1
BAB I PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Dasawarsa 90-an ditandai dengan liberalisasi perekonomian dan perdagangan
bebas. Liberalisasi perdagangan sebenarnya merupakan dilema bagi banyak Negara termasuk Indonesia sendiri yang belum memiliki kesiapan dalam menghadapi persaingan bisnis berbasis Internasional. Namun liberalisasi tidak mungkin dapat ditolak karena dapat menghambat tumbuh dan berkembang prakarsa dan kreatifitas masyarakat yang merupakan modal penting pertumbuhan ekonomi. Indonesia adalah negara hukum yang menggunakan hukum selaku pengarah dan pengayom kehidupan berbangsa dan bernegara. Adapun sasaran pembangunan bidang hukum itu sendiri adalah terbentuk dan berfungsinya hukum nasional yang mantap dengan memperhatikan kemajemukan tatanan hukum yang berlaku, yang mampu menjamin kepastian, ketertiban, penegakan dan perlindungan hukum yang berintikan keadilan dan kebenaran. Sehubungan dengan perkembangan ekonomi nasional dan global, hukum berfungsi sebagai landasan kegiatan ekonomi. Bila kepastian hukum tidak dimiliki maka ekonomi negara Indonesia akan tertinggal dari negara lain dalam menarik investasi.1 Dengan demikian peranan hukum nasional khususnya hukum ekonomi harus mampu membangun kerangka kerja pengaturan hukum yang melandasi kegiatan ekonomi pada dunia usaha. Pengaturan hukum ekonomi berkaitan erat dengan upaya pembinaan landasan hukum atas kegiatan ekonomi oleh para pelaku ekonomi sehingga kinerja para pelaku ekonomi menjadi lebih efisien.
1
Normin S.Pakpahan,”Kepastian Hukum, Sebuah Daya Tarik Era Perdagangan Bebas” , Harian Kompas, 5 Januari 1997.
2
Peranan hukum dalam menghadapi perdagangan bebas tampak dari lahirnya Undang-undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (UUPT) 2 yang merupakan usaha pemerintah meningkatkan pembangunan ekonomi nasional dalam dunia usaha dengan memperbaharui secara terus menerus hukum yang mengatur pendirian suatu badan usaha berbentuk perseroan terbatas. Didalam penjelasan umum disebutkan bahwa lahirnya UUPT adalah dalam rangka lebih meningkatkan pembangunan ekonomi nasional dan sekaligus memberikan landasan yang kokoh
bagi
dunia
usaha
dalam
menghadapi
perkembangan perekonomian dunia dan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi di dalam era globalisasi pada masa mendatang, sehingga perlu didukung oleh undangundang yang mengatur tentang perseroan terbatas yang dapat menjamin terselenggaranya iklim usaha yang kondusif.3 Didalam era globalisasi yang serba cepat, UUPT kemudian mengefisienkan tatacara mendirikan perseroan terbatas dan mempersingkat waktu pendiriannya. Hal ini
dimaksudkan
untuk
memudahkan
masuknya
perusahaan
baru
dalam
perekonomian serta memudahkan kesempatan bagi perusahaan yang ingin memperluas usahanya. Sekarang ini perekonomian yang sedemikian maju telah membawa dampak pada meningkatnya kegiatan antar pelaku usaha dengan kewarganegaraan yang berbeda yang telah menyingkirkan keberadaan batas-batas negara. Hal ini ditunjukkan oleh keberadaan perusahaan multinasional (multinational companies) yang melakukan investasi diberbagai negara, memiliki anak perusahaan yang tersebar di negara-negara lain seperti bisnis waralaba yang telah merambah ke berbagai 2
Sebelum keluarnya Undang-undang Nomor 1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas yang digantikan oleh Undang-undang Nomor 40 Tahun 2007, ketentuan Undang-undang perseroan terbatas diatur dalam Buku I Bab III Bagian III Pasal 36 sampai dengan Pasal 56 Kitab Undang-undang Hukum Dagang (Wetboek van Koophandel, Staatsblad 1847:23), sebagaimana telah dirubah, terakhir dengan Undang-undang Nomor 4 Tahun 1971; (per tanggal 7 Maret 1996) dan dalam Ordonansi Maskapai Andil Indonesia (Ordonantie op de Indonesische Maatschaappij op Aandelen (Stb. 1939-569 ji.717)) (per tanggal 7 Maret 1999). 3
Lihat Bagian Umum Penjelasan atas Undang-undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas
3
pelosok negara untuk mengekspoitasi pasar dunia. Berbicara dalam konteks melampaui batas negara yang disebabkan sedemikian tingginya mobilitas bisnis maka karakteristik norma hukum dari perusahaan-perusahaan yang saling berinteraksi tersebut sedikit banyak akan saling memperlihatkan diri karena diantara perusahaan-perusahaan yang berbisnis sedikit banyak membawa aturan-aturan yang berlaku di negara masing-masing. Dalam hal ini perusahaan-perusahaan tersebut adalah perusahaan-perusahaan dengan bentuk perseroan terbatas atau yang biasa dikenal dengan istilah limited company by shares. Perkembangan globalisasi ekonomi telah menimbulkan akibat yang besar pada bidang hukum. Globalisasi ekonomi juga menyebabkan terjadinya globalisasi hukum.4 Globalisasi hukum dalam bidang ekonomi ditunjukkan oleh berbagai Undang-undang dan perjanjian yang menyebar melewati batas negara yang mengakibatkan terjadinya peleburan prinsip-prinsip hukum pada suatu negara kepada negara lainnya.5 UUPT sendiri dalam perkembangan dan pembaharuannya selain mempersingkat waktu pendirian juga kemudian mengadopsi prinsip-prinsip Negara lainnya seperti Prinsip Tanggung Jawab Sosial Perusahaan (Corporate Social Responsibility/CSR)6, Pembelian Kembali Saham oleh Perusahaan (Buy Back)7,
4
Pendapat Erman Rajagukguk, seperti di kutip dalam buku Bismar Nasution, Keterbukaan Dalam Pasar Modal, (Jakarta: Universitas Indonesia Fakultas Hukum Program Pascasarjana, 2001), h.2. 5 Richard C. Breeden, The Globalization of Law and Business in the 1990’s, Wake Forest Law Review. Vol . 28 Bi.3 (1993), h.511-517. 6 Corporate Social Responsibility/CSR yang biasa disebut Business Social Responsibility atau Corporate Citizenship pada prinsipnya merupakan bentuk kerjasama antara perusahaan, tidak hanya yang berbentuk perseroan terbatas, dengan segala sesuatu atau segala hal (stake holders) yang secara langsung maupun tidak langsung berinteraksi dengan perusahaan tersebut untuk tetap menjamin keberadaan dan kelangsungan usaha perusahaan tersebut. Pengertian ini memiliki konsep yang sama dengan definisi mengenai Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan, yang didefinisikan sebagai komitmen perseroan untuk berperan serta dalam pembangunan ekonomi berkelanjutan guna meningkatkan kualitas kehidupan dan lingkungan yang bermanfaat, baik bagi perseroan sendiri, komunitas setempat, maupun masyarakat pada umumnya. CSR ini diatur dalam Pasal 74 Undangundang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas. 7 Buy Back atau pembelian kembali saham oleh perusahaan adalah suatu bentuk pemindahan saham berupa pembelian kembali sahamnya sendiri oleh perseroan yang bersangkutan, pembelian tersebut dibenarnya sampai jumlah tertentu dan tidak menyebabkan kekayaan bersih perseroan menjadi lebih kecil dari jumlah modal yang ditempatkan ditambah dengan dana cadangan wajib. Diatur dalam Pasal 37 Undang-undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas.
4
Pemisahan Perusahaan Tidak Murni (Spin Off) 8. Disamping itu juga terdapat Larangan Kepemilikan Silang (Cross Holding). Didalam penelitian tesis berjudul “Kajian Hukum Tentang Kepemilikan Silang Saham Menurut Undang-undang Perseroan Terbatas Nomor 40 Tahun 2007” berfokus utama seputar masalah kepemilikan silang menurut UUPT. Kepemilikan silang yang lebih dikenal dengan istilah cross holding dalam UUPT adalah suatu keadaan dimana perseroan terbatas memiliki saham yang dikeluarkanoleh perseroan terbatas lain yang sahamnya secara langsung atau tidak langsung telah dimiliki oleh perseroan. Kepemilikan secara langsung adalah apabila perseroan A memiliki saham pada perseroan B secara langsung tanpa melalui pemilikan pada suatu perseroan antara dan sebaliknya perseroan B memiliki saham pada perseroan A 9. Sedangkan kepemilikan silang secara tidak langsung adalah kepemilikan saham perseroan A pada perseroan B melalui satu atau lebih perseroan antara dan sebaliknya perseroan B memiliki saham pada perseroan A. Didalam UUPT yang lahir sebelum lahirnya Undang-undang Nomor 40 Tahun 2007 yakni Undang-undang Nomor 1 Tahun 1995 tidak ada pengaturan mengenai larangan kepemilikan silang. Larangan yang terdapat dalam Pasal 29 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1995 adalah larangan kepada perseroan terbatas untuk mengeluarkan saham dengan tujuan untuk dimiliki sendiri. Dan larangan kepemilikan saham tersebut juga berlaku bagi anak perusahaan terhadap saham yang dikeluarkan oleh induk perusahaan. Alasan larangan tersebut berpegang pada prinsip bahwa pengeluaran saham bertujuan untuk mengumpulkan modal, karenanya kewajiban penyetoran saham seharusnya dibebankan kepada pihak lain.10 Dan alasan mengapa anak perusahaan dilarang memiliki saham yang dikeluarkan oleh induk perusahaan adalah karena anak dan induk perusahaan dianggap merupakan satu kesatuan bisnis yang tidak dapat 8
Spin Off atau pemisahan adalah perbuatan hukum yang dilakukan oleh perseroan untuk memisahkan usaha yang mengakibatkan seluruh aktiva dan pasiva perseroan beralih karena hukum kepada 2 (dua) perseroan atau lebih atau sebagian aktiva dan pasiva perseroan beralih karena hukum kepada 1 (satu) perseroan atau lebih. Ketentuan Spin Off diatur dalam Pasal 135 Undang-undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas. 9 Penjelasan Pasal 36 ayat (1) Undang-undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas 10 Penjelasan Pasal 29 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas.
5
dipisahkan kepemilikan diantara mereka, baik oleh induk perusahaan maupun anak perusahaan.11 Kepemilikan silang cukup populer di Asia. Alasan kepopulerannya dapat dipahami jika dilihat dari sisi dunia bisnis yang bertujuan meraup keuntungan sehingga para pelaku usaha mengupayakan hal-hal yang kadang dilarang oleh undang-undang untuk memperoleh keuntungan. Menurut Johannes Ibrahim perusahaan adalah semacam organisasi didalam dunia bisnis, dan karena bergerak dalam lingkup dunia bisnis yang harus diperhatikan untuk meningkatkan efisiensi dan produktivitas perusahaan adalah bagaimana langkah-langkah suatu perusahaan dalam berintegrasi, baik vertikal atau horizontal. Tujuannya adalah bagaimana memberi manfaat bagi perusahaan-perusahaan untuk menata bisnisnya, struktur organisasinya, visi dan misi perusahaandalam menciptakan efisiensi dan berkompetisi dengan para pesaingnya. 12 Karenanya kepemilikan silang dilakukan sebagai salah satu bentuk dari upaya perusahaan dalam berintegrasi untuk meningkatkan efisiensi dan produktivitas perusahaan sendiri dan untuk meningkatkan daya saing terhadap perusahaan lainnya. Didalam kepemilikan silang 2 (dua) atau lebih perusahaan yang berintegrasi akan berada dibawah satu kepemilikan yang sama. Karenanya walaupun terdapat beberapa perusahaan, namun kebijakan yang dijalankan sebenarnya adalah kebijakan satu perusahaan saja. Dan struktur seperti ini menyebabkan perubahan daya saing perusahaan dimana perusahaan yang melakukan kepemilikan silang akan menjadi lebih kuat, karena berkurangnya perusahaan pesaing dalam pasar. Contoh perusahaan yang melakukan kepemilikan silang adalah : kelompok usaha Temasek yang melakukan kepemilikan silang pada Telkomsel (35%) dan 11
“Anak perusahaan” adalah perseroan yang mempunyai hubungan khusus dengan perseroanlain yang terjadi karena : a. Lebih dari 50% (lima puluh persen) sahamnya dimiliki oleh induk perusahaannya; b. Lebih dari 50% (lima puluh persen) suara dalam RUPS dikuasai oleh induk perusahaannya; dan atau c. Kontrol atas jalannya perseroan, pengangkatan, dan pemberhentian direksi dan komisaris sangat dipengaruhi oleh induk perusahaannya 12 Johannes Ibrahim, Hukum Organisasi Perusahaan Pola Kemitraan dan Badan Hukum, (Bandung : Refika Aditama, 2006), h.2.
6
Indosat (41,9%). Charoen Pokphand Group (CP) yang ada di Thailand, CP memiliki secara langsung 33% saham CP Feedmill (agribisnis dan real estate, perusahaan ritel, pabrik, dan telekomunikasi), 2% saham CP Northeastern (agribisnis), dan 9% saham Bangkok Agro-Industrial (agribisnis). Selanjutnya CP Feedmill memiliki 57% saham Northeastern. CP Feedmill juga memiliki 60% saham Bangkok Agro-Industrial, dan CP Northeastern memiliki 3% saham Bangkok Agro-Industrial. Bangkok AgroIndustrial memiliki 5% saham CP Feedmill. Saham-saham CP Feedmill, CP Northeastern, dan Bangkok Agro-Industrial tercatat di Bangkok Stock Exchange. Contoh lainnya adalah Lippo Group. Lippo mengendalikan konglomerasi di bidang keuangan yang terdiri dari tiga perusahaan utama yang saling berhubungan dengan struktur kepemilikan silang, yaitu: Bank Lippo, Lippo Life, dan Lippo Securities. Meskipun keluarga Mochtar Riady telah mendivestasikan hampir seluruh sahamnya di Bank Lippo dan Lippo Life pada tahun 1996, mereka tetap terus mengendalikan perusahaan-perusahaan tersebut melalui saham minoritas di Lippo Securities, yang memegang 27% saham Lippo Life. Lippo Life selanjutnya memegang 40% saham Lippo Bank. Selanjutnya, TELKOM dan INDOSAT dalam menyelenggarakan jasa telekomunikasi memiliki kepemilikan silang saham dibeberapa perusahaan, yaitu : 1. PT. Telekomunikasi Selular (Telkomsel), sahamnya dimiliki oleh TELKOM (42,72%), INDOSAT (35%), KPN (17,28%) dan Setdco (5%). 2. PT. Satelit Palapa Indonesia (Satelindo), sahamnya dimiliki oleh TELKOM (22,50%), INDOSAT (7.5%), DeTe Asia (25%) dan Bimagraha (45%). 3. PT. Aplikasi Nusantara (Lintasarta), sahamnya dimiliki oleh TELKOM (37,66%), INDOSAT (32,64%) dan Lain-lain (29,70%).13 Dengan adanya kepemilikan silang (cross holding) itu sendiri dilihat dari segi permodalan, khusus dalam konteks pengeluaran saham baru, maka jelas tidak ada setoran modal secara riil yang masuk kedalam perseroan dan dari sisi manajemen, kepemilikan silang cenderung menyebabkan terjadinya percampuran antara pemilikan dan pengurusan perseroan yang satu dengan yang lain, sehingga dalam hal ini 13
Ibid., Admin, 2008, Kepemilikan Silang ( Cross Ownership / Cross Holding ) , (online), (http://pihilawyers.com), diakses terakhir tanggal 15 Januari 2009.
7
manajemen menjadi tidak lagi independen satu terhadap lainnya. 14 Disamping itu kepemilikan silang adalah bentuk persaingan usaha yang tidak sehat dan cenderung merugikan banyak pihak, baik pelaku usaha pesaing, konsumen dan negara sendiri. Oleh karena itu UUPT sebagai salah satu elemen utama dari regulasi di bidang ekonomi di amandemen untuk mengadopsi berbagai perkembangan yang muncul di dalam dunia bisnis internasional yang juga merupakan salah satu alasan utama diundangkannya Undang-undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas yang menggantikan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas. Dalam perkembangan usaha yang begitu pesat, pemerintah memiliki peranan yang besar dalam membuat regulasi yang bertujuan mengatur pihak masyarakat dalam melakukan kegiatan usahanya dalam skala nasional maupun internasional. Menurut Leonard J.Theberge dalam tulisannya “Law and Economic Development”, bahwa faktor utama untuk dapat berperannya hukum dalam pembangunan ekonomi adalah apakah hukum mampu menciptakan “Stability”, “Predictability”, dan “Fairnes”.15 Yang merupakan fungsi stabilitas (stability) adalah potensi hukum untuk menyeimbangkan dan mengakomodasi kepentingan-kepentingan yang saling bersaing. Kebutuhan fungsi hukum untuk meramalkan (predictability) akibat dari suatu langkah-langkah yang diambil khususnya bagi negeri yang sebagian besar rakyatnya untuk pertama kali memasuki hubungan-hubungan ekonomi melampaui lingkungan sosial tradisional. Aspek keadilan (fairness), seperti perlakuan yang samadan standar pola tingkah laku pemerintah adalah perlu untuk menjaga mekanisme pasar dan mencegah birokrasi yang berlebihan.16 Berkaitan dengan apa yang dikemukakan diatas, dapat dikatakan bahwa 14
Gunawan Widjaja, I, Hak Individu & Kolektif Para Pemegang Saham, (Jakarta: Forum Sahabat, 2008), h.50. 15 Hermansyah, Pokok-Pokok Hukum Persaingan Usaha di Indonesia, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2008), h.5. 16 Ibid
8
peranan hukum dalam pembangunan ekonomi itu adalah untuk melindungi, mengatur dan merencanakan kehidupan ekonomi, sehingga dinamika kegiatan ekonomi itu dapat diarahkan kepada kemajuan dan kesejahteraan bagi seluruh rakyat.17
B. Perumusan Masalah Berdasarkan penjelasan dalam latar belakang permasalahan tersebut diatas maka timbul pertanyaan-pertanyaan sebagai berikut : 1. Bagaimana pengaturan tentang kepemilikan silang saham dalam perseroan terbatas menurut Undang-undang Nomor 40 Tahun 2007? 2. Bagaimana proses terjadinya kepemilikan silang saham? 3. Bagaimana dampak kepemilikan silang dalam perseroan terbatas terhadap kegiatan usaha? C. Tujuan Penelitian Berdasarkan permasalahan yang telah dikemukakan diatas maka tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian ini adalah : 1. Untuk mengetahui bagaimana pengaturan tentang kepemilikan silang saham dalam perseroan terbatas menurut Undang-undang Nomor 40 Tahun 2007. 2. Untuk mengetahui bagaimana proses terjadinya kepemilikan silang saham. 3. Untuk mengetahui dampak kepemilikan silang dalam perseroan terbatas terhadap kegiatan usaha.
D. Manfaat Penelitian Adapun manfaat yang didapat dari hasil penelitian ini adalah sebagai berikut 1. Secara Teoritis hasil penelitian ini merupakan sumbangan bagi perkembangan ilmu pengetahuan hukum bidang keperdataan khususnya bidang hukum perusahaan serta menambah khasanah kepustakaan. 17
Ibid
9
2. Secara praktis bahwa penelitian ini adalah sebagai sumbangan pemikiran Bagi ilmu pengetahuan hukum mengenai kepemilikan silang (cross holding) bagi para praktisi hukum maupun akademisi.
E. Keaslian Penelitian Berdasarkan penelitian dan penelusuran yang telah dilakukan, baik terhadap hasil-hasil penelitian yang sudah ada maupun yang sedang dilakukan khususnya pada Sekolah Pascasarjana, Universitas Gajah Mada belum ada penelitian dengan judul “Kajian Hukum Tentang Kepemilikan Silang Saham Menurut Undang-undang Perseroan Terbatas Nomor 40 Tahun 2007”. Akan tetapi terdapat satu penelitian tesis yang dilakukan oleh Anton Deven Varma, mahasiswa program Magister Ilmu Hukum Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara pada tahun 2006 dengan judul penelitian “ Transaksi Cross Ownership antara
PT.
Indonesia
Sattelite
Corporation, Tbk dengan PT.
Telekomunikasi Indonesia, Tbk.” Dalam penelitian tersebut permasalahan yang diajukan adalah : 1. Apakah yang menjadi latar belakang Transaksi Kepemilikan Silang (cross ownership) yang dilakukan antara TELKOM dan INDOSAT? 2. Bagaimanakah cara penyelesaian Transaksi Kepemilikan Silang (cross ownership) antara TELKOM dan INDOSAT? 3. Bagaimanakah pelaksanaan penyelesaian Transaksi Kepemilikan Silang (cross ownership) antara TELKOM dan INDOSAT? Dilihat dari titik permasalahan dari masing-masing penelitian diatas terdapat perbedaan permasalahan yang akan dibahas dalam penelitian ini. Dengan demikian penelitian ini adalah asli baik dari segi substansi maupun dari segi permasalahan sehingga dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah.
10
F. Kerangka Teori dan Konsepsi 1. Kerangka Teori Dalam setiap penelitian harus disertai dengan pemikiran-pemikiran teoritis, oleh karena adanya hubungan timbal balik yang erat antara teori dengan kegiatanpengumpulan, pengolahan, analisa dan konstruksi data.18 Fungsi teori dalam penelitian tesis ini adalah untuk memberikan arahan/petunjuk dan meramalkan serta menjelaskan gejala yang diamati.19 Karena penelitian ini merupakan penelitian hukum normatif, kerangka teori diarahkan secara khas ilmu hukum. Maksudnya, penelitian ini berusaha memahami aspek-aspek hukum dari kepemilikan silang saham dalam perseroan terbatas secara yuridis. Maka teori yang dipergunakan sebagai pisau analisis dalam penelitian ini adalah : a. The Rule of Law Hukum lahir dari kekuasaan pemerintah. Karena itu politik merupakan conditio sine qua non dari lahirnya hukum. Hukum berasal dari negara. Pemerintah mengatur kehidupan masyarakat melalui politiknya. Karena itu pemerintah melalui politiknya menjadi sumber hukum. Dalam menyelenggarakan politik hukum, pemerintah negara tidak bertolak dari norma-norma keadilan yang abstrak melainkan dari kepentingan-kepentingan yang ada hubungannya dengan situasi konkret masyarakat yang bersangkutan. Max Weber mengatakan bahwa pertumbuhan sistem hukum modern tidak dapat dilepaskan dari kemunculan industrilisasi dan kapitalis. 20 Sistem hukum modern yang kita lihat sekarang ini adalah tuntutan industrialisasi yang kapitalis. Artinya, hukum itu mengabdi dan melayani masyarakat industri-kapitalis dan system hukum harus dapat memberikan alasan rasional dan prediktabilitas dalam kehidupan ekonomi. 18
Soejono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta:UI-Press, 1986), h.122. Bandingkan Snelbecker dalam Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif,(Bandung: Remaja Rosdakarya, 1993), h.35. 20 Bandingkan David Trubek dalam O.C Kaligis, Ontologi Tulisan Ilmu Hukum, Jilid 2, (Bandung: Alumni, 2007), h.22. 19
11
Hukum modern adalah hukum yang sengaja dibuat oleh manusia untuk kepentingan-kepentingan tertentu (purposeful). Konstruksi tersebut meliputi juga pengadaan doktrin, asas dan sebagainya. Konstruksi hukum yang dipakai dalam konsep Rule of Law dalam tesis ini adalah konstruksi hukum menurut aliran mixed economy yang menekankan pada studi norma preskriptif mengenai hubungan antara hukum dan ekonomi dengan tujuan akhir Welfare Economy yang menekankan usaha lebih luas untuk mencapai/meningkatkan kesejahteraan ekonomi masyarakat secara maksimum.21 Karenanya diperlukan regulasi dua sasaran. Pertama : perumusan kaidah hukum demi tercapainya kesejahteraan sosial ekonomi masyarakat dan menjamin kinerja individu dalam perekonomian secara seimbang. Kedua : desentralisasi otoritas (administrative agencies) dan instansi pengatur (regulatory agencies).22 Institusi tersebut diberi wewenang terbatas dan peraturan perundangundangan untuk melakukan intervensi seperlunya terhadap praktik bisnis terutama yang merugikan masyarakat secara keseluruhan. Wewenang tersebut antara lain dengan diberikan hak kepada pemerintah untuk melakukan investigasi, memberikan petunjuk pelaksanaan, membuat pengaturan pelaksana yang sesuai dengan kebutuhan dunia bisnis dan bila perlu mengambil tindakan represif dengan menjatuhkan sanksi dalam batas-batas tertentu.23 Dengan demikian UUPT adalah hukum yang lahir dari politik pemerintah, sebagaimana setiap produk hukum merupakan produk keputusan politik24, yang jika dikaitkan dengan masa modern sekarang ini maka hukum yang diciptakan merupakan tuntutan dari industrialisasi dan kapitalis yang bertujuan meningkatkan pertumbuhan ekonomi yang berujung pada kesejahteraan sosial masyarakat. Karenanya segala peraturan dan produk hukum yang dinilai tidak dapat mewujudkan stabilitas politik,
21
Nindiyo Pramono, Bunga Rampai Hukum Bisnis Aktual, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2006) h.6 Ibid., h.7. 23 Ibid 24 Moh. Mahfud MD., Membangun Politik Hukum, Menegakkan Konstitusi, (Jakarta: Pustaka LP3ES Indonesia, 2006), h.65. 22
12
pertumbuhan ekonomi diubah dan dihapuskan.25 Sehubungan dengan hukum yang diciptakan tersebut terdapat pula otoritas pihak tertentu yang diberi wewenang sebagai pengawasnya oleh peraturan perundang-undangan. Karenanya terhadap UUPT yang diciptakan oleh pemerintah tersebut dalam hal pelaksanaannya UUPT harus memperhatikan rambu-rambu hukum lain dan mematuhinya. Peraturan yang menjadi rambu-rambu tersebut adalah Undang-undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat yang dalam hal ini instansi yang merupakan perpanjangan otoritas pemerintah adalah Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU). Dan Undang-undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal apabila perseroan terbatas menjadi perseroan terbuka dan dalam melaksanakan kegiatannya dibidang pasar modal tersebut selanjutnya diawasi oleh Bapepam-LK. b. Dokrin Piercing The Corporate Veil26 Perusahaan adalah kesatuan hukum (legal entity) yang berbeda dan terpisah dari pemegang saham perseroan. Sebagai suatu kesatuan hukum (legal entity) yang terpisah dari pemegang sahamnya, perseroan dalam melakukan fungsi hukumnya bukan bertindak sebagai kuasa dari pemegang saham tetapi bertindak untuk dan atas nama dirinya sendiri. Ciri utama suatu badan hukum adalah adanya pemisahan antara harta kekayaan badan hukum dan pribadi pemegang sahamnya. Dengan demikian, para pemegang saham tidak bertanggung jawab secara pribadi atas perikatan yang dibuat atas nama badan hukum dan juga tidak bertanggung jawab atas kerugian badan hukum melebihi nilai saham yang telah dimasukkannya. Akan tetapi dalam hal-hal tertentu tidak tertutup kemungkinan hapusnya tanggung jawab terbatas tersebut apabila terbukti terjadi hal-hal sebagai berikut: 1. Persyaratan perseroan sebagai badan hukum belum atau tidak terpenuhi;
25
Todung Mulya Lubis, ”Perkembangan Hukum Dalam Perspektif Hak Azasi manusia”,makalah untuk Raker Peradilan November 1983 sebagaimana dikutip dalam Moh. Mahfud MD., Op.Cit., h.66. 26 Munir Fuady, II, Hukum Perusahaan Dalam Paradigma Hukum Bisnis, (Bandung: PT.Citra Aditya Bakti, 2002), h.61.
13
2. Pemegang saham yang bersangkutan baik langsung maupun tidak langsung dengan itikad buruk memanfaatkan perseroan semata-mata untuk kepentingan pribadi; 3. Pemegang saham yang bersangkutan terlibat dalam perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh perseroan; atau 4. Pemegang saham yang bersangkutan baik langsung maupun tidak langsung secara
melawan
hukum
menggunakan
kekayaan
perseroan
yang
mengakibatkan kekayaan perseroan menjadi tidak cukup untuk melunasi utang perseroan.27 Prinsip penerapan terbatas tanggung jawab dari pemegang saham dikenal dengan prinsip piercing the corporate veil. Prinsip ini dalam bahasa Indonesia diartikan“menyikap tabir atau cadar perseroan”28. Tabir atau cadar yang disingkap yang dimaksud adalah diterobosnya pertanggungjawaban terbatas dari pemegang saham seperti yang telah ditetapkan dalam Pasal 3 ayat (1) UUPT. Dalam Black’s Law Dictionary, doktrin piercing the corporate veil dijelaskan sebagai berikut : Piercing corporate veil. Judicial process whereby court will disregard usual immunity of corporate officers from liability for corporate liabilities; e.g. when incorporation was for sole purpose of perpetrating fraud. The doctrine which holds that the corporate structure with its attended limited liability of stockholders, officers and directors in the case of fraud. The court, however, may look beyond the corporate from only for the defeat of fraud or wrong or the remedying of injustice. Menyingkap tabir perseroan. Proses hukum yang dilaksanakan pengadilan biasanya dengan mengabaikan kekebalan umum pejabat perusahaan atau pihak tertentu perusahaan dari tanggung jawab aktivitas perusahaan, misalnya ketika dalam perusahaan dengan sengaja melakukan kejahatan. Doktrin yang ada berpendapat bahwa struktur perusahaan dengan adanya tanggung jawab terbatas pemegang saham dapat mengabaikan tanggung jawab pemegang saham, pejabat perusahaan dan 27
28
Pasal 3 ayat (2) Undang-undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas.
Ningrum N. Sirait, Modul Hukum Perusahaan, (Medan: Program Studi Magister Ilmu Hukum USU, 2006) h.68.
14
direktur perusahaan. Pengadilan dalam masalah tersebut akan memandang perusahaan hanya dari sisi kegagalan pembelaan atas tindak kejahatan atau kesalahan atau pemberian sanksi hukuman.29” Secara harfiah istilah piercing the corporate veil diartikan “mengoyak menyingkapi
tirai/kerudung
perusahaan”.30
Sedangkan
dalam
ilmu
hukum
perusahaan, istilah piercing the corporate veil merupakan suatu doktrin atau teori yang diartikan sebagai suatu proses untuk membebani tanggung jawab ke pundak orang atau perusahaan lain, atas perbuatan hukum yang dilakukan oleh suatu perusahaan pelaku (badan hukum), tanpa melihat kepada fakta bahwa perbuatan tersebut sebenarnya dilakukan oleh perusahaan pelaku tersebut.31 Dengan keberadaan doktrin ini penegak hukum akan mengabaikan status badan hukum dari perusahaan, dan membebankan tanggung jawab kepada pihak “organizers” dan “managers” dari perseroan dengan mengabaikan prinsip tanggung jawab terbatas dari perseroan sebagai badan hukum yang kerap dinikmati oleh mereka. Dalam melakukan hal tersebut biasanya dikatakan bahwa pengadilan telah mengoyak/menyingkapi tirai/kerudung perusahaan (to pierce the corporate veil). “Biasanya teori piercing the corporate veil ini muncul dan diterapkan ketika ada kerugian atau tuntutan hukum dari pihak ketiga terhadap perseroan tersebut”.32 Doktrin piercing the corporate veil ini bertujuan untuk menghindari hal-hal yang tidak adil terutama bagi pihak luar perseroan dari tindakan sewenang-wenang atau tidak layak yang dilakukan atas nama perseroan, baik yang terbit dari suatu transaksi dengan pihak ketiga maupun yang timbul dari perbuatan menyesatkan atau perbuatan melawan hukum.
29
Henry Campbell Black, “Black’s Law Dictionary”, Sixth Edition, St Paul, Minn WestPublising Co., (1990), h.1033., lihat juga Ningrum N. Sirait, Ibid., lihat juga Chatamarrasjid Ais, Penerobosan Cadar Perseroan dan Soal-soal Aktual Hukum Perusahaan, (Bandung: PT.Citra Aditya Bakti, 2004), h. 8., lihat juga Tri Widiyono, Direksi Perseroan Terbatas (Bank dan Perseroan) Keberadaan, Tugas, Wewenang dan Tanggung Jawab, Berdasarkan Doktrin Hukum dan UUPT, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 2005), h.31. 30 Munir Fuady, II, Op.Cit., h.8. 31 Ibid 32 Ibid
15
Beberapa contoh fakta yang secara universal teori piercing the corporate veil ini dapat diterapkan antara lain sebagai berikut: 1. Permodalan yang tidak layak (terlalu kecil); 2. Penggunaan dana perusahaan secara pribadi; 3. Ketidakadaan formalitas eksistensi perseroan; 4. Terdapatnya elemen-elemen penipuan dengan cara menyalahgunakan badan hukum perseroan; 5. Terjadi transfer modal/aset kepada pemegang saham; 6. Keputusan diambil tanpa memenuhi formalitas tertentu. Misalnya, tidak dilakukannya RUPS untuk kegiatan yang memerlukan RUPS; 7. Sangat dominannya pemegang saham dalam kegiatan perseroan; 8. Tidak diikutinya ketentuan perundang-undangan mengenai kelayakan permodalan dan asuransi; 9. Tidak dipenuhinya formalitas tentang pembukuan dan record keeping. Misalnya terjadi pencampuradukan antara dana milik perseroan dengan dana milik pribadi pemegang saham; 10. Pemilahan badan hukum. Misalnya, untuk menghindari tanggung jawab yang lebih besar karena kemungkinan gugatan dari pihak korban kebakaran, pengusaha taxi membuat perusahaan sendiri-sendiri yang terpisah-pisah untuk setiap taxi yang dimilikinya; 11. Misrepresentasi. Misalnya, dibuat kesan kepada kreditor bahwa seolah-olah perusahaan memiliki permodalan yang besar dengan aset yang banyak, mengingat pemegang sahamnya memang memiliki aset yang besar; 12. Perusahaan holding dalam kelompok usaha lebih besar, kecenderungannya untuk dimintakan tanggung jawab hukum atas kegiatan anak perusahaannya ketimbang pemegang saham individu dari perusahaan tunggal; 13. Perseroan tersebut hanya sebagai alter ego (kadang-kadang disebut sebagai instrumentally, dummy atau agent) dari pemegang saham yang bersangkutan. 14. Piercing the corporate veil diterapkan untuk alasan ketertiban umum (openbare orde). Misalnya menggunakan perusahaan untuk melaksanakan hal-
16
hal yang tidak pantas (improper conduct); 15. Piercing the corporate veil diterapkan dalam kasus-kasus kuasi kriminal (quasi criminal). Misalnya jika perusahaan dipergunakan sebagai sarana untuk menjual minuman keras atau untuk perjudian/lotre.33
Kriteria dasar dan universal agar suatu piercing the corporate veil secara hukum dapat dijatuhkan adalah sebagai berikut: 1. Terjadinya penipuan; 2. Didapatkan suatu ketidakadilan; 3. Terjadinya suatu penindasan (oppression); 4. Tidak memenuhi unsur hukum (illegality); 5. Dominasi pemegang saham yang berlebihan; 6. Perusahaan merupakan alter ego dari pemegang saham mayoritasnya. 34
Di negara-negara Common Law, terutama di Inggris dan Amerika Serikat, banyak pengadilan yang menerapkan teori Piercing the Corporate Veil untuk perusahaan dalam kelompok usaha dengan memberlakukan prinsip hubungan “agency” di antara perusahaan-perusahaan dalam 1 (satu) kelompok usaha. Demikian juga sering kali (tetapi tidak selamanya) suatu perusahaan dianggap sebagai “agen” perusahaan holding-nya.35 Kasus Smith, Stone & Knight v. Birmingham yang diputuskan dalam tahun 1939 di Inggris, memberikan beberapa kriteria yuridis agar secara hukum dapat dianggap bahwa anak perusahaan merupakan agen dari perusahaan holding, sehingga teori piercing the corporate veil dapat diterapkan kepada perusahaan holding. Kriteria-kriteria tersebut adalah : a. Apakah keuntungan diberlakukan sebagai keuntungan dari perusahaan holding;
33
Ibid., h.9-10. Ibid. 35 Munir Fuady, I, Op.Cit., h.16. 34
17
b. Apakah proses pelaksanaan dikendalikan oleh perusahaan holding; c. Apakah perusahaan holding merupakan ”kepala dan otak” (head and brain) dari bisnis anak perusahaan; d. Apakah perusahaan holding mengatur ”the adventure”; e. Apakah keuntungan dibuat dengan keahlian dan pengarahan dari perusahaan holding; f. Apakah perusahaan holding selalu mengontrol dan mempengaruhi anak perusahaan.36 c. Perusahaan Kelompok Perusahaan kelompok dikenal dengan berbagai macam istilah, ada yang menyebutnya holding company/ parent company/ controlling company atau dikenal pula dengan istilah concern/group company. Perusahaan kelompok adalah perusahaan yang bertujuan untuk memiliki saham satu atau lebih perusahaan lain dan/atau mengatur satu atau lebih perusahaan lain tersebut.37 Yang lain menyebutnya sebagai satuan ekonomi dimana badan-badan hukum / perseroan secara organisasi terikat sedemikian rupa sehingga mereka berada dibawah satu pimpinan. 3838 Didalam kedua pengertian tersebut diatas pada prinsipnya memiliki poin yang sama dalam aspek ekonomi, dimana adanya perusahaan sentral yang memimpin anak-anak perusahaan. Perusahaan sentral tersebut disebut juga dengan induk perusahaan (parent company/controlling company) yang kegiatan utamanya adalah melaksanakan investasi pada anak-anak perusahaan dan selanjutnya mengontrol dan mengawasi kegiatan manajemen anak perusahaan (daughter company) dan juga mengawasi kegiatan antar anak perusahaan (sister company). Sebagai suatu perusahaan, perusahaan kelompok dapat merupakan perusahaan dengan berbagai macam bentuk persekutuan perdata, firma, persekutuan komanditer 36
Ibid Munir Fuady, II, Op.Cit., h.83-84. 38 Ningrum N. Sirait, Op.Cit., h.30. 37
18
sampai dengan perseroan terbatas. Bentuk-bentuk tersebut bukanlah suatu keharusan, namun dalam praktek bisnis sehari-hari ditemukan bahwa perusahaan kelompok selalu dibentuk dalam suatu perseroan terbatas. Dengan status hukum perseroan terbatas maka perusahaan kelompok di Indonesia tunduk kepada UUPT. Istilah
perusahaan
kelompok
biasanya
terdengar
dalam
kegiatan
restrukturisasi perusahaan, baik itu melalui penggabungan (merger), peleburan (konsolidasi), pengambilalihan (akuisisi) dan pemisahan (spin off). Walaupun demikian tidak tertutup kemungkinan perusahaan kelompok terbentuk karena adanya perjanjian seperti joint venture.39 Didalam perusahaan kelompok, hubungan antara induk dan anak perusahaan terjadi karena berbagai sebab antara lain karena penguasaan saham, karena perjanjian dan dapat juga terjadi karena fakta unipersonal/personnya dimana anggota direksi perusahaan anak adalah juga anggota direksi pada perusahaan induk, sehingga kebijakan dalam menjalankan perseroan ada pada perusahaan induk.40 Beberapa ketentuan UUPT yang seharusnya diperhatikan baik oleh induk dan anak perusahaan : 1. Ketentuan mengenai batas-batas kewenangan dan tanggung jawab direksi, komisaris dan pemegang saham; 2. Ketentuan mengenai merger, konsolidasi, akuisisi dan spin off; 3. Ketentuan mengenai kepemilikan saham; 4. Ketentuan mengenai treasury stock;41 5. Ketentuan mengenai penjaminan saham dan jual beli saham.42
39
Perusahaan Joint Venture terbentuk ketika dua pihak atau lebih, baik secara pribadi maupun perusahaan bermaksud menjadi patner satu sama lainnya untuk suatu kegiatan dan mengatur secara bersama suatu perusahaan baru yang saham-sahamnya dimiliki secara bersama pula. Lihat Erman Rajagukguk, Hukum Tentang Investasi Swasta dan Pembangunan, (Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 1992), h.357. 40 Ningrum N. Sirait, Op.Cit., h.32. 41 Treasury stock adalah saham-saham yang dibeli kembali oleh perusahaan. Mengenai pengaturan dan tata cara pelaksanaannya di Indonesia tunduk pada ketentuan yang diatur dalam Pasal 37 sampai dengan Pasal 40 Undang-undang Nomor 40 Tahun 2007. 42 Ahmad Yani & Gunawan Widjaja, Op.Cit., h.154.
19
d. Prinsip Good Corporate Governance Konsep Good Corporate Governance (GCG) mulai banyak di perbincangkan di Indonesia pada pertengahan tahun 1997, saat krisis ekonomi melanda Asia Tenggara termasuk Indonesia. Dampak dari krisis tersebut, banyak perusahaan berjatuhan karena tidak mampu bertahan, salah satu penyebabnya adalah karena pertumbuhan yang dicapai selama ini tidak dibangun di atas landasan yang kokoh sesuai prinsip pengelolaan perusahaan yang sehat. Akibat dari kondisi yang demikian, pemerintah melalui Kementerian Negara Badan Usaha Milik Negara (BUMN) mulai memperkenalkan konsep GCG di lingkungan BUMN, sebagai salah satu upaya untuk memperbaiki kinerja BUMN yang memiliki nilai aset yang demikian besar untuk mendukung pencapaian penerimaan/pendapatan negara, sekaligus menghapuskan berbagai bentuk praktek inefisiensi, korupsi, kolusi, nepotisme dan penyimpangan lainnya untuk memperkuat daya saing BUMN menghadapi pasar global.43 Dalam Keputusan Menteri BUMN Nomor : Kep-117/M-Mbu/2002 tentang Penerapan Praktek GCG pada BUMN dijelaskan bahwa corporate governance adalah suatu proses dan struktur yang digunakan oleh organ BUMN untuk meningkatkan keberhasilan usaha dan akuntabilitas perusahaan guna mewujudkan nilai pemegang saham dalam jangka panjang dengan tetap memperhatikan kepentingan stakeholders lainnya, berlandaskan peraturan perundangan dan nilai-nilai etika.44 Jadi GCG dapat diartikan sebagai suatu proses dan struktur yang digunakan untuk meningkatkan keberhasilan usaha, dan akuntabilitas perusahaan yang bertujuan untuk meningkatkan nilai perusahaan dalam jangka panjang dengan memperhatikan kepentingan stakeholders serta berlandaskan peraturan perundang-undangan, moral dan nilai etika. Penerapan GCG itu sendiri dalam perseroan terbatas telah diperkuat dengan kepastian hukum, dengan lahirnya Keputusan Menteri Negara/Kepala Badan 43 44
http://www.pusri.co.id/gcg/latar.php.diakses terakhir tanggal 07 April 2009. Ibid.
20
Penanaman Modal dan Pembinaan Badan Usaha Milik Negara No.Kep23/PMPBUMN/2000 tanggal 31 Mei 2000 tentang Pengembangan Praktek Good Corporate Governance (GCG) dalam Perusahaan Perseroan.45 Pengertian GCG menurut beberapa ahli antara lain : Menurut Ernst and Young : Corporate governance terdiri atas sekumpulan mekanisme yang saling berkaitan yang terdiri atas pemegang saham institusional, dewan direksi dan komisaris, para manajer yang dibayar berdasarkan kinerjanya, pasar sebagai pengendali perseroan, struktur kepemilikan, struktur keuangan, investor terkait, persaingan produk.46 Menurut Hessel Nogi S. Tangkilisan : Corporate governance adalah sistem yang mengatur, mengelola, dan mengawasi proses pengendalian usaha menaikan nilai saham, sekaligus sebagai bentuk perhatian kepada stakeholders, karyawan, kreditor, dan masyarakat sekitar. Good Corporate Governance berusaha menjaga keseimbangan di antara pencapaian tujuan ekonomi dan tujuan masyarakat.47 Berdasarkan pengertian diatas, corporate governance berarti seperangkat aturan yang dijadikan acuan manajemen perusahaan dalam mengelola perusahaan secara baik, benar, dan penuh integritas, serta membina hubungan dengan para stakeholders, guna mewujudkan visi, misi, tujuan, dan sasaran perusahaan yang telah ditetapkan, baik dalam jangka pendek maupun panjang. Pemahaman terhadap prinsip-prinsip dasar yang terkandung dalam GCG merupakan esensi yang mendasar. Melalui pemahaman dan penerapan prinsip-prinsip dasar tersebut diharapkan GCG dapat tercapai, baik oleh pemerintah selaku pembuat kebijakan maupun oleh para pelaku usaha sebagai pihak yang melaksanakan 45
Ibid. Hessel Nogi S. Tangkilisan, Mengelola Kredit Berbasis Good Corporate Governance, (Yogyakarta: Balairung, 2003), h. 12. 47 Ibid., h.12-13. 46
21
kebijakan tersebut. Secara umum, prinsip-prinsip dasar dalam GCG adalah : 1. Akuntabilitas (accountability), yaitu kejelasan pembagian tugas, wewenang dan tanggung jawab masing-masing organ-organ perusahaan yang diangkat setelah melalui fit and proper test, sehingga pengelolaan perusahaan dapat dilaksanakan secara efektif dan efisien; 2. Kemandirian (independency), yaitu suatu keadaan, perusahaan dikelola secaraprofesional tanpa benturan kepentingan dan pengaruh atau tekanan dari pihakmanapun, terutama pemegang saham mayoritas, yang bertentangan denganperaturan perundang-undangan yang berlaku dan prinsip-prinsip korporasiyang sehat; 3. Transparansi
(transparancy),
yaitu
keterbukaan
terhadap
proses
pengambilankeputusan, dan penyampaian informasi mengenai segala aspek perusahaanterutama yang berkaitan dengan kepentingan stakeholders dan publik secarabenar dan tepat waktu; 4. Pertanggungjawaban
(responsibility),
yaitu
perwujudan
kewajiban
organperusahaan untuk melaporkan kesesuaian pengelolaan perusahaan denganperaturan perundang-undangan yang berlaku dan keberhasilan maupun kegagalannya dalam pencapaian visi, misi, tujuan dan sasaran perusahaan yang telah ditetapkan; dan 5. Kewajaran (fairness), yaitu keadilan dan kesetaraan didalam memenuhi hakhak stakeholders yang timbul berdasarkan perjanjian dan peraturan perundang-undangan yang berlaku.48 Prinsip-prinsip dasar tersebut dapat diwujudkan dalam bentuk konkrit antara lain dengan melakukan pemisahan tanggung jawab dan kewenangan yang disertai dengan
mekanisme
kerjasama
antara
organ-organ
perusahaan,
melakukan
pengawasan ketika organ-organ tersebut melaksanakan tugasnya untuk menghindari adanya benturan kepentingan atau tekanan, melakukan sistem pengendalian internal 48
Johannes Ibrahim, Op.Cit., h. 72.
22
dan eksternal yang kuat dan pengungkapan informasi material mengenai perusahaan melalui media yang dapat diakses dengan mudah oleh pihak-pihak yang berkepentingan, serta menetapkan visi, misi, tujuan dan strategi secara jelas sehingga kinerja perusahaan maupun kontribusi masing-masing individu dapat dinilai secara objektif.
Penerapan prinsip-prinsip GCG diharapkan dapat mencapai 4 (empat) situasi ideal, yakni :49 a. Existence of fair business : efficient market, efficient regulation and efficient contract; b. Information regrading the (fair) price and specification of goods and services being exchange is available to all parties; c. Each party is able wiling to comply to the rules and regulations, and term and condition in contract; d. Judicial processes exist and are able to emplement the rules and to execute punishment to the non compliant of the contract. Diterjemahkan secara bebas sebagai berikut : a. Keberadaan bisnis yang dikelola secara fair, mencakup efisiensi pasar, efisiensi regulasi dan efisiensi kontrak; b. Adanya informasi tentang harga dan spesifikasi dari barang dan jasa yang menjadi objek pertukaran para pihak; c. Kemauan dan kemampuan para pihak untuk mengikuti aturan dan regulasi, syarat-syarat dan kondisi dalam kontrak; dan d. Adanya proses peradilan, kepastian hukum dan pelaksanaan hukum bagi pihak yang tidak melaksanakan kontrak.
49
Pendapat Ainum Na’im seperti dikutip dalam makalah Hasnati, “Analisis Hukum Komite Audit dalam Organ Perseroan Terbatas Menuju Good Corporate Governance”, (Jakarta: Jurnal Hukum Bisnis, Volume 22, Nomor 6, 2003), h.20
23
2. Konsepsi Penelitian ini berjudul “ Kajian Hukum Tentang Kepemilikan Silang Saham Menurut Undang-undang Perseroan Terbatas Nomor 40 Tahun 2007”. Pengertian dari judul penelitian ini adalah sebagai berikut : a. Saham adalah bukti penyertaan pemegang saham dalam perseroan terbatas yang disertai hak-hak yang melekat pada saham dan juga merupakan bukti kepemilikan harta bersama melalui penyetoran penuh modal yang diambil bagian oleh para pemegang saham perseroan terbatas yang keberadaannya telah melalui mekanisme pendaftaran di Menteri Hukum dan HAM. 50 b. Kepemilikan Silang didalam perseroan terbatas yang dikenal dengan istilah cross holding adalah suatu keadaan dimana perseroan terbatas memiliki saham yang dikeluarkan oleh perseroan terbatas lain yang sahamnya secara langsung atau tidak langsung telah dimiliki oleh perseroan, demikian pula sebaliknya. Kepemilikan secara langsung adalah apabila perseroan A memiliki saham pada perseroan B secara langsung tanpa melalui pemilikan pada suatu perseroan antara dan sebaliknya perseroan B memiliki saham pada perseroan A. Sedangkan kepemilikan silang secara tidak langsung adalah kepemilikan saham perseroan A pada perseroan B melalui satu atau lebih perseroan antara dan sebaliknya perseroan B memiliki saham pada perseroan A. 51 c. Kepemilikan Silang yang dikenal dengan istilah cross ownership adalah kepemilikan saham mayoritas pada beberapa perusahaan sejenis yang melakukan kegiatan usaha dalam bidang yang sama pada pasar bersangkutan yang sama, atau mendirikan beberapa perusahaan yang memiliki kegiatan usaha yang sama pada pasar bersangkutan yang sama, apabila kepemilikan tersebut mengakibatkan : 1. Satu pelaku usaha atau satu kelompok pelaku usaha menguasai lebih dari 50% (lima puluh persen) pangsa pasar satu barang atau jasa tertentu. 50
Gunawan Widjaja, I, Op.Cit., h.33 Lihat Penjelasan Pasal 36 ayat (1) Undang-undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas. 51
24
2. Dua atau tiga pelaku usaha atau kelompok pelaku usaha menguasai lebih dari 75% (tujuh puluh lima persen) pangsa pasar satu jenis barang atau jasa tertentu.52 d. Perseroan Terbatas adalah badan hukum yang merupakan persekutuan modal, didirikan berdasarkan perjanjian, melakukan kegiatan usaha dengan modal dasar yang seluruhnya terbagi dalam saham dan memenuhi persyaratan yang ditetapkan dalam undang-undang serta peraturan pelaksanaannya. e. Perusahaan Kelompok adalah perusahaan-perusahaan berbadan hukum yang secara organisasi terikat dalam satu pimpinan sentral yang kegiatan utamanya adalah melakukan investasi pada anak-anak perusahaan dan selanjutnya melakukan pengawasan atas kegiatan manajemen anak perusahaan. G. Metode Penelitian 1. Spesifikasi Penelitian Jenis penelitian yang dipergunakan adalah penelitian normatif, yaitu penelitian yang difokuskan untuk mengkaji penerapan kaidah-kaidah atau normanorma dalam hukum positif dengan sifat penelitian deskriptif analitis. Penelitian ini adalah penelitian normatif dengan pendekatan perundang-undangan (statute approach) yang melakukan pengkajian peraturan perundang-undangan dengan tema sentral penelitan. Dalam judul tesis “Kajian Hukum Tentang Kepemilikan Silang Saham Menurut Undang-undang Perseroan Terbatas Nomor 40 Tahun 2007”, penelitian hukum dipergunakan untuk mengkaji pengaturan tentang kepemilikan silang saham dalam perseroan terbatas dan mengkaji bagaimana proses terjadinya kepemilikan silang saham serta dampak dari kepemilikan silang tersebut.
52
Pasal 27 Undang-undang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat Nomor 5 Tahun 1999.
25
2. Bahan Penelitian Lazimnya didalam penelitian, dibedakan antara data yang diperoleh langsung dari masyarakat (data primer) dan dari bahan pustaka (data sekunder).53 Sehubungan dengan penelitian ini, maka data-data yang dipergunakan adalah berupa data sekunder yang terdiri dari bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tesier. a. Bahan hukum primer yaitu peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan penelitian ini. b. Bahan hukum sekunder yaitu bahan-bahan yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer, buku-buku, hasil-hasil penelitian, karya ilmiah, ulasan hukum, dan lainnya yang berkaitan dengan permasalahan. c. Bahan hukum tersier yaitu bahan-bahan yang memberi petunjuk atau penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder yaitu kamus (hukum), majalah, jurnal ilmiah, surat kabar. 3. Teknik Pengumpulan Data Pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan dengan studi kepustakaan (library research) yaitu menghimpun data dengan melakukan penelaahan bahan kepustakaan atau data sekunder yang meliputi bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tersier. 4. Alat Pengumpulan Data Dalam penelitian ini pengumpulan data akan dilakukan melalui studi dokumen dengan mengumpulkan data sekunder guna dipelajari kaitannya dengan permasalahan yang diajukan. Data ini diperoleh dengan mempelajari buku-buku, hasil penelitian, dan peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan objek telaahan penelitian ini.
53
Soerjono Soekanto, Op.Cit., h.12.
26
5. Analisis Data Analisis data terhadap data sekunder yang diperoleh dilakukan setelah diadakan terlebih dahulu pemeriksaan, pengelompokan, pengolahan dan dievaluasi, lalu dianalisis secara kualitatif dan kemudian diolah dengan menggunakan metode deduktif dan terakhir dilakukan pembahasan untuk menjawab permasalahan yang ada.