BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Perizinan merupakan instrument kebijakan Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah untuk melakukan pengendalian atas hal negatif yang mungkin ditimbulkan oleh aktivitas sosial maupun ekonomi. Selain itu, perizinan juga merupakan instrumen untuk perlindungan hukum atas kepemilikan atau penyelenggaraan kegiatan. Sebagai instrumen pengendalian perizinan memerlukan rasionalitas yang jelas dan tertuang dalam bentuk kebijakan pemerintah sebagai sebuah acuan.1 Dinas Perizinan mempunyai tugas pokok melaksanakan urusan pemerintahan daerah berdasarkan asas otonomi dan tugas pembantuan dibidang perizinan. Dalam pelayanan perizinan tersebut menyangkut berbagai jenis perizinan dan masalah yang biasa mengemuka dan dirasakan beberapa kalangan adalah ketidakpastian mengurus izin bahkan mekanisme perizinan terkesan berbelit-belit. Pemohon izin harus mendatanagi banyak kantor bahkan dengan prosedur yang bisa berbeda dan persyaratan yang bisa tumpang tindih. Gambar 1.1 Pelayanan Perizinan Tidak Terpadu
(Sumber: Dinas Perizinan Pemerintah Kota Yogyakarta) 1
Adrian Sutedi, Hukum Perizinan dalam Sektor Pelayanan Publik, Sinar Grafika, Jakarta, 2010, hlm. 5
1
Dalam aktivitas kehidupan masyarakat sehari-hari sesungguhnya diperlukan perizinan baik dari agraria, kesehatan, hiburan, industri, perdagangan dan berbagai bidang lainnya. Perizinan diperlukan pemerintah untuk mengkonkretisasi kewenangan dengan beberapa tujuan dan motif tertentu yang bersifat alternatif atau komulatif. Hal ini menunjukkan penetepan perizinan sebagai salah satu insturmen hukum dari pemerintah yaitu untuk mengendalikan kehidupan masyarakat agar tidak menyimpang dari ketentuan hukum yang berlaku serta membatasi aktivitas masyarakat agar tidak merugikan orang lain. Dengan demikian, perizinan lebih merupakan instrumen pencegahan atau berkarakter sebagai preventif instrumental. Selain itu, pentingnya perizinan guna mendorong partisipasi masyarakat dalam pembangunan daerah. Rendahnya kualitas pelayanan yang diberikan pemerintah tersebut berdampak cukup buruk bagi masyarakat dan bagi pemerintah sendiri. Bagi masyarakat, kondisi tersebut kemudian mendorong keengganan mereka untuk memproses suatu perizinan yang sebenarnya menjadi sebuah legalitas bagi masyarakat yang membutuhkan, teruatama dalam hal ini adalah masyarakat yang menjalankan kegiatan usaha. Misalnya saja dengan memudahkan izin untuk investor lokal maupun luar wilayah yang memilki modal besar untuk melakukan investasi di daerahnya. Atau perizinan yang memiliki orientasi pada aspek komersil sehingga mampu menjadi sumber dana keuangan bagi daerah seperti perizinan yang menyangkut pemanfaatan hak-hak atas aset daerah, misalnya izin peruntukan penggunaan tanah (IPPT) dan izin usaha. Kemudian, untuk pemerintah juga memiliki dampak dari buruknya layanan perizinan yang mereka berikan. Pertama pemerintah tidak akan memiliki data riil terhadap masyarakat pengakses izin sebagai bahan pengambilan keputusan. Kedua, pemerintah tidak akan dapat memberikan pembinaan khususnya bagi masyarakat tersebut, terutama dunia usaha yang banyak mengakses berbagai perizinan. Ketiga, pemerintah tidak akan dpaat mengembangkan basis pajak berdasarkan perizinan itu sendiri. dan yang keempat, dalam bidang ekonomi prosedur perizinan yang berbelit tersebut akan dapat menurunkan tingkat investasi daerah karena dapat menyebabkan keengganan para investor untuk menanamkan modalnya sebab pengurusan perizinan membutuhkan biaya yang cukup tinggi. Sesungguhnya itikad baik dari pemerintah terkait usaha untuk melakukan reformasi birokrasi pada pelayanan perizinan dari sektor kelembagaan dengan meningkatkan Unit Pelayanan Terpadu Satu Atas (UPTSA) menjadi kelembagaan berbentuk Dinas Perizinan. Peningkatan kelembagaan ini secara tidak 2
langsung juga memberikan kewenangan lebi bagi Dinas Perizinan dalam memberikan pelayanan yang lebih terpadu. Tabel 1.1 Perbedaan Pelayanan Perizinan Terpadu Satu Pintu dengan Pelayanan Perizinan Satu Atap Aspek
Pelayanan
Terpadu
Satu
Pelayanan Terpadu Satu Atap
Pintu
Wewenang Penandatanganan
dan Wewenang
dan Wewenang
penandatanganan berada di penandatanganan satu pihak
Koordinasi
dan
masih
berada di banyak pihak lebih Koordinasi lebih sulit karena
Koordinasi
mudah dilakukan.
kewenangan
dan
Kepala
penandatanganan
masih
Penyelenggara PTSP berada di banyak pihak berperan
sebagai
Koordinator berbagai SKPD dalam analisis aspek teknis. Prosedur Pelayanan
Penyederhanaan
Prosedur
sulit
prosedur lebih mudah karena disederhanakan karena ego koordinasi berada di tangan sektoral di banyak SKPD Kepala PTSP Pengawasan
teknis
Pengawasan tanggung
menjadi Pengawasan jawab
antara
menjadi
bersama tanggung jawab SKPD teknis lembaga
Penyelenggara
PTSP
dan
SKPD teknis Standar Pelayanan
Kualitas terjaga
pelayanan sedikitnya
standar minimal
akan Kualitas
layanan
sulit
pada dipertahankan karena sangat tergantung kebijakan SKPD
3
teknis. Kelembagaan
Berbentuk Kantor atau Badan Biasanya
hanya
berperan
sebagai loket penerima, yang pada
umumnya
berbentuk
unit. Pencapaian Penerimaan Retribusi
Target Pencapaian
target Pencapaian
penerimaan
target
retribusi penerimaan retribusi berada
perizinan yang dikelola oleh di SKPD teknis PTSP
menjadi
tanggung
jawab pengelola PTSP Status Kepegawaian
Status staf adalah Staf Tetap Sebagian besar staf statusnya Penyelenggara PTSP
adalah Staf SKPD Teknis.
(Diolah dari Berbagai Sumber) Beragamnya organ pemerintahan yang berwenang memberikan izin, dapat menyebabkan tujuan dari kegiatan yang membutuhkan izin tertentu menjadi terhambat, bahkan tidak mencapai sasaran. Artinya, campur tangan pemerintah dalam bentuk regulasi perizinan yang berbelit dapat menimbulkan kejenuhan bagi pelaku kegiatan yang membutuhkan izin itu.Dalam hal otonomi daerah,muncul permasalahan baru di mana izin dijadikan sebagai salah satu alat dalam memperoleh pendapatan asli masing-masing daerah, sehingga terkadang banyak sekali peraturan dan kebijakan serta organ pemerintahan yang mengatur masalah perizinan. Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) telah mengumpulkan 262 Peraturan Daerah (Perda) yang berkaitan dengan iklim investasi di Indonesia, dari jumlah tersebut 262 Perda berdasarkan kajian berpotensi menghambat investasi.2Pemerintahan Daerah adalah penyelenggaraan urusan pemerintahan oleh Pemerintah Daerah dan DPRD menurut asas otonomi dan tugas pembantuan dengan prinsip otonomi seluas-luasnya dalam sistem prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
2
H. Juniarso Ridwan, Achmad Sodik Sudrajat, Hukum Administrasi Negara dan Kebijakan Pelayanan Publik, Nuansa Cendekia, Bandung,2010, hlm. 15
4
Perizinan merupakan keputusan administratif yang lazim disebut dengan keputusan tata usaha negara.Keputusan tata usaha negara tersebut berisi pengaturan mengenai kegiatan yang dapat atau tidak dapat dilakukan oleh masyarakat.Untuk memproses keputusan tata usaha negara, pemerintah memerlukan dan memiliki organisasi yang disebut birokrasi. Masyarakat masih menganggap pelayanan publik yang dilaksanakan oleh birokrasi pasti cenderung lamban, tidak profesional, dan biayanya mahal. Gambaran buruknya birokrasi antara lain organisasi birokrasi gemuk dan kewenangan antar lembaga yang tumpang tindih; sistem, metode, dan prosedur kerja belum tertib; pegawai negeri sipil belum profesional, belum netral dan sejahtera; praktik korupsi, kolusi dan nepotisme masih mengakar; koordinasi, integrasi, dan sinkronisasi program belum terarah; serta disiplin dan etos kerja aparatur negara masih rendah. Pendapat tentang buruknya semua pelayanan yang dilaksanakan birokrasi menurut Pandji Santosa merupakan pengaburan makna birokrasi yang berkembang di masyarakat dan terus berlangsung oleh sikap diam masyarakat.3 Berbagai kondisi tersebut mencerminkan bad governance dalam birokrasi di Indonesia. Dalam praktik pemerintahan Indonesia perizinan dikategorikan sebagai pemberian pelayanan, sehingga dikerjakan oleh birokrasi yang memberikan pelayanan umum untuk publik.Secara umum hambatan sistem perizinan di Indonesia khususnya di daerah, setelah dikeluarkannya kebijakan otonomi daerah adalah belum adanya sistem perizinan yang baku, integratif, dan komprehensif. Selain itu juga masih banyaknya berbagai instansi yang mengeluarkan izin; tersebarnya peraturan tentang perizinan dalam berbagai peraturan perundang-undangan; diadakannya suatu izin hanya didasarkan semata-mata tujuan pemasukan bagi pendapatan pemerintah (terutama setelah diberlakukannya konsep otonomi daerah.4 Birokrsi pemerintah sebagai kumpulan tugas dan jabatan yang terorganisasi secara formal, berkaitan dengan jenjang yang kompleks dan tunduk pada pembuat peran formal. Birokrasi pada dasarnya dipandang sebagai sarana sosial yang melegitimasi pengendalain banyak orang oleh sedikit orang. Pengendalian ini pada gilirannya melahirkan kekuasaan sosial yang lebih dari sekedar mengendalikan aparatur Negara. Birokrasi masih menujukkan kesan negatif disebabkan karena birokrasi selama ini tidak bisa merespon keinginan warga
3
Pandji Santosa, Administrasi Publik: Teori dan Aplikasi Good Governance, (Bandung: PT. Reflika Aditama, 2008), hal. 1. 4 Juniarso Ridwan, Achmad Sodik Sudrajat, Hukum Administrasi Negara dan Kebijakan Pelayanan Publik, Nuansa Cendekia, Bandung, 2010, hlm 14-15
5
masyarakat. Birokrasi yang selama ini bekerja lambat, berhati-hati dan metodologinya sudah tidak dapat diterima oleh orang yang perlu layanan cepat, efisien, tepat waktu dan sederhana. Untuk meningkatkan daya saing yang kian kompetitif diperlukan reformasi birokrasi yang dapat menghasilkan birokrasi profesional dan ramping yang bebas hambatan. Hal inilah yang menjadi prasyarat penyelenggaraan good governance, dengan menerapkan prinsip akuntabalitas, transparansi dan keterbukaan, efisiensi dan efektifitas, serta partisipasi, yang dilakukan secara demokratis sebagai suatu kesatuan yang utuh. Birokrasi yang terkesan rumit dapat menimbulkan peluang adanya suatu usaha atau aktivitas tertentu tanpa izin. Dan dari kasus semacam ini dapat dilihat bahwa bukan sekedar soal ketidakpahaman masyarakat terkait perizinan tapi lebih dipengaruhi faktor birokrasi. Seperti kita ketahui bersama bahwa birokrasi perizinan yang berbelit-belitmerupakan salah satu permasalahan yang menjadi penghambatbagi perkembangan perekonomian, terlebih lagi dalam dunia usaha Indonesia. Masyarakat dan para pelaku usaha sering mengeluhkan masalahproses pelayanan perizinan yang seringkali memerlukan waktu lama, banyaknya instansi yang mengeluarkan izin, serta banyaknya pungutan yang harus dibayar. 5 Oleh sebab itu pelayanan pada institusi ini harus efektif dan efisien karena dapat menciptakan peluang yang baik bagi pembangunan daerah dan mewujudkan reformasi birokrasi serta menciptakan praktik good governance melalui pelayanan publik yang diterapkan dari Dinas Perizinan Yogyakarta sehingga tema ini menarik untuk dibahas dan ditelusuri lebih lanjut. Dalam menjalankan fungsinya birokrasi pelayanan umum menyusun serangkaian mekanisme yang harus ditempuh oleh seseorang atau badan usaha untuk mendapatkan izintertentu yang didasari oleh berbagai perangkat hukum. Mekanime, prosedur, dan perangkat hukum yang mendasari tidaklah bersifat netral, melainkan disusun untuk melayani tujuan tertentu, misalnya efisiensi, keadilan, dan pemerataan.Izin merupakan keputusan tata usaha negara dikeluarkan oleh pejabat yang berwenang dalam pemerintahan sebagai konsekuensi dari jabatannya. Keputusan ini bersifat rutin dan melekat pada jabatan.Dengan demikian, biaya perizinan melekat pada anggaran rutin pemerintah dan tidak dibebankan sebagai biaya transaksi pada pemohon.Melekatkan biaya transaksi pada izin merupakan salah satu distorsi dalam pelaksanaan tata administarsi pemerintahan.
5
Adrian Sutedi, Hukum Perizinan dalam Sektor Pelayanan Publik, Sinar Grafika,Jakarta, 2010, hlm 31
6
Berdasarkan ketentuan tersebut, untuk menilai keberhasilan suatu izin bukan hanya berdasar pada jumlah izin yang dikeluarkan yang berkorelasi dengan jumlah retribusi yang diterima, melainkan baru berdasarkan pada sampai sejauh mana instrumen perizinan berfungsi
dalam
mengakselerasi
kegiatan
ekonomi
atau
mengendalikan
kegiatan
masyarakat/swasta, sehingga kegiatan tersebut tidak menimbulkan masalah eksternalitas, masalah barang publik, asimetri informasi, dan pelanggaran hak milik. 6 Namun, seperti kita ketahui bersama tidak jarang adanya oknum-oknum atau pegawai yang dengan sengaja mengambil keuntungan pribadi khususnya dalam hal pengurusan izin usaha atau izin perdagangan ini. Praktik pelayanan publik di Indonesia masih penuh dengan ketidakpastian waktu, biaya dan cara pelayanannya. Dinas Perizinan Kota Yogyakarta dengan moto “bukan janji, tapi pasti” telah mencoba menerapkan pelayanan dengan kepastian sesuai motto yang diterapkan.Kepastian ini merujuk kepada kejelasanwaktu yang dibutuhkan oleh pemohon izin dankepastian transparansi yang diwujudkan denganakses pemohon terhadap setiap tahapan prosesyang sedang dilewati oleh berkas yang diajukan,termasuk juga kepastian atas penolakan izin jikasyarat dan ketentuan realisasi izin tidak terpenuhi. Kesamaan tujuan dan misi serta komitmen pemegang kekuasaan tertinggi di pemerintah Kota Yogyakarta merupakan nilai utama yang menjadikandinas ini berkontribusi paling besar dalam layananyang disajikan kepada masyarakat. Reformasi yang coba dilaksanakan dalam birokrasi publik yakni bahwa pemerintah khususnya pemerintah daerah harus semakin terbuka dalam hubungannya dengan kepentingan masyarakat, dengan kata lain birokrasi pemerintah daerah dapat menjadi lebih fleksibel sehingga lebih mudah menyesuaikan diri dengan perkembangan keadaan. Reformasi birokrasi dimaknai sebagai usaha untuk merubah dan membenahi suatu organisasi pemerintah yang menjalankan tugas-tugas negara dalam hal ini pelayanan publik untuk menjadi sesuatu yang lebih baik lagi. Dengan pendekatan untuk mengatasi masalah dari sisi kebijakan dan teoritis penulis mencoba memberikan alasan rasional yang membuat peneliti tertarik melakukan penelitian berdasarkan fakta-fakta, data dan referensi. Praktik pelayanan publik di Indonesia masih penuh dengan ketidakpastian waktu, biaya dan cara pelayanannya. Reformasi birokrasi dimaknai sebagai usaha untuk merubah dan membenahi suatu organisasi pemerintah yang menjalankan tugas-tugas negara dalam hal ini pelayanan publik untuk menjadi sesuatu yang 6
Ibid, hlm 6-7
7
lebih baik lagi. Signifikansi kajian ini ialah mencoba melihat penerapan adanya reformasi sektor publik yang diharapkan dapat mendorong terwujudnya pemerintahan yang lebih baik, memperbaiki kinerja dan memperbaiki praktek administrasi yang tidak sehat dalam hal ini untuk dapat mewujudkan praktik good governance. Dalam mengembangkan praktik good governance, pelayanan publiklah yang menjadi titik strategis permulaan pengembangan good governance. Untuk itu dapat diketahui prinsip good governance dalam kerangka reformasi birokrasi yang diterapkan dalam pelayanan perizinan oleh Dinas Perizinan Provinsi DIY sehingga pelayanan tersebut dilaksanakan dengan berbasis good governance. Fokus kajian ini terletak pada penerapan prinsip good governance (Transparansi, Responsivitas dan Akuntabilitas) yang ada pada pelayanan perizinan dalam kerangka reformasi birokrasi, sehingga dengan adanya prinsip good governance ini mampu memberikan pelayanan yang prima dan meningkatkan kepuasan masyarakat. Dari pandangan tersebut, penelitian ini memiliki perbedaan dari kajian kajian lain yang memiliki tema serupa atau bahkan objek yang sama. Misalnya, sampai saat ini telah ada beberapa penelitian yang dilakukan dengan tema ataupun objek yang sama. Pertama, pada penelitian terkait reformasi birokrasi departemen keuangan yang lebih melihat implementasi reformasi birokrasi pada beberapa aspek seperti penataan organisasi dan
sumber daya manusia. Kedua, kajian
terhadap keberadaan Dinas Perizinan yang menciptakan New Public Service. Dan ketiga, kajian terhadap implementasi good governance dalam program RASKIN di Desa Mertoyudan. Dengan melihat ketiga penelitian tersebut lebih dalam, belum terdapat kajian mengenai penerapan prinsip Transparansi, Responsivitas dan Akuntabilitas dari konsep Good Governance dalam kerangka Reformasi Birokrasi pada Dinas Perizinan Kota Yogyakarta. Dan dengan sudut pandang demikian, penelitian ini memiliki perbedaan dari penelitian lain yang memiliki tema maupun objek yang sama.
B. RUMUSAN MASALAH Bertitik tolak dari latar belakang masalah yang telah diuraikan, maka rumusan masalah yang dapat dikemukakan adalah sebagai berikut: “Bagaimana penerapan prinsip Transparansi, Responsivitas dan Akuntabilitas dari konsep Good Governance dalam kerangka Reformasi Birokrasi pada Dinas Perizinan Kota Yogyakarta?”. Dengan rumusan masalah ini peneliti ingin menjelaskan pembahsan penelitian yang diajukan dalam bentuk
8
pertanyaan yang merujuk pada kajian literatur dan data lapangan untuk menjawab pertanyaan pembahasan.
C. TUJUAN PENELITIAN Secara umum, penelitian diartikan sebagai suatu proses pengumpulan dan analisis data yang dilakukan secara sistematis dan logis untuk mencapai tujuan tertentu. Disini peneliti ingin mengetahui bagaimana praktik kebijaka n yang dilakukan terkait Penerapan Prinsip Transparansi, Responsivitas dan Akuntabilitas dari Konsep Good Governance Pada Pelayanan Perizinan di Dinas Perizinan Provinsi DIY dalam Kerangka Reformasi Birokrasi. Tujuan penelitian melalui pengamatan atau penyelidikan yang bertujuan untuk mencari jawaban permasalahan atau persoalan sebagai suatu masalah yang diteliti dengan cara dan proses pengumpulan dan analisis data.
D. KERANGKA TEORI 1. Good Governance Good dalam good governance menurut Lembaga Administrasi Negara (2000:6) mengandung dua pengertian. Pertama, nilai-nilai yang menjunjung tinggi keinginan/kehendak rakyat dan nilai-nilai yang dapat meningkatkan kemampuan rakyat yang dalamn tujuan (nasional) kemandrian, pembangnan berkelanjutan dan keadilan sosial. Kedua, aspek-aspek fungsonal daripemerintahan yang efektif dan efisien dalam pelaksanaan tugsnya untuk mencapai tujuan-tujuan tersebut. Bersadarkann pengertian tersebut, kemudian LAN mengemukakan bahwa good governance berorientasi pada dua hal. Pertama, orientasi ideal Negara yang diarahkan pada pencapaian tujuan nasional. Kedua, pemerintahan yang berfungsi secara ideal, yaitu secara efektif dan efisien dalam melakukan upaya mencapai tujuan nasional.Orientasi pertama mengacu pada demokratisasi dalam kehidupan bernegara dengan elemen-elemen kontituennya seperti legitimacy (apakah pemerintah dipilih dan mendapat kepercayaan dari rakyatnya), accountability (akuntabilitas), securing of human right, autonomy and devolutionof power, dan assurance of civilian control.Sedangkan orientasi kedua, tergantung kepada sejauh mana pemerinthanan mempunyai kompetensi dan sejauh mana struktur serta mekanisme politik dan administrative berfungsi secara efektif dan efisen.
9
Berdasarkan uraian tersebut, dapat disimpulkan wujud good governance menurut LAN (2000:8) adalah penyelenggaraan pemerintahan Negara yang solid dan bertanggung jawab serta efisien dan efektif, yakni dengan menjaga “kesinergisan” interaksi yang konstruktif di antara domain-domain Negara, sektor swasta dan masyarakat (society) karena tiga komponen inilah yang berperan menciptakan tata kepemerintahan yang baik. Konsep tata kepemerintahan yang baik (good governance) lahir sejalan dengan konsep-konsep dan terminology demokrasi, masyarakat sipil, partisipasi rakyat, hak asasi manusia, dan pembangunan masyarakat secara berkelanjutan. Konsep ini lebih dekat dipergunakan dalam reformasi sector publik. Paradigma good governance menekan pada peranan manajer public agar memberikan pelayanan yang berkualitas kepada masyarakat, mendorong meningkatkan otonomi manajerial terutama sekali mengurangi campur tangan control yang dilakukan oleh pemerintah pusat, tanparasnsi, akuntabilitas publik, dan diciptakan pengelolaan manajerial yang bersih bebas dari korupsi. Kemudian, dari defisini tersebut UNDP mengajukan karateristik good governance yang saling memperkuat dan tidak dapat berdiri sendiri sebagai berikut : Partisipasi (Participation), Penegakan Hukum (Rule of law), Transparansi (Transparancy), Daya Tanggap (Responsiveness), Berorientasi pada consensus (Consensus orientation), Keadilan (Equity),
Keefektifan
dan
Efisiensi
(Effectivennes
and
Efficiency),
Akuntabilitas
(Accountability), Visi Strategis (StrategicVision). Dasar hukum good governance pada institusi pemerintahan pertama adalah TAP MPR No. VII/MPR/2001 tentang Penyelenggaraan Negara yang Baik dan Bersih, yang mencakup: (1) terwujudnya penyelenggaraan negara yang profesional, transparan, akuntabel, memiliki kredibilitas dan bebas KKN; (2) terbentuknya penyelenggara negara yang peka dan tanggap terhadap kepentingan dan aspirasi rakyat diseluruh wilayah negara, termasuk daerah terpencil dan perbatasan; (3) berkembangnya transparansi dalam budaya dan perilaku serta aktivitas politik dan pemerintahan. Kedua PP No. 1 Tahun 2000 tentang Pemerintahan yang baik, berisi antara lain: (1) kepemerintahan yang mengembangkan dan menerapkan prinsipprinsip profesionalisme, akuntabilitas, transparansi, pelayanan prima; (2) demokrasi, efektivitas, efisiensi, supremasi hukum dan diterima oleh seluruh masyarakat.
10
Sistem pemerintahan yang baik adalah partisipasi yang menyatakan bahwa semua anggota institusi governance memiliki suara dalam mempengaruhi pembuatan keputusan.Hal itu merupakan fondasi legitimasi dalam sistem demokrasi. Prosedur dan metode pembuatan keputusan harus transparan , agar memungkinkan terjadinya partisipasi efektif. Siapa saja yang dipilih untuk membuat keputusan dalam pemerintahan, agar memungkinkan terjadinya partisipasi efektif.Siapa saja yang dipilih untuk membuat keputusan dalam pemerintahan, organisasi bisnis, dan organisasi masyarakat sipil harus bertanggung jawab kepada publik, serta kepada institusi stakeholders. Institusi governance harus efisien dan efektif dalam melaksanakan fungsi-fungsinya, responsive terhadap kebutuhan rakyat, memfasilitasi dan memberi perluang daripada mengontrol, melaksanakn sesuai peraturan perundangan. Dengan demikian, paradigma good governance menuntut setiap pejabat publik (politisi dan birokrasi publik) harus dalam bertanggung jawab dan mempertanggungjawabkan segala sikap, perilaku dan kebijkaan publik dalam bingkai melaksanakan apa yang menjadi tugas pokok, fungsi, wewenang, dan tanggung jawab yang diberikan kepadanya. Segala sikap, tindakan dan kebijakan pemerintah harus dipertanggungjawabkan kepada rakyat, karena disamping sebagai pemegang kedaulatan tertinggi Negara, rakyat juga sebagai pemilik segala sumber daya pembangunan termasuk kekuasaan yang diberikan kepada pemerintah dalam menjalankan pemerintahan, pembangunan dan pelayanan publik. Prinsip yang melandasi tata pemerintahan yang baik terlihat masih sangat bervariasi dari satu institusi ke institusi lain dan dari ahli yang satu satu dengan ahli yang lainnya. Namun dalam penelitian ini, ada sejumlah prinsip yang dianggap oleh penulis sebagai prinsip utama dalam konsep good governance. Prinsip-prinsip yang dimaksudkan dalam penelitian ini meliputi tiga hal, yaitu Transparansi, Responsivitas dan Akuntabilitas. Ketiga konsep ini tidak dapat bekerja sendiri-sendiri, ada hubungan yang erat dan saling mempengaruhi diantara ketiganya untuk mencapai good governance. a. Transparansi Transparansi adalah prinsip yang menjamin akses atau kebebasan bagi setiap orang untuk memperoleh informasi tentang penyelenggaraan pemerintahan, yakni informasi tentang kebijakan, proses pembuatan dan pelaksanaannya serta hasil-hasil yang dicapai.7 Prinsip transparansi memiliki dua aspek penting, yaitu komunikasi publik oleh pemerintah dan hak 7
Buku Pedoman Penguatan Pengamanan Program Pembangunan Daerah, Badan Perencanaan Pembangunan Nasional & Departemen Dalam Negeri, 2002, hal 18.
11
masyarakat terhadap akses informasi. Kedua prinsip tersebut akan sangat sulit dilakukan jika pemerintah tidak menangani dengan baik kinerjanya. Manajemen kinerja yang baik adalah titik awal dari tranparansi. Komunikasi publik menuntut usaha afirmatif dari pemerintah untuk membuka dan mendiseminasi informasi maupun aktivitasnya yang relevan. 8 Transparansi ini dibangun atas dasar kebebasan arus informasi. Proses-proses, lembagalembaga dan informasi secara langsung dapat diterima oleh mereka yang membutuhkan. Informasi harus dapat dipahami dan dimonitor. b. Responsivitas Menurut Muhadjir Darwin9 responsivitas atau daya tanggap dapat dilihat dari bagaimana aparat pelaksana mau dan mampu memahami tuntutan masyarakat, bersifat lentur (tidak kaku) dalam memahami prosedur dan aturan formal, mengedepankan kepentingan masyarakat diatas kepentingan pribadi, peka terhadap ketidakadilan dan ketidakpuasan yang berkembang di
masyarakat dan dalam setiap langkah
dan tindakan berusaha melalui
penyesuaian terhadap perkembangan kebutuhan masyarakat. Pelayanan publik bertujuan untuk memberikan pelayanan yang diinginkan dan tentu saja memuaskan masyarakat pengguna layanan. Oleh sebab itu, pelayanan publik harus mampu mengenali dan mengidentifikasi kebutuhan dan keinginann pengguna layanan. Pendapat Muhadjir Darwin tersebut selaras dengan pendapat Dwiyanto10, bahwa yang dimaksud dengan Responsivitas adalah kemampuan organisasi untuk mengenali kebutuhan masyrakat, menyusun agenda prioritas pelayanan dan mengembangkan program-program publiknya sesuai dengan kebutuhann dan aspirasi masyarakat. Responsivitas dalam hal ini menunjuk pada keselarasan antara program dan kegiatan pelayanan dengan kebutuhan dan aspirasi masyarakat. Penggunaan prinsip responsivitas dapat berkaitan dengan mekanisme complain yang meliputi kecepatan dalam merespon dan memberikan solusi keluhan masyarakat, penggunaan keluhan sebagai salah satu referensi kebijakan dan pengembangan pelayanan serta ketepatan respon yang diberikan.
8
Meuthia Ganie-Rochman, op.cit , hal 151. Darwin, Muhadjir. 1995. Implementasi Kebijakan, Makalah Pelatihan Analisis Kebijkan Sosial, PSKK UGM, Yogyakarta. 10 Dwiyanto, Agus. 2006. Reformasi Birokrasi Publik di Indonesia. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta. 9
12
c. Akuntabilitas Akuntabilitas bermakna pertanggungjawaban dengan menciptakan pengawasan melalui distribusi kekuasaan pada berbagai lembaga pemerintah sehingga mengurangi penumpukan kekuasaan sekaligus menciptakan kondisi saling mengawasi (checks and balances
system).
Prof
Miriam
Budiardjo
mendefinisikan
akuntabilitas
sebagai
pertanggungjawaban pihak yang diberi mandat untuk memerintah kepada mereka yang memberikan mandat.11 Pada bidang politik, yang juga berhubungan dengan masyarakat secara umum, akuntabilitas didefinisikan sebagai mekanisme penggantian pejabat atau penguasa, tidak ada usaha untuk membangun monoloyalitas secara sistematis, serta ada definisi dan penanganan yang jelas terhadap pelanggaran kekuasaan dibawah rule of law.12 Dalam prinsip akuntabilitas, berkaitan dengan akses publik terhadap penyebarluasan informasi mengenai suatu keputusan secara lengkap dan akurat, melalui media massa maupun media komunikasi personal. Mekanisme pertanggungjawaban pelaksanaan pelayanan perizinan dan mekanisme pengaduan serta pelayanan terhadap pengaduan masyarakat. 2. Pelayanan Publik Pengertian pelayanan publik sebagaimana yang tercantum dalam Undang-Undang No. 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik mendefinisikan pelayanan publik adalah sebagai kegiatan atau rangkaian kegiatan dalam rangka pemenuhan kebutuhan pelayanan sesuai dengan peraturan perundang-undangan bagi setiap warga negara dan penduduk atas barang, jasa, dan/atau pelayanan administratif yang disediakan oleh penyelenggara pelayanan publik. Menurut Keputusan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara Nomor 63 Tahun 2003 telah dijelaskan bahwa pengertian pelayanan publik adalah segala kegiatan pelayanan yang dilaksanakan oleh penyelenggara pelayanan publik sebagai upaya pemenuhan kebutuhan penerima pelayanan maupun pelaksanaan kebutuhan peraturan perundangundangan. Sedangkan penyelenggara pelayanan publik dalam Keputusan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara No. 63 tahun 2003 diuraikan bahwa Instansi Pemerintah sebagai sebutan kolektif yang meliputi Satuan Kerja/ satuan organisasi Kementerian, Departemen, Lembaga Pemerintah Non Departemen, Kesekretariatan Lembaga Tertinggi dan Tinggi Negara, dan Instansi Pemerintah lainnya, baik pusat maupun Daerah termasuk Badan Usaha Milik 11
Budiardjo, Miiriam. 1998. Menggapai Kedaulatan untuk Rakyat, Mizan, Bandung. Meuthia Ganie-Rochman, “Good Governance: Prinsip, Komponen dan Penerapannya”, 2000, Jakarta: Komnas HAM, hal 141. 12
13
Negara, Badan Usaha Milik Daerah, Menjadi penyelenggara palayanan publik. Sedangkan pengguna jasa pelayanan publik adalah orang, masyarakat, instansi pemerintah dan badan hukum yang menerima layanan dari instansi pemerintah. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa pelayanan publik adalah segala bentuk jasa pelayanan baik dalam bentuk barang publik maupun jasa publik yang pada prinsipnya menjadi tanggung jawab dan dilaksanakan oleh Instansi pemerintah di Pusat, di daerah, dan di lingkungan Badan Usaha Milik Negara atau Badan Usaha Milik Daerah, dalam rangka pelaksanaan ketentuan peraturan perundang- undangan. Di Indonesia sendiri di tetapkan Standar Pelayanan Publik menurut Keputusan Menteri PAN Nomor :63/KEP/M.PAN/7/2003, yang sekurang-kurangnya meliputi: a. Prosedur pelayanan b. Waktu Penyelesaian c. Biaya Pelayanan d. Produk Pelayanan e. Sarana dan Prasarana f. Kompetensi petugas pelayanan Terdapat empat unsur penting dalam proses pelayanan publik, yaitu 1. Penyedia layanan, yaitu pihak yang dapat memberikan suatu layanan tertentu kepada konsumen, baik berupa layanan dalam bentuk penyediaan dan penyerahan barang (goods) atau jasa-jasa (services). 2. Penerima layanan, yaitu mereka yang disebut sebagai konsumen (costomer) atau customer yang menerima berbagai layanan dari penyedia layanan. 3. Jenis layanan, yaitu layanan yang dapat diberikan oleh penyedia layanan kepada pihak yang membutuhkan layanan. 4. Kepuasan pelanggan, dalam memberikan layanan penyedia layanan harus mengacu pada tujuan utama pelayanan, yaitu kepuasan pelanggan. Hal ini sangat penting dilakukan karena tingkat kepuasan yang diperoleh para pelanggan itu biasanya sangat berkaitan erat dengan standar kualitas barang dan atau jasa yang mereka nikmati. Berdasarkan keputusan MENPAN No. 63/ KEP/ M. PAN/ 7/ 2003 kegiatan pelayanan umum atau publik antara lain : 14
a. Pelayanan administratif Yaitu pelayanan yang menghasilkan berbagai bentuk dokumen resmi yang dibutuhkan oleh publik, misalnya status kewarganegaraan, sertifikat kompetensi, kepemilikan atau penguasaan terhadap suatu barang dan sebagainya. Dokumen- dokumen ini antara lain Kartu Tanda Pendudukan (KTP), akte Kelahiran, Akte Kematian, Buku Pemilik Kendaraan Bermotor (BPKB), Surat Ijin Mengemudi (SIM), Surat Tanda Kendaraan Bermotor (STNK), Ijin Mendirikan Bangunan (IMB), Paspor, Sertifikat kepemilikan atau penguasaan Tanah dan sebagainya. b. Pelayanan barang Yaitu pelayanan yang menghasilkan berbagai bentuk atau jenis barang yang digunakan oleh publik, misalnya jaringan telepon, penyediaan tenaga listrik, air bersih dan sebagainya. c. Pelayanan jasa dibutuhkan
Yaitu pelayanan yang menghasikan berbagai bentuk jasa yang
oleh
publik,
misalnya
pendidikan,
pemeliharaan
kesehatan,
penyelenggaraan transportasi, pos dan sebagainya. Pelayanan publik oleh aparatur pemerintah dewasa ini masih banyak dijumpai kelemahan sehingga belum dapat memenuhi kualitas yang diharapkan masyarakat. Hal ini ditandai dengan masih adanya berbagai keluhan masyarakat yang disampaikan melalui media massa, sehingga dapat menimbulkan citra yang kurang baik terhadap aparatur pemerintah. Mengingat fungsi utama pemerintah adalah melayani masyarakat maka pemerintah perlu terus berupaya meningkatkan kualitas pelayanan. Pelayanan publik menjadi suatu tolok ukur kinerja pemerintah yang paling kasat mata. Masyarakat dapat langsung menilai kinerja pemerintah berdasarkan kualitas layanan publik yang diterima, karena kualitas layanan publik menjadi kepentingan banyak orang dan dampaknya langsung dirasakan masyarakat dari semua kalangan, dimana keberhasilan dalam membangun kinerja pelayanan publik secara profesional, efektif, efisien dan akuntabel akan mengangkat citra positif pemerintah Kabupaten Pasuruan di mata warga masyarakatnya. Dalam konteks pemerintah daerah, pelayanan publik dapat disimpulkan sebagai pemberian layanan atau melayani keperluan orang atau masyarakat dan/atau organisasi lain yang mempunyai kepentingan pada organisasi itu, sesuai dengan aturan pokok dan tata cara yang ditentukan dan ditujukan untuk memberikan kepuasan kepada penerima pelayanan. Untuk terwujudnya good governance, dalam menjalankan pelayanan publik, pemerintah daerah juga harus memberikan kesempatan luas kepada warga dan masyarakat, untuk 15
mendapatkan akses pelayanan publik, berdasarkan prinsip-prinsip kesetaraan, transparansi, akuntabilitas dan keadilan. 3. Reformasi Birokrasi Kata reformasi memberikan kesan kepada kita bahwa sistem dalam organisasi dan keberadaan organisasi bersangkutan harus direformasi atau harus sesuai dengan kehendak tantangan baru. Reformasi birokrasi harus dilakukan dalam rangka upaya memperbaiki kinerja organisasi sesuai dengan tantangan yang sedang dan akan dihadapi, dan sesuai dengan harapan strategis yang ingin dicapai. Langkah-langkah dalam upaya melakukan reformasi birokrasi bukan semata-mata karena adanya tuntutan politik yang berkembang ditengahtengah masyarakat, tetapi reformasi birokrasi yang dilakukan harus didasarkan pada pertimbangan-pertimbangan strategis organisasi.pada umumnya, pertimbangan-pertimbangan strategis organisasi termaktub secara jelas dan padat dalam perencanaan strategis organisasi. Perencanaan strategis, aspek perencanaan, strategi, sistem, dan birokrasi akan selalu review sesuai dengan perkembangan dan perubahan lingkungan organisasi, baik internal maupun eksternal. Berkenaan dengan praktik tata pemerintahan publik yang baik dan pemerintah yang bersih, diperlukan adanya perubahan yang cukup mendasar dan serius dengan mereformasi tata pemerintahan yang berkenaan dengan model kelembagaan, mekanisme kerja, pola pikir dan budaya para pelaku birokrasi dari pejabat tinggi hingga pegawai bawahan, dan sebagainya. Reformasi birokrasi harus dapat membawa perubahan dalam operasionalisasi organisasi kearah yang lebih dinamis dan berkualitas sesuai dengan perubahan lingkungan. Penyesuaian terhadap perubahan harus dapat memberikan motivasi kepada berbagai unit organisasi induk dan semua individu yang ada dalam organisasi bersangkutan agar lebih ekstra dan professional dalam memberikan komitmennya terhadap perencanaan strategis. Komitmen ini harus berakhir dengan tercapainya tujuan srategis yang telah ditetapkan organisasi dengan efisien, efektif dan memuaskan.
16
Untuk mencapai tujuan strategis, setiap individu yang ada dalam organisasi terutama pimpinan organisasi, harus mempunyai komitmen kepada perencanaan strategis organisasi. Karena itu, di dalam organisasi harus dibangun budaya organisasi kondusif dan aspiratif bagi terciptanya orientasi kerja untuk mencapai hasil yang maksimal dan optimal dengan tingkat semangat kinerja yang membumbung tinggi bagis setiap individu yang ada dalam organisasi. Reformasi birokrasi dalam aspek lain, diharapkan mampu menciptakan semangat kerja baru sesuai dengan tantangan dan perubahan lingkungan yang sangat cepat. Karena itu, reformasi birokrasi harus mendatangkan perubahan yang fundamental dalam semangat kerja individual yang bekerja di dalam organisasi institusi pemerintah maupun swasta. Semangat kerja yang di maksud di sini adalah sebabgaimana yang direfleksikan oleh semangat layaknya seorang wirausaha. Semangat kewirausahaan pada intinya berusaha melakukan rekayasa kerja dengan hasil yang optimal dengan cara yang efektif, efisien, produktif dan maksimal serta rasional. Sikap dan tindakan bekerja harus dengan sikap kreativitas yang tinggi dan inovatif untuk menyambut bola. Ini berarti bahwa pimpinan, staf dan pegawai yang duduk dijajaran organisasi pemerintah harus proaktif dalam mengidentifikasi masalah dan memeberikan jawaban yang cepat dan tepat sebagai bagian dari pelayanan publik kepada masyarakat luas. Reformasi pada intinya menuntut perubahan kearah yang lebih baik dalam waktu yang relative singkat atau cepat. Reformasi yang coba dilakukan pemerintah sekarang ini masih dianggap belum berjalan dengan baik dan perubahan dalam pelayanan publik masih belum dirasakan baik oleh masyarakat. Keluhan masyarakat baik langsung maupun tidak langsung masih banyak terdengar. Problematika yang membelit birokrasi ini bila tidak diselesaikan dengan cepat, baik dan tuntas akan menjadi penghambat utama dalam menyelesaikan agenda reformasi pembangunan nasional. Dan bila hal ini terjadi dalam skala mikro (organisasi) maka akan menjadi penghambat utama dalam upaya organisasi merealisasi rencana strategis
E. DEFINISI KONSEPTUAL Pelayanan publik dapat didefinisikan sebagai segala bentuk jasa pelayanan, baik dalam bentuk barang publik maupun jasa publik yang pada prinsipnya menjadi tanggung jawab dan dilaksanakan oleh instansi pemerintah di pusat, di daerah, dan di lingkungan Badan Usaha Milik Negara atau Badan Usaha Milik Daerah dalam rangka upaya pemenuhan kebutuhan masyarakat maupun dalam rangka pelaksanaan ketentuan 17
peraturan perundang-undangan sebagai konsekuensi dari tugas dan fungsi pelayanan serta untuk mencapai tujuan pemerintahan dan pembangunan. Reformasi birokrasi adalah langkah strategis untuk membangun aparatur negara agar lebih berdaya guna dan berhasil guna dalam mengemban tugas umum pemerintahan dan pembangunan nasional. Dan dalam hal ini, reformasi pelayanan perizinan didefinisikan sebagai perubahan pelayanan perizinan kea rah perbaikan yang menyangkut perubahan kelembagaan yang lebih efektif dan efisienm percepatan waktu pelayanan, transparansi dasar hukum, waktu dan biaya, keberadaan standart operating procedure atau standar prosedur operasional, serta berorientasi pada kepuasan masyarakat. Sedangkan good governance disini merupakan suatu bentuk mekanisme dan konsep yang menjadi basis dasar dalam penerapan reformasi pelayanan perizinan yang dilakukan oleh Pemeringtah Kota Yogyakarta. Prinsip-prinsip good governance adalah suatu karakteristik atau ukuran pokok dari pelaksanaan penyelenggaraan pemerintahan yang baik. Good governance dalam hal ini didefinisikan sebagai suatu konsep tata pemerintahan yang baik dalam penyelenggaraan penggunaan otoritas politik dan kekuasaan untuk mengelola sumber daya demi pembangunan masyarakat yang solid dan bertanggung jawab secara efektif melalui pembuatan peraturan dan kebijakan yang absah dan yang merujuk pada kesejahteraan rakyat, pengambilan keputusan, serta tata laksana pelaksanaan kebijakan. a. Transparansi yaitu keterbukaan informasi kepada masyarakat yang berkaitan dengan kepentingan publik secara langsung dapat diperoleh oleh masyarakat yang membutuhkan. b. Responsivitas yaitu mampu dan tanggap menanggapi aspirasi maupun kebutuhan masyarakat dan menjadikannya sebagai acuan pengambilan keputusan. c. Akuntabilitas yaitu pertanggungjawaban kepada publik atas setiap aktivitas yang dilakukan.
F. DEFINISI OPERASIONAL Berdasarkan kerangka teoritik dan definisi konseptual diatas, maka dapat disusun kerangka operasional pelayanan publik dan reformasi birokrasi berbasis good governance. Pelayanan perizinan dapat dioperasionalkan menjadi pelayanan terhadap suatu kegiatan masyarakat yang menurut peraturan perundangan, baik yang ada di tingkatan pusat maupun 18
daerah, yang dikategorikan melanggar kepentingan masyarakat banyak, namun juga sebagai pemenuhan hak masyarakat yang diberikan oleh Pemerintah Kota Yogyakarta selaku pihak berwenang yang juga sebagai kesatuan wilayah otonom pemerintah daerah. Selanjutnya, terkait beberapa indikator dari prinsip-prinsip good governance yang ada pada penelitian ini yaitu: 1. Prinsip transparansi dalam penelitian ini memiliki dua aspek yaitu komunikasi publik oleh pemerintah dan hak masyarakat terhadap akses informasi. Sistem pelaporan dan ketersediaan informasi bagi publik untuk mengakses berbagai hal tentang kebijakan publik. Akses pada informasi yang akurat dan tepat waktu tentang pelayanan publik. 2. Penggunaan prinsip responsivitas dapat berkaitan kecepatan dalam merespon dan memberikan solusi keluhan masyarakat, penggunaan keluhan sebagai salah satu referensi kebijakan dan pengembangan pelayanan serta ketepatan respon yang diberikan. 3. Dalam prinsip akuntabilitas, berkaitan dengan akses publik terhadap penyebarluasan informasi mengenai suatu keputusan secara lengkap dan akurat, melalui media massa maupun media komunikasi personal. Mekanisme pertanggungjawaban pelaksanaan pelayanan perizinan dan mekanisme pengaduan serta pelayanan terhadap pengaduan masyarakat. Reformasi pelayanan perizinan berbasis good governance dapat dioperasionalkan menjadi perbaikan pelayanan perizinan menyangkut kelembagaan, waktu, biaya, persyaratan dan prosedur, memberikan kenyamanan dan kemudahan, serta membuka ruang sosialisasi dialog secara luas kepada seluruh masyarakat. Definisi operasional dari pelayanan perizinan dan reformasi pelayanan perizinan berbasis good governance ini diharapkan akan menjadi batasan definisi untuk memudahkan operasionalisasi konsep pada saat eksplorasi permaslaahan dalam studi ini.
G. METODE PENELITIAN 1.
Jenis Penelitian
Metode yang digunakan dalam penelitian Penerapan Prinsip Transparansi, Responsivitas dan Akuntabilitas dari Konsep Good Governance Pada Pelayanan Perizinan di Dinas Perizinan Provinsi DIY dalam Kerangka Reformasi Birokrasi adalah metode kualitatif 19
dengan analisis data deduktif. Bogdan dan Taylor (1975) mendefinisikan metodologi kualitatif sebagai prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang diamati.Kirk dan Miller (1986) mendefinisikan penelitan kualitatif adalah tradisi tertentu dalam ilmu pengetahuan social yang secara fundamental bergantung pada pengamatan pada manusia dalam kawasannya sendiri
berhubungan
dengan
oang-orang
tersebut
dalam
bahasanya
dan
dalam
peristilahannya. Dalam metode kualitatif, segi proses lebih dipentingkan daripada hasil hal ini karena hubungan pada bagian-bagian yang diteliti dianggap lebih jelas apabila lebih mengamati segi proses. Metode kualitatif menjadi pilihan dalam studi ini karena rumusan permasalahan yang disebutkan diatas bersifat kualitatif, artinya akan terjawab dengan berbagai data dan temuan yang bersifat kualitatif berupa argument ataupun temuan yang sifatnya lebih deskripstif dalam wujud eksplanasi. 2.
Teknik Pengumpulan Data
Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan sumber data primer dan sumber data sekunder .Data primer yang diperoleh dari sumbernya tanpa adanya perantara atau secara langsung dari objek penelitian dan data sekunder yaitu data yang diperoleh secara tidak langsung dari sumbernya, biasanya berbentuk dokumen-dokumen. Metode kualitatif ini kemudian akan diderivasikan ke dalam bentuk-bentuk kegiatan riset dan studi seperti: 1. Melakukan wawancara mendalam dengan narasumber (depth interview) Wawancara adalah proses memperoleh keterangan untuk tujuan penelitian dengan cara tanya jawab sambil bertatap muka antara si penanya atau pewawancara dengan si penjawab atau narasumber. Data-data yang diperoleh dari wawancara mendalam sangat berguna untuk dapat mengetahui data-data apa saja yang tidak dapat dipaparkan oleh data tertulis. Melakukan wawancara mendalam dengan pihak terkait yang memahami dan mengikuti proses reformasi birokrasi dalam pelayanan publik yang terjadi di Dinas Perizinan. Dengan melakukan wawancara mendalam dengan pihak terkait di Dinas Perizinan Jogjakarta, diharapkan dapat menggali informasi lebih mendalam. 2. Studi dokumentasi (desk study)
20
Dengan mengumpulkan berbagai data dan dokumen (data sekunder) yang berkaitan dengan keberadaan Dinas Perizinan untuk menunjang dan memperkuat data primer.Studi dokumentasi adalah teknik pengumpulan data dengan mengumpulkan sumber-sumber dokumen yang berkaitan dengan penelitian ini.Data dan dokumen yang dikumpulkan seperti hasil riset/studi maupun naskah akademik yang berkaitan dengan pelayanan perizinan, terutama yang memiliki konteks dengan lingkungan Pemerintah Kota Yogyakarta.Arsip dan data hasil kajian, naik yang dilakukan oleh Pemerintah Kota Yogyakarta maupun lembaga lain berkaitan dengan Dinas Perizinan.
H. SISTEMATIKA PENULISAN Dalam sebuah tulisan yang mendasarkan pada penelitian ilmiah, tentu saja harus disusun berdasarkan kerangka pikir yang jelas dan sistematis. Begitu pula dalam tulisan ini penulis akan membagi tulisan kedalam lima bagian yang diejawantahkan dalam sususan bab yang bertujuan membingkai tulisan dalam runtutan yang menjelaskan masing-masing konsetrasi pembahasan dalam setiap bab. BAB I Pendahuluan Pada tulisan ini akan memparkan mengenai pendahuluan yang didalamnya terdapat latar belakang, rumusan masalah, tujuan penulisan, kerangka teoritik yang mendasari kajian,definisi konseptual dan operasional, metode penelitian yang digunakan, serta sistematika penulisan yang digunakandalam
tema reformasi birokrasi dalam pelayanan
publik berbasis good governance. BAB II Keberadaan Dinas Perizinan Kota Yogyakarta Hal-hal yang akan dipaparkan disini adalah terkait profil Dinas Perizinan, kemudian dilanjutkan dengan struktur organisasi, fungsi dan rincian tugas, pelayanan perizinan yang juga mencakup jenis perizinan dan penataan jenis perizinan serta fasilitas penunjang. BAB III Reformasi Birokrasi Pada Dinas Perizinan Kota Yogyakarta Fokus perjalanan reformasi birokrasi pada Dinas Perizinan dilihat melalui penguatan kapasitas di tiga level yakni individu, organisasi dan system. Untuk level individu dilihat berdasar pada manajemen sumber daya manusia terkait kapasitas individu tersebut seperti 21
pengetahuan, keterampilan, kompetensi maupun etika yang juga berkaitan dengan latar belakang pendidikan. Kemudian pada level organisasi atau lembaga dilihat berdasar penataan organisasi yang meliputi struktur kelembagaan, proses pembuatan keputusan, prosedur, mekanisme kerja dan relasi antar lembaga atau organisasi. Dan untuk penguatan kapasitas di level sistem berkaitan dengan kerangka regulasi untuk mencapai tujuan. Selain itu, bagian ini juga dijelaskan mengenai faktor pendukung maupun penghambat reformasi birokrasi di Dinas Perizinan Yogyakarta. BAB IV Prinsip Good Governance dalam Reformasi Birokrasi Pada Dinas Perizinan Kota Yogyakarta Bagian ini merupakan inti dari fokus kajian. Tulisan pada bab ini berisi penjelasan mengenai tiga prinsip good governance yaitu transparansi, responsivitas dan akuntablitas yang diimplementasikan dalam kebijakan pelayanan publik yang diberikan oleh Dinas Perizinan Kota Yogyakarta. Konteks prinsip yang ada pada good governance menjadi fokus untuk melihat kondisi pelayanan publik yang diberikan. Analisis menyangkut kerangka teoritik yang relevan serta temuan jawaban terhadap rumusan permasalahan dalam kajian ini BAB V Penutup dan Kesimpulan Pada bagian akhir ini akan direfleksikan kembali kerangka teori dan konseptual untuk mengkaji tema pokok yang telah dipaparkan pada bagian sebelumnya. Selain itu, tujuan dan permasalahan penelitian juga akan diulas sebagai indikator hasil penelitian yang telah dilakukan.
22