Paru Penyakit Paru Obstruktif” dalam Cermin Dunia Kedokteran No. 84, 1993 (halaman 18-22). Yunus (2009) Dampak debu industri pada paru pekerja dan pengendaliannya, Cermin Kedokteran 1997; [Internet] Tersedia dalam : < (http;//library, usu.ac.id>. Yasril dan Kasjono, H.S., (2009) Analisis Multivariat Untuk Penelitian Kesehatan. Mitra Cendikia Press, Jogjakarta.
101
1. ALAT YANG DIPAKAI PENELITIAN A. Timbangan injak merek TANITA
B. Spirometer
C. Pengukur tinggi badan
102
2. PENGISIAN KUESIONER DAN PENGUKURAN
103
104
3. KONDISI INDUSTERI TOBONG
105
106
107
1. TEMPAT PENELITIAN
108
109
110
111
112
1
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Berkembangnya teknologi dan bertambah baiknya tingkat perekonomian seperti saat ini mempengaruhi pergeseran pola penyakit yang ditandai dengan beralihnya penyebab kematian, semula didominasi oleh penyakit menular bergeser ke penyakit tidak menular (non-communicable disease) yang dipengaruhi oleh keadaan demografi, sosial ekonomi, dan sosial budaya. Pergeseran pola penyakit ini seperti tercatat pada hasil Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) tahun 1997 dan Survei Kesehatan Nasional Tahun 2000, diketahui penyebab kematian tertinggi pada kelompok orang dewasa adalah penyakit kardio-vaskuler (Depkes RI, 1997 dan 2000). Word Health Organization (WHO) menyatakan pergeseran kematian akibat penyakit tidak menular sudah melanda negara-negara berkembang. Tahun 2000 WHO melaporkan sebanyak 55.694.000 kematian, ternyata 59 persen akibat kecelakaan dan sisanya akibat penyakit lain. Menurut World Health Report 2000 oleh WHO menyatakan bahwa 5 penyakit paru utama merupakan 17,4 % dari seluruh kematian yang ada di dunia yang meliputi penyakit infeksi paru 7,4 %, Penyakit
Paru
Obstruksi
Kronik
4,8%,
tuberkulosis
3%,
kanker
paru/trakea/bronkus 2,1% dan asma 0,3%. Sementara itu Bank Dunia menyatakan bahwa 13,3 % dari seluruh Disability Adjusted Life Years (DALY) disebabkan oleh kelima penyakit tersebut. The Asia Pacific Chronic Obstructive Pulmonary Disease Roundtable Group memperkirakan jumlah penderita Penyakit Paru Obstruksi Kronik sedang hingga berat di negara-negara Asia Pasifik tahun 2006 mencapai 56,6 juta penderita dengan prevalensi 6,3%, sementara di Indonesia berkisar 4,8 juta dengan prevalensi 5,6% (Kemenkes, 2011). Penyakit Paru Obstruksi Kronik merupakan salah satu masalah besar di bidang kesehatan dengan prevalensi 4-6% pada penduduk dewasa di Eropa
dengan prevalensi didominasi jenis kelamin laki-laki dan meningkat seiring dengan bertambahnya usia (Gulsvik, 1999).
Penyakit Paru Obstruksi Kronik
adalah penyebab utama kematian bagi individu berusia diatas 65 tahun dan merupakan penyebab kematian ke empat penduduk di Amerika Utara (Hackett, 2010). Menurut Widjaya (2006) dalam Suradi (2007), Penyakit Paru Obstruksi Kronik menempati urutan ke-4, naik dari peringkat ke-6 pada 5 tahun sebelumnya dalam daftar penyakit penyebab kematian, dan diperkirakan pada tahun 2020 PPOK akan menempati urutan ke-3. Hal ini sama dengan yang dikatakan Lopez (2006) yang mengatakan bahwa PPOK menempati urutan kelima penyakit terbanyak di seluruh dunia pada tahun 2002 dan akan menempati urutan ketiga pada tahun 2020. Studi nasional di Inggris menyebutkan 10% laki-laki dan 11% perempuan berumur 16 – 65 tahun mengalami obstruksi ringan, sedangkan di Kota Manchester dilaporkan sekitar 11% orang dewasa berumur lebih dari 45 tahun mengalami obstruksi saluran nafas yang irreversible, 6,8% penduduk dewasa di Amerika mengalami PPOK ringan, 1,5 % derajat sedang dan 0,5 % dalam kondisi derajat berat (Devereux, 2006). Sedangkan menurut Suradi (2007) mengatakan bahwa angka kesakitan penderita PPOK laki-laki mencapai 4%, angka kematian mencapai 6% dan angka kesakitan pada wanita adalah 2% dengan angka kematian 4% pada umur di atas 45 tahun. Prevalensi PPOK pada laki-laki sebesar 8,5-22,2% dan pada perempuan sebesar 5,1-16,7%, sedangkan pada orang dewasa pada usia lebih dari 40 tahun mencapai 9-10% (Buist,
et.al., 2007).
Pada laki-laki usia 55-74 tahun PPOK merupakan penyebab kematian ke tiga dan pada perempuan merupakan penyebab kematian ke empat. Antara tahun 1980 dan tahun 2000, didapat angka kematian akibat PPOK meningkat 28,2% pada perempuan dan 13% pada laki-laki (Mahler, et al., 2007). Demikian juga dengan tingkat mortalitas dan morbiditas juga meningkat dengan kematian mencapai 30.000 jiwa setiap tahun di Inggris dan di Amerika Utara merupakan penyebab kematian ke empat (Mannino, 2007). Word Health Organization (WHO) menyebutkan angka kematian akibat PPOK tahun 2010 diperkirakan menduduki peringkat ke empat bahkan dekade mendatang menjadi peringkat ke tiga. Data WHO juga menunjukkan bahwa pada
2
tahun 1990 PPOK menempati urutan ke-6 sebagai penyebab utama kematian di dunia, sedangkan pada tahun 2002 telah menempati urutan ke-3 setelah penyakit kardiovaskuler dan kanker
(Depkes RI, 2008).
Hasil survei penyakit tidak
menular oleh Direktur Jenderal Pemberantasan Penyakit Menular dan Penyehatan Lingkungan di lima rumah sakit propinsi di Indonesia (Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Lampung, dan Sumatera Selatan) tahun 2004, menunjukkan PPOK menempati urutan pertama angka kesakitan (35%), diikuti asma bronkial (33%), kanker paru (30%) dan lainnya (2%) (Depkes RI, 2008). Timbulnya kasus PPOK disebabkan oleh
meningkatnya usia harapan
hidup dan semakin tingginya paparan faktor risiko, antara lain semakin banyaknya jumlah perokok khususnya pada kelompok usia muda, serta pencemaran udara di dalam ruangan maupun di luar ruangan dan di tempat kerja (Kepmenkes, 2008). Diperkirakan di tahun 2012
PPOK telah menduduki peringkat ke empat di
Indonesia dan dari hasil prediksi di tahun 2020 nanti, PPOK menjadi penyebab kematian ketiga nasional (Abner, et al. 2010). Indonesia diperkirakan terdapat 4,8 juta penderita PPOK dengan prevalensi 5,6 persen dan ada kecenderungan terjadi peningkatan jumlah kasus PPOK yang mencapai 100 persen dibandingkan 5 tahun lalu ( Yunus, 2005). Hal itu disebabkan oleh beberapa faktor antara lain peningkatan usia harapan hidup orang Indonesia, dan prevalensi merokok yang makin tinggi di kalangan penduduk, terutama kalangan muda, disamping semakin majunya teknologi kedokteran, tersedianya dokter ahli dan semakin lengkapnya sarana pelayanan kesehatan. Salah satu faktor risiko PPOK adalah paparan debu atau polusi udara terutama di kota besar, lokasi industri dan di pertambangan (PDPI, 2003). Dan salah satu jenis industri yang berisiko terhadap PPOK tersebut adalah industri tobong genteng, tobong gamping, tambang batu kapur dan sejenisnya. Hasil penelitian pada pekerja tambang batu kapur di Desa Darmakradenan Kecamatan Ajibarang Kabupaten Banyumas Tahun 2005 menunjukkan bahwa faktor-faktor instrinsik yang terbukti berhubungan dengan penurunan kapasitas paru adalah indek masa tubuh kurus (OR=2,5; 95%CI= 1,9-24,4) dan faktorfaktor ekstrinsik yang terbukti berhubungan juga adalah kadar debu lebih dari 350
3
mg/m3 udara / hari (OR=2,8; 95%CI=1,8-9,9), bekerja pada proses produksi pembakaran (OR=7,9; 95% CI = 1,6-78,9), kebiasaan merokok tingkat sedang (OR=6,0; 95% CI=1,6-78,9), dan kebiasaan tidak pernah memakai masker OR=5,4; 95% CI = 1,5-32,5 (Jati, 2010). Sedang hasil penelitian Syamsudin (2003) di Kecamatan Cepogo Kabupaten Boyolali pada pekerja pengrajin tembaga di dapatkan bahwa proporsi kasus yang tidak terpapar faktor risiko debu terendap sebesar 26,7% dan yang terpapar faktor risiko debu terendap sebesar 59,8% dengan nilai RP sebesar 6,5. Faktor risiko penyakit paru obstruktif kronik (PPOK) adalah hal-hal yang berhubungan dan atau yang mempengaruhi/menyebabkan terjadinya PPOK pada seseorang atau kelompok tertentu. Faktor risiko tersebut meliputi faktor pejamu (host) yaitu genetik, jenis kelamin, dan anatomi saluran nafas. Faktor paparan lingkungan meliputi merokok, status sosio ekonomi, hipereaktivitas saluran nafas, pekerjaan, polusi lingkungan, kejadian saat perinatal, infeksi bronkopulmoner rekuren dan lain-lain (Kemenkes, 2011). Polusi udara yang terdiri dari polusi di dalam ruangan (asap rokok, asap kompor) dan polusi di luar ruangan (gas buang kendaraan bermotor, debu jalanan), serta polusi di tempat kerja (bahan kimia, zat iritasi, gas beracun) adalah faktor risiko yang perlu diwaspadai (Widjaya, 2006) dalam Suradi, 2007).
Sementara itu faktor yang mempengaruhi terjadinya
gangguan faal paru pada pekerja tambang dan sejenisnya adalah lama paparan debu dan karakteristik penambang seperti usia penambang, kebiasaan merokok, dan status gizi pekerja (Guyton, 2006). Hasil Survei Sosial Ekonomi Nasional (SUSENAS) tahun 2001 menunjukkan jumlah perokok di Indonesia sebesar 31,8% dan meningkat menjadi 32% di tahun 2003 dan menjadi 35% di tahun 2004. Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS) tahun 2007 menunjukan prosentase nasional perokok yang merokok di dalam rumah ketika bersama anggota keluarga lain sebesar 85,4%. Kementerian Kesehatan RI tahun 2010 menunjukkan bahwa jumlah perokok yang berisiko menderita PPOK atau kanker paru berkisar antara 20-25%. Saat ini Indonesia menjadi salah satu produsen dan konsumen rokok atau tembakau serta menduduki urutan kelima setelah negara dengan konsumsi rokok terbanyak di
4
dunia, yaitu China dengan konsumsi rokok 1.643 miliar batang rokok per tahun, Amerika Serikat dengan 451 miliar batang setahun, Jepang dengan 328 miliar batang per tahun, Rusia dengan 258 miliar batang per tahun, disusul Indonesia dengan 215 miliar batang rokok per tahun (Suradi, 2007). Suatu hal yang menjadi kebiasaan para perokok bahwa jika batuk setelah merokok maka dianggap karena jenis rokoknya yang tidak cocok dan akan sembuh kalau menghisap rokok merek tertentu.
Masyarakat telah mengenal
kanker paru, asma, bronkitis, penyakit jantung atau penyakit lain yang berhubungan kebiasaan merokok, namun sedikit yang mengenal PPOK. Padahal seiring dengan banyaknya faktor risiko yang ada karena alamiah atau karena perilaku manusia, PPOK telah menjadi burden of disease, dimana semakin lama semakin berkembang pesat bahkan diprediksi akan melebihi kanker paru (Mangunnegoro, 2002).
Faktor risiko lain
yang berkaitan dengan merokok
adalah penyalahgunaan alkohol dan stres kejiwaan, bahwa penelitian di Irlandia menunjukkan hubungan yang signifikan antara PPOK dengan konsumsi alkohol (OR 2,1, 95% CI 1,4-3,3), sedangkan hubungan stres kejiwaan dengan kejadian PPOK juga menunjukkan angka yang berarti dengan OR 1,8, 95% CI 1,2-2,7 (Kupiainen, 2012). Menurut Kementerian Kesehatan (2011) faktor risiko PPOK selain asap rokok adalah polusi udara oleh karena asap kendaraan bermotor yang mencapai 70% sampai 80% dari total pencemaran udara. Penyebab polusi yang lain adalah karena asap dari aktifitas rumah tangga yang menurut Kemenkes tahun 2011 pula menunjukkan 40% rumah tangga di Indonesia memasak menggunakan arang atau kayu sebagai bahan bakar. Sementara itu keluhan yang mendorong penderita PPOK datang ke dokter biasanya pada saat penyakit sudah pada tahap lanjut dimana perjalanan penyakit sudah mencapai 75%. Padahal sampai saat ini belum ada cara untuk mendeteksi PPOK secara dini, alat spirometer ataupun peak flow meter hanya bisa mendeteksi setelah penyakit berjalan mencapai 50% (Mangunnegoro, 2002). Keluhan yang paling sering dikeluhkan adalah intoleransi latihan fisik. Penderita sering merasa depresi, terisolasi karena selalu berusaha untuk menghindari sesak napas saat
5
melakukan aktivitas sehari-hari (Petty, 2000).
Pengobatan PPOK tergolong
mahal, sebagai perbandingan untuk tuberkulosis (TB) biaya pengobatan enam bulan membutuhkan biaya Rp. 100.000,- per bulan dengan tingkat kesembuhan tinggi. Namun untuk PPOK tidak bisa sembuh dan pengobatan ini hanya bersifat suportif paliatif, hanya untuk memperbaiki kualitas hidup, harga obat dua hingga tiga kali lipat obat TB dan perlu pengobatan seumur hidup (Suradi, 2007). Wilayah Kabupaten Kebumen memiliki potensi untuk mendukung timbulnya PPOK pada penduduk karena adanya industri tobong genteng, tobong gamping, pertambangan pasir dan pertambangan batu kapur yang tersebar di hampir semua wilayah kecamatan yang ada di Kabupaten Kebumen. Dinas Perindustrian Perdagangan dan Koperasi Kabupaten Kebumen memberikan gambaran bahwa ada 2.295 industri kecil dan 1.151 (50,15%) adalah industri proses penggalian non logam termasuk didalamnya adalah galian tanah liat untuk bahan baku genteng dan penggalian batu kapur. Jumlah tenaga yang bekerja pada sektor industri tersebut mencapai 74.405 orang (76,91%) dari jumlah total tenaga kerja sebanyak 96.743 orang pada tahun 2010. Jumlah industri genteng sejumlah 736 buah, batu kapur 130 buah dan penggalian pasir 118 buah.
Menururt Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi
Kabupaten Kebumen bahwa setiap satu industri genteng atau batu kapur bisa menyerap 3 sampai dengan 5 orang tenaga kerja, sehingga dapat diperkirakan ada 3.695 pekerja di industri genteng dan 650 pekerja di industri batu kapur. Berdasarkan data dari Dinas Perindustrian Perdagangan dan Koperasi penyebaran industri genteng tersebut tersebar di 6 wilayah kecamatam di Kabupaten Kebumen seperti pada Tabel 1 berikut:
6
Tabel 1. Distribusi Industri Genteng Tiap Kecamatan di Kabupaten Kebumen tahun 2012 No 1 2 3 4 5 6
Kecamatan
Jenis Industri
Pejagoan Genteng Sruweng Genteng dan bata Klirong Genteng dan bata Kebumen Genteng dan bata Buluspesantren Genteng Petanahan Genteng dan bata Jumlah
Jumlah Industri 332 185 95 79 24 21 736
Jumlah Pekerja 1.660 930 475 395 120 105 3.695
Sumber: Dinas Perindagkop Kabupaten Kebumen 2012
Dari Tabel 1 di atas dapat diketahui bahwa industri genteng tersebar di 6 kecamatan dengan distribusi terbanyak di Kecamatan Pejagoan (332 buah) dan paling sedikit di Kecamatan Petanahan yaitu 21 buah. Banyaknya industri tobong genteng ini dicurigai berhubungan dengan peningkatan kasus PPOK di Kabupaten Kebumen yang kasusnya menyebar di beberapa puskemsas. Jumlah pekerja yang berisiko terkena penyakit pernapasan termasuk PPOK ada 3.695 orang ditambah penduduk yang bukan pekerja yang jumlahnya lebih banyak. Puskesmas yang melaporkan adanya kasus PPOK melalui format laporan bulanan tahun 2011 adalah seperti Tabel 2 berikut: Tabel 2. Data Kasus PPOK Terbanyak Kabupaten Kebumen Bersumber Data Puskesmas Tahun 2011 No 1 2 3 4 5 6 7 8
Puskesmas
Jml. PPOK
Gombong I Pejagoan Buluspesantren Ambal I Sruweng Kutowinangun Mirit Alian Jumlah Sumber: Laporan Program PTM Dinas Kesehatan Kabupaten
124 100 40 36 22 17 14 12 365 Kebumen tahun
2011
7
Dari Tabel 2 diatas dapat diketahui bahwa jumlah kasus PPOK terlaporkan paling banyak dari Puskesmas Gombong I dan paling sedikit dari Puskesmas Mirit. Sedangkan data kasus PPOK yang dilaporkan oleh Rumah Sakit adalah seperti tabel 3 berikut: Tabel 3. Data Kasus PPOK Terbanyak Kabupaten Kebumen Bersumber Data Rumah Sakit Tahun 2011 No
Rumah Sakit
1 2 3 4 Jumlah
PKU Muh. Gombong RSUD Kebumen Palang Biru Gombong PKU Muh. Sruweng
Jumlah 217 145 92 35 489
Sumber: Laporan Program PTM Dinas Kesehatan Kabupaten Kebumen tahun 2011
Sedangkan dari Tabel 3 di atas menunjukkan bahwa kasus PPOK paling banyak dilaporkan dari Rumah Sakit PKU Muh. Gombong.
Hal ini
dimungkinkan karena Kecamatan Gombong adalah salah satu kecamatan yang banyak industri, salah satunya adalah pabrik rokok yang memungkinkan terjadinya pencemaran udara yang akan berpengaruh dengan penyakit paru. Untuk tingkat konsumsi rokok bagi masyarakat Kebumen bahwa dari data Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS) di Dinas Kesehatan Kabupaten Kebumen menunjukkan bahwa presentase rumah tangga bebas asap rokok baru mencapai 13%.
Walaupun belum pernah dilakukan survei komsumsi rokok
namun dapat dikatakan bahwa komsumsi rokok bagi masyarakat Kebumen sangat tinggi.
Demikian juga konsumsi rokok bagi pekerja, dari hasil pengamatan
langsung di lokasi tobong genteng ternyata rata-rata pekerja tobong adalah perokok. Disamping komsumsi rokok tinggi, kondisi kesehatan bagi pekerja pada umumnya juga tidak diperhatikan. Selama ini baik Dinas Tenaga Kerja maupun Puskesmas belum pernah melakukan kegiatan program Kesehatan dan Keselamatan Kerja (K3). Pelayanan kesehatan dan gizi yang belum memadai antara lain dapat dilihat bahwa pekerja kelas menengah kebawah umumnya menderita kurang gizi seperti Kurang Energi Protein (KEP), anemia serta sering
8
menderita penyakt infeksi. Sedangkan pada pekerja kelas menengah atas, umumnya terjadi kegemukan atau obesitas. Sebagian besar masalah gizi pada pekerja adalah sebagai akibat langsung kurangnya asupan makanan yang tidak sesuai dengan beban kerja (Hendrayati, et al., 2009). Dari hasil pengamatan ke lapangan dengan menanyakan kepada pekerja rata-rata pekerja sudah bekerja lebih dari 5 tahun dan usia mulai kerja rata-rata usia 25 tahun atau setelah menikah. Didapat informasi dari pemerintah desa setempat bahwa kenyataan di desa yang penduduknya banyak sebagai pekerja tobong, rata-rata pekerja tobong genteng ini setelah tua menderita gangguan pernapasan. Dan penyebab kematiannya adalah karena menderita penyakit organ dalam seperti paru, ginjal, hati, dan sebagainya. Alat pelindung diri (APD) khususnya masker adalah sangat penting bagi pekerja industri yang pada proses produksi hasil industrinya menghasilkan debu, namun kenyataannya sangat sedikit pekerja yang mau memakai karena alasan mengganggu aktifitas pekerjaan. Hasil dari pengamatan ke lokasi tobong genteng 70% pekerja tidak
memakai masker pada saat bekerja. Hal ini akan sangat
berbahaya bagi kesehatan parunya salah satunya adalah menimbulkan PPOK jika paparannya lama. Sampai saat ini belum diketahui bagaimana kondisi kesehatan masyarakat hubungannya dengan kesehatan paru-paru, pada para pekerja maupun penduduk di sekitar industri tersebut. Penelitian mengenai penyakit paru khususnya PPOK di daerah ini belum pernah dilakukan untuk mengetahui sejauh mana dampak kondisi paparan polusi yang dialami oleh pekerja tobong genteng maupun penduduk di sekitarnya dan kemudian diharapkan dapat dilakukan tindakan penanggulangan. Pemantauan kualitas udara ambien telah dilakukan oleh Kantor Lingkungan Hidup Kabupaten Kebumen dengan hasil yang bervariasi untuk masing-masing lokasi. Pada umumnya kadar flourides, H₂S, CO telah melebihi nilai ambang batas, sedangkan untuk SO₂, NO₂ dan O₃ tidak diketahui karena keterbatasan alat.
9
Prevalensi kasus PPOK bersumber dari laporan bulanan Penyakit Tidak Menular (PTM) di Dinas Kesehatan Kabupaten Kebumen untuk empat tahun terakhir adalah seperti grafik berikut: 4000 3000
Jml
2000
Ranap
1000
Rajal
0 2008
2009
2010
2011
Gambar 1. Grafik Kasus Penyakit Paru Obstruksi Kronis di Dinas Kesehatan Kabupaten Kebumen Tahun 2008 – 2011 Dari Gambar 1 di atas menunjukkan adanya peningkatan jumlah kasus PPOK dari tahun ke tahun yang dimungkinkan karena adanya beberapa faktor risiko. Berdasar uraian di atas menunjukkan bahwa faktor risiko untuk terjadinya PPOK di Kabupaten Kebumen sangat mendukung, sehingga peneliti tertarik untuk melakukan penelitian hubungan antara beberapa faktor risiko PPOK pada pekerja tobong genteng di Kabupaten Kebumen. B. Perumusan Masalah Berdasarkan uraian latar belakang tentang paparan faktor risiko dan bahayanya terhadap PPOK , maka rumusan masalah pada penelitian ini adalah sebagai berikut: Apakah ada hubungan antara umur, status gizi, kebiasaan merokok, lama kerja/terpapar dan kebiasaan memakai masker dengan kejadian PPOK
pada
pekerja tobong genteng di Kabupaten Kebumen? C. Tujuan Penelitian. 1. Tujuan Umum Untuk mengetahui faktor risiko kejadian PPOK pada pekerja tobong genteng di Kabupaten Kebumen.
10
2. Tujuan Khusus a. Untuk mengetahui hubungan umur terhadap kejadian PPOK pada pekerja tobong genteng di Kabupaten Kebumen. b. Untuk mengetahui hubungan status gizi terhadap kejadian PPOK pada pekerja tobong genteng di Kabupaten Kebumen. c. Untuk mengetahui hubungan kebiasaan merokok terhadap kejadian PPOK pada pekerja tobong genteng di Kabupaten Kebumen. d. Untuk mengetahui hubungan lama kerja dengan kejadian PPOK pada pekerja tobong genteng di Kabupaten Kebumen. e. Untuk mengetahui hubungan kebiasaan memakai masker terhadap kejadian PPOK pada pekerja tobong genteng di Kabupaten Kebumen.
D. Manfaat Penelitian 1. Bagi Masyarakat Dapat memberikan informasi adanya hubungan umur, status gizi, kebiasaan merokok, lama kerja, kebiasaan memakai masker dengan kejadian PPOK pada masyarakat pekerja tobong genteng di Kabupaten Kebumen. 2. Dinas Kesehatan Kabupaten Kebumen, penelitian ini dapat memberikan masukan dalam menyusun langkah, strategi dan kebijakkan kesehatan yang berhubungan dengan industri genteng untuk peningkatan derajat kesehatan masyarakat. 3. Untuk fakultas, sebagai tambahan kepustakaan kesehatan masyarakat terutama pada minat epidemiologi bahwa keberadaan industri akan berakibat terhadap lingkungan dan berpengaruh terhadap kesehatan bila tidak dikelola dengan baik. 4. Untuk peneliti lain, hasil kegiatan ini diharapkan dapat melengkapi penelitian adanya hubungan antara umur, status gizi, kebiasaan merokok, lama kerja, kebiasaan memakai masker dengan kejadian PPOK pada pekerja tobong genteng.
11
E. Keaslian Penelitian Penelitian faktor risiko penyakit paru obstruksi kronik pada pekerja tobong genteng di Kabupaten Kebumen Provinsi Jawa Tengah belum pernah dilakukan. Beberapa penelitian yang berhubungan dengan Penyakit Paru Obstruksi Kronik ini, dapat dilihat pada Tabel 4 berikut: Tabel. 4: Keaslian Penelitian Peneliti Yulianto (2006)
Judul Beberapa faktor yang berhubungan dengan kejadian PPOK di Kabupaten Magelang
Persamaan Variabel dependen : Kejadian PPOK Analisis data: tabulasi silang
Perbedaan Subyek penelitian : penderita PPOK di RS Soedjono, Magelang Variabel independen : Riwayat keluarga, Penggunaan racun serangga bakar, Paparan polutan di tempat kerja. Desain penelitian : case control Lokasi penelitian: Kabupaten Magelang
Indiarto (2009)
Hubungan kebiasaan merokok dengan kejadian Penyakit Paru Obstruksi Kronik
Varibel dependen: Kejadian PPOK
Syamsudin (2003)
Hubungan kualitas udara dengan kejadian PPOK pada pengrajin tembaga di Kecamatan Cepogo Kabupaten Boyolali
Variabel dependen : Kejadian PPOK Variabel independen: umur, merokok, lama kerja, status gizi, penggunaan masker . Desain : crossectional Analisis : tabulasi silang
Subyek penelitian: pengrajin tembaga Lokasi : Kabupaten Boyolali.
Suharnadi (2005)
Prevalensi dan faktorfaktor yang berhubungan dengan PPOK pada pekerja pabrik tekstil.
Variabel dependen : Kejadian PPOK
Variabel independen: kadar debu kapas, Subyek penelitian : pekerja pabrik tekstil Lokasi: Kabupaten Sleman
Hubungan derajat keparahan PPOK dengan kualitas hidup
Desain penelitian : crossectional Variabel dependen : Kejadian PPOK Analisis data: tabulasi silang
Wulan (2006)
Analisis data: tabulasi silang
Variabel independen: merokok, lama kerja Analisis data: tabulasi silang
Variabel independen : Jumlah rokok, Cara merokok, Jenis rokok, kontinuitas merokok. Lokasi penelitian: Kota Semarang Desain : case control
Subyek penelitian : pasien RS Sardjito Varibel independen : kualitas hidup Lokasi penelitian: RS. Sardjito
12