BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Perkembangan audiens televisi di Indonesia masih menjadi hal yang menarik untuk ditelaah karena meskipun TV adalah media konvensional (old media), tetapi sampai saat ini TV masih menjadi media massa yang dominan di Indonesia. Riset AC Nielsen (www.nielsen.com) yang di rilis pada 24 Mei 2014 tentang konsumsi media di Indonesia, menyatakan bahwa secara keseluruhan, baik di kota-kota di pulau Jawa maupun luar Jawa, televisi masih menjadi medium utama yang dikonsumsi masyarakat Indonesia yaitu sebesar 95%. Besarnya konsumsi televisi tampaknya juga terkait dengan logis televisi yang hadir untuk menyajikan hiburan sehingga mudah diterima oleh audiens. Seperti yang disampaikan oleh William Stepenson dalam The Play Theory Of Communication (dalam Nurudin 1997, 118-119), orang dominan menonton dan memanfaatkan televisi untuk tujuan menghibur diri. Budaya hiburan komersial memang masih mendominasi tayangan televisi dan kerap menyuguhkan tampilan sensasional, sensual, glamour dan spektakuler. Tak heran bila konten siaran televisi sering dianggap ringan namun kurang berkualitas (Tohari 2005, 51). Hal ini juga terlihat dalam siaran televisi Indonesia, di mana dari sekian banyak acara yang ada, acara hiburan yaitu sinetron masih menjadi program unggulan. Riset AC Nielsen pada tahun 2013 di 10 kota besar di Indonesia menyatakan program serial TV (atau sinetron) meraih porsi tertinggi ditonton 24% orang Indonesia (akarpadinews.com). Namun sebagai program unggulan, sinetron menghadapi persoalan klasik yaitu adanya kesenjangan antara kuantitas dengan kualitas (Tohari 2005, IX). Budayawan Darmanto Jatman berpendapat sinetron kebanyakan memiliki tujuan untuk menghibur semata, dengan motivasi mencari keuntungan, maka kerap kali mengabaikan kualitas isi (Tohari 2005, 53).
1
Sifat-sifat tayangan program televisi yang ringan dan cenderung berkualitas rendah namun tetap diminati penonton, menimbulkan dugaan bahwa tingkat kekritisan audiens televisi rendah. Posisi audiens televisi cenderung dipandang lemah, dan tidak berdaya menghadapi kinerja televisi (Abrar 2003, 68). Dalam konsep industrialisasi budaya yang disampaikan T.W Adorno dan Max Horkheimer (1979) televisi diibaratkan sebuah pabrik industri budaya yang mengendalikan konten komunikasi dan penonton adalah pihak pasif yang hanya menerima saja semua pesan yang disampaikan oleh televisi tanpa nilai tawar. Pandangan ini berkaitan erat dengan karakteristik televisi, sebagai sebuah media massa konvensional, di mana sistem penyiarannya yang bersifat satu arah. W. Russell Neuman (dalam Castells 2010, 359) menyatakan struktur sistem penyiaran TV sebagai media massa yang dominan di mana satu pesan disampaikan untuk banyak audiens mempersulit audiens secara personal memberikan feedback atau umpan balik terhadap acara-acara yang mereka tonton. Namun di abad 21 ini, perkembangan teknologi informasi dan kehadiran mediamedia baru seperti internet dan teknologi seluler telah memberikan perubahan pada sistem sosial masyarakat dunia, dari masyarakat massa yang berfokus pada mediamedia konvensional menjadi masyarakat jaringan yang aktif menggunakan mediamedia interaktif. Menurut Henry Jenkis, Provost’s Professor of Communication, Journalism, and Cinematics Art University of Southern California, era baru dalam bermedia ini disebut era konvergensi (Jenkins 2006, 3). Kehadiran era konvergensi tersebut,
tidak
serta
merta
mematikan
media-media
lama (konvensional).
Konvergensi telah memberikan kesempatan bagi media-media konvensional untuk berkolaborasi dengan media-media baru seperti yang disampaikan Jenkins berikut: Each old medium was forced to coexist with the emerging media. That's why convergence seems more plausible as a way of understanding the past several decades of media change than the old digital revolution paradigm had. Old media are not being displaced. Rather, their functions and status are shifted by the introduction of new technologies (Jenkins 2006, 14). Jenkins (2006) menggambarkan bahwa era konvergensi memberikan pengaruh dua arah baik bagi produsen media maupun bagi audiens. Bagi produsen, konvergensi
2
menuntut media-media lama untuk berkolaborasi demi memenuhi tuntutan penyebaran pesan yang lebih variatif. Sementara bagi audiens kehadiran era konvergensi telah memperluas jaringan sosial audiens. Di satu sisi, era konvergensi memberikan pilihan media yang lebih luas bagi audiens untuk mendapatkan dan memilih informasi. Di sisi yang lain kemajuan teknologi media baru memudahkan audiens untuk terhubung dengan banyak pihak, seperti produsen konten media maupun dengan sesama audiens. Melalui jaringan sosial yang lebih luas dan interaktif, audiens lebih mudah memberikan feedback, dan memutuskan konsumsi media. Artinya era konvergensi telah meningkatkan power audiens. Hal ini memperkuat wacana tentang audiens aktif, seperti yang disampaikan John Fiske dalam bukunya Understanding Popular Culture and Reading the Popular (1989) bahwa audiens bukanlah pihak yang sepenuhnya pasif namun dapat memberikan pandangan atau masukan bagi industri media. Henry Jenkins yang telah melakukan berbagai penelitian berkaitan dengan audiens di era konvergensi menggarisbawahi bahwa perubahan pola konsumsi media di era konvergensi mendorong perubahan pola interaksi audiens, tidak hanya aktif namun menjadi lebih interaktif seperti disampaikannya berikut: Audiences, empowered by these new technologies, occupying a space at the intersection between old and new media, are demanding the right to participate within the culture (Jenkins 2006, 24). Sebagai media konvensional, televisi pun tidak lepas dari pengaruh konvergensi media. Kehadiran media-media baru memperluas cara audiens mengkonsumsi TV. Sebagai contoh sejak awal tahun 2000 internet dan ponsel dapat digunakan sebagai media interaksi dengan program TV, misalnya siaran teleconference, voting pada acara televisi seperti Indonesia Idol, X-factor, dan lain-lain (Goggin 2013, 85). Hal ini juga mendukung perkembangan jaringan sosial audiens TV. Bila dahulu, proses konsumsi dan pembahasan seputar acara televisi merupakan konsumsi domestik dan lokal, dalam artian hanya melibatkan para penonton dalam lingkungan keluarga atau jaringan pertetanggaan (Morley, 1991; 2005), di era konvergensi jaringan sosial
3
penonton televisi makin luas karena antar penonton dapat terhubung secara global melalui media-media baru seperti ponsel dan internet (Shirky 2010). Berpijak dari fenomena ini, bila kembali menilik ke tayangan unggulan televisi Indonesia yaitu sinetron, pertanyaan yang timbul adalah sejauh mana era konvergensi memberikan perubahan pada pola konsumsi sinetron dan bagaimana perkembangan jaringan sosial yang terbentuk dikalangan penonton sinetron? Sehubungan dengan itu, sebuah pernyataan dilontarkan Endik Koeswoyo, penulis naskah sinetron berjudul 7 Manusia Harimau (7MH), sebagai berikut: “Kenapa #7manusia Harimau bisa menang #PGAAwards2015 karena ide-ide cerita banyak datang dari pemirsa. Pemirsa terlibat menentukan alur.” (Endik Koeswoyo, Instagram: 2015) Pernyataannya ini diunggah ke akun Twitter dan Instagram Endik Koeswoyo beberapa menit setelah sinetron 7 Manusia Harimau memenangkan penghargaan sebagai sinetron terbaik versi Panasonic Gobel Award 2015, pada bulan Mei 2015. Meskipun sederhana, pernyataan di atas memberikan indikasi adanya peran audiens dan pengakuan terhadap pentingnya keterlibatan penonton dalam penentuan alur cerita sebuah sinetron, yang selama ini sering kali menjadi hak paten rumah produksi atau stasiun televisi sebagai produsen tayangan televisi. Sinetron 7 Manusia Harimau (7MH) adalah sinetron produksi SinemaArt yang ditayangkan di stasiun TV RCTI setiap hari sebagai sinetron stripping. Sinetron ini ditayangkan perdana pada tanggal 8 November 2014 dan musim penayangan pertama berakhir pada 14 Februari 2016. 7MH adalah sineron bergenre laga. Salah satu keunggulan yang ditawarkan sinetron ini adalah cerita yang dibungkus nilai lokalitas karena diadaptasi dari novel 7 Manusia Harimau karya Motinggo Busye, sastrawan Indonesia di era ’70-an. Novel 7MH menjadi daya tarik efektif sebagai ukuran kualitas cerita sehingga banyak penonton yang kemudian mengunduh novel 7MH di internet sebagai pembanding antara isi novel dengan tampilan sinetron. Antusiasme penonton menghantarkan 7MH ke posisi dua dalam daftar rating televisi (Bintang Indonesia, Edisi 1244, III April 2015).
4
Bersamaan dengan makin meningkatnya rating 7MH, terbentuklah pula penonton penggemar, baik yang bersifat individu maupun yang tergabung dalam kelompok fans/fandom (fans community). Para penggemar 7MH berinteraksi dengan sesama penonton dan produsen 7MH dimediasi berbagai media online seperti: forum online, portal chat, dan sosial media (Facebook, Twitter, Instagram dan lain-lain). Besarnya animo penonton terlihat dari banyaknya jumlah penonton yang menjadi pengikut/follower di akun sosial media. Beberapa contoh akun sosial media/situs yang sering digunakan untuk bersosialisasi adalah sebagai berikut: Tabel 1.1 Daftar Akun Sosial Media 7MH (Per November 2015) Jenis Sosial Media Akun Ofisial Twitter Facebook Instagram Grup Tertutup Line Akun Fanbase Instagram Twitter Forum Terbuka
Nama Akun
Jumlah Pengikut
@7MH_sinemart @7manusiaharimau facebook https://www.facebook.com/7MH.RCTI @rw07kumayan Kumayan Ber717an
20.000 pengikut 17.900 pengikut 96.892 penyuka
@7MH_PHOTOS @official7MH_sinemart @7MH Comment Lautanindonesia/sinetron/7manusiaharimau
29.200 pengikut 48.400 pengikut 2.380 pengikut 1.350 halaman sekitar 11.300 post
41.500 pengikut 80 Anggota
Sumber: Olah Data Peneliti
Data-data di atas memberikan indikasi adanya pemanfaatan berbagai format media baru sebagai media interaksi penonton televisi di Indonesia, khususnya program sinetron 7MH. Dasar inilah yang menjadikan sinetron 7MH sebagai sasaran kajian yang menarik untuk menelisik lebih jauh bagaimana dinamika yang terbentuk dalam jaringan sosial audiens interaktif televisi, terutama penonton sinetron, di era konvergensi ini. Di Indonesia, penelitian dalam ranah penonton televisi dan sinetron lebih banyak berfokus pada studi resepsi audiens (Dewi, 2013; Yogisworo, 2010) atau bagaimana
5
pengaruh konten sinetron kepada penontonnya (Syahputra, 2007; Hasnawati, 2013; Diahloka, 2012). Sementara itu penelitian tentang dinamika dan perkembangan jaringan sosial audiens belum banyak mendapat perhatian. Padahal penelitian di bidang ini penting untuk memetakan pola interaksi audiens dan membaca motif, dinamika, dan perubahan sosial yang hadir pada era konvergensi media. Diharapkan dengan adanya penelitian ini akan memberikan wacana yang lebih jelas tentang perkembangan jaringan sosial penonton televisi di Indonesia terutama program sinetron.
6
B. Rumusan Masalah Benang merah dalam penelitian ini dirumuskan dalam pertanyaan penelitian: Bagaimanakah dinamika jaringan sosial penonton sinetron 7 Manusia Harimau di era konvergensi media?
C. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk: 1. Mengetahui perkembangan jaringan sosial penonton sinetron di era konvergensi. 2. Mengetahui perkembangan audiens interaktif sinetron. 3. Mengetahui pemanfaatan media oleh audiens sinetron di era konvergensi.
D. Manfaat Penelitian Secara akademis penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi bagi studi komunikasi mengenai perkembangan power audiens interaktif TV yang tidak hanya aktif dalam negosiasi namun mampu memberikan pengaruh (intervensi) terhadap isi pesan media. Secara praktis, penelitian ini dapat menjadi refleksi bagi para produsen konten media khususnya di televisi (stasiun TV dan Production House) tentang perkembangan jaringan sosial audiens terutama di ranah online yang telah mendukung partisipasi audiens dan memberikan pengaruh pada pembentukan isi pesan media.
7
E. Kerangka Pemikiran Untuk dapat menelaah tentang perkembangan jaringan sosial audiens interaktif TV di era konvergensi, tidak bisa dilepaskan dari bagaimana sejarah perkembangan dinamika audiens selama ini. Oleh karena itu kerangka pemikiran dari penelitian ini akan dimulai dari kajian tentang perkembangan audiens dari pasif menjadi aktif, hingga menuju interaktif. Peneliti juga mempertimbangkan elemen-elemen yang mendukung perkembangan jaringan sosial audiens di era konvergensi yaitu kehadiran media baru yang mendukung interaktivitas audiens, serta perkembangan komunitas penonton (fandom).
Bagan 1.1 Alur Pikir Penelitian
8
E.1 Perdebatan Tentang Audiens Pasif dan Audiens Aktif Proses konsumsi media cenderung identik dengan perdebatan posisi kekuatan mana yang lebih dominan memegang peran, apakah kekuatan audiens atau kekuatan media. Hal ini berkaitan erat dengan pandangan yang selalu berkontestasi tentang audiens yang pasif dan audiens yang aktif. Dalam bukunya “Television, Audiences, and Cultural Studies” (1992), David Morley memaparkan bahwa pada awal sejarah riset audiens, para peneliti cenderung berfokus pada topik apakah media memberikan pengaruh terhadap audiensnya. Sebuah riset awal yang dikembangkan Frankfrut School dalam menanggapi paradigma “Pessimistic Mass Society Thesis” terhadap komunitas audience di Jerman memperlihatkan hasil bahwa media massa dominan sebagai saluran penanaman ideologi fasisme kepada masyarakat (Morley 1992, 45). Menurut Robert H. Wicks, konsep awal ini melahirkan pandangan bahwa audiens adalah individu yang sangat mudah dipengaruhi. Kekuatan kreator konten media dianggap lebih dominan daripada audiens. Para produsen konten media menggunakan media sebagai saluran propaganda yang efektif dan audiens menjadi pihak yang pasif menerima pesan media (Costello 2007, 124). Sementara itu, Dennis McQuail mengemukakan pandangan bahwa audiens memang bukan individu yang berdiri sendiri, tapi menjadi bagian kolektif, namun sebagai bagian kolektif mereka tidak berhubungan satu sama lain untuk berbagi pengalaman mereka tentang kegiatan bermedia (McQuail 1997, 6-7). Paradigma awal ini kemudian berubah pada tahun 1950-an di mana para peneliti mulai meragukan posisi audiens sebagai pihak yang sepenuhnya pasif. Beberapa peneliti seperti Joseph Klapper, Paul Lazarsfeld dan Elihu Katz, mencetuskan Limited Effect Theory yang berisi pandangan bahwa pengaruh yang diberikan media tidak selalu konsisten dengan apa yang ditangkap oleh audiens. Katz dan Lazarsfeld dalam penelitiannya yang bertajuk Personal Influence (1955) mengembangkan model komunikasi dua arah dalam hubungan audiens dengan media, di mana audiens dipandang tidak sepenuhnya pasif. Audiens melakukan proses filterisasi untuk memilah pesan yang diterpakan oleh media. Adanya pengaruh opinion leader dan
9
anggota grup dalam proses penyeleksian pesan media juga menjadi temuan penting dalam penelitian ini (Morley 1992, 48). Perkembangan penelitian audiens di era ini sejalan dengan lahirnya teori Uses and Gratification, yang bermula dari penelitian Herta Herzog (1944) bertajuk “Motivations and Gratifications of Daily Serial Listeners”. Dalam penelitian tersebut Herzog mewawancarai 100 fans opera sabun untuk mengetahui motif-motif apa yang mendasari penonton memilih sebuah acara. Penelitian Herzog menunjukkan bahwa audiens secara aktif memilih acara televisi sesuai dengan motif pribadinya, sehingga kehadiran Teori Uses and Gratification telah menawarkan konsep baru tentang audiens aktif seperti yang disampaikan E. Katz, J.G. Blummer dan M, Gurevitch (1974) berikut: Uses and gratifications theorist further developed the concept of an “active audience”, whose members were capable of making decision about what to view based on their own needs and desires and capable of recognizing and reporting their experiences (Costello 2007, 125). Pandangan tentang audiens aktif ini dikembangkan lagi di era 80-an dalam berbagai penelitian kritis yang berfokus pada bagaimana budaya media dibentuk, diproduksi dan dikonsumsi oleh audiens, terutama dalam implikasi ekonomi dan sosial. Pertanyaan-pertanyaan tentang bagaimana resepsi audiens terhadap teks suatu media menjadi isu yang dominan di bahas di era ini. Stuart Hall (1980) mengemukakan 3 kemungkinan interprestasi audiens terhadap pesan media yaitu: Dominasi (menerima pesan/teks media begitu saja sebagai sesuatu yang diproduksi oleh pihak yang memiliki power), negosiasi, dan oposisi. Namun, David Morley menyatakan bahwa persepsi audiens terhadap pesan media tidak hanya terbatas pada 3 pilihan yang disampaikan Hall, melainkan dapat lebih bervariasi sesuai dengan proses coding pesan yang dibentuk oleh banyak pengaruh, seperti lingkungan, kondisi sosial, maupun hasil diskusi dengan keluarga atau komunitas terdekat (Costello 2007, 125). Hal ini secara tidak langsung menggugurkan pandangan awal yang disampaikan McQuail tentang audiens. Penelitian Hall dan
10
Morley menunjukkan adanya praktek berbagi informasi yang dilakukan oleh audiens (sebagai bagian komunal) untuk menginterprestasi pesan media. Namun di sisi yang lain John Fiske (1987) menyatakan bahwa walaupun audiens diakui sebagai pihak yang aktif namun power dari audiens tetap memiliki keterbatasan. Dalam artian audiens dapat menegosiasi dan menginterprestasi pesan namun mereka tidak memiliki kemampuan untuk memproduksi materi pesan sendiri, yang dapat digunakan untuk mengontrol isi media (Costello 2007, 125). Apa yang dipaparkan Fiske adalah fenomena yang terjadi pada tahun ‘80an. Fenomena ini perlu diuji kembali keabsahannya di abad ke-21 ini, mengingat begitu pesatnya perkembangan teknologi dan kehadiran banyaknya media-media baru yang pada akhirnya mempengaruhi perkembangan audiens.
E.2. Era Konvergensi Media dan Perubahan Jaringan Sosial Audiens Di abad 21 dunia komunikasi mengalami perkembangan yang luar biasa didukung oleh kemajuan teknologi dan ditandai dengan lahirnya media-media baru berbasis komputer seperti ponsel dan internet. Perkembangan di bidang teknologi dan media ini sebenarnya telah diprediksi oleh para ahli media sejak era 60'an. Ahli media dari Kanada, Marshall McLuhan pada awal tahun 60'an, telah memperdiksi bahwa perkembangan teknologi elektronika akan membangun fenomena yang disebut global village di mana berbagai aspek kehidupan di dunia akan terhubung satu dengan yang lain melalui bantuan kemajuan teknologi informasi. Dalam konsep global village, individu yang terhubung satu dengan yang lain akan membentuk identitas kolektif (McLuhan 2011, 129). Sejalan dengan prediksi McLuhan, Manuel Castells (1996) menggambarkan bahwa transformasi teknologi yang telah berkembang selama hampir 2.700 tahun telah mengintegrasikan berbagai model komunikasi menjadi sebuah jaringan interaktif. Kehadiran teknologi media-media baru yang berhasil mentransformasi hypertext dan meta-language dalam arti mampu menggabungkan sistem penyajian teks, lisan/percakapan, bahkan audio-visual secara bersamaan telah menghasilkan
11
jaringan "Super Highway" yang mengubah jaringan masyarakat dari audiens massa menuju jaringan interaktif (Castells 2010, 355-356). Apa yang disampaikan McLuhan dan Castells sinergis dengan pandangan Van Dijk yang menyatakan bahwa kelahiran media-media baru yang lebih interaktif mendorong perubahan bentuk jaringan masyarakat dunia dari masyarakat massa menuju masyarakat jaringan. Masyarakat massa yang komponen utamanya adalah kolektivitas massa (grup/kelompok yang mengorganisasi individu), cakupannya bersifat lokal, dan dominan penggunaan media broadcast, telah berkembang menjadi masyarakat jaringan di mana komponen utamanya adalah individu yang terhubung dalam jaringan, mencakup skala glokal (global dan lokal), serta dominan menggunakan banyak media yang bersifat interaktif (Van Dijk, 2005). Kemajuan dan perkembangan teknologi informasi mendukung perkembangan masyarakat jaringan dan menciptakan ruang-ruang virtual baru dalam masyarakat yang bertindak secara global tersebut. Kemajuan ini juga merubah sikap masyarakat dalam mengkonsumsi dan mengolah pesan yang mereka terima. Masyarakat jaringan berkembang menjadi masyarakat yang aktif, yang tidak secara pasif menerima begitu saja pesan yang dipaparkan media. Masyarakat memiliki kemampuan untuk melakukan seleksi terhadap isi media, menyesuaikan kepentingannya dengan media, memilih media, terlibat dalam pengembangan isu, serta memiliki kebertahanan dari pengaruh media. Dalam menyikapi perubahan ini produsen media dituntut berbenah untuk mempelajari perkembangan teknologi dan mensinergiskan fungsi media lama dan baru hingga dapat saling berinteraksi satu sama lain. Hal ini dilakukan untuk memenuhi tuntutan bahwa paparan pesan media harus lebih luas, melalui saluran yang lebih variatif, dan memenuhi kebutuhan masyarakat jaringan yang lebih kompleks. Dinamika perubahan jaringan dan pola bermedia yang didorong perkembangan teknologi media baru, adalah penanda hadirnya era baru bermedia yang disebut era konvergensi. Henry Jenkins (2004) menggambarkan kondisi era konvergensi memberi dampak dua arah sebagai berikut:
12
Convergence is both a top-down corporate-driven process and a bottom-up consumer-driven process. Media companies are learning how to accelerate the flow of media content across delivery channels to expand revenue opportunities, broaden markets and reinforce viewer commitments. Consumers are learning how to use these different media technologies to bring the flow of media more fully under their control and to interact with other users. They are fighting for the right to participate more fully in their culture, to control the flow of media in their lives and to talk back to mass market content. (Jenkins 2004, 37). Di sisi audiens, era konvergensi juga telah mempengaruhi bagaimana audiens mengkonsumsi media. Sifat interaktivitas yang dihadirkan oleh media-media baru meningkatkan kekuatan dan nilai tawar audiens terhadap media, seperti yang disampaikan Mark Deuze: “Indeed, the emerging new media ecology does give users increasing control over the flow of media –using devices like the remote control, the joystick and the computer mouse, of software like internet portal sites, filtering agents, searchbots, and user recommendation systems” (Deuze 2007, 246). Bila dahulu audiens merasa cukup puas menerima informasi dari satu jenis media saja, saat ini audiens dapat menggunakan beberapa media bahkan secara bersamaan untuk mengakses suatu informasi, misalnya: menonton siaran televisi ataupun mendengarkan musik melalui ponsel yang tersambung dengan jaringan internet. Dapat dikatakan di era konvergensi konsumsi media tidak bisa dipandang lagi sebagai sesuatu yang tunggal, namun menjadi proses kolektif.
E.3. Audiens Interaktif dan Kecerdasan Bersama Henry Jenkins, yang secara konsisten telah meneliti tentang perkembangan audiens di abad ke-21 menyatakan bahwa audiens di era konvergensi berperan sebagai interactif audience yang tidak hanya sekedar menjadi penikmat suatu tayangan namun memiliki power untuk memberikan masukan, kritik, bahkan mampu memproduksi sendiri konten media (Jenkins 2006, 24). Sinergis dengan pendapat Jenkins, ahli media yang lainnya, Pierre Levy, dalam bukunya Collective Intellegent: Mankinds's Emerging World in Cyberspace (1997) juga menyatakan bahwa kehadiran komputer, dan jaringan berkecepatan tinggi telah
13
mampu melahirkan audiens yang memiliki collective intelligent atau kecerdasan bersama. Kemudahan akses teknologi mampu menjembatani dan mewadahi proses audiens mengkonsumsi media dengan menciptakan "new knowledge space" yaitu ruang virtual yang terbentuk di media-media interaktif yang mampu menjadi wadah bagi grup atau kelompok audiens untuk berinteraksi dan terhubung melintasi batasan ruang dan waktu (Jenkins, web.mit.edu). Audiens sebagai bagian kelompok bermedia ini menggabungkan kecerdasan dan pengetahuan
yang
mereka
miliki
untuk
menelaah
konten
media,
lalu
mengkomunikasikannya kembali. Kecerdasan bersama yang dibentuk oleh audiens kolektif ini mampu mengaburkan batasan antara produsen media dengan audiens, bahkan menghasilkan aksi kolektif seperti pernyataan Levy di bawah ini: "The distinctions between authors and readers, producers and spectators, creators and interpretations will blend to form a reading-writing continuum, which will extend from the machine and network designers to the ultimate recipient, each helping to sustain the activities of the others. Creative activity, ... will shift from the production of texts or the regulation of meanings toward the development of a dynamic environment, " a collective event that implies the recipients, transforms interpreters into actors, enables interpretation to enter the loop with collective action." (Jenkins 2006, 144-145). Era konvergensi juga memperluas jaringan sosial audiens dan meningkatkan partisipasi audiens dalam bermedia. Hal ini ditandai dengan berkembangnya budaya konsumsi media baru yang disebut budaya partisipatif (participatory culture). Menurut Jenkin, dua trend yang terbentuk sebagai ukuran berlangsungnya budaya partisipatif di kalangan audiens adalah; pertama, hadirnya teknologi baru yang memungkinkan konsumen media untuk mengarsip, memberikan keterangan, memilah, dan membagikan kembali konten media. Kedua, terbentuknya budaya sub kultur produksi media Do It Yourself (DIY), yaitu konsumen memiliki kemampuan untuk memproduksi konten media secara mandiri. (Jenkins 2006, 135-136). Peningkatan partisipasi audiens dalam bermedia terjadi di berbagai format media. Penelitian yang dilakukan Mark Deuze di tahun 2006 menemukan fakta kesuksesan beberapa media etnik dan minoritas di Amerika Utara dan Eropa Barat yang
14
memanfaatkan
komunitas
setempat
untuk
berpartisipasi
dan
berkolaborasi
mengkreasi konten media melalui internet. Dalam komunitas penggemar game, peningkatan partisipasi audiens interaktif juga terjadi. Penelitian yang dilakukan Francesca Comunello dan Simone Mulargia (2015) menunjukkan fakta bahwa dalam komunitas online penggemar game Little Big Planet (LBP) 1 (salah satu game yang dikeluarkan oleh Playstation) terjadi aktivitas kolektif seperti berbagi komentar, voting, berbagi informasi seputar level game dan trik penyelesaian level game mandiri yang dibuat oleh penggunanya. Di dunia film, proyek penelitian Fan Data yang dilakukan Abigail De Kosnik, dkk. (2015) untuk menyelidiki kuantitas dan temporalitas produksi teks mandiri oleh online fans, melihat bahwa para penggemar film blockbuster seperti: The Avengers, Batman Trilogy, dan Inception mampu menghasilkan karya kreatif berbentuk fan fiction. Fan fiction yang dibuat oleh para fans film ini dapat dijadikan tolak ukur popularitas film selain melalui promosi produsen. Di Indonesia sendiri, penelitian sehubungan partisipasi audiens pada para penggemar novel pernah dilakukan oleh Irana Astutiningsih (2012) yang menunjukkan bahwa para penggemar perempuan novel Harry Potter di Indonesia mampu membentuk ulang makna maskulinitas melalui penciptaan fan fiction mandiri dalam situs www.fanfiction.net. Perkembangan partisipasi audiens interaktif, menunjukkan bahwa penelitian Fiske pada tahun 80-an yang menyatakan bahwa power audiens sangat terbatas, ternyata telah berubah di era konvergensi. Kembali kepada kajian utama penelitian ini yaitu media televisi, maka perlu ditilik bagaimana dinamika audiens interaktif yang terjadi di media televisi sejauh ini.
E.4. Perkembangan Audiens Interaktif TV dan Fenomena Fandom Serial TV Televisi adalah salah satu media yang tak lepas dari pengaruh era konvergensi. Dengan kehadiran media-media baru jelang abad 20 siaran televisi dapat diterima penontonnya di media selain pesawat televisi, seperti yang disampaikan Jerice Handson:
15
Electronic technologies such as the cell phone and the Internet do much the same thing. They change a person’s sense of time, because they are available twentyfour hours a day, seven days a week…. 3G phones enable full motion video, and commuters can watch entire films or television programs on their cell phones (Handson 2014, 129) Saat ini internet dan ponsel dapat digunakan sebagai media interaksi penonton dengan program televisi misalnya untuk mengirimkan video maupun tulisan berita online, siaran teleconference, voting pada acara-acara televisi, dan lain-lain (Goggin 2013, 85). Bila sebelum era konvergensi sulit bagi para penonton untuk menghubungi pihak televisi, saat ini dengan mudah penonton dapat me-mention akun resmi media sosial sebuah stasiun televisi, produser atau penulis skenario acara televisi, atau berkomentar di situs resmi sebuah acara televisi. Hal ini memudahkan penonton untuk memberikan komentar, masukan, kritik dan berpartisipasi dalam interaksi antara penonton dengan produsen konten program TV. Henry Jenkins mencatat beberapa acara televisi di Amerika yang melakukan interaksi dengan penonton dimediasi oleh teknologi media baru. Produsen serial televisi amerika Babylon 5, J. Michael Straczinski secara rutin setiap harinya melakukan kontak online dengan para penggemar serial yang diproduserinya untuk menjawab berbagai pertanyaan dan usulan fans terhadap serialnya. Tercatat JMS (nama sandi Michael di dunia online) telah mengunggah 1.700 post untuk menanggapi komunitas fans. Produser acara TV Survivor Mark Burnett mengadakan survei kepada para penonton untuk melihat prediksi penonton setia acaranya tentang siapakah peserta yang kira-kira akan memenangkan acara tersebut pada season final. Rumah produksi WB Network yang memproduksi serial televisi Buffy & The Vampire Slayer membuka line telfon dan forum website untuk mewadahi masukan penonton guna menyempurnakan episode akhir tayangan acara itu (Jenkins 2006, 145-146). Fenomena yang terjadi sehubungan dengan penonton televisi adalah adanya kecenderungan terbentuknya kelompok penonton penggemar yang biasanya disebut fans atau
fandom (fans community). Secara umum Miriam Webster Dictionary
menggambarkan pengertian fandom sebagai (1) all the fans; (2) the state or attitude 16
of being a fans. Secara lebih rinci innovateus.net mendeskripsikan fandom sebagai berikut: A term used to identify group of fans related of sport, book series, or even hobby. The member belonging to the fandom are interconnected with each others as they share the same liking and many times they signify a subculture too (Astutiningsih 2012, 33). Henry Jenkins (2006) yang menelusuri sejarah perkembangan fandom menemukan bahwa fandom novel fiksi Hugo Gernsbeck pada tahun 1920-1930-an, terdata sebagai perkembangan fandom generasi awal. Fandom ini terbentuk di kolom surat kabar Gernsbeck's Astounding Series yang menjadikan kolom surat kabar ini sebagai forum untuk memperdebatkan fakta-fakta fiksi ilmiah dan berbagai teori teknologi baru yang terdapat dalam novel. Studi tentang fandom juga telah menarik perhatian para ahli sejak dekade 80'an. Namun pada studi generasi awal kebanyakan ahli memandang fans sebagai "kategori skandal" karena aktivitas fandom sering dianggap liar dan mendobrak norma (Costello 2007, 126). Fans sering kali bertindak lepas kontrol, tidak disiplin, dan mengkomunikasikan
interprestasi
terhadap
teks
media
sesuka
hati
tanpa
mempertimbangkan opini dan latar belakang alasan dari produser atau pembuat konten media (Jenkins 1988, 86). Hal ini sinergis dengan konsep fandom sendiri yang berasal dari akar bahasa latin 'Fanaticus' yang sinergis dengan kata fanatik (Jenkins, 1992, 12). Fans juga sering dikaitkan dengan konteks hubungan parasosial yang di perkenalkan pertama kali oleh Donald Horton dan Richard Wohl tahun 1956 yaitu hubungan interpersonal searah di mana salah satu pihak tau banyak tentang yang lain yang biasanya terjadi dalam konteks fans dan subyek yang mereka sukai. Devosi yang
berlebihan
terhadap
subyek
yang
disukai
membuat
fans
sering
dikarakterisasikan sebagai psikopat yang frustasi dan suka berfantasi bahwa mereka memiliki jalinan atau hubungan yang intim dengan subyek yang mereka sukai seperti para artis (Jenkins 1992, 13).
17
Di dalam media televisi, fenomena fandom cukup dominan ditemukan di program serial televisi atau opera sabun. Hal ini mengingat sampai saat ini serial televisi dan opera sabun masih menjadi acara yang cukup banyak diminati di luar negeri dan cenderung ditayangkan di jam-jam prime time (Goodwin 1990, 115). Penelitian generasi awal di ranah fandom serial TV kebanyakan berfokus pada pengaruh-pengaruh negatif yang terkorelasi dengan fandom misalnya: penelitian Corinne L. Shefner-Rogers, Everett M. Rogers dan Arvid Sighal, yang meneliti konteks hubungan parasosial yang memberikan pengaruh pada kebiasaan para fans pada penonton telenovela Simplemente Maria yang ditayangkan tahun 70-an dan serial Oshin yang ditayangkan tahun 80-an (Keiko Communication Review, 1998). Penelitian pada fans serial televisi yang dilakukan Robert Jewett dan John Shelton Larwrence (1977) terhadap fans serial TV Star Trek juga menyatakan bahwa program televisi dapat menghasilkan respon yang sangat ekstrim dari para fans sehingga fans menjadi sangat terikat dan mempercayai mitos-mitos yang yang ada di dalam cerita bagaikan sebuah religi (Jenkins 2012, 13). Namun pada perkembangannya studi fandom di ranah serial televisi bergerak di ranah yang lebih positif. Dalam telaahnya terhadap fans opera sabun (1995) Lee C. Harrington dan Denise D. Bielby mulai mendefinisikan fans dari bagaimana mereka mengkonsumsi teks media yang berhubungan dengan kemampuan mereka melahirkan budaya populer. Hal ini menunjukkan fans sebagai komunitas interaktif yang terhubung satu dengan lain, tidak hanya untuk berbagi hal-hal sehubungan konten media yang mereka konsumsi, namun juga membentuk budaya subkultural karena kegiatan berbagi informasi dilakukan secara berkala. Sejalan dengan itu penelitian Sara Gwenllian-Jones (2002) juga menggambarkan fans tayangan televisi tidak lagi hanya menjadi kumpulan penonton yang menikmati konten media namun mampu mengolah antusiasme, rasa penasaran dan konsumsi teks media menjadi interprestasi kreatif dalam bentuk nyata seperti kritik kultural, fan fiction, fanart, dan video mandiri (Costello 2007, 127). Henry Jenkins meyakini fandom merupakan bentuk komunitas audiens yang memiliki kecerdasan bersama. Fakta-fakta yang mendukung keyakinan Jenkins
18
tersebut diungkapkan pula oleh Nancy Baym, peneliti yang telah banyak melakukan studi terhadap fans opera sabun. Baym menyatakan bahwa fans opera sabun berbagi pengetahuan tentang show history. Mereka saling membagikan informasi tentang hal yang berhubungan dengan program atau membahas sesuatu yang mereka lewatkan. Mereka mengkomparasi, saling mengingatkan dan menegosiasikan pemahaman tentang program yang mereka tonton. Henry Jenkins sendiri, saat mengamati group diskusi online community penonton serial Twin Peaks (alt.tv.twinpeaks) di Amerika (1990). juga memperoleh fakta bahwa para penonton berinteraksi secara aktif dalam membahas tayangan serial ini, termasuk di dalamnya mengadakan diskusi, prediksi, dan spekulasi untuk tayangan ini. Para penonton juga menggunakan referensi personal dan pengetahuan mereka sebagai profesional untuk menganalisis dan merasionalisasi cerita. Anggota komunitas fandom ini membagikan spoiler (bocoran cerita/script) maupun hasil rekaman serial (video recording) bagi anggota lain yang melewatkan episode tertentu. Hal itu menunjukkan bahwa fans pun adalah bagian dari audiens interaktif yang memiliki collective intelligent (Jenkins 2006, 139). Fenomena fandom juga sinergis dengan konsep Pierre Levy di mana audiens interaktif mampu mengembangkan "new knowledge space" karena dukungan kemajuan teknologi. Jenkis menyatakan bahwa fans adalah komunitas yang sangat cepat menyerap perkembangan teknologi. Fandom yang telah berkembang sebelum hadirnya era internet, kini dimudahkan oleh perkembangan teknologi. Media baru memudahkan fans terhubung satu dengan yang lain, baik dengan sesama penonton maupun dengan produsen konten media, tidak hanya di suatu daerah atau negara namun juga di seluruh dunia. Perkembangan forum, situs, dan grup online fans yang saat ini menjamur di internet telah menunjukkan bahwa skala fandom dapat menjadi sangat besar dan luas melintasi batasan geografis, ruang dan waktu. Sebagai contoh hasil penelitian Will Broker (2001) yang melihat berkembangnya potensi pemanfaatan media online bagi kelompok fans serial TV Dawson’s Creek. Selain itu penelitian Costello & Moore (2007) memperoleh fakta bahwa kemajuan teknologi
19
telah memberikan peran lebih bagi para penggemar setia serial televisi untuk lebih efektif mengkritisi konten media. Dari beberapa penelitian di atas terlihat bahwa kemajuan teknologi telah mengembangkan jaringan sosial para penonton televisi dan meningkatkan interaktivitas fandom. Dapat dikatakan penonton serial TV yang bergabung dalam fandom mampu memanfaatkan kemudahan bermedia di era konvergensi untuk memaksimalkan aktivitas bermedianya. Bila dinamika audiens interaktif dan fandom telah banyak ditemukan di kalangan penonton televisi di luar negeri, lalu bagaimanakah dengan penonton televisi di Indonesia terutama untuk acara unggulan?
E.5. Sinetron Indonesia dan Penontonnya Seperti halnya serial televisi dan opera sabun, acara sejenis yaitu sinetron, masih menjadi acara unggulan televisi di Indonesia, bila diukur dengan indikator rating dan jam penayangan prime time. Menurut Irawati Pratignyo, Managing Director Media Nielsen Indonesia, penonton Indonesia masih menghabiskan 24 persen (sekitar 197 jam) dari total jam menonton mereka, selama setahun, untuk menyaksikan sinetron (bisnis.tempo.co, Rabu, 06 Maret 2013 | 17:37 WIB). Sebagai sebuah program hiburan, di satu sisi sinetron kerap dikecam sebagai tayangan yang kurang bermutu. Dalam survei indeks kualitas program televisi yang diselenggarakan Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Pusat di sembilan kota besar di Indonesia pada Maret hingga April 2015 menunjukkan sinetron sebagai salah satu dari beberapa jenis program berkualitas rendah. Ketua KPI Pusat Judhariksawan dalam konferensi pers di kantor KPI Pusat (22 Juni 2015) menyatakan bahwa meskipun rating sinteron tinggi, namun kebanyakan sinetron tidak didukung oleh kualitas yang baik (www.republika.co.id, Selasa, 30 Juni 2015, 14:00 WIB). Namun di sisi lain sinetron menjadi komoditi penting dalam industri pertelevisian. Menurut budayawan Emha Ainun Najib, sinetron adalah produk kebudayaan yang ditonton berjuta-juta orang dengan biaya yang sangat besar. Ashadi Siregar juga mengamini
20
bahwa sinetron dapat menjadi sebuah komoditi yang di eksport oleh sebuah negara (Tohari 2005, 90). Mengikuti tuntutan pasar tersebut, format sinetron yang pada era 80-an ditayangkan sebulan sekali, pada era 90-an berubah menjadi seminggu sekali dan saat ini ditayangkan setiap hari (stripping). Durasi penayangan sinetron normalnya adalah 1 jam setiap hari, namun bila suatu sinetron dianggap memiliki rating tinggi dapat ditayangkan 2-3 jam setiap harinya. Muatan sinetron yang cenderung ringan dan penanyangannya yang kontinyu membuatnya gampang diminati oleh penonton televisi yang cenderung menikmati televisi hanya untuk mencari hiburan (Nurudin 1997, 5). Ahmad Tohari menyatakan pemirsa sinetron didominasi oleh mereka yang termasuk warga kelas menengah ke bawah. Dikarenakan sinetron merupakan sarana hiburan yang murah dan langsung tersaji di rumah sehingga masyarakat dengan golongan menengah kebawahlah yang paling membutuhkan (Tohari 2005, 64). Budaya konsumsi sinetron tersebut melahirkan pandangan bahwa penonton sinetron cenderung merupakan audience pasif yaitu penonton yang sepenuhnya hanya ingin mendapat hiburan dari sinetron yang ditonton, sehingga tidak berkeinginan untuk mengkritisi atau memberi penilaian terhadap isi sinetron yang ditontonnya (Labib 2002, 60). Namun di era konvergensi pandangan bahwa penonton sinetron cenderung pasif tentunya perlu dipertanyakan lagi, mengingat penonton sinetron pun tidak lepas dari paparan perkembangan teknologi media baru. Beberapa indikasi yang terlihat adalah seringnya tagar yang berhubungan dengan sinetron merajai trending topic Twitter di Indonesia misalnya tagar sinetron 7 manusia Harimau dan sinetron Anak Jalanan yang selama tahun 2015-2016 sering meramaikan trending topic Twitter Indonesia (obsessionnews.com) diikuti dengan sinetron Alpabeth (trentekno.com). Hal ini menimbulkan dugaan bahwa terdapat indikasi perkembangan jaringan sosial para penonton sinetron yang tidak hanya menonton siaran televisi namun juga memanfaatkan media-media interaktif sebagai pendukung dalam aktivitas menonton
21
sinetron. Dari sinilah timbul dugaan penonton sinetron yang selama ini dipandang pasif, kini telah berkembang menjadi penonton aktif bahkan interaktif. Namun, sepanjang penelusuran peneliti, kajian ilmiah yang meneliti seputar perkembangan jaringan sosial penonton sinetron di Indonesia, dan perkembangan dinamika penonton interaktif televisi belum dilakukan. Padahal kajian di bidang ini menarik untuk dilakukan di abad ke-21, terutama karena sinetron masih merupakan program unggulan di televisi Indonesia dan dengan mengetahui perkembangan audiens, dinamika jaringan sosial, serta media-media yang digunakan oleh audiens dapat menjadi gambaran bagaimana perkembangan power dan nilai tawar audiens terhadap isi media di era konvergensi ini. Hal pokok inilah yang mendasari lahirnya penelitian ini.
F. Metodologi Penelitian Penelitian untuk mengetahui bagaimana dinamika jaringan sosial penonton sinetron 7 Manusia Harimau di era konvergensi ini dilakukan dengan pendekatan kualitatif dalam paradigma konstruktivis. Sesuai dengan konsep paradigma konstruktivis, melalui penelitian ini akan dicari berbagai fenomena yang kemudian akan dipetakan untuk membangun gambaran konstruktif tentang perkembangan jaringan sosial penonton TV di era konvergensi Dalam penelitian ini, peneliti menempatkan diri sejajar dan dengan subyek kajian melalui keterlibatan peneliti secara aktif dalam observasi partisipan online. Tujuannya adalah agar peneliti dapat secara lebih konkret mengamati berbagai fenomena yang terjadi dalam jaringan sosial penonton sinetron 7 Manusia Harimau.
F.1. Metode Penelitian Netnografi menjadi metode yang dipilih dalam penelitian ini. Netnografi adalah metode riset etnografi online yang diperkenalkan oleh Robert V. Kozinets pertama kalinya pada tahun 1997 dalam risetnya tentang budaya konsumsi subkultur yang terbentuk di kalangan penonton serial Televisi The X Files (Beckmann 2005).
22
Penerapan metode etnografi online ini dipandang efektif untuk menelusur fenomena yang terjadi dalam dinamika jaringan sosial penonton sinetron di era konvergensi. Dalam penerapannya, netnografi mengadopsi model observasi partisipan yang digunakan etnografi. Perbedaannya adalah titik berat observasi partisipan berbasis pada lapangan kerja online (Kozinets 2012, 60). Kozinets mengklasifikasikan 4 (empat) model netnografi (2015, 20) yang dapat diterapkan sebagai berikut: •
Netnografi simbolik, yang berusaha untuk mengeksplorasi dan menjelaskan arti sistem dan praktek yang berkaitan dengan kelompok-kelompok tertentu.
•
Autonetnografi, yaitu penelitian yang selaras dengan insight dan pengalaman fenomenologis peneliti saat mereka
melakukan (biasanya simbolik)
netnografi. •
Netnografi digital, model yang menggabungkan semua metode analisis data, termasuk yang penggunaan software (perangkat lunak) untuk menganalisis kata dan bahasa untuk memperhitungan dan merepresentasikan arti dari hubungan sosial, menjadi suatu makna yang lebih luas dan lebih dipahami secara universal.
•
Netnografi humanis, yang difokuskan pada isu-isu sosial dan individu, dalam jati diri atau melakukan perbaikan sosial dan bertujuan untuk aksesibilitas publik, aktivisme, dan tindakan.
Salah satu contoh riset netnografi yang melibatkan peneliti sebagai observator partisipan dengan metode netnografi simbolik adalah riset yang dilakukan Ercilia Garcia-Alvarez, Jordi Lopez-Sintas, dan Alexander Samper-Martinez (2015) kepada jaringan sosial para pemain games Restaurant City (RC) di Facebook. Kozinets (2015) menyatakan bahwa riset Garcia-Alvarez, dkk. merupakan salah satu bentuk penerapan metode netnografi simbolik yang cukup baik karena terdapat keterlibatan peneliti secara langsung ke dalam lingkungan online yang mereka teliti dan peneliti bersikap fleksibel dan tidak terjebak pada limitasi atau konteks batasan online-offline, fisikal-virtual, dan hambatan-hambatan lainnya dalam hal pengumpulan data.
23
Riset ini menjadi contoh ideal penerapan metode netnografi dalam penelitian jaringan sosial penonton sinetron 7 Manusia Harimau di era konvergensi, karena penelitian ini juga akan mengadopsi model etnografi simbolik. Di ranah kajian etnografi online, netnografi termasuk kajian generasi awal. Selain netnografi dikenal pula beberapa konsep kajian etnografi online lainnya seperti konsep Etnografi Virtual yang diperkenalkan Christine Hine (2000), konsep Etnografi dan Dunia Virtual dari Boellerstorff, dkk. (2012), Konsep Digital Antropologi dari Horst dan Miller (2012) atau konsep Digital Etnografi milik Underberg dan Zorn (2013); (Kozinets 2015, 22). Namun sayangnya kebanyakan metode etnografi online lain (seperti virtual etnografi Hine) tidak menjelaskan secara detail tahap penerapan metodenya sehingga menyulitkan peneliti untuk mengkajinya dalam kasus yang dihadapi (Zhang dan Dholakia 2012). Keunggulan netnografi dari metode sejenis adalah karena Kozinets (2012, 61) merekomendasikan tahapan prosedur metodologis studi netnografi secara rinci sebagai berikut: Bagan 1.2 Prosedur Metodologis Riset Netnografi (Kozinets 2012, 61)
24
1. Tahap 1 - Entree: perumusan pertanyaan penelitian, lingkungan sosial online atau identifikasi topik yang akan diteliti. 2. Tahap 2 - Identifikasi dan seleksi: adalah tahap identifikasi atau pemilihan untuk menilai ideal atau tidaknya suatu lingkungan penelitian untuk diteliti. 3. Tahap 3 - Data Collection: proses pengumpulan data langsung melalui observasi partisipan dengan komunitas online dan hasil observasi terhadap anggota komunitas baik berupa interaksi maupun penelusuran makna. Dalam tahapan ini peneliti perlu memperhatikan bahwa syarat-syarat Research ethics harus terpenuhi yaitu: (1) Peneliti harus sepenuhnya mengungkapkan kehadirannya, afiliasi, dan niat kepada anggota komunitas online selama penelitian dilakukan; (2) Para peneliti harus menjamin kerahasiaan dan anonimitas dari informan (bila mereka menginginkan); dan (3) para peneliti harus mencari dan menerima umpan balik dari anggota komunitas online yang diteliti (4) Peneliti harus mengambil posisi hati-hati pada masalah terkait status pribadi versus publik. Prosedur ini memungkinkan peneliti untuk menghubungi
anggota
komunitas
untuk
memperoleh
izin
mereka
(menginformasikan persetujuan) untuk menggunakan posting tertentu yang akan langsung dikutip dalam penelitian (Kozinets 2002, hal 65; dan Kozinets & Handelman, 1998) 4. Tahap 4 - Analysis and interpretation: klasifikasi, analisis kode dan kontekstualisasi dari tindakan komunikatif yang terjadi selama penelitian. 5. Tahap 5 – Resume: Yaitu tahapan saat peneliti merangkum dan melaporkan hasil temuan dalam penelitian disesuaikan dengan teori-teori yang digunakan sebagai landasan. Dalam tahap ini bila dibutuhkan peneliti dapat melakukan Member checks yaitu proses mempresentasikan sebagian atau keseluruhan temuan laporan penelitian akhir kepada pihak yang telah diteliti untuk meminta komentar mereka sebelum hasil akhir di publikasi. Dalam penelitian ini, langkah-langkah yang dipaparkan Kozinets diaplikasikan sesuai dengan kondisi dan tujuan penelitian dan ditunjukkan dalam skema langkah penelitian sebagai berikut:
25
Bagan 1.3. Skema Penelitian
26
F.2. Subyek Penelitian Walaupun menggunakan lingkungan penelitian sebagai media observasi, subyek penelitian ini difokuskan pada manusia dan dinamikanya dalam jaringan sosial. Subyek penelitian adalah para penonton interaktif sinetron 7 Manusia Harimau. Para penonton interaktif adalah individu atau anggota kelompok fandom yang secara aktif memanfaatkan media-media online untuk berpartisipasi aktif dalam bermedia seperti: memberikan feedback, masukan, kritik, melakukan diskusi, hingga menciptakan konten media mandiri. Selain pengamatan akan aktivitas subyek di dalam jaringan sosial, data mendalam juga digali dari wawancara secara mendalam dengan informan. Detail data informan terpilih dibahas lebih lanjut pada Bab III laporan penelitian ini.
F.3. Teknik Pengumpulan Data F.3.1. Seleksi Lingkungan Penelitian Tahap awal dari pengumpulan data dilakukan dengan menyeleksi dan memilih lingkungan penelitian yang akan menjadi media observasi. Seleksi dilakukan dengan pemetaan jaringan sosial penonton sinetron 7 Manusia Harimau (7MH). Pemetaan jaringan sosial adalah sarana untuk menyeleksi dan menemukan forum/grup/situs penonton 7MH yang paling ideal untuk menjadi lingkungan penelitian. Penelitian ini berupaya mencari lebih daripada satu lingkungan penelitian agar dapat memperoleh data yang lebih mendalam dan konkret tentang dinamika jaringan sosial penonton sinetron 7MH. Adapun kriteria pemilihan lingkungan penelitian yang ideal adalah forum/situs/grup yang: netral, memiliki anggota aktif (minimal 50 anggota), dinamis, interaktivitas media tinggi, terdapat interaksi 2 arah yang kontinyu, dan terbuka untuk feedback. Pemetaan dilakukan melalui media online dan dilakukan dalam dua klaster besar yaitu; pertama, pemetaan melalui mesin pencari umum, dan kedua, pemetaan melalui situs sosial media.
27
F.3.1.a Pemetaan Melalui Mesin Pencari Umum Tahapan pemetaan akan dilakukan adalah sebagai berikut: 1. Pemetaan jaringan sosial melalui search engine umum seperti Google, Yahoo, dengan menggunakan kata kunci/keyword forum 7 Manusia Harimau. 2. Hasil dari pemetaan tersebut menemukan 3 (tiga) forum teratas yang kemudian ditelusuri aktivitasnya sebagai berikut:
Tabel 1.2 Daftar Tiga Forum 7 Manusia Harimau Teratas dalam Mesin Pencari Umum Nama Forum/Fanpage
Data Forum/Thread
Threat 7 Manusia Harimau di Berisi 3 thread terdiri dari Forum Lautan Indonesia Kurang lebih 11.000 post Threat 7 Manusia Harimau di 16 Halaman (311 post) Kaskus.co.id Threat 7 Manusia Harimau di Hanya 1 halaman (4 post) Forum Detik.com Sumber: Olah data peneliti
Dari penelusuran tersebut terlihat bahwa Forum Lautan Indonesia adalah forum yang paling aktif dan potensial untuk menjadi salah satu lingkungan penelitian dikarenakan jumlah thread/kolom yang membahas tentang 7MH cukup banyak dan jumlah post mencapai ribuan. Anggota yang aktif dalam thread ini juga cukup banyak mencapai lebih dari 100 orang (penjelasan pada daftar anggota forum di Bab 3) hal ini menunjukkan interaktivitas forum yang cukup tinggi.
F.3.1.b Pemetaan Melalui Jaringan Media Sosial Tahapan pemetaan akan dilakukan adalah sebagai berikut: 1. Analisis awal jaringan di media sosial dilakukan dengan pengamatan aktivitas penonton menggunakan kode tagar #7manusiaharimau pada media-media sosial seperti Twitter, Instagram, Facebook, dan Youtube. Alasan pemilihan media sosial ini adalah karena menurut hasil riset GlobalWebIndex’s quarterly report on
28
the latest trends in social networking 2015 ke-4 media media ini termasuk ke dalam lima besar media media paling aktif dan terbanyak digunakan pada tahun 2014-2015 (http://www.globalwebindex.net/). 2. Setelah dilakukan pengamatan ternyata ditemukan sangat banyak kantung/wadah interaksi audiens yang biasanya berbentuk akun fanpage (halaman fans) fandom yang dapat diklasifikasikan sebagai berikut: •
Akun fanpage official/resmi Biasanya dibuat oleh produsen media, topik-topik yang dibahas cenderung umum, netral, informasi yang disampaikan cenderung falid dan resmi. Namun sifat interaksi dalam fansite official cenderung satu arah. Para pengikut aktif mengomentari post dari akun, namun pengelola akun jarang memberikan komentar balik kepada para pengikutnya. Sehingga dapat dikategorikan sebagai forum yang pasif. Hal ini yang membuat fansite official tidak ideal untuk dijadikan lingkungan penelitian.
•
Akun fanpage fandom (umum) mandiri Dibuat oleh fans perorangan/kelompok atas inisiatif sendiri, topik-topik yang dibahas bersifat umum, namun informasi tidak selalu falid atau sering berupa rumor.
•
Akun fanpage fandom couple mandiri Dibuat oleh fans perorangan/kelompok atas inisiatif sendiri. Topik-topik bahasan condong dominan ke pasangan tertentu dalam sinetron sehingga tidak netral. Informasi yang ada di dalamnya juga tidak selalu falid dan sering berupa rumor.
3. Setelah diamati dari semua model, fanpage fandom di media sosial baik yang resmi maupun mandiri, terdapat beberapa kelemahan umum yang membuatnya kurang ideal sebagai lingkungan penelitian yaitu: •
Tidak terdapat sistem keanggotaan. Ikatan cenderung hanya sebagai pengikut/followers sehingga klasifikasi anggota aktifnya sulit dilacak.
•
Informasi cenderung top down bukan dua arah. Sistem kerja media sosial membuat para pemilik akun memiliki kekuasaan mengunggah informasi 29
sementara feedback audiens (misalnya di media Facebook, Instagram dan Youtube) kebanyakan terbatas pada kolom komentar. Di Instagram dan Youtube feedback terbatas pada teks bahkan Twitter jumlah teksnya pun dibatasi sehingga dapat dikatakan interaktivitasnya terbatas/rendah. •
Beberapa fanpage di Facebook bersifat tertutup sehingga susah dilacak.
4. Untuk memilih lingkungan penelitian yang tepat di media sosial, peneliti akhirnya memutuskan untuk mengikuti dan mengamati beberapa akun fanpage yang memiliki follower terbanyak untuk mencari bentuk komunitas yang paling ideal dipilih sebagai lingkungan penelitian. Berbagai akun fanpage yang diamati peneliti adalah sebagai berikut: Tabel 1.3 Fanpage Fandom Di Medsos Yang Diikuti Oleh Peneliti Untuk Menyeleksi Lingkungan Penelitian Nama Fanpage https://www.facebook.com/7MH.RCTI Official7mh_newgeneration Pigum7mh Rw07kumayan Ammar.ranty @7MH_MNCTV @7ManusiaHarimau @7MH_sinemart
Media Facebook Instagram Instagram Instagram Instagram Twitter Twitter Twitter
Jumlah pengikut 104.690 penyuka 52.200 pengikut 56.800 pengikut 49.600 pengikut 15.000 pengikut 22.800 pengikut 15.800 pengikut 20.000 pengikut
Sumber: Olah data peneliti
5. Dari hasil observasi dan aktivitas peneliti di beberapa fanpage, peneliti akhirnya mengenal beberapa penonton aktif yang cukup intens berinteraksi di media sosial dan menjadi pengikut beberapa fanpage. Salah satu penonton tersebut akhirnya mengundang peneliti ke sebuah grup multichat Line tertutup yang bernama Kumayan Ber717an. 6. Grup Line Kumayan Ber717an memiliki spesifikasi yang cukup ideal sebagai lingkungan penelitian antara lain sebagai berikut: •
Grup berbentuk seperti forum yang memiliki lebih dari 75 orang anggota saat peneliti bergabung pada 24 Januari 2016.
30
•
Grup telah terbentuk sejak 6 Juni 2015 sehingga telah terbentuk ikatan yang cukup kuat diantara anggota.
•
Grup ini secara resmi didirikan oleh penulis naskah 7MH yaitu Endik Koeswoyo dan Recky Djayusman sehingga menjadi acuan informasi falid bagi para anggotanya.
•
Anggota grup mayoritas adalah penonton 7MH yang juga aktif di berbagai media sosial dan menjadi pengikut aneka fanpage.
•
Sifat media Line memiliki interaktivitas tinggi karena mampu mewadahi teks, gambar, dan audio visual.
Dari hasil pemetaan jaringan sosial penonton 7MH melalui mesin pencari umum dan media sosial, akhirnya peneliti memutuskan untuk memfokuskan pengamatan pada dua lingkungan penelitian utama yaitu: 1. Thread 7 Manusia Harimau di Forum Lautan Indonesia 2. Grup Line Tertutup Kumayan Ber717an Alasannya pemilihan forum dan grup ini adalah karena sudah lama berdiri dan menunjukkan kestabilan. Jumlah posting atau pembahasan mencapai ribuan menjanjikan kekayaan data. Jumlah anggota aktifnya cukup banyak dan para anggotanya juga aktif di media-media sosial lain. Sistem forum dan grup ini mampu mewadahi pembahasan dalam bentuk tulisan, gambar, suara dan audio-visual menunjukkan dukungan interaktivitas yang tinggi.
F.3.2. Observasi Partisipatoris Online Tahapan selanjutnya adalah penelusuran lebih dalam pada lingkungan penelitian. Penelusuran mendalam ini menggunakan teknik observasi partisipan online di mana peneliti akan berinteraksi langsung dan aktif sebagai anggota dalam lingkungan penelitian online ini. Adapun peneliti sendiri telah menjadi anggota Forum Lautan Indonesia (LI) sejak 20 Maret 2004 dengan nama sandi zeinitza. Namun untuk tergabung secara aktif di thread 7MH baru dimulai pada Oktober 2015. Maka data pra penelitian dikumpulkan 31
mulai dari bulan Oktober 2015, namun data inti penelitian dalam forum Lautan Indonesia akan mulai di coding terhitung pada Januari 2016 hingga Maret 2016. Sementara untuk grup Line tertutup Kumayan Ber717an, data penelitian dikumpulkan terhitung saat peneliti mulai bergabung di grup yaitu mulai 24 Januari 2016 hingga bulan Maret 2016. Tahapan observasi partisipatif online dalam metode netnografi disampaikan Kozinets melalui tahap learning (mempelajari) dan doing (melaksanakan) dengan perincian sebagai berikut: Bagan 1.4 Skema Observasi Partisipatoris dalam komunitas online (Kozinets 2012, 97)
Maka dalam penelitian ini, peneliti mengikuti aktivitas harian dan bergabung dalam berbagai bentuk interaksi di kedua lingkungan penelitian, seperti: obrolan, diskusi, ritual harian, prediksi, spekulasi, demo, aksi bersama, dan lain-lain. Sebagaimana layaknya penelitian diranah etnografi, penelitian dengan metode netnografi juga mempertimbangkan unsur ethic. Maka secara terbuka peneliti memperkenalkan diri sebagai seorang peneliti, kepada anggota forum/grup dan secara gamblang memaparkan tujuan penelitian serta meminta ijin untuk untuk melakukan koleksi data. Selain itu untuk makin mempererat emotional bonding dengan para anggota grup/forum, peneliti juga secara aktif membuat fanart yang dapat menjadi topik bahasan bagi anggota forum/grup. 32
Gambar 1.1: Bentuk partisipasi peneliti dalam observasi partisipan online Sumber: Forum LI dan Grup Kumayan
F.3.3. Wawancara Wawancara secara mendalam kepada informan yang merupakan penonton interaktif 7MH dibutuhkan untuk menggali informasi yang bersifat pribadi atau tersembunyi yang sulit/tidak dapat ditemukan dalam aktivitas harian grup/forum. Dari proses observasi partisipatif online, peneliti mengenal banyak penonton interaktif 7MH di dalam lingkungan penelitian. Temuan dalam penelitian menunjukkan ada beberapa penonton yang menjadi anggota di forum terbuka maupun grup tertutup sekaligus. Ada pula penonton yang hanya menjadi salah satu anggota lingkungan penelitian namun mengikuti grup/forum lain di luar lingkungan penelitian. Untuk memilih informan yang dapat memberikan kekayaan data maka peneliti memilih 7 (tujuh) informan dengan beberapa kriteria: •
3 orang informan merupakan anggota/pernah menjadi anggota dari kedua lingkungan penelitian. Tujuannya adalah untuk melihat mengapa para informan ini memilih tergabung di kedua lingkungan penelitian dan sejauh mana keterlibatan mereka di kedua lingkungan penelitian tersebut.
33
•
3 orang informan merupakan anggota/pernah menjadi anggota dari salah satu lingkungan penelitian. Tujuannya adalah untuk melihat mengapa para informan ini memilih terlibat di satu lingkungan penelitian saja dan apakah mereka juga menjadi anggota forum/grup lain diluar lingkungan penelitian.
•
1 orang informan yang bukan anggota lingkungan penelitian namun ia tergabung dalam forum lain di luar lingkungan penelitian. Informan ini juga mengenal beberapa anggota lingkungan penelitian dari interaksi di media sosial. Informasi dari informan ini digunakan untuk memperkaya data penelitian tentang bentuk interaksi dari anggota di lingkungan penelitian dengan audiens interaktif lain di luar lingkungan penelitian.
Wawancara dilakukan dengan metode in depth interview melalui media online (direct message aplikasi Line dan Whatsapp) mulai 10 Februari hingga 5 Maret 2016. Sesuai data riset Nielsen (2015), penonton sinetron didominasi oleh penonton perempuan usia 30 tahun ke atas serta anak-anak usia 5-14 tahun (marketers.com, 28 Oktober 2015). Maka, kebanyakan informan yang dipilih adalah wanita. Enam dari tujuh informan adalah wanita dengan rata-rata usia 22-35 tahun. Meskipun di satu sisi pengumpulan data melalui wawancara pada informan terpilih dapat menghadirkan kekayaan data, namun di sisi lain formulasi pemilihan informan ini juga memiliki kekurangan karena dapat membatasi kehadiran informasiinformasi baru yang bergulir di media.
F.4. Teknik Analisis Data Teknik analisis data pada penelitian ini dilakukan mengikuti pola analisis data kualitatif dari Matthew Miles & Michael Huberman (1994) dengan tahapan sebagai berikut: •
Coding, proses pengkodean dan pengkategorian terhadap data penelitian dilakukan dengan panduan daftar kode dan kategori (Ket: lampiran daftar kode dan kategori). Pengkodean dilakukan pada dokumen aktivitas di forum/grup yang merupakan lingkungan penelitian (dokumen percakapan dari 34
forum/blog, screen capture, gambar/foto, video, dan lain-lain) serta pada transkrip wawancara dengan narasumber. •
Noting, proses pencatatan terhadap item-item yang telah dikode untuk memudahkan penelitian selanjutnya.
•
Abstracting and Comparing, proses memilah dan mengelompokkan data sesuai dengan kode dan kategorisasi yang ditetapkan sebagai standar penelitian. Proses ini juga digunakan untuk memilah berdasarkan persamaan dan perbedaan dari temuan data dan memilah mana data yang digunakan atau dibuang.
•
Cheking and Refinement, proses pengolahan terhadap data-data yang telah diketegorisasikan dengan melakukan interpretasi, pemahaman, penemuan patern/pola.
•
Generalizing proses elaborasi menggabungkan semua temuan data penelitian sehingga menghasilkan satu atau beberapa kesimpulan umum.
•
Theorizing proses membandingkan temuan data penelitian secara keseluruhan dengan teori yang digunakan sebagai indikator di awal penelitian. Proses ini akan memberikan hasil akhir dari penelitian (Kozinets 2012, 119).
G. Sistematika Penulisan BAB I
: PENDAHULUAN
Bab ini berisi latar belakang masalah, rumusan masalah, manfaat penelitian, tujuan penelitian, kerangka pemikiran, dan metodologi penelitian. BAB II
: KAJIAN PUSTAKA
Bab ini berisi kajian pustaka, temuan penelitian, maupun perdebatan teori seputar perkembangan dinamika jaringan sosial penonton televisi di luar negeri maupun di Indonesia, sebelum dan pada era konvergensi. BAB III : SUBYEK PENELITIAN Bab ini akan mendeskripsikan secara umum tentang penonton sinetron di Indonesia secara umum, dan secara lebih detail membahas tentang penonton
35
Sinetron 7 Manusia Harimau untuk memberikan gambaran mengapa sinetron ini dan para penontonnya potensial menjadi subyek kajian. BAB IV : HASIL DAN PEMBAHASAN Bab ini berisi berbagai fenomena yang ditemukan sebagai hasil penelitian dan analisis temuan penelitian sesuai dengan teori yang menjadi landasan. BAB V
: PENUTUP
Bab ini berisi kesimpulan dan rekomendasi yang dirangkum dari hasil penelitian.
H. Limitasi Penelitian Penelitian ini dilaksanakan dengan metode netnografi sehingga semua proses pengumpulan data termasuk wawancara dan observasi peneliti hanya dilakukan melalui media online saja dan tidak ada proses offline atau tatap muka antara peneliti dengan subyek penelitian. Sementara itu metode pengumpulan data melalui wawancara pada informan juga memiliki kekurangan karena dapat membatasi kehadiran informasi-informasi baru yang bergulir di media.
36