1
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masa remaja adalah salah satu fase kehidupan yang pasti akan dilewati oleh semua manusia. Fase ini sangat penting, karena pada saat remaja seseorang akan mencari jati diri masing-masing. Selain itu, kondisi remaja saat ini akan berpengaruh pada kondisi saat remaja menjelang dewasa dan berperan aktif dalam kehidupan yang produktif serta kehidupan sosial bermasyarakat. Data dari sensus penduduk tahun 2010 mengungkapkan bahwa jumlah remaja di Indonesia mencapai 64 juta jiwa. Artinya 27,6% dari total penduduk Indonesia (237,6 jiwa) adalah kategori remaja, baik remaja awal, menengah, maupun remaja akhir (BPS, 2010). Perubahan fisik dan psikologis pun menjadi hal yang pasti terjadi seiring dengan bertambahnya usia seseorang dan yang membedakan dirinya dari anakanak serta perjalanan menuju dewasa. Beberapa perubahan fisik, baik primer maupun sekunder, adalah perubahan yang dialami individu menuju remaja. Begitu juga dengan perubahan psikologis dan sosial. Berkembangnya hormon reproduksi pun berkaitan erat dengan munculnya hasrat seksual pada remaja, namun identitas hormon yang berkontribusi ini menjadi kurang terlihat jelas pada remaja putri dibandingkan dengan remaja putra (Cameron, 2004 cit. Santrock, 2007). Masa remaja adalah masa mengeksplorasi seksual dan mengintegrasikan seksualitas ke dalam indentitas remaja, tetapi eksplorasi perilaku seksual tanpa memiliki dasar yang kuat, baik informasi maupun sikap, dapat mengakibatkan masalah kesehatan reproduksi remaja (Santrock, 2007).
Dewasa ini, remaja
banyak memperoleh informasi mengenai hal-hal yang berkaitan dengan seksualitas remaja, namun beberapa informasi yang diberikan masih berupa mitos tanpa disertai dengan fakta-fakta seksual. Selain itu, pembicaraan mengenai kesehatan reproduksi masih merupakan
hal yang tabu
untuk dibicarakan.
Banyaknya informasi yang beredar tidak berjalan seimbang dengan pemahaman yang utuh akibat informasi yang diperoleh belum tentu kebenarannya, sehingga cenderung menyesatkan
1
2
Selain informasi yang komprehensif, teman menjadi salah satu kunci penting pada remaja untuk berperilaku, karena pada dasarnya remaja memiliki keinginan yang kuat untuk dapat diterima dan disukai oleh teman sebayanya. Penerimaan dan penilaian teman sebaya menjadi hal yang paling penting, sehingga akan memunculkan kecemasan apabila perilaku yang dimiliki tidak sesuai dengan kelompoknya atau tidak disukai. Hal ini akan mengakibatkan munculnya suatu konformitas, yakni remaja berperilaku sesuatu akibat desakan orang lain (Santrock, 2007). Akibat adanya kebutuhan untuk diterima oleh kelompoknya, remaja yang tidak memiliki dasar yang kuat akan memilih untuk berperilaku seksual yang cenderung ke arah yang berisiko untuk mendapatkan pengakuan dari kelompoknya. Anggapan bahwa dengan berperilaku tersebut seseorang akan terlihat lebih hebat menjadi desakan kuat bagi remaja dalam berperilaku seksual berisiko. Tingginya angka hubungan seks pranikah pada remaja menjadi poin yang perlu mendapat perhatian. Berdasarkan data pada Riskesdas tahun 2010, sebanyak 6,5% remaja laki-laki dan 5,4% remaja perempuan usia 15 tahun telah melakukan hubungan seks pranikah (Badan Penelitian dan Pengembangan, 2010). Data Riskesdas 2010 juga menunjukkan bahwa distribusi frekuensi menurut umur pertama kali melakukan hubungan seksual, baik laki-laki maupun perempuan, mayoritas berada pada rentang usia 18-21 tahun, yakni 56,96% pada remaja lakilaki dan 56,8% pada remaja perempuan, namun data juga menyebutkan bahwa sebanyak 28% remaja perempuan dan 15,1% remaja laki-laki mengaku melakukan hubungan seksual pertama kali pada rentang usia 15-17 tahun. Selanjutnya, sebanyak 12% remaja perempuan dan 26% remaja laki-laki yang memilih rentang usia 22-24 tahun untuk melakukan hubungan seksual pertama kali (Pratiwi & Basuki, 2010). Di samping itu, remaja putri dengan rentang usia 15-19 tahun pada tingkat pendidikan rendah lebih menerima adanya hubungan seksual pranikah dibandingkan dengan kelompok umur 20-24 (Badan Pusat Statistik, 2008). East & Adams (2002) menyebutkan bahwa wanita saat ini berada di kelompok yang berisiko. Hal ini diakibatkan karena mayoritas wanita kurang
3
menyadari bahwa mereka pun memiliki hak seksual, hak dalam menyatakan tidak untuk berhubungan seksual apabila tidak menginginkannya, maupun hak untuk penggunaan alat pengaman sebagai upaya untuk mencegah kehamilan atau penyakit menular seksual. Di samping itu, penelitian di Texas memberikan hasil bahwa upaya remaja perempuan untuk menyatakan keinginannya mendapatkan hubungan yang sehat pun masih bergantung pada keinginan pasangannya dalam berhubungan yang sehat pula (Rickert, Sanghvi, & Wiemann, 2002). Perilaku asertif yang kurang pada perempuan ditunjukkan dengan adanya faktor keterpaksaan dalam berperilaku seksual pranikah akibat ketidakmampuan remaja putri untuk menolak ajakan pasangan. Salah satu faktor yang mempengaruhi hal ini adalah munculnya rasa takut akan kehilangan pasangan (Imran, 2000). Ketika remaja putri ditanya mengenai persepsi mereka terhadap penolakan hubungan seksual yang tidak diinginkan, mereka lebih peduli terhadap perasaan pasangan daripada perasaannya sendiri, yakni
malu dan marah
(Morokoff et al., 1997). Data menyebutkan bahwa 21,2% remaja putri melakukan hubungan seksual pranikah diakibatkan oleh adanya paksaan dari pasangan (Badan Pusat Statistik, 2008). Fakta yang mengejutkan disampaikan oleh Auslander, Perfect, Succop, & Rosenthal (2007) dalam penelitiannya di Texas, bahwa wanita yang memiliki lebih banyak pasangan akan memiliki asertivitas yang rendah terhadap perilaku seksual. Selain itu, semakin wanita memiliki pengalaman lebih terkait dengan hubungan seksual maka ia juga semakin tidak asertif. Begitu pula dengan proteksi terhadap kehamilan, apabila ia sering terlibat dengan hubungan yang berisiko (tanpa menggunakan pengaman) ia juga memiliki asertivitas yang lebih rendah. Hal ini menunjukkan bahwa seseorang dengan kerentanan yang besar semakin tidak asertif. Hasil penelitian lain juga mengungkapkan bahwa remaja beranggapan penggunaan kondom atau alat kontrasepsi lainnya merupakan kebutuhan dari pasangan yang sudah menikah. Persepsi ini yang harus diubah, remaja pun dapat menjadi kelompok yang berisiko, sehingga penggunaan alat kontrasepsi menjadi salah satu poin penting dalam pencegahan kehamilan dan penularan penyakit menular (Wong, 2012).
4
Pada dasarnya, berdasarkan penelitian yang dilakukan pada remaja Cina, Vietnam, dan Hongkong, remaja memahami bahwa dengan menggunakan alat kontrasepsi berupa kondom, ia akan terhindar dari penularan penyakit menular seperti HIV&AIDS. Namun, remaja menganggap rasa percaya dengan pasangan, serta hubungan yang sudah lama membuat remaja putri menjadi lebih tidak asertif dalam penggunaan kondom. Keputusan untuk tidak lagi menggunakan kondom pun biasanya berasal dari pihak wanita, walaupun kadang-kadang berasal dari hasil diskusi dikarenakan wanita sudah merasa nyaman dengan hubungan yang sudah berjalan lama serta tingkat kepercayaan kepada pasangan yang semakin tinggi. Selain itu, remaja putri percaya apabila ia dan pasangan berasal dari lingkungan yang sama, tidak akan saling menularkan penyakit terutama bagi mereka yang menganut konsep monogami. Mereka percaya bahwa pasangan hanya
melakukan
hubungan
seksual
dengannya
saja.
Bahkan
remaja
mengungkapkan apabila keduanya sudah berada dalam kondisi saling jatuh cinta, penyakit bukanlah hal yang dipikirkan lagi (Hahm, Lee, Choe, & Ward, 2012). Semakin tinggi pendidikan remaja putri, ia akan semakin menyebut dirinya bergender maskulin atau androgin, sehingga mereka merasa mampu untuk mengomunikasikan penggunaan kondom dengan pasangan. Penelitian tersebut dilakukan pada remaja pada tingkat pendidikan mahasiswa. Berbeda dengan apabila subjek berada di usia sekolah menengah atas yang merasa dirinya bergender feminim. Pada tingkat ini, hasil penelitian yang dilakukan di Cina menyebutkan bahwa remaja belum mampu berlaku asertif terhadap penggunaan kondom dikarenakan beberapa alasan, antara lain ketakutan atas respon penolakan pasangan, ketidaknyamanan yang dirasa pasangan ketika menggunakan kondom, sampai dengan alasan kepercayaan dengan pasangan (Xiao, Li, Lin, Jiang, & Liu, 2013). Alasan rasa percaya juga yang mengakibatkan remaja tidak konsisten dalam menggunakan kondom. Semakin lama hubungan, semakin tinggi tingkat kepercayaan dengan pasangan yang berefek pada menurunnya penggunaan kondom. Remaja putri yang belum mampu mengatakan keinginannya biasanya karena ia merasa sangat membutuhkan rasa aman, penerimaan, serta penegasan dari pasangan (Hahm et al., 2012).
5
Townend (cit. Prabowo, 2000) juga menyebutkan bahwa seseorang dengan perilaku asertif yang rendah akan cenderung bersikap pasif dan kurang percaya diri serta meletakkan dirinya di bawah orang lain. Padahal, perilaku seksual pranikah pada remaja ini dapat mengakibatkan permasalahan kesehatan yang berisiko, seperti penularan HIV & AIDS, kehamilan tidak diinginkan, bahkan kejadian aborsi. Berdasarkan penjelasan di atas, dapat dikatakan bahwa kurangnya asertivitas akan mengakibatkan seorang remaja dapat dimanfaatkan oleh orang lain, sehingga muncul kasus hubungan seksual pranikah, serta kasus kehamilan tidak diinginkan. Data menunjukkan bahwa 8% remaja putri dan 5,2% remaja laki-laki usia 15-19 tahun mengaku mengenal teman yang pernah hamil sebelum menikah dan menginginkan aborsi. Selain itu, pada periode Januari hingga Maret 2011 sebanyak 33,05% kasus AIDS di Indonesia terjadi pada usia 20-29 tahun (Kementrian Kesehatan RI, 2012). Surabaya, sebagai salah satu kota besar di Jawa Timur, juga tidak lepas dari permasalahan tersebut. Mudahnya akses untuk pemenuhan kebutuhan hidup menjadikan bumerang bagi Surabaya. Berdasarkan wawancara yang pernah dilakukan oleh peneliti dengan salah satu murid kelas 6 SD di Surabaya, diketahui bahwa hampir semua murid di kelas subjek telah memiliki pacar. Subjek juga menyatakan pernah melakukan aktivitas berciuman karena desakan pacar akibat mengetahui bahwa mayoritas teman dari pacar telah melakukan aktivitas berciuman. Hal ini menjadi sangat ironis, karena perilaku seksual sudah dilakukan oleh anak yang usia tingkat SD hanya karena agar dianggap ‘keren’ oleh teman sebayanya. Data yang diperoleh dari Survei Terpadu Biologi dan Perilaku (2007) menunjukkan bahwa sebesar 11,1% remaja Surabaya pernah melakukan hubungan seksual pranikah, namun hal ini tetap perlu disikapi dengan lebih seksama, karena secara bersamaan 66% responden juga mengaku mempunyai teman yang pernah berhubungan seksual pranikah. Penggunaan alat kontrasepsi berupa kondom juga menunjukkan angka yang rendah, yakni hanya 41% dengan beberapa alasan antara lain tidak suka menggunakan kondom, malu untuk membeli kondom, atau bahkan cinta dan sayang dengan pasangannya (Departemen Kesehatan RI, 2007).
6
Sampai bulan Desember 2010,
data KPA Provinsi Jawa Timur
menunjukkan bahwa jumlah kasus terbanyak berada pada rentang usia 20 sampai 29 tahun yaitu sebanyak 40,7% dari total 4.021 kasus dan Surabaya adalah kota yang memiliki angka kasus HIV&AIDS tertinggi di Jawa Timur (Komisi Penanggulangan AIDS Provinsi Jawa Timur, 2011).
Berdasarkan data yang
diperoleh dari salah satu LSM di Surabaya, terjadi setidaknya 10 kasus kehamilan tidak diinginkan di salah satu SMK di Surabaya selama tahun 2012. Adanya tuntutan gaya hidup serta lingkungan yang mulai permisif mengakibatkan kurangnya perilaku asertif dalam kehidupan seksual siswa.
B. Perumusan Masalah Tingginya angka perilaku seksual pranikah pada remaja, kasus KTD di salah satu SMK, serta kasus AIDS di Surabaya, mengindikasikan rendahnya perilaku asertif di kalangan remaja Surabaya. Lingkungan yang permisif terkait dengan hubungan seksual pranikah juga menjadi salah satu alasan rendahnya perilaku asertif. Oleh sebab itu, permasalahan yang diajukan dalam penelitian ini adalah “bagaimana asertivitas remaja pada perilaku seksual pranikah di Surabaya ?”
C. Tujuan Penelitian 1.
Tujuan umum Mengetahui gambaran tentang asertivitas remaja pada perilaku seksual pranikah di Surabaya.
2.
Tujuan khusus a. Mengetahui gambaran tentang perilaku seksual pranikah remaja di Surabaya b. Mengetahui gambaran tentang asertivitas remaja terhadap perilaku seksual pranikah di Surabaya c. Mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi asertivitas remaja pada perilaku seksual pranikah di Surabaya
7
D. Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat: 1.
Memberikan masukan keilmuan mengenai pendekatan yang dapat digunakan dalam menyusun promosi kesehatan terkait dengan asertivitas pada remaja dalam menghadapi kehidupan seksualnya
2.
Memberikan masukan bagi pihak terkait dalam
memberikan konseling
kepada remaja terkait dengan cara berperilaku asertif terhadap pasangan 3.
Memberikan masukan bagi peneliti lain sebagai bahan referensi yang sejenis sehingga diharapkan dapat menyempurnakan penelitian berikutnya.
E. Keaslian Penelitian Beberapa penelitian sebelumnya yang dapat dijadikan sebagai rujukan dalam penelitian ini, antara lain sebagai berikut: 1. Auslander, Perfect, Succop, & Rosenthal, (2007) melakukan penelitian dengan judul Perceptions of Sexual Assertiveness among Adolescent Girls: Initiation, Refusal, and Use of Protective Behaviors. Tujuan dari penelitian tersebut adalah mendeskripsikan persepsi remaja mengenai asertivitas terhadap perilaku seksual dan mengukur hubungannya dengan variabel interpersonal. Hasil penelitian menunjukkan bahwa memiliki pasangan lebih banyak berhubungan dengan penurunan asertivitas terhadap hubungan selanjutnya. Begitu juga ketika remaja telah memiliki banyak pengalaman seksual maka ia semakin tidak asertif. Persamaan dengan penelitian yang dilakukan terletak pada tema penelitian, tujuan penelitian, dan subjek penelitian, sedangkan perbedaannya terletak pada metode penelitian dan lokasi penelitian. 2. Hahm, Lee, Choe, & Ward (2012), meneliti perbandingan antara kehidupan seksualnya dengan penggunaan kondom di antara 2 kelompok wanita. Penelitian dengan metode kualitatif tersebut menghasilkan data bahwa penggunaan kondom di kedua kelompok masih tidak konsisten, mayoritas dari subjek mengaku bahwa dalam penggunaan kondom merupakan
8
keputusan bersama, namun sebanyak 16% merasa pasangan sebagai penentu dalam penggunaan kondom. Persamaan dengan penelitian yang dilakukan pada metode penelitian dan sebagian tujuan penelitian, yakni mengeksplorasi upaya subjek dalam penggunaan pengaman (kondom) dalam berhubungan seksual. Perbedaannya terletak pada subjek penelitian dan lokasi penelitian. 3. Rickert, Sanghvi, & Wiemann (2002) melakukan penelitian dengan judul Is Lack of Sexual Assertiveness among Adolescent and Young Adult Women a Cause for Concern?, tentang persepsi remaja mengenai asertivitas terhadap perilaku seksual. Penelitian tersebut menghasilkan data bahwa banyak remaja yang sudah seksual aktif masih mempersepsikan diri mereka belum memiliki hak untuk mengomunikasikan mengenai perilaku seksualnya dengan pasangan. Persamaan dengan penelitian yang dilakukan pada tema, tujuan, dan subjek penelitian, sedangkan perbedaannya pada metode penelitian, serta lokasi penelitian. 4. Wong (2012) melakukan penelitian yang bertujuan untuk mengetahui tingkat pengetahuan, sikap dan perilaku wanita muda mengenai reproduksi, kontrasepsi, dan perilaku seksual pranikah. Hasil dari penelitian tersebut adalah bahwa sikap permisif terhadap perilaku seksual pranikah berbanding terbalik dengan tingkat pengetahuan mengenai kehamilan dan kontrasepsi. Persamaan dengan penelitian yang dilakukan pada tema penelitian, sedangkan perbedaannya terletak pada subjek penelitian, dan lokasi penelitian.
penelitian, tujuan penelitian, metode