BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan yang dihuni oleh penduduk yang mayoritas tinggal di pedesaan dan bekerja pada sektor primer khususnya pertanian. Karakteristik Indonesia sebagai negara agraris menyiratkan bahwa sektor pertanian memiliki peranan penting dalam pembangunan perekonomian nasional (Kuncoro, 2010: hal: 289). Dalam kerangka pembangunan pertanian, agroindustri merupakan penggerak utama perkembangan sektor pertanian, terlebih dalam masa yang akan datang posisi pertanian merupakan sektor andalan dalam pembangunan nasional, sehingga peranan agroindustri akan semakin besar. Dengan kata lain dalam mewujudkan sektor pertanian yang tangguh, maju dan efisien sehingga mampu menjadi leading sector dalam pembangunan nasional, harus ditunjang melalui pengembangan agroindustri, menuju agroindustri yang tangguh, maju serta efisien dan efektif (Udayana, 2011: hal 3). Agroindustri di pedesaan berperan besar dalam penyerapan tenaga kerja di pedesaan, namun peranannya relatif kecil dalam penciptaan nilai tambah. Nilai tambah merupakan selisih antara nilai output dengan nilai input,yang berasal dari kontribusi tenaga kerja dan investasi atau kapital. Pada industri yang padat modal, nilai tambah sebagian besar berasal dari kontribusi investasi atau kapital, sementara pada industri yang padat tenaga kerja, nilai tambah sebagian besar berasal dari kontribusi tenaga kerja (Supriyati, 2007: 6). Status pekerja agroindustri pada industri kerajinan rumah tangga (IKR) sebagian besar pekerja tidak dibayar (atau tenaga kerja dalam keluarga). Namun konsekuensinya adalah tenaga kerja dalam keluarga tersebut tidak memperoleh penghasilan, dan didalam nilai output IKR termasuk imbalan untuk tenaga kerja. Pada tahun 2003 kelompok agroindustri IKR hanya menguasai nilai tambah sebesar 8,37 persen. Diduga nilai tambah yang diperoleh agroindustri pedesaan sebagian besar merupakan upah tenaga kerja dalam keluarga. Dengan penyerapan tenaga kerja yang relatif tinggi dan nilai tambah yang sangat kecil, mengakibatkan
2
produktivitas tenaga kerja yang sangat kecil juga. Artinya, agroindustri pedesaan belum mampu untuk mangatasi kemiskinan di pedesaan (Supriyati, 2007: 6-7). Besar distribusi nilai tambah kepada tenaga kerja dan pelaku agroindustri lainnya dipengaruhi oleh nilai tambah yang dihasilkan. Apabila nilai tambah yang dihasilkan kecil, maka distribusi nilai tambah kepada pelaku agroindustri juga kecil, begitu pula sebaliknya. Berkaitan dengan itu, menurut Hidayat et al. (2012: hal 23), “Distribusi nilai tambah atau keuntungan sepanjang suatu aktivitas agroindustri harus adil dan disepakati semua pelaku agroindustri untuk menjaga kerjasama dan keberlangsungannya. Salah satu atau sekelompok pelaku dapat saja mendominasi dan mengambil porsi yang lebih besar dari keuntungan pelaku yang lain di dalam aktivitas agroindustri”. Menurut Bunte (2006 dalam Hidayat et al., 2012: 23) menyatakan bahwa distribusi nilai tambah yang tidak merata pada rantai aktivitas agroindustri dapat membahayakan kelangsungannya dan menghambat upaya-upaya modernisasi pertanian, sehingga menghambat kemajuan agroindustri tersebut. Hasil penelitian Bunte yang mengamati bahwa porsi keuntungan buruh pertanian di Eropa semakin mengecil bila dibandingkan dengan pengolah (produsen), pedagang, distributor, dan pelayanan jasa makanan. Nilai tambah yang dihasilkan tergantung dari besar investasi dan teknologi yang digunakan. Salah satu hasil pertanian yang dapat memberikan nilai tambah terhadap produk pertanian adalah tebu. Tebu merupakan satu komoditas perkebunan yang mempunyai prospek yang baik dikembangkan secara komersial. Mulai dari pangkal sampai ujung mengandung air gula dengan kadar mencapai 20 persen. Air gula ini sangat banyak manfaatnya seperti untuk bahan baku pembuatan gula pasir dan pembuatan gula merah (Nusyirwan, 2007: 108). Proses pembuatan gula merah dapat dilakukan petani tebu secara tradisonal. Kabupaten Agam telah berkembang agroindustri pengolahan gula merah, salah satunya di Nagari Bukik Batabuah Kecamatan Canduang. Nagari Bukik Batabuah merupakan penghasil tebu terbesar di Kecamatan Canduang (Lampiran 1). Sebagian besar petani tebu disana bermata pencaharian utama dengan
3
mengolah tebu menjadi gula merah. Industri kerajinan rumah tangga gula merah ini telah berlangsung secara turun temurun yang dilakukan oleh petani tebu Nagari Bukik Batabuah bertujuan untuk memberi nilai tambah pada tebu. Penciptaan nilai tambah memiliki peranan yang sangat penting dalam pengembangan industri kerajinan rumah tangga gula merah di Nagari Bukik Batabuah. Dengan adanya penciptaan nilai tambah akan meningkatkan pendapatan petani karena terdapat selisih harga jual yang tinggi antara gula merah dengan tebu batang. Hal ini bertujuan untuk menciptakan kesejahteraan bagi para pelaku agroindustri gula merah. Keberadaan industri kerajinan rumah tangga gula merah ini telah mampu memberikan peningkatan nilai tambah terhadap gula merah yang dihasilkan. Maka pengembangan industri kerajinan rumah tangga gula merah lebih lanjut akan memberikan peningkatan kesempatan kerja baik dalam penyediaan bahan baku, pengolahan, pemasaran gula merah dan peningkatan nilai tambah, yang pada akhirnya akan berpengaruh terhadap kesejahteraan tenaga kerja di sektor pertanian. B. Perumusan Masalah Nagari Bukik Batabuah merupakan nagari penghasil tebu terbesar di Kecamatan Canduang (Lampiran 3). Pengolahan tebu menjadi gula merah (saka) pada daerah ini telah lama dilakukan oleh keluarga petani dengan mengunakan teknologi tradisonal dan telah berlangsung secara turun-temurun. Teknologi yang digunakan pada proses pengilangan tebu adalah penggunaan tenaga kerja kerbau. Agroindustri gula merah di Nagari Bukik Batabuah menggunakan bahan baku yang berasal dari perkebunan tebu di sekitar Nagari Bukik Batabuah. Agroindustri gula merah (saka) merupakan mata pencaharian utama hampir semua petani tebu di Nagari Bukik Batabuah. Agroindustri gula merah belum mampu menampung tenaga kerja di sekitar lokasi agroindustri berada dalam jumlah besar. Selain itu juga, peranannya relatif kecil dalam penciptaan nilai tambah. Nilai tambah yang dihasilkan tergantung dari investasi (modal) dan teknologi yang digunakan. Sebagaimana agroindustri dipedesaan lainnya, agroindustri gula merah di Nagari Bukik
4
batabuah juga menghadapi beberapa kendala antara lain masalah teknologi dan modal. Teknologi yang digunakan oleh sebagian besar pengolah gula merah merupakan teknologi tradisional, sehingga mengakibatkan tingginya biaya produksi, terutama biaya bahan bakar. Selain itu juga, keterbatasan modal untuk mengembangkan usaha masih menjadi permasalahan utama pada agroindustri gula merah di Nagari Bukik Batabuah. Akibatnya, daya serap tenaga kerja luar keluarga kecil, yaitu satu unit usaha pengolahan gula merah hanya mampu menyerap satu tenaga kerja luar keluarga. Penelitian tentang analisis distribusi nilai tambah agroindustri gula merah di Nagari Bukik Batabuah ini dilakukan untuk mengetahui besar nilai tambah yang dihasilkan dari kegiatan pengolahan tebu menjadi gula merah ini, sehingga dapat diambil kebijakan terkait dengan pengembangan usaha gula merah, baik dalam pengembangan usaha untuk penyerapan tenaga kerja serta pengembangan usaha terkait dengan daya saing gula merah Nagari Bukik Batabuah. Selain itu, analisis nilai tambah merupakan pengukuran terhadap balas jasa yang diterima oleh faktor produksi dari aktivitas penciptaan nilai tambah pada gula merah. Analisis distribusi nilai tambah penting untuk dapat melakukan perhitungan nilai tambah yang rasional dan seimbang untuk para pelaku agroindustri gula merah, yaitu tenaga kerja, petani sebagai produsen gula merah, dan sumbangan input lain. Dengan demikian, kegunaan yang diperoleh dari hasil analisis nilai tambah adalah (1) bagi petani pengolah gula merah sebagai pelaku bisnis dapat mengetahui besarnya imbalan atau balas jasa dari faktor-faktor produksi yang digunakan; dan (2) dapat mengukur besarnya kesempatan kerja yang ditimbulkan karena adanya kegiatan menambah kegunaan dari gula merah yang dihasilkan. Berdasarkan uraian tersebut yang dapat dirumuskan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut : 1. Bagaimana proses pengolahan tebu menjadi gula merah pada agroindustri gula merah di Nagari Bukik Batabuah Kecamatan Canduang Kabupaten Agam.
5
2. Berapa besarnya nilai tambah yang dihasilkan dari agroindustri pengolahan
tebu
menjadi
gula
merah
dan
bagaimana
pendistribusiannya terhadap tenaga kerja, sumbangan input lain, dan petani pengolah gula merah dalam agroindustri tersebut. C. Tujuan Penelitian Berdasarkan perumusan masalah diatas, maka dapat dirumuskan tujuan penelitian sebagai berikut. 1. Mendeskripsikan proses pengolahan tebu menjadi gula merah pada agroindustri gula merah di Nagari Bukik Batabuah Kecamatan Canduang Kabupaten Agam. 2. Menganalisis besar nilai tambah dan pendistribusiannya terhadap tenaga kerja, sumbangan input lain, dan petani pengolah gula merah dalam agroindustri tersebut. D. Manfaat Penelitian 1. Bagi petani produsen gula merah (saka), penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan informasi mengenai nilai tambah yang diperoleh dari usaha yang dijalankan. 2. Bagi pemerintah dan pihak yang terkait, diharapkan penelitian ini dapat dijadikan
bahan pertimbangan dan sumbangan pemikiran dalam
menentukan kebijakan terhadap pengembangan agroindustri skala mikro, terutama agroindustri gula merah (saka) . 3. Bagi peneliti, dapat dijadikan sebagai tambahan ilmu pengetahuan, pengalaman dan referensi bagi peneliti selanjutnya.