BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kesehatan merupakan aspek yang sangat penting bagi kesehatan manusia. Dalam Undang-undang no 23 tahun 1992 dijelaskan bahwa kesehatan adalah keadaan sejahtera badan, jiwa dan sosial yang memungkinkan setiap orang dapat hidup produktif secara sosial dan ekonomi. Atas dasar definisi kesehatan tersebut, dapat dikatakan bahwa kesehatan jiwa merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari kesehatan dan unsur utama dalam terwujudnya kualitas hidup manusia yang utuh. Masalah gangguan jiwa di seluruh dunia memang sudah menjadi masalah yang sangat serius. Skizofrenia merupakan salah satu gangguan kesehatan jiwa yang menjadi perhatian dan dikategorikan dalam gangguan psikis yang paling serius
karena
dapat
menyebabkan
menurunnya
fungsi
manusia
dalam
melaksanakan aktivitas kehidupan sehari-hari seperti kesulitan dalam merawat diri sendiri, bekerja atau bersekolah, memenuhi kewajiban peran, dan membangun hubungan yang dekat dengan seseorang (Jeste & mueser, 2008). Skizofrenia mempunyai prevalensi sebesar 1% dari populasi di dunia (rata-rata 0,85%) dengan angka insidensi skizofrenia adalah 1 per 10.000 orang per tahun (Sinaga, 2007). Riset kesehatan dasar tahun 2007 melaporkan angka kejadian skizofrenia di Indonesia adalah 4,6 per 1000 penduduk meningkat dari tahun sebelumnya yang hanya 1-3 per 1000 penduduk (Menteri Kesehatan RI, 2010). .
1
2
Pada pasien skizofrenia terjadi pemisahan antara pikiran, emosi, dan perilaku. Gejala yang timbul pada setiap penderita skizofrenia sangat beragam, diantaranya adalah ketidakmampuan dalam berkomunikasi, kognitif, berbahasa, daya ingat, emosi dan ketidakmampuan dalam adaptasi sosial. Obat antipsikotik telah menjadi terapi farmakologi utama untuk skizofrenia sejak 1950-an. Antipsikotik dapat digunakan untuk mengatasi skizofrenia dengan gejala halusinasi, delusi, dan untuk pencegahan keterulangan (British Medical Association, 2004). Terapi skizofrenia dengan menggunakan obat antipsikotik dibagi dalam 3 episode, yaitu terapi awal selama 7 hari pertama, terapi stabilisasi selama 6-8 minggu dan terapi penjagaan selama 12 bulan setelah membaiknya episode pertama psikotik, sedangkan untuk pasien dengan episode akut yang multiple sebaiknya terapi penjagaan dilakukan minimal selama 5 tahun (Crismon dkk., 2008). Skizofrenia memerlukan terapi pemberian antipsikotik dalam jangka waktu yang cukup lama, sehingga sangat mungkin dalam proses pengobatan dapat ditemukan permasalahan dalam penggunaan antipsikotik. Beberapa jurnal ilmiah menyatakan hubungan antara penggunaan antipsikotik terutama antipsikotik atipikal dengan efek samping metabolik pada tingkat yang bervariasi dari penambahan berat badan, dislipidemi dan risiko terhadap diabetes tipe 2. Perubahan fisik seperti berat badan, perubahan kadar kolesterol maupun gula darah bisa menjadi indikasi efek samping metabolik pada pasien yang diobati dengan antipsikotik ini. Berdasarkan penelitian epidemiologi, cross-sectional, dan prospektif
menyatakan
jika
antipsikotik
terutama
antipisikotik
atipikal
3
menyebabkan peningkatan secara drastis berat badan dan perubahan metabolik seperti peningkatan glukosa darah puasa, resistensi insulin dan trigliserida (Teff & Kim, 2011). Potensi munculnya efek samping ini bisa dipengaruhi oleh berbagai faktor seperti dosis, pola dan durasi penggunaan antipsikotik, serta kerentanan seseorang terhadap munculnya efek samping ini juga berbeda-beda. Hingga saat ini belum ada penelitian yang melihat gambaran munculnya efek samping ini terutama pengaruhnya terhadap perubahan kadar glukosa darah pada pasien skizofrenia yang menggunakan antipsikotik dengan berbagai aturan penggunaan yang biasa digunakan di Rumah Sakit Jiwa di Indonesia. Sehingga penelitian ini perlu dilakukan terutama untuk melihat potensi munculnya efek samping ini pada pasien yang menggunakan kombinasi antipsikotik tipikal dan atipikal. Rumah sakit Grhasia merupakan rumah sakit pemerintah yang secara khusus menangani penyakit kejiwaan di provinsi DIY. Skizofrenia merupakan salah satu penyakit kejiwaan yang ditangani di rumah sakit tersebut, dan memiliki prevalensi lebih tinggi dibanding penyakit kejiwaan lain. Selain itu, penelitian tentang evaluasi efek samping obat berupa hiperglikemia akibat penggunaan kombinasi antipsikotik tipikal dan atipikal belum pernah dilakukan di Instalasi Rawat Inap Rumah Sakit Grhasia DIY dan diharapkan hasil penelitian ini nantinya dapat digunakan sebagai dasar pertimbangan dan evaluasi dalam terapi pada pasien.
4
B. Rumusan Masalah Adakah perubahan kadar glukosa darah yang terjadi pada pasien skizofrenia sebagai efek samping dari penggunaan kombinasi obat antipsikotik tipikal dan atipikal di Instalasi Rawat Inap Rumah Sakit Jiwa Grhasia Yogyakarta selama periode penelitian Februari-April 2013 ?
C. Tujuan Penelitian 1.
Tujuan umum Untuk mengetahui potensi munculnya efek samping penggunaan kombinasi obat antipsikotik tipikal dan atipikal terhadap kadar glukosa darah pasien skizofrenia di instalasi rawat inap Rumah Sakit Jiwa Grhasia Yogyakarta selama periode penelitian Februari-April 2013.
2.
Tujuan khusus Mengetahui adanya kenaikan kadar glukosa darah yang terjadi pada pasien skizofrenia sebagai efek samping penggunaan kombinasi obat antipsikotik tipikal dan atipikal di instalasi rawat inap Rumah Sakit Jiwa Grhasia Yogyakarta selama periode penelitian Februari-April 2013.
D. Manfaat Penelitian 1.
Bagi peneliti Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan gambaran informasi terkait risiko sindrom metabolik terutama pengaruhnya terhadap kadar glukosa darah sebagai efek samping dari penggunaan kombinasi antipsikotik
5
tipikal dan tipikal pada pasien skizofrenia. Selain itu juga untuk menjawab permasalahan peneliti. 2.
Bagi rumah sakit Untuk mengetahui seberapa besar tingkat perubahan kadar glukosa darah yang timbul sebagai efek samping dari penggunaan antipsikotik tipikal dan atipikal pengobatan pada pasien skizofrenia sehingga dapat dijadikan sebagai dasar pertimbangan dan evaluasi dalam terapi pada pasien skizofrenia.
3.
Bagi institusi pendidikan Menjadi
sumber
referensi
yang
dapat
membantu
penelitian
selanjutnya guna perkembangan terapi pada pasien skizofrenia
E. Tinjauan Pustaka 1.
Skizofrenia a. Definisi Skizofrenia secara etimologi berasal dari kata dalam bahasa Yunani yaitu schizo yang berarti ‘terpotong’ atau ‘terpecah’ dan phren yang berarti pikiran, sehingga skizofrenia berarti pikiran yang terpecah (Veague, 2007). Arti dari kata-kata tersebut menjelaskan tentang karakteristik utama dari gangguan skizofrenia, yaitu pemisahan antara pikiran, emosi, dan perilaku dari orang yang mengalaminya. Definisi skizofrenia yang lebih mengacu kepada gejala kelainannya adalah gangguan psikis yang ditandai oleh penyimpangan realitas, penarikan diri
6
dari interaksi sosial, juga disorganisasi persepsi, pikiran, dan kognisi (Wiramihardja, 2007). Dalam DSM-IV, skizofrenia didefinisikan sebagai sekelompok ciri dari gejala positif dan negatif, ketidakmampuan dalam fungsi sosial, pekerjaan ataupun hubungan antar pribadi, dan menunjukkan terus gejalagejala ini selama paling tidak enam bulan. Referensi lain juga menyebutkan bahwa skizofrenia merupakan suatu gangguan yang mencakup gejala kelainan kekacauan pada isi pikiran, bentuk pikiran, persepsi, afeksi, perasaan terhadap diri sendiri, motivasi, perilaku, dan fungsi interpersonal (Halgin & Whitboume, 1997). Berdasarkan definisidefinisi yang telah diuraikan diatas, dapat disimpulkan bahwa skizofrenia adalah salah satu jenis kelainan mental yang mengacaukan hampir seluruh fungsi manusia yang mencakup fungsi berpikir, persepsi, emosi, motivasi, perilaku, dan sosial.
b. Epidemiologi Skizofrenia mempunyai prevalensi sebesar 1% dari populasi di dunia (rata-rata 0,85%) dengan angka insidensi skizofrenia adalah 1 per 10.000 orang per tahun (Sinaga, 2007). Riset kesehatan dasar tahun 2007 melaporkan angka kejadian skizofrenia di Indonesia adalah 4,6 per 1000 penduduk meningkat dari tahun sebelumnya yang hanya 1-3 per 1000 penduduk (Menteri Kesehatan RI, 2010).
7
Prevalensi skizofrenia berdasarkan jenis kelamin, ras dan budaya adalah sama. Perempuan cenderung mengalami gejala yang lebih ringan, lebih sedikit rawat inap dan fungsi sosial yang lebih baik di komunitas dibandingkan dengan laki-laki (Sinaga, 2007). Onset skizofrenia pada lakilaki terjadi lebih awal dari pada wanita. Onset puncak pada laki-laki terjadi pada umur 15-24 tahun sedangkan pada wanita terjadi pada usia 25-35 tahun. Skizofrenia jarang terjadi pada penderita sebelum remaja atau setelah umur 40 tahun. Prevalensinya 8 x lebih besar pada tingkat sosial ekonomi rendah dari pada tinggi (Ikawati, 2009). Walaupun skizofrenia bukanlah penyakit yang fatal, namun ratarata kematian orang yang menderita skizofrenia lebih tinggi dibandingkan dengan populasi umum. Tingginya angka kematian berkaitan dengan gaya hidup yang tidak sehat, efek samping obat yang menyebabkan status kesehatan yang menurun, dan juga kondisi buruk di institusi perawatan yang berkepanjangan yang menyebabkan tingginya angka penyakit menular.
c. Etiologi Skizofrenia disebabkan oleh berbagai faktor. Penyebab skizofrenia telah diselidiki dan menghasilkan beraneka ragam pandangan. Sebagian besar ilmuwan meyakini bahwa skizofrenia adalah penyakit biologis yang disebabkan oleh faktor – faktor genetik, ketidakseimbangan kimiawi di otak, atau abnormalitas dalam lingkungan prenatal. Berbagai peristiwa
8
stress dalam hidup dapat memberikan kontribusi pada perkembangan skizofrenia pada mereka yang telah memiliki predisposisi pada penyakit ini. Penyebab munculnya skizofrenia terbagi menjadi berbagai pendekatan seperti pendekatan biologis, teori psikogenik, dan pendekatan gabungan atau stree-vulnerability model. 1) Pendekatan biologis Pada pendekatan biologis menyangkut faktor genetik, struktur otak, dan proses biokimia sebagai penyebab skizofrenia (Halgin dkk., 1997). a) Teori genetik Teori ini menekankan pada ekspresi gen yang bisa menyebabkan gangguan mental. Hasil dari beberapa penelitian menunjukan bahwa faktor genetik sangat berperan dalam perkembangan skizofrenia, dimana ditemukan hasil bahwa skizofrenia cenderung menurun dalam keluarga. Hal ini dibuktikan dengan penelitian yang dilakukan National Institute of Mental Health (NIMH) pada keluarga penderita skizofrenia yang menyatakan bahwa skizofrenia muncul pada 10% populasi yang memiliki keluarga dengan riwayat skizofrenia seperti orang tua dan saudara kandung. Berdasarkan American Journal of Medical Genetiks, menyatakan bahwa apabila kedua orang tuanya mengidap skizofrenia, maka kemungkinan anaknya mengalami
9
skizofrenia adalah sebesar 40%. Sehingga dapat disimpulkan bahwa semakin dekat hubungan biologis dengan individu yang sakit, maka semakin besar juga kemungkinan seseorang menderita skizofrenia (Semiun, 2006). Beberapa tahun terakhir telah diteliti mengenai gen yang spesifik berkontribusi terhadap timbulnya skizofrenia. Gen-gen tersebut di antaranya adalah Disrupted in Schizophrenia (DISC), G-Protein
Signalling-4
(RGS4),
Prolyne
Dehidrogenase
(PRODH), dan Neuregulin-1 (NRG-1) (Dawe dkk., 2009 ; Harrison & Owen, 2003). Dengan adanya kelainan gen-gen tersebut maka akan berpengaruh terhadap sintesis protein, misalnya akan menyebabkan disfungsi protein yang membentuk kompleks reseptor NMDA. Tentu saja hal ini akan menyebabkan hipofungsi
reseptor
NMDA
yang
pada
akhirnya
akan
menyebabkan timbulnya gejala-gejala psikosis (Dawe, 2009). Hasil penelitian lain menunjukkan proporsi yang tinggi dari orang-orang skizofrenia mengalami masalah dengan suatu gen khusus pada kromosom 5 (Semiun, 2006). Hal ini menjadi logis karena gen ini mempengaruhi dopamin dan reseptor dopamin yang berperanan penting dalam timbulnya simptom skizofrenia. Sehingga dapat disimpulkan bahwa lebih dari satu gen dapat menyebabkan gangguan skizofrenia.
10
Pengaruh genetik tidak sesederhana itu, lingkungan individu merupakan faktor penting yang berpengaruh terhadap proses perkembangan skizofrenia. Ada kemungkinan jika individu-individu
yang
hubungannya
lebih
erat
memiliki
lingkungan yang sama. Dengan begitu, tidak bisa disimpulkan dengan pasti mengenai satu dasar genetik pada skizofrenia. Selain itu juga, faktor-faktor genetik tidak dapat menjelaskan semua kasus skizofrenia. Dapat dikatakan jika gen-gen tersebut hanya meningkatkan kerentanan seseorang untuk menjadi seorang dengan skizofrenia. b) Teori neurostruktural Berdasarkan pemeriksaan MRI dan CT scan otak pada orang-orang dengan skizofrenia menunjukkan ada tiga tipe abnormalitas struktural, yaitu pembesaran pada ventrikel otak, atrofi kortikal, dan asimetri serebral yang terbalik (reversed cerebral asimetry) (Semiun, 2006). (1) Pembesaran pada ventrikel otak Ventrikel adalah rongga atau saluran otak tempat cairan serebrospinal mengalir, diperkirakan pada pasien skizofrenia terjadinya pembesaran pada daerah ini hingga 20 hingga 50%. Kerusakan pada ventrikel berhubungan dengan skizofrenia kronis dan simptom negatif
(Semiun, 2006).
Struktur otak yang tidak normal seperti pembesaran ventrikel
11
otak diyakini menyebabkan tiga sampai empat orang yang mengalaminya menderita skizofrenia (Nevid dkk., 2005). Pembesaran ventrikel otak ini menyebabkan otak kehilangan sel–sel otak, sehingga otak akan mengecil ukurannya dibandingkan otak yang normal.
Gambar 1. Pembesaran ventrikel otak pada pasien skizofrenia (Stefan dkk., 2002)
(2) Atrofi kortikal Pendapat lain menyatakan bahwa skizofrenia dapat terjadi pada seseorang yang kehilangan jaringan otak yang bersifat degeneratif atau progresif, kegagalan otak untuk berkembang normal, dan juga karena infeksi virus pada otak ketika masa kandungan (Nevid dkk., 2005). Atrofi juga menyebabkan kerusakan suci yang menutupi selaput otak atau pembesaran celah antara bagian-bagian otak. Sebanyak
12
20 hingga 35% orang dengan skizofrenia mengalami kelainan ini (Semiun, 2006). (3) Asimetri serebral yang terbalik (reversed cerebral asimetry) Pada orang normal, sisi kiri otak lebih besar daripada sisi kanan, tetapi kondisi yang terbalik terjadi pada orangorang dengan skizofrenia. Padahal otak kiri bertanggung jawab dalam kemampuan bahasa, sedangkan otak kanan bertanggung jawab dalam kemampuan spasial. Hal ini menyebabkan perbedaan dalam memahami masalah-masalah kognitif pada pasien skizofrenia. Abnormalitas skizofrenia,
pada
seperti
struktur
pengurangan
otak
pada
pasien
massa
otak
karena
pembesaran ventrikel otak mungkin dapat mempengaruhi dalam
produksi
neurotransmitter
yang
terlibat
dalam
skizofrenia dan menentukan simptom-simptom yang nantinya akan muncul. Selain itu, kemungkinan lain yang diungkapkan adalah pengurangan massa otak ini dapat menyebabkan pegurangan ukuran dari daerah-daerah otak yang penting untuk fungsi normal (Semiun, 2006). Namun, masih dibutuhkan
penelitian
kepastian teori-teori ini.
lebih
lanjut
untuk
mengetahui
13
c) Teori biokimia Pada teori biokimia, dikenal hipotesis dopamin dan serotonin-glutamat. Overaktivitas reseptor dopamin saraf pada jalur mesolimbik bisa menyebabkan timbulnya gejala positif, sedangkan penurunan aktivitas dopamin neuron pada jalur mesokortek di dalam kortek prefrontalis bisa menyebabkan gejala negatif. Pada teori glutamat disebutkan bahwa, penurunan kadar glutamat akan menyebabkan penurunan regulasi reseptor Nmethyl-D-aspartate (NMDA) dan menyebabkan gejala-gejala psikotik serta defisit kognitif (Dawe, 2009). Banyak literatur yang menyatakan hubungan peningkatan aktivitas dari neurotransmiter dopamin dengan skizofrenia. Tingginya konsentrasi dopamin yang ditemukan di daerah korteks pada lobus frontalis berperan dalam mengintegrasikan fungsi manusia (Semiun, 2006). Konsentrasi dopamin yang tinggi menyebabkan aktivitas neurologis yang tinggi dalam otak, sehingga memunculkan simptom-simptom skizofrenia. Tingginya aktivitas dopamin menyebabkan rangsangan yang tinggi pada daerah khusus pada otak, rangsangan tersebut mengganggu fungsi kognitif yang kemudian mengakibatkan halusinasi dan delusi. Penjelasan ini yang mengemukakan hubungan antara faktor biokimiawi dan faktor kognitif.
14
Ada tiga faktor yang mungkin menjadi penyebab tingginya aktivitas dopamin (Semiun, 2006). (1) Konsentrasi dopamin yang tinggi (2) Sensitivitas yang tinggi dari reseptor dopamin (3) Jumlah reseptor dopamin yang terdapat pada sinapsis Pada orang dengan skizofrenia ditemukan memiliki jumlah reseptor dopamin yang lebih banyak daripada orang normal. Penurunan drastis jumlah reseptor dopamin pada lakilaki terjadi pada usia antara 30-50 tahun, sedangkan pada perempuan penurunan jumlah reseptor terjadi perlahan-perlahan (Wong dkk., 1986). Teori ini dapat menjadi penjelasan mengenai perbedaan onset yang terjadi pada laki-laki dan perempuan.
2) Teori psikogenik Teori psikogenik, yaitu skizofrenia sebagai suatu gangguan fungsional dan penyebab utama adalah konflik, stress psikologik dan hubungan antar manusia yang mengecewakan. 3) Stress-Vulnerability Model Pendekatan ini meyakini bahwa orang – orang tertentu yang memiliki kerentanan genetis terhadap skizofrenia akan memunculkan gejala skizofrenia jika mereka hidup dalam lingkungan yang penuh dengan stress (Semiun, 2006). Peristiwa dalam hidup dapat
15
memberikan kontribusi pada perkembangan skizofrenia pada mereka yang telah memiliki predisposisi pada penyakit ini.
d. Gejala skizofrenia Skizofrenia ditandai oleh gejala positif, negatif, dan kognitif. Gejala positif mencakup delusi, halusinasi, disorganisasi pikiran, pembicaraan, dan perilaku. 1) Delusi yaitu suatu keyakinan yang tidak rasional. Meskipun telah dibuktikan secara obyektif bahwa keyakinan itu tidak rasional, namun penderita tetap meyakini kebenarannya. 2) Halusinasi adalah pengalaman panca indera tanpa ada rangsangan. Penderita skizofrenia merasa melihat, mendengar, mencium, meraba atau menyentuh sesuatu yang tidak ada. 3) Disorganisasi pikiran dan pembicaraan meliputi tidak runtutnya pola pembicaraan dan penggunaan bahasa yang tidak lazim pada orang dengan skizofrenia. Gangguan berpikir pada skizofrenia biasa disebut sebagai gangguan berpikir formal yang ditandai oleh kecenderungan untuk melompat dari satu topik ke topik lain ketika berbicara. Orang dengan skizofrenia seringkali menjawab dengan sedikit sekali hubungannya dengan pertanyaan yang diajukan. 4) Disorganisasi perilaku meliputi aktivitas psikomotor yang tidak biasa dilakukan orang normal, seperti gaduh, gelisah, tidak dapat diam, mondar-mandir, agresif.
16
5) Gejala lain yang biasanya muncul adalah seperti pikirannya penuh dengan
kecurigaan atau seakan – akan ada ancaman terhadap
dirinya dan juga menyimpan rasa permusuhan.
Pada gejala negatif ditandai dengan saffective flattening, alogia dan avolition. 1) Affective flattening adalah suatu gejala dimana seseorang hanya menampakkan sedikit reaksi emosi terhadap stimulus, sedikitnya bahasa tubuh dan sangat sedikit melakukan kontak mata. Hal ini bukan berarti orang dengan skizofrenia kurang atau tidak merasakan emosi, orang dengan skizofrenia tetap saja merasakan emosi namun tidak mampu mengekspresikannya. 2) Alogia adalah kurangnya kata pada seseorang sehingga dianggap tidak
responsif
dalam
suatu
pembicaraan.
Orang
dengan
skizofrenia seringkali tidak memilki inisiatif untuk berbicara kepada orang lain bahkan merasa takut berinteraksi dengan orang lain sehingga sering menarik diri dari lingkungan sosial. 3) Avolition adalah kurangnya inisiatif pada seseorang seakan-akan orang tersebut kehilangan energi untuk melakukan sesuatu.
Gejala ketiga adalah gejala kognitif yang melibatkan masalah memori dan perhatian. Gejala ini mungkin yang paling mengganggu pada pasien skizofrenia karena mempengaruhi kemampuan penderita untuk
17
melakukan tugas sehari-hari seperti masalah dalam memahami informasi dan menentukan pilihan, kesulitan dalam memberikan perhatian, dan masalah ingatan.
e. Klasifikasi skizofrenia Skizofrenia dapat dibedakan menjadi beberapa tipe menurut PPDGJ III tahun 1993, yaitu : 1) Skizofrenia paranoid (F 20. 0) a) Memenuhi kriteria skizofrenia b) Halusinasi dan / waham harus menonjol : halusinasi auditori yang memberi perintah atau auditorik yang berbentuk
tidak
verbal;
halusinasi
pembauan
atau
pengecapan rasa atau bersifat seksual;waham dikendalikan, dipengaruhi, pasif atau keyakinan dikejar-kejar c) Gangguan afektif, dorongan kehendak, dan pembicaraan serta gejala katatonik relative tidak ada. 2) Skizofrenia hebefrenik (F 20. 1) a) Memenuhi kriteria skizofrenia b) Pada usia remaja dan dewasa muda (15-25 tahun) c) Kepribadian premorbid : pemalu, senang menyendiri d) Gejala bertahan 2-3 minggu e) Gangguan afektif dan dorongan kehendak, serta gangguan proses pikir umumnya menonjol. Perilaku tanpa tujuan, dan
18
tanpa maksud. Preokupasi
dangkal dan dibuat-buat
terhadap agama, filsafat, dan tema abstrak. f) Perilaku yang tidak bertanggung jawab dan tak dapat diramalkan, mannerism, cenderung senang menyendiri, perilaku hampa tujuan, dan hampa perasaan g) Afek dangkal (shallow) dan tidak wajar (in appropriate), cekikikan, puas diri, senyum sendiri, atau sikap tinggi hati, tertawa menyeringai, mengibuli secara bersenda gurau, keluhan hipokondriakal, ungkapan kata diulang-ulang h) Proses pikir disorganisasi, pembicaraan tak menentu, inkoheren 3) Skizofrenia katatonik (F 20. 2) a) Memenuhi kriteria diagnosis skizofrenia b) Stupor (amat berkurang reaktivitas terhadap lingkungan, gerakan, atau aktivitas spontan) atau mutisme c) Gaduh-gelisah (tampak aktivitas motorik tak bertujuan tanpa stimuli eksternal) d) Menampilkan posisi tubuh tertentu yang aneh dan tidak wajar serta mempertahankan posisi tersebut e) Negativisme (perlawanan terhadap perintah atau melakukan ke arah yang berlawanan dari perintah) f) Rigiditas (kaku)
19
g) Flexibilitas cerea (waxy flexibility) yaitu mempertahankan posisi tubuh dalam posisi yang dapat dibentuk dari luar h) Command automatism (patuh otomatis dari perintah) dan pengulangan kata-kata serta kalimat i) Diagnosis
katatonik
dapat
tertunda
jika
diagnosis
skizofrenia belum tegak karena pasien yang tidak komunikatif 4) Skizofrenia tak terinci atau undifferentiated (F 20. 3) a) Memenuhi kriteria umum diagnosis skizofernia b) Tidak paranoid, hebefrenik, katatonik c) Tidak memenuhi skizofren residual atau depresi pascaskizofrenia 5) Skizofrenia pasca-skizofrenia (F 20. 4) a) Memenuhi kriteria umum diagnosis skizofernia selama 12 bulan terakhir ini b) Beberapa gejala skizofrenia masih tetap ada (tetapi tidak lagi mendominasi gambaran klinisnya) c) Gejala – gejala depresif menonjol dan mengganggu, memenuhi paling sedikit kriteria untuk episode depresif (F32.-), dan telah ada dalam kurun waktu paling sedikit 2 minggu. Apabila pasien tidak menunjukkan lagi gejala skizofrenia, diagnosis menjadi episode depresif (F32.-). Bila gejala skizofrenia
20
masih jelas dan menonjol, diagnosis harus tetap salah satu dari subtipe skizofrenia yang sesuai (F20.0 - F20.3). 6) Skizofrenia residual (F 20. 5) a) Gejala “negatif” dari skizofrenia yang menonjol, misalnya perlambatan psikomotorik, aktifitas yang menurun, afek yang menumpul, sikap pasif dan ketiadaan inisiatif, kemiskinan dalam kuantitas atau isi pembicaraan, komunikasi non verbal yang buruk sperti dalam ekspresi muka, kontak mata, modulasi suara dan posisi tubuh, erawatan diri dan kinerja sosial yang buruk. b) Sedikitnya ada riwayat satu episode psikotik yang jelas dimasa lampau yang memenuhi kriteria untuk diagnosis skizofrenia; c) Sedikitnya sudah melewati kurun waktu satu tahun dimana intensitas dan frekuensi gejala yang nyata seperti waham dan halusinasi telah sangat berkurang (minimal) dan telah timbul sindrom “negatif” dari skizofrenia; d) Tidak terdapat dementia atau penyakit/gangguan otak organik lain, depresi kronis atau institusionalisasi yang dapat menjelaskan disabilitas negatif tersebut.
21
7) Skizofrenia simpleks (F 20. 6) a) Diagnosis
skizofrenia
meyakinkan
simpleks
karena
sulit
tergantung
dibuat
pada
secara
pemantapan
perkembangan yang berjalan perlahan dan progresif dari : (1) Gejala “negatif” yang khas dari skizofrenia residual tanpa didahului riwayat halusinasi, waham, atau manifestasi lain dari episode psikotik (2) Disertai dengan perubahan – perubahan perilaku pribadi yang bermakna, bermanifestasi sebagai kehilangan minat yang mencolok, tidak berbuat sesuatu, tanpa tujuan hidup, dan penarikan diri secara sosial. b) Gangguan ini kurang jelas gejala psikotiknya dibandingkan subtipe skizofrenia lainnya. 8) Skizofrenia lainnya (F.20.8) Termasuk
skizofrenia
chenesthopathic
(terdapat
suatu
perasaan yang tidak nyaman, tidak enak, tidak sehat pada bagian tubuh tertentu), gangguan skizofreniform YTI. 9) Skizofrenia tak spesifik (F.20.7) Merupakan tipe skizofrenia yang tidak dapat diklasifikasikan kedalam tipe yang telah disebutkan.
22
f. Diagnosis Diagnosis skizofrenia yang biasa digunakan adalah berdasarkan DSM-IV. Kriteria diagnosis skizofrenia menurut DSM-IV : 1) Gejala Karakteristik : dua atau lebih gejala berikut ini yang muncul dalam jangka waktu yang signifikan dalam periode 1 bulan, yaitu : a) Delusi (waham, keyakinan yang kuat terhadap sesuatu yang sebenarnya tidak nyata) b) Halusinasi (seperti mendengar suara-suara atau melihat sesuatu yang sebenarnya tidak ada) c) Cara bicara tak teratur d) Tingkah laku yang tak terkontrol e) Gejala negatif, yaitu afek datar, alogia, atau tidak ada kemauan (avolition) Catatan : jika wahamnya bersifat aneh/ganjil, atau halusinasinya terdiri dari suara-suara yang mengomentari orang itu atau suarasuara yang berbicara satu sama lain, maka satu gejala karakteristik saja cukup untuk mendiagnosa skizofrenia. 2) Disfungsi sosial/pekerjaan : adanya gangguan terhadap fungsi sosial atau pekerjaan untuk jangka waktu yang signifikan. 3) Durasi : tanda gangguan terjadi secara terus menerus selama enam bulan, yang merupakan gejala karakteristik seperti pada poin 1.
23
4) Gejala psikotik bukan disebabkan karena gangguan mood seperti pada bipolar. 5) Gejala psikotik bukan disebabkan karena penggunaan obat atau kondisi medik tertentu.
g. Penatalaksanaan skizofrenia Tujuan utama dari terapi skizofrenia adalah mengembalikan fungsi normal pasien dan mencegah kekambuhan penyakitnya. Tidak ada pengobatan yang spesifik untuk masing-masing subtipe skizofrenia. Pengobatan hanya dibedakan berdasarkan gejala apa yang menonjol pada pasien. Terapi yang bisa dilakukan pada penderita skizofrenia meliputi terapi farmakologi dan non farmakologi. 1) Terapi farmakologi Obat-obatan yang biasa digunakan pada terapi farmakologi pada pasien skizofrenia adalah golongan obat antipsikotik. Pada awalnya, obat antipsikotik hanya digunakan saat episode akut saja, namun selanjutnya digunakan juga untuk mencegah risiko kekambuhan. Oleh karena itu, obat antipsikotik ini digunakan dalam jangka waktu yang lama karena memang berfungsi untuk terapi
pemeliharaan. Selain untuk mencegah kekambuhan,
antipsikotik juga berguna untuk mengurangi gejala.
24
2) Terapi non farmakologi Terapi non farmakologi pada penderita skizofrenia meliputi pendekatan psikososial dan ECT (electro convulsive therapy). Peningkatan kualitas hidup dan kesembuhan pasien skizofrenia akan lebih baik jika diberikan juga terapi non farmakologi disamping terapi obat. Kombinasi kedua terapi ini akan mampu memberikan manfaat yang banyak bagi pasien. Pendekatan psikososial bertujuan untuk memberikan dukungan emosional kepada pasien sehingga pasien mampu meningkatkan fungsi sosial dan pekerjaannya dengan lebih baik. Ada beberapa jenis pendekatan psikososial yang biasa dilakukan pada pasien skizofrenia, diantaranya yaitu Program for Assertive Community Treatment (PACT), intervensi keluarga, terapi perilaku kognitif (cognitive behavioural therapy), dan pelatihan keterampilan sosial (Ikawati, 2011). Selain pendekatan psikososial, ada juga terapi non farmakologi menggunakan ECT (electro convulsive therapy). Penggunaan
ECT
yang
dikombinasi
dengan
obat-obatan
antipsikotik bisa dijadikan pilihan terapi bagi pasien yang menginginkan perbaikan umum dan pengurangan gejala dengan cara yang cepat (Tharyan, 2005).
Sasaran terapi pada pasien skizofrenia bervariasi berdasarkan fase dan keparahan penyakitnya. Pada fase akut, sasarannya adalah mengurangi
25
atau menghilangkan gejala psikotik dan meningkatkan fungsi normal pasien. Sedangkan pada fase stabilisasi, sasarannya adalah mengurangi risiko kekambuhan dan meningkatkan adaptasi pasien terhadap kehidupan dalam masyarakat. Ada tiga tahap pengobatan dan pemulihan skizofrenia (Ikawati, 2011) : 1) Terapi fase akut Pada fase ini pasien menunjukkan gejala psikotik yang intens. Biasanya pada fase ini ditandai dengan munculnya gejala positif dan negatif. Pengobatan pada fase ini bertujuan untuk mengendalikan gejala psikotik sehingga tidak membahayakan terhadap diri sendiri maupun orang lain. Terapi utamanya adalah dengan menggunakan obat dan biasanya dibutuhkan rawat inap. Pemilihan antipsikotik yang benar dan dosis yang tepat dapat mengurangi gejala psikotik dalam waktu enam minggu. 2) Terapi fase stabilisasi Pada fase ini pasien masih mengalami gejala psikotik dengan intensitas yang lebih ringan. Pada fase ini pasien masih memiliki kemungkinan yang besar untuk kambuh sehingga dibutuhkan pengobatan yang rutin untuk menuju ke tahap pemulihan yang lebih stabil. 3) Terapi tahap pemeliharaan Pada tahap ini dilakukan terapi jangka panjang dengan harapan dapat mempertahankan kesembuhan, mengontrol gejala,
26
mengurangi risiko kekambuhan, mengurangi durasi rawat inap, dan mengajarkan keterampilan untuk hidup mandiri. Terapinya meliputi obat-obatan, terapi suportif, pendidikan keluarga dan konseling, serta rehabilitasi pekerjaan dan sosial.
2.
Antipsikotik Obat–obat ini pernah disebut neuroleptik, antiskizofrenia, antipsikotik, dan transkuilizer mayor. Istilah yang paling sering digunakan adalah neuroleptika dan antipsikotik. Antipsikotik memiliki aktivitas yang hampir sama terutama dalam mengeblok aktivitas dari neurotransmitter dopamin. Hal ini sesuai dengan teori yang menyatakan terjadinya peningkatan aktivitas dopamin pada pasien skizofrenia. Namun, terdapat berbagai tipe skizofrenia yang menggambarkan penyebab fisiologi yang berbeda maka dapat dikatakan antipsikotik ini memiliki tingkat efektivitas yang berbeda untuk setiap pasien yang berbeda. Terdapat dua jenis antipsikotik yaitu antipsikotik tipikal dan atipikal. Pada dasarnya semua antipsikotik mempunyai efek klinis yang sama pada dosis ekivalen. Perbedaan utama pada efek samping. Pemilihan jenis antipsikosis mempertimbangkan gejala psikosis yang dominan dan efek samping obat. Bila gejala negatif lebih menonjol dari gejala positif pilihannya adalah obat antipsikosis atipikal (golongan generasi kedua), sebaliknya jika gejala positif lebih menonjol dibandingkan gejala negatif pilihannya adalah tipikal (golongan generasi pertama).
27
Antipsikotik tidak bersifat kuratif (karena tidak mengeliminasi gangguan berpikir mendasar), tetapi biasanya membantu pasien berfungsi normal. Obat-obat ini hanya memperbaiki ketidakseimbangan untuk sementara dan tidak dapat memecahkan masalah fisiologis yang mendasar. Hal ini dibuktikan dengan beberapa kasus pasien yang kambuh setelah menghentikan penggunaan obat-obat ini. Antipsikotik dapat dibedakan menjadi 2, yaitu : a.
Antipsikotik tipikal (FGA) Antipsikotik tipikal merupakan antipsikotik generasi lama yang mempunyai aksi untuk mengeblok reseptor dopamin D2. Antipsikotik jenis ini lebih efektif untuk mengatasi gejala positif yang muncul. Efek samping ekstrapiramidal banyak ditemukan pada penggunaan antipsikotik tipikal sehingga muncullah antipsikotik atipikal yang lebih aman. Contoh obat-obatan yang termasuk dalam antipsikotik tipikal diantaranya adalah klorpromazin, tiorizadin, flufenazin, haloperidol, loxapin, dan perfenazin (Ikawati, 2011).
b. Antipsikotik atipikal (SGA) Antipsikotik atipikal adalah generasi baru yang banyak muncul pada tahun 1990an. Aksi obat ini yaitu mengeblok reseptor 5-HT2 dan memiliki efek blokade pada reseptor dopamin yang rendah. Antipsikotik atipikal merupakan pilihan pertama dalam terapi skizofrenia karena efek sampingnya yang cenderung lebih kecil jika dibandingkan dengan antipsikotik tipikal. Antipsikotik atipikal
28
menunjukkan penurunan dari munculnya efek samping karena penggunaan obat dan masih efektif diberikan untuk pasien yang telah resisten terhadap pengobatan (Shen, 1999). Antipsikotik ini efektif untuk mengatasi gejala baik positif maupun negatif. Contoh obat yang termasuk antipsikotik atipikal adalah clozapin, risperidon, olanzapin, ziprasidon, dan quetiapin. Klasifikasi dan dosisnya dapat dilihat pada tabel I.
Tabel I. Klasifikasi dan dosis antipsikotik ( Crismon dkk., 2008)
Nama Generik
Nama Dagang
Dosis Ekuivalensi Tipikal (mg)
Rentang Dosis yang sering Digunakan (mg/hari)
Antipsikotik Tipikal ( Generasi Pertama ) Chlorpromazine Thorazine 100 Fluphenazine Prolixin 2 Haloperidol Haldol 2 Loxapine Loxitane 10 Molindone Moban 10 Mesoridazine Serentil 50 Perphenazine Trilafon 10 Thioridazine Mellaril 100 Thiothixene Navane 4 Trifluoperazine Stelazine 5 Antipsikotik Atipikal ( Generasi Kedua ) Aripiprazole Abilify TA Klozapin Clozaril TA Olanzapine Zyprexa TA Quetiapine Seroquel TA Risperidone Risperdal TA Ziprasidone Geodon TA Keterangan : TA : parameter ini tidak digunakan pada atipikal antipsikotik
Dosis Maksimum Menurut Pabrik (mg/hari)
100-800 2-20 2-20 10-80 10-100 50-400 10-64 100-800 4-40 5-40
2000 40 100 250 225 500 64 800 60 80
15-30 50-500 10-20 250-500 2-8 40-160
30 900 20 800 16 200
29
Tahap 1 : Episode pertama psikosis Mencoba Antipsikotik tunggal Antipsikotik atipikal (SGA) sebagai drug of choice. Dimulai dengan dosis rendah antipsikotik dan monitoring efek samping serta sensitifitas pasien terhadap pengobatan.
Respon parsial atau tidak ada respon FGA = First Generation Antipsychotic= Antipsikotik Tipikal (contoh : loxapine, perphenazine, molindone, haloperidol, trifluoroperazine, thiothixine, chlorpromazine) SGA = Second Generation Antipsychotic=Antipsikotik atipikal (contoh : aripipraole, olanapine, quatiapine, risperidone atau ziprasidone)
Tahap 2 Tipikal atau atipikal tunggal (bukan antipsikotik pada Tahap 1) Respon parsial atau tidak ada respon Tahap 3 CLOZAPINE
CLOZAPINE Pertimbangkan penggunaan clozapin jika pasien memiliki riwayat percobaan bunuh diri (Level A), riwayat penyalahgunaan obat (Level B/C), dan tidak ada perbaikan gejala lebih dari 2 tahun setelah menjalani pengobatan dengan antipsikotik.
Respon parsial atau tidak ada respon
J Pasien tidak patuh Pertimbangkan penggunaan long-acting antipsikotik seperti microspheres risperidon, haloperidol dekanoat, atau fluphenazine dekanoat.
Tahap 4 CLOZAPINE + (FGA, SGA atau ECT)
Tahap 4-6 berdasarkan pendapat ahli dan laporan kasus
Tidak ada respon
Tahap 5 Tipikal atau atipikal tunggal (tidak digunakan pada Tahap 1 atau 2)
Tahap 6 Terapi Kombinasi Contoh : SGA + FGA, kombinasi dari SGA, (FGA atau SGA) + ECT, (FGA + SGA) + agen lain (seperti mood stabilizer) Gambar 2. Alghoritma terapi Skizofrenia ( Crismon dkk., 2008)
30
3.
Efek samping antipsikotik Selain manfaat antipsikotik yang telah dijelaskan sebelumnya, obatobat antipsikotik ini juga memiliki efek samping yang bermakna terutama jika digunakan dalam dosis besar dalam jangka waktu yang lama. Efek samping utama yang paling sering muncul dan dijadikan bahan pertimbangan dalam pemberian terapi adalah efek samping ekstrapiramidal pada penggunaan antipsikotik generasi lama. Termasuk dalam efek samping ekstrapiramidal ini yaitu distonia akut, pseudoparkinsonisme, dan akatsia. Efek samping ini umumnya muncul setelah beberapa hari sampai beberapa minggu setelah penggunaan antipsikotik dan biasanya sulit untuk diatasi (Holloman dkk.,1994). Selain adanya efek samping ekstrapiramidal yang muncul, efek samping lain yang ditimbulkan oleh penggunaan antipsikotik yaitu sedasi, neuroleptic malignant syndrome, gangguan kardiovaskular, efek antikolinergik dan antiadrenergik, gangguan metabolisme, kenaikan berat badan, dan disfungsi seksual (Crismon dkk., 2009). Salah satu cara untuk mengatasi efek samping dan meningkatkan kemanfaaatan dari antipsikotik adalah dengan menggunakan dosis obat serendah mungkin yang masih dapat memberikan efek farmakologis. Dosis tersebut harus tetap dikontrol.
4.
Sindrom metabolik Beberapa penelitian menunjukkan pengaruh pengobatan antipsikotik terhadap gangguan metabolisme dalam
tubuh. Komponen utama dari
31
sindrom metabolik ini meliputi resistensi insulin, obesitas abdominal/sentral, hipertensi, dan dislipidemia (peningkatan kadar trigliserida, penurunan kadar HDL kolesterol). Adanya peningkatan berat badan, gangguan metabolisme glukosa, dan hiperglikemi telah diketahui menjadi salah satu dampak dari penggunaan antipsikotik. Hiperglikemia dan diabetes melitus tipe 2 banyak terjadi pada pasien skizofrenia. Prevalensi peningkatan berat badan dan diabetes pada pasien skizofrenia adalah 1,5 sampai 2 kali lebih besar dibandingkan populasi umum (Woo dkk., 2005). Adanya peningkatan berat badan, ataupun hiperglikemia ini menjadi masalah yang serius karena dapat meningkatkan morbiditas dan mortalitas akibat adanya peningkatan risiko penyakit kardiovaskular dan diabetes melitus tipe 2. Banyak teori yang mengemukakan tentang mekanisme yang mungkin memperantarai terjadinya perubahan metabolisme yang terjadi pada pasien yang menggunakan antipsikotik. 1.
Teori yang pertama menyatakan jika penggunaan antipsikotik pada pasien skizofrenia menyebabkan peningkatan berat badan. Bertambahnya berat badan pada pasien yang diobati dengan antipsikotik disebabkan oleh peningkatan nafsu makan yang tidak diseimbangi dengan peningkatan
penggunaan
energi.
Akibatnya
terjadi
peningkatan
penyimpanan lemak dalam jaringan adiposa yang mengakibatkan penambahan berat badan. Keadaan yang berlanjut menyebabkan terjadinya obesitas yang dilihat dari Body Mass Index (BMI). Obesitas
32
dihubungkan dengan resistansi insulin dan merupakan faktor utama penyebab diabetes tipe 2 (Castagna, 2011). 2.
Penggunaan antipsikotik banyak dikaitkan dengan kelainan dalam regulasi
glukosa.
Penggunaan
antipsikotik
dapat
menyebabkan
peningkatan penyimpanan lemak dalam jaringan adiposa yang kemudian memicu penurunan sensitivitas insulin (Newcomer dkk., 2002). Antipsikotik generasi kedua seperti clozapin dan olanzapin berhubungan dengan efek samping terhadap regulasi glukosa dalam berbagai tingkatan keparahan yang berbeda tergantung dari potensinya dalam peningkatan penyimpanan lemak dalam jaringan adiposa dibandingkan dengan antipsikotik tipikal. Clozapin dan olanzapin menyebabkan peningkatan berat badan dan meningkatkan massa lemak tubuh secara signifikan, dengan resistensi insulin dan risiko diabetes mellitus (Newcomer dkk., 2002). 3.
Aktifitas antipsikotik atipikal adalah antagonis pada berbagai sistem neurotransmitter termasuk dopaminergik, adrenergik, serotonergik, histaminergik dan subtipe reseptor muskarinik (Teff & Kim, 2011). Neurotransmitter ini berhubungan baik secara langsung maupun tidak langsung dengan jalur metabolisme dan juga regulasi asupan makanan. Reseptor yang mungkin berpengaruh terhadap timbulnya diabetes adalah dopamin, 5-HT1A , 5-HT2c, histamin-1 (Gianfrancesco dkk., 2003).
33
a. Reseptor muskarinik dan histaminergik Suatu
hipotesis
yang
menyimpulkan
jika
reseptor
muskarinik dan histaminrgik memiliki peranan penting dalam kasus gangguan metabolisme yang berkaitan dengan penggunaan antipsikotik. Histamin dan muskarinik dikatakan sebagai mediator pada peningkatan berat badan dan abnormalitas dalam metabolisme glukosa. Ikatan pada reseptor histamin H-1 dapat memicu peningkatan nafsu makan dan berat badan, sedangkan ikatan pada muskarinik M3 menyebabkan kelainan pada regulasi insulin (Teff & Kim, 2011). Perbedaan
kemampuan pengikatan
reseptor mungkin
menjadi penyebab tingkat perubahan metabolisme, berat badan, dan peningkatan asupan makanan untuk setiap antipsikotik berbeda. Clozapin dan olanzapin adalah antagonis reseptor asetilkolin muskarinik kuat dan dikaitkan dengan kenaikan berat badan. Risperidon tidak diketahui afinitas terhadap reseptor asetilkolin muskarinik namun menyebabkan beberapa kasus new onset diabetes bila diberikan bersamaan dengan antagonis muskarinik yang biasa diresepkan untuk mengatasi efek samping ekstrapiramidal (Lean & Pajonk, 2003). Ini merupakan bukti peran reseptor asetilkolin muskarinik dalam sindrom metabolik yang terjadi pada pasien skizofrenia yang menggunakan antipsikotik.
34
b. Dopamin Jalur dopamin di otak tengah berperan dalam kontrol asupan makanan. Regulasi glukosa darah berpusat di hipotalamus. Antipsikotik
yang
berperan
sebagai
antagonis
dopamin
menyebabkan glukosa darah tidak terkontrol (Gianfrancesco dkk., 2003). Sebuah bukti mengenai peran dopamin ini berdasarkan studi yang menunjukkan penggunaan agonis dopamine sentral dapat meningkatkan kontrol glukosa (Lipscombe, 2009). c. Aktivitas reseptor serotonin 5-HT1A dan 5-HT2 juga di hubungkan dengan
pengaruhnya
terhadap
kontrol
glukosa.
Walaupun
mekanisme yang menghubungkan kedua reseptor ini sangat kompleks (Haupt & Newcomer, 2001). Reseptor 5-HT2c mungkin terlibat dalam kontrol asupan makanan. Jika reseptor ini diblok dapat menimbulkan kenaikan berat badan kecuali ziprasidon dan quetiapin (Lean & Pajonk, 2003). Saat terjadi resistensi insulin, tubuh berusaha untuk mengatasinya dengan mensekresi lebih banyak lagi insulin yang menyebabkan terjadinya hiperinsulinemia. Hiperinsulinemia yang terjadi menyebabkan resistensi insulin dan keadaan yang lebih parah dapat menyebabkan kegagalan dalam regulasi reseptor insulin (Lean & Pajonk, 2003). Kelainan yang berhubungan dengan resistensi insulin termasuk intoleransi glukosa, hipertensi, dan dislipidemia (Handerson dkk., 2005). Resistensi insulin yang terjadi akibat penggunaan antipsikotik kemungkinan diakibatkan karena efek langsung dari
35
peningkatan massa lemak di abdominal dan fungsi transport glukosa (Haupt & Newcomer, 2001). Faktor genetik dan gaya hidup sangat berpengaruh pada peningkatan berat badan dan gangguan metabolisme pada pasien skizofrenia. Sehingga perlu dipertimbangkan mengenai faktor risiko lain yang juga berperan dalam perkembangan diabetes melitus (Haddad, 2004), seperti: 1. Riwayat DM keluarga 2. Peningkatan usia 3. Obesitas 4. Ras ( insiden paling banyak terjadi pada ras asia dan afrika-karibia ) 5. Merokok 6. Diet tinggi karbohidrat 7. Jarang olahraga Oleh karena itu pasien-pasien skizofrenia
yang mendapatkan
antipsikotik sebaiknya dilakukan monitoring berat badan, kadar glukosa darah, profil lemak darah, sehingga akan mencegah morbiditas dan mortalitas akibat sindrom metabolik sebagai dampak penggunaan antipsikotik ini.
36
F. Keterangan Empiris Skizofrenia memiliki perjalanan penyakit yang kronis dan berulang sehingga membutuhkan terapi jangka panjang. Obat antipsikotik telah menjadi terapi farmakologi utama untuk pasien skizofrenia. Pemberian antipsikotik dalam jangka waktu yang cukup lama ini memungkinkan munculnya berbagai masalah selama proses penggunaannya, seperti peningkatan kadar glukosa darah yang banyak dilaporkan oleh berbagai jurnal ilmiah. Penelitian ini dilakukan dengan harapan dapat melihat gambaran perubahan glukosa darah puasa pasien skizofrenia di Rumah Sakit Grhasia Yogyakarta akibat penggunaan kombinasi obat antipsikotik tipikal dan atipikal.