BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Hidrogel adalah jaringan polimer tiga dimensi dengan ikatan silang (crosslinked) pada polimer hidrofilik, yang mampu swelling atau menyimpan air dan larutan fisiologis sampai dengan ribuan kali dari berat keringnya, serta tidak mudah larut. Hidrogel banyak diaplikasikan di bidang pangan maupun nonpangan, seperti sebagai disposable diapers, hygienic napkins, membran pervaporasi, dan media tanaman pengganti tanah. Di dunia kedokteran, hidrogel dimanfaatkan sebagai matrik media penyimpan-pengontrol pelepasan bahan aktif seperti obat dan sel, serta di bidang “tissue engineering” hidrogel digunakan sebagai matrik untuk memperbaiki dan meregenerasi berbagai macam jaringan dan
organ
tubuh
manusia
(Hoffman,
2002).
Kemampuan
menyimpan
biomakromolekul termasuk protein dan DNA merupakan sifat unik hidrogel yang banyak dimanfaatkan di bidang biomedis (Buhus et al., 2009; Samchenko et al., 2011). Hidrogel dapat disintesis dari polimer sintetik atau polimer alam. Polimer sintetik, seperti poly (hydroxyethyl methacrylate) (pHEMA), polyacrylamide, dan polivinil alkohol, merupakan turunan minyak bumi yang jumlahnya semakin terbatas dan hidrogel yang dihasilkannya cenderung sulit terurai di alam. Saat ini, konsumsi dunia akan hidrogel dari polimer sintetik lebih dari satu juta ton per tahun (Abd El-Mohdy et al., 2009). Tentu saja hal ini akan menyebabkan masalah kerusakan lingkungan yang serius. Selain itu, cadangan minyak bumi yang semakin menipis menyebabkan harga minyak bumi dan polimer turunannya akan semakin melambung tinggi. Diprediksi bahwa harga hidrogel yang banyak dimanfaatkan di bidang kesehatan dan obat-obatan akan semakin tidak terjangkau, dan tentu saja hal ini dapat menimbulkan dampak negatif di sektor kesehatan masyarakat. Melihat fakta-fakta itu, maka upaya pengurangan penggunaan hidrogel berbasis polimer sintetik harus segera dilakukan. Hidrogel berbahan dasar polimer alam, seperti karbohidrat, menjanjikan sifat yang lebih unggul seperti lebih ramah lingkungan (biodegradable), non-toxic, bio-compatible dan bahan bakunya dapat diperbarui (renewable biosource) serta harganya lebih murah karena bahan bakunya tersedia secara lokal dalam jumlah
1
2
yang cukup melimpah dibandingkan polimer sintetis. Polimer karbohidrat yang memiliki potensi sebagai bahan baku hidrogel antara lain selulosa, pati, pektin, kitosan, serta ekstrak rumput laut seperti agar-agar, karagenan dan alginat. Dewasa ini, penelitian pencarian sumber bahan baku hidrogel cenderung meningkat, khususnya yang bersumber pada polimer alam karbohidrat non konvensional, seperti karbohidrat yang dihasilkan dari organisme laut, yang memiliki nilai ekonomis tetapi belum dimanfaatkan. Jika dibandingkan polimer sintetik, polimer alam cenderung memiliki sifat mekanis seperti stabilitas daya serap yang lebih lemah dan mudah rusak pada suhu tinggi. Tampak bahwa, tantangan yang menarik dalam sintesis hidrogel berbahan baku polimer alam adalah bagaimana rekayasa proses
yang
menghasilkan hidrogel dengan karakter yang dapat mensubstitusi sifat fungsional unggul yang dimiliki polimer sintetik. Untuk itu, polimer alam perlu dimodifikasi secara kimia untuk meningkatkan kestabilan mekanisnya. Polimer karagenan yang berasal dari rumput laut telah digunakan secara luas di bidang pangan dan industri farmasi (Campo et al., 2009; Nussinovitch, 2003). Indonesia memiliki sumber bahan baku lokal hidrogel berbasis polimer alam, yaitu rumput laut yang jumlah dan jenisnya sangat melimpah. Saat ini, jenis rumput laut yang banyak diminati pasar adalah jenis Eucheuma cottonii dan Glacillaria sp. Meskipun Indonesia telah menjadi negara eksportir rumput laut Eucheuma cottonii penghasil karagenan nomor empat di dunia, tetapi belum dapat memenuhi permintaan dunia terhadap rumput laut kering yang diprediksi semakin meningkat. Hal ini menunjukkan bahwa kebutuhan dunia terhadap karagenan semakin meningkat pula. Industri pengolahan rumput laut, khususnya karagenan, masih sulit dikembangkan di Indonesia (Kompas, 2011), sehingga menyebabkan impor karagenan masih tinggi dan cenderung semakin meningkat. Kenyataan ini menunjukkan bahwa Indonesia kehilangan banyak devisa, mengingat harga karagenan adalah 20-40 kali harga rumput laut. Masalah ini dapat dipecahkan jika ilmu pengetahuan dan teknologi pengolahan rumput laut dikuasai, yang produknya mampu bersaing dengan produk impor sehingga dapat meningkatkan nilai tambah rumput laut.
Untuk itu,
penelitian pemanfaatan
sumber hayati rumput laut lokal menjadi hal yang sangat penting dan urgen untuk dilakukan. Hal ini juga mendukung rencana strategi dan agenda riset pemerintah Indonesia tentang pemanfaatan hayati, serta rencana pembatasan
3
ekspor rumput laut mentah mulai tahun 2012 dalam rangka mendorong pengembangan industri pengolahan rumput laut domestik. Rumput laut jenis Eucheuma cottonii menghasilkan karagenan jenis kappa. Karagenan kappa adalah polimer alam bersifat hidrofilik dan mampu membentuk gel. Sifat ini menunjukkan karagenan berpotensi sebagai bahan baku hidrogel yang bio-compatible dan dapat diaplikasikan di bidang biomedis. Hidrogel sebagai media penyimpan dan pengontrol pelepasan obat (controlled release drug) harus memenuhi persyaratan agar obat mencapai target yang diinginkan. Jika target pelepasan obat berada di usus, maka hidrogel harus menyerap air sesedikit mungkin dan tidak mudah larut di dalam lambung (pH asam), sedangkan di bagian usus (pH sedikit basa) hidrogel harus menyerap air lebih banyak sehingga obat dapat dilepas pada bagian usus. Dengan demikian, sifat hidrogel yang sensitif terhadap pH merupakan sifat penting yang diinginkan dalam sintesis hidrogel agar dapat diaplikasikan di bidang biomedis (Samchenko et al., 2011). Sifat karagenan sangat dipengaruhi oleh jenis dan sumber geografis rumput laut dan kondisi proses pemungutannya. Proses desulfasi karagenan dengan penambahan alkali pada pemungutan karagenan dari rumput laut merupakan upaya modifikasi kimiawi untuk menghasilkan struktur pembentuk gel, sehingga kekuatan gel meningkat (Campo et al., 2009). Kekuatan gel yang tinggi menunjukkan jumlah karagenan untuk membentuk gel adalah sedikit. Dengan demikian, pembentukan struktur pembentuk gel merupakan upaya modifikasi kimiawi untuk menghasilkan struktur hidrogel. Jika gel karagenan dikontakkan dengan larutan yang berisi air, maka jaringan karagenan akan menyerap air (swelling) dan kemudian secara pelan-pelan akan terlarut dalam air. Jaringan polimer seperti ini belum dapat menyimpan cairan di dalamnya, karena kecepatan hidrasinya tidak terkontrol. Desulfasi menghasilkan jaringan gel yang masih menunjukkan kecepatan hidrasi yang tidak terkontrol. Agar karagenan dapat digunakan sebagai hidrogel yang stabil, mampu menahan air (swelling) tetapi tidak mudah larut, serta memiliki sifat swelling yang dapat dirancang untuk diaplikasikan pada pH tertentu, maka struktur karagenan perlu dimodifikasi. Gugus sulfat dalam suatu polimer merupakan gugus hidrofilik dan mampu terionisasi pada pH lingkungan tertentu. Kemampuan ini mendorong polimer
4
diprediksi bersifat responsif terhadap pH. Proses desulfasi pada tahap pemungutan karagenan dari rumput laut, melibatkan pelepasan sulfat pada saat terjadi pembentukan struktur pembentuk gel. Upaya penambahan sulfat atau oversulfasi ke dalam karagenan yang telah mengalami desulfasi dapat meningkatkan jumlah sulfat yang merupakan gugus hidrofilik dan dapat terionisasi pada pH tertentu. Upaya oversulfasi pada karagenan ini dilakukan agar hidrogel yang dihasilkan dapat memiliki sifat swelling yang responsif terhadap perubahan pH. Upaya modifikasi karagenan dalam rangka sintesis struktur hidrogel dengan metode grafting karagenan menggunakan radiasi (Abd El-Mohdy et al., 2009) membutuhkan energi yang sangat tinggi dan penanganan lingkungan radiasi yang sangat komplek. Untuk itu perlu dikembangkan teknologi modifikasi yang lebih mudah dan murah, yaitu pembentukan ikatan silang polimer melalui ikatan kovalen atau metode crosslinking. Struktur karagenan yang berisi grup hidroksil sangat berpotensi untuk dimodifikasi dengan metode crosslinking. Metode crosslinking telah banyak diterapkan untuk meningkatkan sifat polimer alam yang berpotensi sebagai matrik pengontrol pelepasan obat. Glutaraldehid sebagai crosslinking agent telah banyak dimanfaatkan dalam sintesis hidrogel di bidang farmasi dan mudah diperoleh di Indonesia. Meskipun sudah banyak publikasi tentang upaya crosslinking menggunakan glutaraldehid pada karbohidrat seperti kitosan, alginat, dan selulosa, tetapi belum ada artikel yang
mempelajari
sintesis
hidrogel
berbasis
karagenan
menggunakan
glutaraldehid sebagai crosslinking agent. Karagenan merupakan polimer alam yang memiliki gugus sulfat. Gugus sulfat inilah yang tidak dimiliki oleh karbohidrat lainnya. Dengan demikian, maka hidrogel berbasis karagenanglutaraldehid dapat menunjukkan sifat swelling yang berbeda dengan karbohidrat lainnya.
B. Rumusan dan Batasan Masalah Rumput laut merupakan bahan baku alternatif yang menarik dalam sintesis hidrogel. Salah satu jenis rumput laut yang dibudidaya di Indonesia dan telah diekspor dalam bentuk rumput laut kering adalah Eucheuma cottonii (atau Kappaphycus
alvarezii),
yang
menghasilkan
ekstrak
karagenan
kappa.
5
Meskipun Indonesia memiliki sumber hayati rumput laut yang bernilai ekonomi tinggi, tetapi data studi pemungutan dan pemanfaatannya masih sangat terbatas. Pada penelitian ini, hidrogel disintesis dari karagenan kappa yang dipungut dari rumput laut Eucheuma cottonii. Struktur karagenan perlu dimodifikasi secara kimiawi untuk menghasilkan ikatan silang hidrogel yang memiliki sifat swelling yang dapat dirancang untuk aplikasi pada pH tertentu. Metode penambahan alkali dan jenis alkali pada proses desulfasi mempengaruhi sifat karagenan yang dihasilkan (Tuvikene et al., 2006). Pada proses desulfasi, pembentukan struktur pembentuk gel ini diiringi pelepasan sulfat dari rantai karagenan prekursor (Campo et al., 2009). Gugus sulfat dalam suatu polimer merupakan gugus hidrofilik dan mampu terionisasi pada pH lingkungan tertentu. Kemampuan ini mendorong polimer diprediksi bersifat responsif terhadap pH. Penambahan gugus sulfat pada rantai polimer dalam sintesis hidrogel dapat meningkatkan kemampuan swelling (Lee et al., 2005; Rhim et al., 2004). Penambahan sulfat atau oversulfasi pada rantai karagenan yang telah mengalami desulfasi diperkirakan dapat meningkatkan sifat sensitivas swelling degree hidrogel terhadap perubahan pH. Pada tahap crosslinking, karagenan direaksikan dengan glutaraldehid (GA) yang digunakan sebagai crosslinking agent untuk membentuk struktur ikatan silang atau hidrogel. Kondisi reaksi dan metode pencampuran polimer dan crosslinking agent sangat menentukan keberhasilan pembentukan ikatan silang (Kim et al., 1994; Rojas and Azevedo; 2011). Proses desulfasi, oversulfasi dan crosslinking diprediksi dapat digunakan untuk memodifikasi sifat swelling hidrogel. Perubahan kimiawi setiap proses mempengaruhi sifat swelling hidrogel yang dihasilkan. Oleh karena itu, peran setiap proses itu terhadap sifat swelling perlu dipelajari. Selain itu, karakterisasi produk juga dilakukan agar dapat memberikan pengetahuan tentang pengaturan struktur produk, yang dapat diaplikasikan untuk pembuatan produk baru dan pengontrolan kualitas selama proses. Sifat swelling yang mampu merespon perubahan pH, larutan fisiologis, serta larutan garam menunjukkan hidrogel berpotensi dapat diaplikasikan sebagai matrik pelepasan obat dan tissue engineering. Berdasarkan uraian sebelumnya, beberapa hal yang menjadi rumusan masalah penelitian ini antara lain:
6
1. Apakah desulfasi mempengaruhi sifat swelling hidrogel? 2. Apakah oversulfasi karagenan mempengaruhi sifat swelling? 3. Apakah konsentrasi glutaraldehid mempengaruhi karakter swelling hidrogel yang dihasilkan? 4. Apakah hidrogel berbasis karagenan-glutaraldehid memiliki sifat swelling yang responsif terhadap perubahan pH dan garam? C. Keaslian Penelitian Karagenan merupakan polimer alam yang memiliki gugus sulfat. Gugus sulfat inilah yang tidak banyak dimiliki oleh polimer alam lainnya. Hal inilah yang menyebabkan struktur karagenan banyak dimodifikasi untuk mendapatkan produk baru yang berpotensi diaplikasikan di bidang biomedis (Campo et al., 2009). Sintesis hidrogel berbasis karagenan yang dipungut dari rumput laut lokal Indonesia, yaitu Eucheuma cottonii belum dipublikasikan. Beberapa peneliti telah melakukan analisis peran alkali pada peristiwa pembentukan gel karagenan (Janaswami and Chandrasekaran, 2001; Kara et al., 2003; Yuguchi et al., 2003) serta desulfasi dalam pemungutan karagenan menggunakan alkali untuk meningkatkan kekuatan gel, seperti pemungutan karagenan dari rumput laut Mastocarpus stellatus (Hilliou et al., 2006), Cocotylus truncates (Tuvikene et al., 2006) dan Eucheuma Isiforme (Pelegrin et al., 2006). Namun, studi sintesis hidrogel dari rumput laut tersebut dan pengaruh desulfasi terhadap kemampuan swelling belum dilakukan. Montolalu et al. (2007) mempelajari pengaruh suhu ekstraksi Eucheuma cottonii menggunakan pelarut air terhadap karakter gel, tetapi penambahan alkali pada pemungutan karagenan dari rumput laut tidak dilakukan. Tampak bahwa studi perubahan kimiawi desulfasi pada pemungutan karagenan dari rumput laut lokal Indonesia, yaitu Eucheuma cottonii menggunakan pelarut alkali menjadi penting untuk dilakukan. Oversulfasi pada karagenan telah dipelajari oleh beberapa peneliti terdahulu (Araujo et al., 2013; Opoku et al., 2006), namun studi peran sulfasi pada kemampuan swelling hidrogel karagenan belum dilakukan. Selain itu, penggunaan K2SO4 sebagai sumber sulfat belum pernah dipublikasikan. Sintesis hidrogel berbasis polimer alam dengan metode crosslinking menggunakan
glutaraldehid
telah
banyak
dipublikasikan
(Jameela
and
7
Jayakrishnan, 1995; Shang et al., 2008; Verissimo et al., 2010), namun studi sintesis hidrogel berbasis polimer tersulfasi, yaitu karagenan, belum pernah dipublikasikan.
Tampak bahwa, studi pengaruh desulfasi karagenan dari
Eucheuma cottonii menggunakan alkali NaOH dan KOH, oversulfasi karagenan dengan K2SO4, dan crosslinking karagenan dengan glutaraldehid terhadap sifat swelling hidrogel belum pernah dipublikasikan.
D. Tujuan Penelitian ini bertujuan mengembangkan pemanfaatan karagenan dari rumput laut Eucheuma cottoni, menjadi hidrogel, yaitu dengan memodifikasi sifat swelling menggunakan proses desulfasi, oversulfasi, dan crosslinking. Untuk itu, perlu dilakukan langkah-langkah optimasi proses desulfasi karagenan dari rumput laut, proses oversulfasi karagenan, kemudian dilanjutkan optimasi crosslinking karagenan yang dihasilkan proses sebelumnya. Optimasi di setiap proses itu dilakukan dengan cara mempelajari pengaruh kondisi proses terhadap karakter produk yang dihasilkan, sehingga tujuan khusus penelitian ini adalah: 1. menentukan pengaruh proses desulfasi terhadap sifat swelling hidrogel, 2. mempelajari proses oversulfasi karagenan dan pengaruhnya terhadap sifat swelling hidrogel, 3. menentukan pengaruh jumlah glutaraldehid dalam proses crosslinking terhadap sifat swelling hidrogel, dan 4. menentukan sifat sensitivitas swelling hidrogel terhadap perubahan pH dan garam. E. Manfaat Keberhasilan penelitian ini diharapkan dapat memberikan beberapa manfaat antara lain: a. mendapatkan data yang dapat digunakan untuk merancang sifat swelling hidrogel sehingga potensi aplikasinya dapat diprediksi, b. dapat memberikan teori yang berguna untuk sintesis hidrogel dari karagenan atau polimer tersulfasi sejenis lainnya, c. menumbuhkembangkan studi peningkatan nilai ekonomi rumput laut melalui inovasi produk baru berbahan baku rumput laut, seperti biodegradable plastic, encapsulation, kosmetika, dan biomedis.