BAB I. Pendahuluan A. Latar Belakang Kebanyakan negara di dunia ini, secara etnis penduduknya terdiri dari kelompok yang heterogen. Dengan kata lain, negara-negara tersebut umumnya dibangun oleh banyak kelompok etnis dengan latar belakang budaya dan identitas yang berbeda-beda. Hanya sedikit negara yang memiliki penduduk dengan komposisi etnis yang homogen secara ekslusif mendominasi secara kultural, ekonomi dan politik. Negara dengan komposisi etnis homogen merupakan kelompok yang minoritas di dunia ini, contohnya antara lain Jepang, Korea, dan Cina.1 Bagi negara dengan komposisi etnis heterogen, manajemen hubungan antar etnis seringkali menjadi hal yang sangat penting dalam proses nation buildingnya. Promosi atas kesadaran akan identitas nasional merupakan hal penting yang harus diraih oleh negara dengan komposisi etnis heterogen, agar kestabilan tercipta dan menghindarkan dari adanya konflik antar kelompok etnis. Usaha yang dilakukan oleh negara dalam rangka pembentukan sebuah identitas nasional yang tunggal dan dapat diterima oleh penduduknya adalah bagian besar dari proses nation building. Sebuah nation (bangsa) biasanya diartikan sebagai sekelompok orang yang berbagi kesamaan sejarah, tradisi dan kultur, dan terkadang agama serta bahasa pada umumnya. Sebuah bangsa juga dibedakan berdasarkan ethnic nation, dimana kebangsaan didasarkan kepada etnisitas, serta civic nation, dimana kebangsaan didasarkan kepada adanya common identity serta
1
Levinson, D. 1998. Ethnic Group Worldwide: A Ready Reference Handbook. Phoenix: The Oryx
Press.
1
loyalitas atas sekumpulan ide dan institusi politik, serta hubungan antara citizenship yang dikaitkan dengan nationality.2 Terciptanya sebuah identitas nasional yang tunggal merupakan sebuah proses yang panjang dan memerlukan usaha yang terus-menerus. Bangsa-bangsa seperti Prancis, Italia dan Jerman melewati perjalanan yang panjang sebelum mereka akhirnya sampai pada terciptanya sebuah identitas nasional yang tunggal seperti sekarang ini. Bangsa Italia dan Jerman contohnya, sebelumnya mereka terdiri dari banyak city-states. Sedangkan bangsa Prancis, sebelumnya mereka terdiri dari banyak kelompok dengan identitas kultural dan bahasa yang berbeda-beda.3 Malaysia merupakan salah satu negara yang secara etnis heterogen dan sejak kemerdekaannya masih terus berposes membangun identitas kebangsaannya. Seperti banyak negara heterogen lain di dunia, penduduk yang mendiami Malaysia juga terdiri dari kelompok-kelompok etnis yang berbeda. Penduduk Malaysia pada tahun 2010 terdiri dari 54,5% etnis Melayu, 12,8% kelompok bumiputera non-Melayu, 24,6% etnis Cina dan 7,3% etnis India. Total penduduk Malaysia adalah sebanyak kurang lebih 26 juta jiwa.4 Dengan adanya keberagaman tersebut, pemerintah Malaysia berusaha untuk menemukan sebuah bentuk dimana seluruh penduduk tersebut bisa diakomodasi sebagai warga negara Malaysia. Namun hal ini ternyata tidak mudah dicapai. Sejak awal pembentukan Malaysia sebagai nation-state, banyak etnis Melayu 2
Stephenson, Carolyn. 2005. “Nation Building.” Dalam Guy Burgess and Heidi Burgess (Ed.).
Beyond Intractability. Conflict Research Consortium, University of Colorado, Boulder.
3
4
Ibid.
Department of Statistics, Malaysia, Population Distribution and Basic Demographic
Characteristics 2010, Putrajaya, 2011.
2
yang merasa bahwa kaum “pendatang” tidak dapat semerta-merta mendapatkan kewarganegaraan Malaysia. Hal ini akhirnya ditengahi dengan adanya kompromi politik di antara partai-partai politik yang mewakili kelompok-kelompok etnis di Malaysia. Kompromi politik yang kemudian lebih dikenal dengan istilah Social Contract ini secara eksplisit tersurat di Artikel 153, Konstitusi Malaysia. Poin utama dari social contract tersebut adalah pemberian status kewarganegaraan terhadap semua orang yang tinggal di Malaysia pada saat itu tanpa terkecuali, dengan
syarat
keistimewaan
terhadap
kelompok
etnis
Melayu
diakui.
Keistimewaan ini berupa pemberian “posisi spesial” terhadap etnis Melayu yang mencakup berbagai aspek kehidupan, dari bidang ekonomi, pendidikan, politik, dan lain sebagainya. Pemberian status istimewa terhadap etnis Melayu didasarkan pada adanya klaim bahwa mereka adalah penduduk bumiputera (asli) dari Malaysia. Di awal masa kemerdekaan Malaysia, kondisi sosial-ekonomi kebanyakan etnis Melayu juga buruk. Kebanyakan merupakan penduduk pedesaan dan memiliki pekerjaan dengan bayaran yang rendah. Buruknya kondisi etnis Melayu ini juga menjadi alasan pentingnya pemberian posisi istimewa, dan diharapkan dapat menjadi alat bagi pemerintah untuk dapat mengangkat posisi etnis Melayu dari ketertinggalan. Di sisi lain, walaupun dalam periode awal setelah kemerdekaan Malaysia posisi istimewa etnis Melayu ini dapat diterima oleh etnis non-Melayu sebagai konsekuensi social contract di atas, dengan berjalannya waktu, perasaan sebagai warga negara kelas dua semakin sulit diterima.
B.
Rumusan Masalah
Apa saja hambatan yang ditemui dalam pelaksanaan kebijakan-kebijakan nation building di Malaysia?
Hal apa yang menyebabkan hambatan-hambatan tersebut terjadi?
3
C.
Kerangka Konseptual
Pembahasan mengenai konsep nation building, menurut penulis, tidak dapat dimulai sebelum kita mencoba mendefinisikan apa itu yang dimaksud dari istilah ‘nation’ atau ‘bangsa’. Selain itu, berkaitan erat dengan konsep bangsa, kita juga perlu memahami konsep ‘nasionalisme’. Pemahaman konsep bangsa dan nasionalisme menjadi penting karena dengan mengenali definisi, komponen dan karakter dari bangsa serta bagaimana para nasionalis (pelaku gerakan nasionalisme) berusaha membangun bangsa, kita dapat memperoleh gambaran atau ide-ide mendasar mengenai bagaimana proses nation building (pembangunan bangsa) bekerja.
1. Bangsa (Nation) Mengambil definisi dari Smith, nation atau bangsa didefinisikan sebagai a named human population occupying an historic territory and sharing common myths and memories, a mass-public culture, a common economy, and a common legal rights and duties for all members.5 Dari definisi ini, sebuah bangsa didefinisikan sebagai sebuah populasi manusia yang menempati sebuah wilayah bersejarah, berbagi mitologi dan ingatan akan budaya bersama, serta memiliki hukum dan kebiasaankebiasaan bersama bagi seluruh anggotanya. Poin penting dari definisi bangsa adalah penekanan pada adanya kesadaran bahwa sebuah kelompok manusia tersebut berbagi kesamaan pada beberapa karakteristik seperti yang dinyatakan dalam definisi nation diatas. Yang dimaksudkan dengan sharing of common myths and memories adalah adanya kesadaran kolektif akan adanya legenda/mitologi dan narasi sejarah yang sama diantara mereka. Sebagai contoh adalah cerita mengenai Sumpah Palapa yang diikrarkan oleh Patih Gajah Mada dari Kerajaan Majapahit untuk mempersatukan Nusantara. 5
Smith, Anthony, D. 2001. “National Identity,” Penguin Books Ltd., England. Hlm. 14.
4
Karakteristik berikutnya didefinisikan oleh Smith sebagai public culture, yang merepresentasikan aspek budaya dari sebuah komunitas. Aspek budaya dapat direpresentasikan oleh banyak elemen, dan salah satu bagian yang terpenting adalah bahasa. Karakteristik penting lainnya dari bangsa adalah adanya konsep teritori bersama, dimana teritori tersebut memberikan batasan bagi sebuah kelompok dari kelompok yang lain; teritori merupakan salah satu komponen yang penting dalam pembangunan identitas sebuah kelompok. Ikatan terhadap teritori terbangun dimana sebuah kelompok sudah hidup turun-temurun dalam sebuah teritori, dimana disitulah mereka membangun kesamaan sejarah, legenda/mitologi, dan sebagainya. Disamping karakteristik-karakteristik di atas baik yang berkenaan dengan komunitas maupun yang berhubungan dengan teritori, Smith juga mensyaratkan sebuah bangsa harus memiliki satu kesatuan dalam bidang perekonomian dan hukum. Karakteristik-karakteristik yang penulis jabarkan diatas, kesadaran kolektif akan adanya legenda/mitologi dan narasi sejarah yang sama, public culture, konsep teritori bersama, dan satu kesatuan dalam bidang perekonomian dan hukum bisa dikatakan merupakan komponen-komponen yang menyusun identitas kolektif sebuah bangsa atau dengan sebutan lain: identitas nasional (national identity). Selanjutnya, penulis akan memaparkan konsep ethnie (ethnic group/kelompok etnis/suku bangsa), yang menurut Smith merupakan sebuah konsep penting dalam proses pembentukkan sebuah nation. Menurut Smith, ethnie mempunyai atributatribut sebagai berikut: a collective proper name, a myth of common ancestry, shared historical memories, one or more differentiating of common culture, an
5
association with specific ‘homeland’, a sense of solidarity for significant sectors of the population.6 Secara umum, karakteristik ethnie memiliki banyak kesamaan dengan karakteristik dari nation. Perbedaan utamanya terletak dalam hal teritori serta sistem perekonomian dan hukum. Dalam hal teritori, jika nation sudah pasti memilikinya, sedangkan ethnie belum tentu—ia mungkin masih tinggal di teritori asalnya, namun ia bisa juga sudah pindah ke tempat lain. Dalam hal ini, keterikatan antara ethnie dan teritori lebih bersifat emosional, sedangkan keterikatan antara nation dengan teritori tidak saja bersifat emosional, melainkan juga bersifat aktual—seperti penulis sebutkan diatas, sebuah nation pasti memiliki teritori. Dalam bidang perekonomian dan hukum, sebuah ethnie belum memiliki satu kesatuan sistem. Berbasiskan konsep ethnie ini, Smith membangun teorinya tentang pembentukan bangsa yaitu bahwa bangsa dapat dibangun dengan cara mentransformasikan ethnie menjadi nation, seperti yang banyak terjadi di Eropa (terutama di Eropa Barat). Proses transformasi ethnie ini berlangsung dalam waktu yang lama, yang melibatkan penggabungan atau pemisahan ethnie sehingga menghasilkan sebuah nation. Sementara itu, proses pembentukan bangsa di Afrika dan Asia mengambil rute yang sedikit berbeda. Secara umum, sebagian besar negara-negara di kawasan ini berawal dari koloni Eropa. Diawal pembentukannya, negara-negara ini belum memiliki identitas, baik berupa identitas kultural maupun identitas politik. Dengan kata lain, negara-negara ini belum memiliki identitas kolektif, yang merupakan hal terpenting bagi pembangunan sebuah bangsa. Tidak berlebihan kalau kemudian negara-negara tersebut dikatakan belum memiliki nation. Adapun identitas atau solidaritas yang dimiliki populasi di daerah jajahan seringkali merupakan hasil bentukan dari kekuatan kolonial.
6
Smith, Anthony, D. Op. cit. Hlm. 21.
6
Oleh karena itu, sebuah negara yang baru merdeka dari kekuatan kolonial perlu membangun identitas kolektif yang baru. Menurut Smith, hal ini dapat dilakukan dengan dua cara. Cara pertama, disebut dengan ‘dominant ethnie model’, yang merupakan sebuah proses pembentukan identitas nasional dengan cara menjadikan identitas dari kelompok etnik yang dominan sebagai pilar dari identitas nasional yang baru. Cara yang kedua dilaksanakan dengan menciptakan “supra-ethnic ‘political culture’” atau menciptakan sebuah identitas nasional yang baru, yang tidak berbasis pada identitas kelompok etnis manapun. Dalam kasus ini, tidak ada kelompok etnis yang cukup dominan untuk mendominasi identitas nasional negara tersebut.
2. Nasionalisme dan Nation Building Pembahasan tentang bangsa tidak dapat lepas dari pembahasan mengenai nasionalisme. Nasionalisme merupakan sebuah konsep yang kompleks sehingga tidak mudah didefinisikan secara sederhana. Hal ini dapat ditunjukkan oleh beragamnya definisi nasionalisme yang diajukan oleh para peneliti di berbagai literatur yang ada. Satu hal yang umum dari konsep nasionalisme pada berbagai literatur di atas adalah keterkaitannya yang erat dengan konsep bangsa (nation). Lebih lanjut, terdapat dua cara pandang para ahli sosial mengenai nasionalisme. Cara pandang yang pertama melihat konsep nasionalisme sebagai sebuah ideologi, ide, gagasan, atau kepercayaan. Sementara cara pandang kedua melihat konsep nasionalisme sebagai sebuah gerakan (movement). Bahkan tidak sedikit yang menggabungkannya dalam satu kesatuan seperti definisi yang diajukan oleh Smith yaitu “an ideological movement for attaining and maintaining autonomy, unity and identity on behalf of a population deemed by some of its members to constitute an actual or potential nation.”7 Sebagaimana telah dibahas sebelumnya, definisi di atas menunjukkan bahwa nasionalisme merupakan gerakan yang didasarkan pada ideologi untuk mencapai 7
Smith, Anthony, D. Op. cit. Hlm. 73.
7
dan mempertahankan eksistensi bangsa. Hal ini didasarkan pada penjelasan dari Smith lebih lanjut tentang ketiga karakteristik sebuah bangsa (autonomy, unity, identity) yang digunakan dalam definisi nasionalismenya. Autonomy mengacu pada konsep self-determination, yang diartikan sebagai kemerdekaan sebuah bangsa secara politis dan bebas dari pengaruh kekuasaan pihak-pihak eksternal. Hal ini yang mendasari mengapa kemerdekaan (independence) suatu nation-state menjadi sasaran utama para nasionalis. Perlu dicatat disini bahwa walaupun secara konseptual terbentuknya negara (state) bukanlah syarat mutlak dari keberadaan bangsa, namun secara umum memang sebuah bangsa memerlukan keberadaan negara.8 Berikutnya, dalam pengertian sederhananya unity mengacu pada kesatuan antara national territory/homeland dan komunitas nasionalnya. Sementara dalam pengertian yang lebih mendalam, unity mengacu pada kesatuan sosial, persaudaraan antar-anggota komunitas bangsa. Terakhir, identity mengacu pada ciri-ciri yang menunjukkan kesamaan antara satu anggota komunitas dari suatu bangsa dengan anggota komunitas lainnya, atau sesuai penjelasan sebelumnya dikenal dengan sebutan identitas nasional. Berdasarkan uraian di atas, kita dapat melihat bahwa salah satu tujuan nasionalisme adalah pencapaian identitas nasional dan inilah yang dimaksudkan dengan nation building. Dari beragam definisi atas apa yang dimaksud dengan konsep nation building, penulis akan menggunakan definisi sederhana dari Vera Tolz (1998) yang menjabarkan nation building sebagai sebuah proses pendefinisian
“who
are
we
the
people”
(identitas
nasional),
serta
pembangunan/pembentukan identitas dari komunitas bangsa yang dimaksud berdasarkan definisi identitas nasional tersebut.9
8
Smith, Anthony, D. Op. cit. Hlm. 74.
9
Tolz, Vera. 1998. “Forging the Nation: National Identity and Nation Building in Post-Communist
Russia.” Europe-Asia Studies, Vol. 50(6).
8
Dalam hal ini, nation building dapat dikatakan berhubungan dengan proses pembentukan
nation
membership/nation
boundary—proses
pendefinisian
keanggotaan suatu bangsa, siapa yang dapat dianggap sebagai anggota dari bangsa tersebut dan siapa yang tidak. Marker atau penanda atas keanggotaan atas suatu bangsa biasanya bersumber dari adanya national identity—identitas bangsa, yang umumnya terdiri atas hal-hal seperti bahasa, budaya, agama, dan lain sebagainya. Lebih lanjut, sebagaimana telah diuraikan di atas, pembentukan bangsa di negaranegara Asia dan Afrika mengambil rute yang berbeda dibandingkan dengan negara-negara di daratan Eropa. Di Eropa umumnya negara (state) terbentuk setelah proses integrasi komunitas masyarakat menjadi suatu banga (nation) berlangsung dalam rentang waktu yang panjang, sementara di Asia dan Afrika umumnya secara politis negara (state) dibentuk walaupun bangsanya (nation) belum terkonsolidasi. Dengan kata lain, pada saat kemerdekaan (autonomy) tercapai, bangsanya sendiri (identity) belum terdefinisikan dengan baik sehingga peran para nasionalis setelah kemerdekaan dalam nation building menjadi penting mengingat salah satu tujuan nasionalisme belum sepenuhnya tercapai. Untuk menelaah pentingnya kontribusi nasionalisme dalam nation building pada masa setelah kemerdekaan, penulis akan melihat teori yang dibangun oleh Barrington dalam menganalisis arah pergerakan nasionalis setelah kemerdekaan. Barrington mulai dengan menyimpulkan bahwa nasionalisme pada dasarnya mencoba menjawab dua pertanyaan utama: Who is the nation? Dan what territory does the nation have a right to control?10 Pada saat kemerdekaan, kedua pertanyaan tadi terjawab dengan suatu pilihan atas identitas nasional dan wilayah teritorial dari nation-state yang baru saja memperoleh kemerdekaannya. Namun demikian, setelah kemerdekaan tercapai, baik identitas nasional maupun wilayah 10
Barrington, Lowell W. 2006. “Nationalism and Independence,” In Lowell W. Barrington (Ed.),
After Independence: Making and Protecting the Nation in Postcolonial and Postcommunist States, Ann Arbor. Hlm. 11.
9
teritorial yang berada dibawah kendali nation-state tadi bisa saja mendapatkan tantangan dalam berbagai bentuk. Identitas nasional yang dipilih saat kemerdekaan belum tentu diinternalisasikan oleh seluruh anggota komunitas bangsa yang baru merdeka tersebut. Wilayah teritorial yang terbentuk saat kemerdekaan bisa jadi perlu diperluas untuk mencakup anggota komunitas yang memiliki kesamaan identitas nasional yang berada di luar wilayah teritorial bangsa yang baru merdeka. Ini semua menyebabkan peran nasionalisme tidak secara otomatis selesai setelah kemerdekaan tercapai. Barrington kemudian menunjukkan adanya lima varian nasionalisme yang mungkin berkembang setelah kemerdekaan. Kelima varian nasionalisme ini terbagi dalam dua kelompok. Kelompok pertama berkaitan dengan aspek wilayah dari bangsa yang baru mendapatkan kemerdekaannya dan terdiri dari dua varian, sementara kelompok kedua berkaitan dengan aspek komunitas masyarakat bangsa yang baru terbentuk ini dan terdiri dari tiga varian. Kelima varian nasionalisme untuk periode setelah kemerdekaan ini dapat diuraikan sebagai berikut: 1) External-Territory-Claiming Fokus
nasionalisme
disini
pada
usaha-usaha
untuk
memperluas
penguasaan atas wilayah diluar batas-batas negara yang baru terbentuk karena dianggap merupakan bagian dari homeland. 2) Sovereignty-Protecting Fokus nasionalisme disini pada usaha-usaha kelompok mayoritas mempertahankan penguasaan atas wilayah dari negara yang terbentuk terhadap tuntutan kelompok minoritas atas sebagian wilayah yang dianggap sebagai homeland kelompok minoritas tersebut. 3) Civic Nation-Building Fokus nasionalisme pada usaha-usaha nation building untuk membentuk
10
identitas nasional dari bangsa yang baru terbentuk dengan didasarkan pada aspek-aspek politik-teritorial dan bukan pada aspek-aspek etnis. 4) Ethnic Nation-Protecting Fokus nasionalisme pada usaha-usaha nation building untuk membentuk identitas nasional dari bangsa yang baru terbentuk dengan didasarkan pada identitas etnis mayoritas sebagai bentuk proteksi dari rasa ketidak-amanan etnis mayoritas baik dari aspek sosial, budaya, maupun ekonomi atas “ancaman” dari etnis minoritas. 5) Co-National-Protecting Fokus nasionalisme juga mencakup “anggota” komunitas yang berada di luar wilayah bangsa yang baru terbentuk.
D.
Argumen Utama
Kolonialisme
Inggris menghasilkan masyarakat
yang tersegregasi
berdasarkan garis etnis. Masyarakat pada zaman kolonialisme Inggris menjalankan kehidupannya secara terpisah dengan kontak antar kelompok yang minimal. Pengelompokan lapangan kerja berdasarkan etnisitas dan sistem sekolah vernakular merupakan contoh segregasi dalam masyarakat kolonial Malaya.
Terdapat ketidakseimbangan sosial di antara kelompok-kelompok etnis yang ada di Malaya dimana kondisi ekonomi kelompok etnis Melayu, yang juga merupakan kelompok mayoritas, relatif lebih “terbelakang” dibandingkan kelompok-kelompok etnis lainnya (Cina dan India). Keterbelakangan ini menimbulkan perasaan insecurity yang sangat kuat dari kelompok etnis Melayu dan menjadi salah satu faktor utama yang mendorong gerakan nasionalisme Melayu tumbuh dengan kecenderungan untuk memproteksi eksistensi dan identitas etnis Melayu.
11
Pada masa menjelang kemerdekaan, gerakan nasionalisme di Malaysia diwarnai dengan etnisitas yang belum menyatu dengan nasionalisme Melayu yang mengambil posisi dominan.
Dinamika nasionalisme etnis Melayu, yang memilih jalur ethnic nationprotecting, dapat menjelaskan mengapa kebijakan-kebijakan nation building yang dijalankan pemerintah Malaysia selalu menghadapi hambatan-hambatan terutama dari kelompok etnis non-Melayu.
Wacana
kebangsaan
yang
berkembang
sejak
tahun
1990an
memperlihatkan kecenderungan gerakan nasionalisme Melayu yang mengarah pada civic nation-building, namun masih perlu pembuktian lebih lanjut dalam tataran yang lebih operasional.
E.
Metode Penelitian
Penelitian dalam skripsi ini akan dilakukan dengan menggunakan data-data sekunder (data yang telah dikumpulkan dan dianalisis oleh orang lain) melalui studi pustaka dari buku, makalah ilmiah, artikel surat kabar dan berita elektronik. Penelitian akan dilaksanakan dengan cara menganalisis data-data yang telah dikumpulkan untuk menyusun sebuah argumentasi yang ilmiah.
F.
Sistematika Penulisan
Bab I, sebagai bab pendahuluan berisi latar belakang, rumusan masalah, kerangka konseptual, argumen utama, metode penelitian, dan sistematikan penulisan. Bab II akan membahas proses nation building di Malaysia yang dilihat secara kronologis, mulai dari masa pra-kemerdekaan sampai dengan kemerdekaan; diikuti masa antara kemerdekaan sampai dengan tahun 1969, saat terjadinya kerusuhan etnis; masa penerapan National Economic Policy (NEP) yaitu antara tahun 1969 sampai dengan tahun 1990; dan terakhir masa setelah berakhirnya penerapan NEP. 12
Bab III akan membahas kebijakan-kebijakan nation building yang diterapkan oleh pemerintah Malaysia dan hambatan-hambatannya. Disini akan dibahas dua kebijakan nation building yaitu yang pertama adalah kebijakan pendidikan dan bahasa, serta yang kedua adalah kebijakan NEP. Pembahasan mencakup arti penting kebijakan bagi nation building, penjelasan atas penerapan kebijakan yang dimaksud, serta pencapaian dan hambatan yang dihadapi dalam penerapan kebijkan tersebut. Bab IV akan membahas nasionalisme Melayu dan pengaruhnya atas kebijakankebijakan nation building di Malaysia, yang diharapkan dapat menjelaskan atas munculnya berbagai hambatan atas penerapan kebijakan-kebijakan tersebut. Bab V, sebagai bab penutup akan membahas kesimpulan dari skripsi ini.
13