BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Dalam penulisan ini akan dibahas pergerakan orang-orang kulit hitam di Jamaika pasca kemerdekaan sampai dengan awal tahun 1970an. Dan yang menjadikan ini menarik adalah upaya orang-orang kulit hitam tersebut mampu membuat mereka dapat muncul ke permukaan dan menarik perhatian dari berbagai pihak. Distribusi ekonomi merupakan salah satu penyebab utama permasalahan di dalam masyarakat Jamaika yang kemudian melebar menjadi masalah rasial. Mereka, orang-orang kulit hitam ini, tidak menemui keadaan yang lebih baik di kota. Latar belakang dan label negatif membuat mereka kesulitan untuk mendapatkan pekerjaan dan kehidupan yang layak. Masalah yang muncul kemudian adalah rata-rata dari mereka merupakan pengangguran. Dampak sosial dari banyaknya pengangguran tersebut ialah tingkat kriminalitas yang tinggi. Halhal semacam inilah yang semakin menguatkan stigma-stigma negatif terhadap orang-orang kulit hitam di Jamaika. Pembahasan mengenai Rastafaria dan reggae tidak dapat dipisahkan dari keadaan di dalam masyarakat Jamaika tersebut karena melalui kedua hal inilah orang-orang kulit hitam di Jamaika mengejawantahkan ketidakpuasan dan kemarahan mereka terhadap keadaan sosial dan ekonomi mereka. Kesadaran akan ketidakadilan serta ketidakpuasan dalam bidang ekonomi dan sosial yang ada bersamaan dengan munculnya kesadaran orang-orang kulit hitam membuat orangorang kulit hitam marah terhadap apa yang telah dilakukan oleh orang-orang kulit putih. Di banyak negara berkembang distribusi materiil di dalam masyarakatnya cukup buruk. Beberapa hal yang menyebabkan terjadinya hal tersebut antara lain: korupsi di dalam pemerintahan, kualitas sumberdaya masyarakat yang tidak baik atau kurang dari rata-rata dan politisasi masalah di dalam masyarakat oleh politisipolitisi yang saling bersaing. Ketidakmerataan materi ini mengakibatkan banyak masalah dan ketidakpuasan di dalam masyarakat. Konflik merupakan salah satu 1
bentuk manifestasi dari adanya ketidakpuasan ini. Pihak-pihak yang merasa paling dirugikan akan meningkatkan kohesifitas diantara mereka dan kemudian bergerak melawan. Dengan kata lain ketidakmerataan, yang kemudian menciptakan kesenjangan dan ketidakpuasan, dalam masyarakat akan menjadikan suatu kelompok masyarakat terpinggirkan. Kelompok masyarakat ini tidak tinggal diam. Menjadi suatu kesatuan dengan tujuan tertentu menjadi pilihan untuk dapat mengubah kehidupan mereka menjadi lebih baik. Penting untuk melihat suatu kelompok masyarakat yang memiliki tujuan tertentu dan melakukan aktifitas-aktifitas tertentu dalam rangka mencapai tujuannya tersebut. Suatu aktifisme yang dapat menarik perhatian pihak-pihak lain di luar aktifismenya tersebut, dapat dengan cepat menyebar dan memengaruhi sistem yang berlaku dalam lingkungannya. Dalam konteks berkebangsaan, orangorang kulit hitam di Jamaika telah berhasil membangun suatu sistem nilai yang fundamental, yang kemudian mengubah sistem nilai yang berlaku di Jamaika saat itu. Suatu aktifisme, yang kecil sekalipun, dapat memengaruhi banyak hal dan bahkan dapat sampai ke ranah yang sangat besar (antar negara dan bangsa) karena aktifisme juga muncul di level internasional. Aktifisme ini kemudian muncul sebagai suatu pergerakan yang memiliki suatu tujuan. Pergerakan ini bahkan dapat memengaruhi kebijakan-kebijakan suatu sistem. Melihat suatu pergerakan sebagai bentuk perlawanan menjadi penting karena pergerakan menjadi salah satu cara yang sangat efektif untuk melawan suatu sistem dominan yang merugikan suatu pihak.
B. Rumusan Masalah Hal yang menjadi fokus dalam penulisan ini adalah bagaimana rastafaria dan raggae dapat dilihat sebagai bentuk perlawanan masyarakat kulit hitam terhadap dominasi masyarakat kulit putih di Jamaika pada tahun-tahun pasca kemerdekaan?
2
C. Kerangka Konseptual Gerakan Sosial Untuk dapat memahami perlawanan yang dilakukan oleh kulit hitam terhadap stereotipe-stereotipe yang ditanamkan oleh orang-orang kulit putih adalah dengan melihat kelompok Rastafaria ini sebagai gerakan sosial dalam masyarakat Jamaika. Dengan melihat kaum Rastafaria ini sebagai suatu gerakan sosial dalam masyarakat, dapat dimengerti bagaimana eksistensi mereka dalam masyarakat. Konsep mengenai gerakan sosial telah banyak dipaparkan oleh Alberto Melucci dalam tulisannya yang berjudul Challenging Codes: Collective Action in The Information Age. Gerakan merupakan suatu tanda bahwa sedang terjadi transformasi atau perubahan secara fundamental dalam masyarakat yang kompleks. Perubahan yang fundamental ini terjadi dalam logika dan proses yang membimbing suatu masyarakat dan juga pergerakan merupakan suatu usaha keras yang terakhir, yang dapat dilakukan oleh suatu kelompok masyarakat. Perubahan melalui perlawanan dari pihak oposisi dilakukan dengan gerakan dan gerakan ini merupakan kekuatan pihak oposisi.1 Suatu pergerakan dapat menjadi kuat melalui berbagai macam kemungkinan dan paksaan dari aksi-aksi mereka yang mentransformasikan gerakan mereka ke dalam bahasa, budaya dan hubungan sosial, dimana halhal tersebut mungkin keluar dari proses-proses kolektif untuk membangun sebuah kebebasan praktek yang baru. Dengan kata lain wilayah suatu pergerakan adalah cabang atau subsistem dari suatu masyarakat yang lebih besar.2 Suatu gerakan sosial dapat disebut sebagai suatu gerakan sosial apabila dalam suatu gerakan tersebut terdapat konflik sebagai awal untuk mendorong munculnya suatu pihak oposisi; framing atau pembingkaian oleh pihak oposisi menjadi hal penting karena melalui framing, posisi pihak 1
Alberto Melucci, Challenging Codes: Collective Action in The Information Age. Introduction. Prophet: the one who speaks before, 1996, New York: Press Syndicate of the University of Cambridge, Hlm. 1 2 Ibid. Hlm. 3
3
antagonis atau oposisi dalam melihat konflik menjadi jelas; solidaritas menjadi hal penting untuk memperthankan atau menjaga kohesifitas gerakan oposan; dan mobilisasi dilakukan untuk meningkatkan jumlah pendukung dari gerakan tersebut, karena dengan semakin besar jumlah pendukung akan semakin mudah bagi suatu gerakan memengaruhi sistem dalam masyarakat. 1. Konflik Dalam tradisi berpikir Marxisme, diajarkan kepada kita bahwa aksi kolektif tidak dapat dianalisis tanpa memberikan perhatian pada hubungan dengan struktur. Yang dimaksudkan dalam struktur ini adalah model produksi yang terjadi pada saat gerakan tersebut muncul. Hal ini penting karena dengan melihat model produksi yang kontekstual dapat diketahui bagaimana hubungan antara ketersediaan sumber daya dan pembatasan untuk aksi.3 Melalui model produksi juga, dapat dilihat bagaimana kecenderungan sistem ekonomi dalam suatu masyarakat. Dalam kehidupan masyarakat modern, perekonomian tidak dapat dipisahkan dari kehidupan sosial masyarakat. Perekonomian menjadi suatu mekanisme yang utama kelangsungan hidup individu dalam masyarakat modern. Model produksi sendiri sangat berkaitan erat dengan industri dan kapitalisme, yang mana pada akhirnya hubungan industri (serta kapitalisme) di dalam masyarakat menciptakan kelas-kelas sosial yang kemudian mengubah banyak tatanan sosial yang telah ada sebelumnya. Hubungan antar kelas ini kemudian menghasilkan ketidaksamarataan di dalam masyarakat. Individu yang berada di kelas bawah akan lebih sulit mendapatkan akses kepada sumber daya. Kesulitan dalam mengakses sumber daya ini membuat kebutuhan individu tidak terpenuhi. Industri dan kapitalisme telah banyak menciptakan ketidakseimbangan
di
dalam
masyarakat.
Ketidakseimbangan
yang
dimaksudkan adalah bagaimana sumberdaya yang mendukung individu dalam melaksanakan kegiatan ekonomi tidak dapat atau sangat sulit diakses. Ketidakmampuan individu untuk mengakses sumber daya membuat ia tidak
3
Ibid. Hlm. 17
4
dapat melakukan kegiatan ekonomi dan keberlangsungan hidupnya terancam. Ancaman membuat individu bereaksi dan rekasi ini ditujukan kepada pihak yang membuatnya terancam, yang dianggapnya sebagai musuh. Akses kepada sumberdaya ekonomi bukan satu-satunya bidang yang memunculkan ketidakpuasan. Namun sedikit banyak akses kepada sumberdaya ekonomi membatasi individu untuk memiliki akses dalam bidang lainnya: yakni pendidikan, sosial dan bahkan politik. Pada akhirnya akses-akses ini berpengaruh kepada bidang-bidang lainnya yang sangat menunjang
keberlangsungan
eksistensi
manusia
sebagai
manusia.
Ketidakseimbangan dalam kekuasaan tertentu dan status sosial di dalam masyarakat industri akan membentuk suatu aktor kolektif baru yang tidak mendapatkan
kepuasan.4
Keduanya
akan
bertarung
untuk
dapat
memengaruhi lingkungan di sekeliling mereka. Konflik dapat juga dianggap sebagai titik temu antara sistem dan struktur dari kelompok masyarakat yang dominan yang sedang berlangsung didalam suatu masyarakat dengan suatu aksi sebagai bentuk reaksi terhadap struktur tersebut. Telah terlihat bagaimana keterbatasan individu-individu akan akses terhadap sumber daya menghasilkan ketidakpuasan dalam masyarakat. Dalam tahapan selanjutnya manifestasi dari ketidakpuasan pihak-pihak di dalam suatu masyarakat, dalam hal ini, akan sangat berkaitan dengan framing, solidaritas dan mobilisasi.
2.
Framing Framing atau pembingkaian memiliki banyak definisi dalam berbagai
macam konteks. Framing merupakan suatu proses komunikatif dimana dalam suatu kejadian yang sama, pihak yang berbeda dapat melakukan pembingkaian dari kejadian tersebut dalam cara yang berbeda. Framing merupakan hasil interpretasi suatu entitas (suatu aktifisme) dimana interpretasi tersebut sangat dipengaruhi oleh banyak aspek yang ada 4
Donatella della Porta dan Mario Diani, Social Movements: an Introduction. Knowledge, Culture, and Conflicts, Knowledge, Culture, and Conflicts, Still Clases?, 2006, Oxford: Blackwell Publishing, hlm. 53-54.
5
disekeliling entitas tersebut dan sedapat mungkin hasil interpretasi tersebut sesuai dengan tujuan dari entitas tersebut. Pihak-pihak tertentu akan bertindak di dalam situasi yang sesuai dengan cara yang identik dengan mereka karena framing sangat penting untuk proses rekruitmen dan pemeliharaan suatu aktifisme.5 Nick Crossley menggunakan istilah frame amplify untuk menyebut jenis framing yang dibutuhkan untuk menarik sentimen-sentimen dan rencana-rencana tersembunyi (dari suatu populasi) ke dalam dukungan yang lebih tajam atau lebih sempit. Atau dengan kata lain framing ini melibatkan orang-orang yang menganut nilai-nilai yang telah ada sebelumnya namun kemudian memaksa orang-orang tersebut kepada suatu dasar nilai tertentu yang lebih spesifik dan bahkan dapat memperbaharui nilai-nilai mereka sebelumnya melalui provokasi terselubung.6 Tarrow mengatakan bahwa emosi merupakan peran sentral dalam framing dan aksi kolektif. Intepretasi kekecewaan (protes) merupakan refleksi dari emosi. Kekecewaan dapat membentuk emosi yang mana agen suatu aktifisme dapat mengarahkan dan mengontrol sesuai dengan apa yang menjadi tujuan suatu aktifisme. Tarrow juga mnegatakan bahwa framing terjadi dalam konteks perlawanan karena perasaan aktor dalam aktifisme tersebut dibingkai dalam perasaan “ketidakdilan” dalam suatu kejadian dan ketidakadilan berhubungan dengan emosi (kekecewaan).7 Diani seorang sosiolog lain mengatakan bahwa dalam framing agen-agen lebih dipengaruhi oleh “bingkai anti-kemapanan” saat pihak-pihak yang mapan lebih mengecewakan dan lebih resisten untuk berubah.8 Menurut Diani tujuan dari suatu gerakan dengan framing adalah mengubah persepsi publik dan kesempatan atau media yang bersifat kultural lebih penting daripada yang bersifat politis. David A. Snow memaparkan banyak hal untuk dapat memahami framing
atau
pembingkaian.
Bagi
Snow,
frame
dilakukan
untuk
menginterpretasikan kondisi-kondisi atau kejadian-kejadian yang relevan
5
Nick Crossley, Framing Contention, hlm. 133. Ibid, hlm. 135 7 Ibid, hlm. 137 8 Ibid, hlm. 138 6
6
bagi tujuan suatu aktfisme dalam cara yang menarik untuk dapat merekrut pihak luar (bystander) menjadi pendukung dan dapat mendisintergrasikan pihak lawan.9 Dalam hal ideologi, beberapa sosiolog berpendapat bahwa aksi-aksi yang dilakukan oleh suatu gerakan sosial secara ideologis dikonstruksi (konstruksi ini dipengaruhi oleh konektifitas dalam pengalamanpengalaman dan ideologi-ideologi sehingga mereka terikat bersama dalam suatu integrasi dan bentuk): partisipan dalam suatu gerakan sosial diarahkan kepada seperangkat ide dan kepercayaan yang sama. Atau dapat juga pembingkaian dalam aksi kolektif merupakan hasil dari ideologi yang telah ada atau standar budaya yang telah ada; kemudian Snow menambahkan bahwa pembingkaian dalam aksi sosial juga dipengaruhi oleh konteks yang bersifat mudah berubah (discursive) di tempat dimana mereka tertanam.10 Pembingkaian masalah atau interpretasi masalah dalam suatu aksi kolektif memiliki fokus perhatian (dengan membuat spesifikasi) apa saja yang relevan (in-frame) dan tidak relevan (out-of-frame) dengan tujuan dari aktifisme tersebut. Hal ini hampir sama dengan apa yang dijelaskan oleh Alberto Melucci mengenai konsep ideologi, bahwa dalam framing, untuk lebih meyakinkan penonton agar menjadi bagian dari gerakan tersebut, yang perlu dilakukan adalah dapat mengidentifikasi musuh dan mengindikasi apa yang menjadi pencapaian dan tujuan yang akan diperjuangkan bersama. Ideologi sedikit banyak dapat melakukan hal-hal tersebut karena dengan ideologi dapat dilihat seperti apa lawan (karena melalui ideologi akan terlihat pihak-pihak yang tidak dapat mendukung akan tercapainya tujuan suatu gerakan).11 Ideologi menjadi hal penting lain dalam proses framing.12 Ideologi merupakan simbol dan bahasa bagi suatu kolektifitas yang merupakan hasil ekspresi dari masa lalu. Bagi suatu gerakan sosial, ideologi berfungsi sebagai alat penangkis bagi umpan balik yang negatif dari pihak 9
David A. Snow, hlm. 384 Ibid, hlm. 397-401 11 Melucci, Collective Action and Discourse. Ideology and Frames, Hlm. 348-355. “Ideology: a set of symbolic frames which collective actors use to represent their own actions to themeselves and to others within a system of social relationship.” 12 Ibid. 10
7
lawan. Ideologi menolong gerakan sosial untuk mendramatisir atas aksi yang dilakukannya. Saat aktor dalam suatu gerakan sosial dalam keadaan yang lemah, skenario mengenai „taktik yang tidak adil‟ atau „kompetisi yang tidak sehat‟ dan bahkan „tekanan kepada yang lemah‟, digunakan sebagai simbol untuk membangun kembali suatu konfrontasi dengan pihak lawan dengan tujuan mencari simpati dari masyarakat yang netral.
3.
Solidaritas dan Mobilisasi13 Melalui kesatuan gerakan yang terorganisir atau aksi kolektif, orang-
orang mampu menyadari apa yang sedang mereka lakukan. Selain itu dalam konteks gerakan sosial, gerakan sosial sendiri menunjukkan bentuk aksi kolektif yang menuntut solidaritas; membuat konflik menjadi terlihat dengan jelas dan juga menawarkan sebuah penerobosan batas dari suatu kesinambungan yang harmonis dalam suatu sistem dimana aksi kolektif menjadi suatu tindakan di dalamnya. Interaksi dan tanggung jawab bersama merupakan sarana pelekat antar individu-individu aktivasi dari hubungan antar aktor dalam suatu gerakan sosial. Dari hubungan-hubungan aktor ini, lebih jauh lagi, akan tercipta Identitas kolektif. Identitas kolektif merupakan:14 1. Suatu hal yang melibatkan definisi yang berhubungan dengan kesadaran atau pemahaman kepada proses mental seperti persepsi, memori, penilaian dan penalaran. 2. Suatu proses yang merujuk kepada hubungan aktif antara aktoraktor yang berinteraksi, komunikasi, pemberian pengaruh terhadap satu dengan yang lain, negosiasi dan pembuatan keputusan. Kebanyakan aktifitas kolektif yang dialkukan suatu kelompok atau identitas kolektif adalah bercakap-cakap atau berdiskusi (talking) dan mendengarkan suatu presentasi (atau pengajaran) dalam pertemuan yang dilakukan selama kurang 13
Ibid, Mobilization and Political Participation, Hlm. 287-293 Ibid, The Process of Collective Identity. Defining Collective Identity. Action and Field: a Definition, Hlm. 71 14
8
lebih 2 jam dan diadakan secara berkala (diadakan pertemuan mingguan)15 3. Suatu tahapan yang pasti dari suatu bentuk penanaman modal emosional yang dibutuhkan dalam pendefinisian identitas kolektif, yang memungkinkan individu merasa dirinya bagian dari persatuan milik bersama tersebut. Melucci menyatakan bahwa tidak akan ada kesadaran tanpa emosi dan tidak akan ada makna tanpa emosi. Dalam memahami gerakan sosial, emosi menjadi suatu kajian yang penting, karena emosi menjadi suatu syarat mutlak untuk dapat menjadi suatu protes.16 Selanjutnya identitas biasanya digunakan untuk menunjukkan keadaan yang tetap atau permanen dalam waktu yang terus berjalan dari suatu aksi oleh subyek tanpa dipengaruhi oleh perubahan disekitarnya. Identitas kolektif memungkinakan aktor-aktor sosial untuk bertindak sebagai subyeksubyek yang disatukan dan dibatasi, sekaligus mempertahankan kontrol atas aksi mereka sendiri. Oleh sebab itu identitas kolektif meyakini:17 terdapat refleksi diri sendiri dari aktor-aktor sosial; perlunya paham kausalitas dan saling memiliki, karena mereka menyadari bahwa aksi kolektifnya akan memberikan dampak bagi dirinya sendiri; perlunya kesadaran akan adanya hubungan akan masa lalu karena dari sana mereka dapat memerkirakan apa yang terjadi di masa depan. Dengan kemampuan aktor kolektif untuk dapat menyadari refleksi diri sendiri melalui aksi sosial dan pemahaman kausalitas antar aktor, lebih jauh, aktor-aktor kolektif ini akan mampu mengidentifikasi diri mereka dan mampu membedakan dirinya sendiri dengan lingkungan disekitarnya. Meskipun demikian identitas kolektif sedapat mungkin tetap menghormati lingkungan sosial mereka.18 Dari hal ini kemudian terciptalah suatu konsep „ke-mereka-an‟ dan „ke-kami-an‟. Dimana „kami‟ berarti lawan 15
David A. Snow, Social Movement, hlm. 398. Helena Flam and Debra King, Emotions and Social Movements, 2005, New York: Routledge, Hlm. 1-57 17 Op cit, Hlm. 73 18 Ibid, Collective Identity Over Time, Hlm. 75 16
9
dari „mereka‟. Ke-kami-an muncul karena adanya identitas komunal di dalam gerakan tersebut. Dalam konteks sejarah, aktor kolektif di masa lalu memiliki akar yang kuat di tempat dimana ia tertanam. Mereka merupakan entitas milik suatu budaya yang spesifik yang terorganisir dalam struktur kehidupan sehari-hari. Dalam bentuk solidaritas bersama yang kemudian membentuk identitas dan berdasar kepada material dan keadaan budaya sehari-hari.19 Dalam
prakteknya
di
masyarakat,
industri
dan
kapitalisme
mengakibatkan terurainya hubungan antar individu di dalam masyarakat. Melalui pendekatan massa, latar belakang industri dan kapitalisme membuat mobilisasi dapat dijelaskan dengan masuk akal. Dampak lain dari adanya industri adalah terlepasnya individu dari akar sosialnya dan tingkat kohesivitas individu dengan lingkungan sosialnya menjadi sangat rendah. Dalam konteks mobilisasi, semakin rendah atau melemahnya kohesivitas individu dengan lingkungan sosialnya, disertai dengan semakin melemahnya kemampuan elit untuk memengaruhi massa, membuat kelompok dominan di dalam masyarakat lebih mudah untuk memanipulasi massa dalam masyarakat. Para aktivis atau militan dalam kelompok yang dominan tersebut (gerakan) akan mengawasi orang-orang yang memiliki akar yang dangkal atau ikatan yang lemah akan lingkungan sosial masyarakatnya. Pengawasan oleh para militan dari gerakan tersebut juga dilakukan kepada pihak-pihak yang paling termarjinalkan, pihak-pihak yang paling terkucilkan dari partisipasi di tengah-tengah kelompok masyarakat. Dalam beberapa cara berpikir, mobilisasi dapat terjadi karena adanya kepentingan yang sama dalam kelompok yang dimobilisasi dengan kelompok yang memobilisasi. Terdapat dua kemungkinan dimana mobilisasi akan terjadi dalam ikatan komunitas:20 1) seperti yang sudah dituliskan, bahwa afiliasi tradisional sperti ikatan keluarga, desa, ras dan beberapa bentuk solidaritas komunal lainnya melemah disertai dengan tujuan yang sama
19 20
Ibid, Collective Identity ini Historical Context, Hlm. 84. Alberto Melucci, hlm. 92
10
dengan suatu gerakan, akan mudah bagi seseorang termobilisasi. 2) dalam sistem sosial masyarakat yang kompleks, terdapat segmentasi-segmentasi masyarakat. Adanya jarak yang jauh antara satu dengan yang lain mengakibatkan kelompok masyarakat tertentu dapat termobilisasi. Kedua hal tersebut semakin termobilisasi dengan adanya ketidakpuasan atau frustrasi dalam masyarakat.
D. Argumen Utama Dari kerangka konseptual tersebut diatas, Rastafaria dan Reggae dapat disebut sebagai perlawanan berdasarkan kepada 3 hal, yaitu: pertama, sebagai bentuk konflik. Konflik ini disebabkan karena ketidakpuasan masyarakat kulit hitam. Ketidakpuasan ini ada karena akses mereka terhadap sumberdaya-sumberdaya sangat terbatas. Kedua, framing atau pembingkaian merupakan salah satu langkah awal yang diambil oleh masyarakat kulit hitam untuk mereduksi dominasi sistem sosial-budaya oleh kulit putih. Interpretasi masyarakat kulit hitam dengan kitab Perjanjian Lama untuk mengembalikan rasa percaya diri kulit hitam di Jamaika dilakukan untuk mengurangi dominasi. Kemudian yang menjadi dasar bahwa Rastafaria dan reggae merupakan bentuk perlawanan adalah solidaritas dan mobilisasi. Dalam hal ini solidaritas dilakukan dengan dogma Rastafaria yang menumbuhkan semangat nasionalisme terhadap etnis kulit hitam dan melalui ajaran Rastafaria menjadi alat perekat bagi orang-orang kulit hitam karena mereka yakin merekalah orang-orang yang dimaksudkan dalam kitab Perjanjian Lama. Seruan-seruan akan “kekejaman” dalam lagu-lagu populer (reggae) merupakan cara untuk menarik minat “penonton” yang netral dalam masyarakat luas untuk menjadi bagian dalam gerakan Rastafaria ini.
E. Metode Penelitian Dalam penulisan ini studi literatur menjadi dasar utama untuk meneliti Rastafarianisme dan Reggae dan untuk mengembangkan argumen penulisan. Studi 11
literatur ini akan disertai dengan pengumpulan beberapa data yang menunjang, seperti: a) Data penduduk Jamaika di tahun 1960-1970an untuk melihat bagaimana keadaan orang kulit hitam berdasarkan kuantitas mereka. b) Beberapa kebijakan pemerintahan Bustamante (dari Jamaican Labor Party) tahun 1960an yang membuat sebagian kaum Rastafaria tidak mempercayai pemerintah. c) Beberapa musisi serta lagu-lagu mereka yang dianggap dapat menghidupkan semangat nasionalisme kaum kulit hitam. Dengan melihat lirik pada lagu-lagu reggae ini akan terlihat semangat kaum Rastafaria untuk melakukan repatriasi ke Afrika, penolakan terhadap label negatif dan kemarahan-kemarahan lainnya yang tertuang dalam lagu. d) Agenda politik People‟s National Party di kampanye tahun 1972 yang banyak mengangkat kaum Rastafaria. Dengan ini akan terlihat sejauh apa upaya kolektif kaum Rastafaria dapat menarik perhatian elit pemerintah. Untuk dapat memperoleh data tersebut media internet menjadi pendukung utama dalam pencarian data melalui website-website mengenai keadaan demografi Jamaika dan dilengkapi dengan jurnal dan pamflet elektronik yang berkaitan dengan topik penulisan.
F. Sistematika Penulisan Penulisan ini akan terdiri dari beberapa bagian, yaitu: BAB I
berisi
latar
belakang
masalah,
rumusan
masalah, kerangka konsep untuk menjelaskan masalah,
argumen
utama,
metode
yang
digunakan dalam penulisan ini dan sistematika penulisan.
12
BAB II
bagian ini berisikan fakta-fakta yang ada di dalam masyarakat, yang terjadi kepada orangorang kulit hitam di Jamaika sehingga stigma negatif tetap melekat kepada mereka. Dalam bagian ini juga dijelaskan sebab dan akibat dari adanya stigma negatif tersebut.
BAB III
berisi penjelasan-penjelasan dari dua sarana perlawanan yang dimiliki oleh kelompok masyarakat kulit hitam, yaitu Rastafarianisme dan reggae beserta perkembangannya di dalam masyarakat.
BAB IV
bagian
ini
akan
menjelaskan
bagaimana
Rastafaria dapat dikatakan suatu gerakan sosial dalam masyarakat. Dan gerakan ini melalui media seni musik dapat menerobos batas-batas sistem yang telah berkembang sejak lama di dalam masyarakat.
BAB V
berisikan kesimpulan yang menegaskan kembali jawaban atas rumusan masalah berdasarkan uraian-uraian di bagian-bagian sebelumnya.
13