1
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Kelenjar prostat adalah satu organ genetalia pria yang terletak disebelah inferior buli-buli dan melingkari uretra posterior. Bentuknya sebesar buah kenari dengan berat normal pada orang dewasa kurang lebih 20 gram (Purnomo, 2011). Bila mengalami pembesaran atau hiperplasy organ ini dapat menyumbat uretra pars prostatika dan menyebabkan terhambatnya aliran urine keluar dari buli-buli atau lebih dikenal Benigna Prostat Hiperplasy (BPH). Benigna Prostat Hiperplasy (BPH) adalah pembesaran jinak kelenjar prostat yang disebabkan oleh karena hiperplasi beberapa atau semua bagian prostat meliputi jaringan kelenjar/ jaringan fibromuskuler yang menyebabkan penyumbatan uretra pers prostatika (Soetomo, 1994). Penyebab Benigna Prostat Hiperplasy (BPH) belum pasti namun hampir merupakan fenomena yang sering ditemukan pada laki-laki usia lanjut. Frekuensi terjadinya Benigna Prostat Hiperplasy meningkat seiring dengan pertambahan usia, dan merupakan penyebab morbiditas utama laki-laki usia lanjut (Isselbacher, 1992). Benigna Prostat Hiperplasy (BPH) adalah kondisi patologis yang paling umum pada pria lansia dan penyebab kedua yang paling sering untuk intervensi medis pada pria diatas usia 60 tahun (Brunner & Suddart, 2002). Di Indonesia, penyakit pembesaran prostat jinak menjadi urutan kedua setelah penyakit batu saluran kemih, dan jika dilihat secara umum diperkirakan hampir 50 % pria Indonesia yang berusia diatas 50 tahun, dengan usia harapan hidup mencapai 65 tahun ditemukan menderita penyakit pembesaran prostat jinak (PPJ) atau Benigna Prostat Hiperplasy (BPH). Selanjutnya, 5 % pria di Indonesia sudah masuk dalam lingkungan usia diatas 60 tahun. Oleh itu, jika dilihat dari 200 juta lebih bilangan rakyat Indonesia maka dapat diperkirakan 100 juta adalah pria yang
2
berusia 60 tahun. Secara umumnya dinyatakan bahwa 2,5 juta pria Indonesia menderita penyakit Benigna Prostat Hiperplasy (BPH) atau pembesaran prostat jinak (PPJ) ini. Indonesia semakin hari semakin maju dan berkembang, dengan berkembangnya sebuah negara maka usia harapan hidup pasti bertambah dengan sarana yang semakin maju, maka kadar penderita BPH secara pastinya turut meningkat (Furqan, 2003). Suatu penelitian menyebutkan bahwa prevalensi Benigna Prostat Hiperplasy (BPH) yang bergejala pada pria berusia 40 – 49 tahun mencapai 15 %. Angka ini meningkat dengan bertambahnya usia, sehingga pada usia 50 – 59 tahun prevalensinya mencapai hampir 25 % pada usia 60 tahun sebanyak 50 % tahun mencapai angka sekitar 43 %. Angka kejadian Benigna Prostat Hiperplasy (BPH) di Indonesia sebagai gambaran hospital prevalensi di Rumah Sakit besar di Jakarta yaitu RSCM dan Sumber Waras (1994 – 1999) terdapat 1040 kasus (Istiqomah, 2010). Tidak jauh berbeda dengan kasus Benigna Prostat Hiperplasy (BPH) yang terjadi di jawa tengah, kasus tertinggi gangguan prostat berdasarkan laporan rumah sakit terjadi di Kabupaten Grobogan yaitu sebesar 4.794 kasus (66,33 %) dibandingkan dengan jumlah keseluruhan kasus gangguan prostat di kabupaten atau kota lain di Jawa Tengah. Bila dibandingkan kasus keseluruhan penyakit tidak menular lain di Kota Grobogan sebesar 46,81 %. Sedangkan kasus tertinggi kedua adalah kota Surakarta 488 kasus (6,75 %) dan dibandingkan dengan jumlah keseluruhan penyakit tidak menular lain di kota Surakarta maka proporsi kasus ini adalah 3,52 %. Rata-rata kasus gangguan prostat di Jawa Tengah adalah 206,48 (Profil Kesehatan Profinsi Jawa Tengah, 2003). Di berbagai daerah di Indonesia kemampuan melakukan diagnosis dan modalitas terapi pasien Benigna Prostat Hiperplasy (BPH) tidak sama karena perbedaan fasilitas dan sumber daya manusia di tiap-tiap daerah. Dari hasil penelitian yang dilakukan Ferawaty (2007) dijumpai adanya korelasi positif antara klinis hiperplasia prostat dengan kejadian inkontinensia urin tipe overflow pada pasien pria lanjut usia (koefisien
3
korelasi = 0,778;p<0,0001). Pasien yang mengalami Benigna Prostat Hiperplasia (BPH) akan mengalami gangguan pengeluaran urin (obstruksi saluran uretra). Gejala obstruksi yaitu pancaran melemah, rasa tidak puas saat miksi, jika akan miksi memerlukan waktu lama/ hesitancy, harus mengedan/ straining, kencing terputus-putus/ intermittency dan waktu miksi memanjang yang akhirnya menjadi retensio urin dan inkontinen karena over flow (Mansjoer, 2004). Obstruksi saluran kemih harus segera diatasi karena dapat menimbulkan komplikasi, diantaranya iritasi urin akut yang terjadi buli-buli mengalami dekompensasi, infeksi saluran kemih, hematuri, hidroureter dan hidronefrosis karena tekanan intravesika meningkat dan akan menimbulkan kerusakan fungsi ginjal (Heffner dan Schush, 2006). Untuk menangani komplikasi yang terjadi pada pasien Benigna Prostat Hiperplasy (BPH) penatalaksanaan yang dilakukan ada yaitu yang pertama terapi medikmentosa, diantaranya : penghambat adrenergic alfa, penghambat enzim 5 alfa reduktase, dan fitofarmaka (Purnomo, 2011), yang kedua terapi pembedahan/ prostatectomy dan yang ketiga tindakan invasif minimal endourologi serta watcfull waiting. Tindakan yang sering dilakukan untuk penatalaksanaan Benigna Prostat Hiperplasy (BPH) adalah pembedahan Prostatectomy yaitu pengangkatan sebagian atau seluruh kelenjar prostat (Susan, 1998). Trans vesica prostatectomy (TVP)/ open
prostatectomy/
prostatektomi
terbukti
merupakan
tindakan
pembedahan yang sering dilakukan dalam penanganan PPJ dengan mekanisme pengangkatan kelenjar melalui insisi abdomen. Trans vesica prostatectomy (TVP) dibagi menjadi tiga yaitu prostatektomi suprapubik, prostatektomi perineal dan prostatektomi retropubik. Open prostatektomy dianjurkan untuk prostat dengan ukuran (>100 gram). Pasien yang telah dilakukan tindakan pembedahan bukan berarti tidak timbul masalah lain, masalah yang dapat terjadi setelah tindakan trans vesica prostatectomy (TVP) seperti pasien akan kehilangan darah yang cukup banyak, retensi urine, inkontinensia urine, impotensi dan
4
terjadi infeksi (Purnomo, 2011). Dari 168 pasien yang menjalani trans vesica prostatectomy (TVP), 15 % diperlukan tranfusi darah pasca operasi. Komplikasi lain yang biasa terjadi adalah perforasi usus, infeksi luka bedah, disfungsi ereksi, diamati pada 164 pasien (98%), perubahan berkemih pada 32 pasien (19%) dan perubahan usus (11%). Diantara perubahan perubahan eliminasi urin ditemukan, yang paling sering (64%) adalah inkontinensia urin (Escudero, 2006). Salah satu masalah yang sering ditemui pada pasien pasca prostatectomy yaitu inkontinensia urin, masalah ini merupakan eliminasi urine dari kandung kemih yang tidak terkendali atau terjadi diluar keinginan. Dilihat dari sisi pembedahan dan proses penyembuhan luka, trans vesica prostatectomy (TVP) akan memerlukan waktu untuk penyembuhan luka pasca operasi pada saluran kemih khususnya vesica urinary dan otot pelvic yang melemah (Brunner Sudart, 2002). Inkontinensia urin pada dasarnya bukan konsekuensi normal penuaan, tetapi perubahan traktus urinarius (Juniardi, 2008). Inkontinensia urin merupakan komplikasi jangka panjang umum pasca operasi prostatectomy, penyembuhan kontrol berkemih secara spontan pasca operasi memakan waktu 1-2 tahun. Ditemukan 88 % dari 48 pasien dan 56 % dari 52 pasien mengalami inkontinensia setelah 3 bulan (Van Poppel, 2000 ). Penatalaksanaan inkontinensia urin terdiri atas tiga kategori utama, yaitu terapi non farmakologis (intervensi perilaku), farmakologis, dan pembedahan. Terapi non-farmakologis merupakan intervensi keperawatan yang bersifat independent yang dapat dilakukan pada pasien dengan inkontinensia urin antara lain : behavioral oriented seperti bladder training, kegel exercise, dan pengaturan diit (Kozier et.al, 2003). Salah satu terapi non-farmakologis yaitu kegel exercise merupakan nama latihan yang menguatkan otot dasar panggul (Kegel, 1948). Kegel Exercise diartikan sebagai penguatan otot Pubococsigeus secara sadar dengan melakukan gerakan kontraksi berulang-ulang untuk menurunkan
5
incointinence (Memorial Hospital, 2009). Kegel exercise merupakan suatu upaya untuk mencegah suatu timbulnya inkontinensia urin. Mekanisme kontraksi dan meningkatnya tonus otot dapat terjadi karena adanya rangsangan sebagai dampak dari latihan. Otot dapat dipandang sebagai suatu motor yang bekerja dengan jalan mengubah energy kimia menjadi tenaga mekanik berupa kontraksi dan pergerakan untuk menggerakkan serat otot yang terletak pada interaksi aktin dan myosin. Proses interaksi tersebut diaktifkan oeh ion kalsium dan adenotrifosfat (ATP), yang kemudian dipecah menjadi adenodifosfat (ADP) untuk memberikan energy bagi kontraksi otot detrusor (Asikin N, 1984). Rangsangan melalui neuromuskuler akan meningkatkan rangsangan pada syaraf otot polos untuk memproduksi asetilkolin dimana asetilkolin akan meningkatkan permeabilitas membrane otot sehingga mengakibatkan kontraksi otot. Energi yang lebih banyak diperoleh dari proses metabolisme dalam mitokondria untuk menghasilkan adenotrifosfat (ATP) yang digunakan otot polos pada kandung kemih sebagai energi untuk kontraksi dan akhirnya dapat meningkatkan tonus otot polos kandung kemih (Guyton, 1995). Cara latihan kegel adalah dengan melakukan kontraksi pada otot pubococcygeus dan menahan kontraksi tersebut dalam hitungan 10 detik, kemudian kontraksi dilepaskan. Pada tahap awal bisa dimulai dengan menahan kontraksi selama 3 hingga 5 detik. Dengan melakukan secara bertahap otot ini akan semakin kuat, latihan ini diulang 10 kali setelah itu mencoba berkemih dan menghentikan urin ditengah (Johnson, 2002). Untuk menguatkan otot dasar panggul, sehingga memperkuat fungsi sfingter eksternal pada kandung kemih. Latihan ini terus dikembangkan dan dilakukan pada lansia yang mengalami masalah inkotinensia stres. Suatu penelitian mencatat bahwa jika seorang wanita melakukan kegel exercise secara konsisten dengan benar selama satu bulan maka akan mendapatkan hasil memuaskan perubahan yang positif (Northup, 2007). Cockburn dan Chiarelli (2003) dalam penelitiannya juga membuktikan
6
bahwa kegel exercise adekuat untuk menurunkan kejadian inkontinensia urin pada ibu yang melahirkaan dengan bantuan forcep. Kejadian inkontinensia urin lebih sedikit pada kelompok (38,4%) dari 676 responden. Rumah sakit PKU Muhammadiyah Gombong dan RSUD Kebumen merupakan rumah sakit tipe C yang sama-sama melayani pasien rawat inap, rawat jalan, pemeriksaan baik radiologi maupun pemeriksaann laboratorium, hemodialisa, instalasi bedah sentral, instalasi gawat darurat, apotik baik untuk pasien umum, askes pegawai dan jamkesmas, yang ruangnya ada ruang VIP, utama kelas 1, utama Kelas 2, kelas 3, dan khusus ruang/ bangsal diperuntukan untuk pasien Jamkesmas. Dengan didukung tenaga kesehatan baik dokter umum, dokter spesialis, perawat D3 maupun S1, bidan, apoteker, petugas gizi dan tenaga non medis baik administrasi, sopir, petugas kebersihan dan penjaga keamanan. (RSUD Kebumen dan RS PKU Muhammadiyah Gombong, 2013). Berdasarkan hasil observasi studi pendahuluan yang dilakukan peneliti pada 26 Desember 2013 di RSUD Kebumen dan RS PKU Muhammadiyah Gombong menunjukan bahwa selama bulan januari sampai dengan desember tahun 2013 terdapat 141 pasien trans vesica prostatectomy (TVP). Berdasarkan wawancara dengan perawat bangsal masih kurangnya perhatian khusus pencegahan inkontinensia pada pasien trans vesica prostatectomy
(TVP) dari perawat. Dari hasil observasi
tidak terdapat standar operasional prosedur (SOP) tentang kegel exercise yang baku di dalam ruang rawat inap tersebut. Dari fakta-fakta yang terjadi, peneliti tertarik untuk melakukan penelitian tentang “Pengaruh Kegel Exercise Terhadap Pencegahan Inkontinesia urin pada pasien Benigna Prostat Hiperplasy (BPH) Pasca transvesica prostatectomy (TVP)”.
7
B. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang tersebut penulis merumuskan masalah dalam penelitian ini adalah apakah ada pengaruh pengaruh kegel exercise terhadap pencegahan inkontinesia urin pada pasien Benigna Prostat Hiperplasy (BPH) pasca trans vesica prostatectomy (TVP). C. Tujuan Penelitian 1. Tujuan Umum Mengidentifikasi pengaruh kegel exercise terhadap pencegahan inkontinesia urin pada pasien Benigna Prostat Hiperplasy (BPH) pasca trans vesica prostatectomy (TVP). 2. Tujuan Khusus a. Mengetahui kejadian inkontinensia urin pada pasien Benigna Prostat Hiperplasy (BPH) pasca trans vesica prostatectomy (TVP) setelah pemberian kegel exercise . b. Mengetahui kejadian inkontinensia urin pada pasien Benigna Prostat Hiperplasy (BPH) pasca trans vesica prostatectomy (TVP) yang tidak diberikan kegel exercise . c. Mengetahui efektifitas pemberian kegel exercise pada pasien Benigna
Prostat
Hiperplasy
(BPH)
pasca
trans
vesica
prostatectomy (TVP) .
D. Manfaat Penelitian 1. Bagi Instansi Rumah Sakit Dengan adanya penelitian ini diharapkan dapat memperbaiki kualitas dan motivasi dalam penatalaksaan pasien paska operasi di Rumah Sakit khususnya pasien dengan Benigna Prostat Hiperplasy (BPH). 2. Bagi Institusi Dengan adanya penelitian ini diharapkan bisa memberikan informasi, wawasan, bahan referensi,bacaan dan data untuk penelitian selanjutnya yang berhubungan dengan penatalaksanaan pencegahan
8
inkontinensia urin pada pasien Benigna Prostat Hiperplasy (BPH) pasca trans vesica prostatectomy (TVP). 3. Bagi Ilmu Pengetahuan Dengan adanya penelitian ini diharapkan menambah pengetahuan dan pengalaman tentang penatalaksanaan pencegahan inkontinensia urin pada pasien Benigna Prostat Hiperplasy (BPH) pasca operasi. Memperkaya riset penelitian di Indonesia, sehingga menjadi motivasi untuk mengembangkan dan memajukan ilmu keperawatan di Indonesia untuk penatalaksanaan pencegahan inkontinensia pada pasien Benigna Prostat Hiperplasy (BPH) pasca trans vesica prostatectomy (TVP).
E. Keaslian Penelitian Penelitian tentang pengaruh kegel exercise terhadap pencegahan inkontinensia urin pada pasien Benigna Prostat Hiperplasy (BPH) pasca trans vesica prostatectomy (TVP) di Kabupaten Kebumen belum ada yang melakukan, namun ada beberapa penelitian yang hampir mirip dengan penelitian ini : 1. Penelitian yang dilakukan Chank C1, Chen T2, Liao Y1 (2009) “Pengaruh pelvic floor exercise terhadap inkontinensia pada pasien lansia pasca operasi BPH di rumah sakit Chang Gung Memorial” Dengan krtiteria inklusi adalah 1) usia 60 tahun keatas, 2) diagnosis dengan BPH oleh dokter 3) disiapkan untuk TURP, perawatan laser thulium, dan foto selektif penguapan operasi. Jumlah 61 pasien menyeleseaikan studi, 32 pada kelompok eksperimen yang menerima intervensi pelvic floor exercise dan 29 pada kelompok non-intervensi tetap perawatan rutin. Pengumpulan data meliputi demografi, international prostat symptom score (IPSS), laju aliran urin maksimal (Qmax) dan urin sisa- void . Hasil dari penelitian tersebut skor IPSS dari kelompok eksperimen secara signifikan lebih rendah dibandingkan kelompok kontrol setiap saat ( β = -4,490 , p <0,001 ). Kedua skor obstruktif ( β = 0.231, p < 0,001) dan skor iritasi (β = 0,086 , p < 0,001)
9
lebih rendah pada kelompok perlakuan. Semua 5 komponen IPSS menunjukkan kecenderungan yang sama. Peningkatan Qmax ( z = 1,936 , p = 0,03 ) dan rata-rata aliran urin ( z = 2,183 , p = 0,017 ) keduanya secara signifikan lebih tinggi pada kelompok eksperimen, Namun, volume berkemih serupa dalam dua kelompok. Interpretasi hasil ini membuktikan bahwa melakukan pelvic floor exercise secara efektif dapat mengurangi LUTS, mengurangi skor IPSS pada pasien paska TURP. Dalam penelitian ini menggunakan metode studi crosssectional kuasi-ekperimental. 2. Penelitian yang dilakukan oleh Angellita Intan Septiastri Cholina Trisa Siregar (2011) dengan judul “Latihan kegel dengan penurunan inkontinensia urin pada lansia” tujuan penelitian ini untuk melihat efektivitas latihan kegel terhadap penurunan gejala inkontinensia urin pada lansia. Desain penelitian adalah quasy-experiment. Penetapan sampel menggunakan teknik purposiv sampling diperoleh 13 orang intervensi dan 13 orang kontrol. Hasil analisa data menunjukkan bahwa gejala inkontinensia urin sebelum latihan kegel pada kelompok intervensi sebanyak 53,8% ringan dan 46,2% sedang. Sedangkan pada kelompok kontrol sebanyak 61,5% ringan dan 38,5% sedang. Setelah dilakukan intervensi, gejala inkontinensia urin pada kelompok intervensi sebanyak 100% ringan sedangkan pada kelompok kontrol 61,5% ringan dan 38,5% sedang. Hasil uji paired t-test pada kelompok intervensi menunjukkan bahwa gejala inkontinensia urin berbeda antara pre-post latihan kegel ( t= 17,725, p= 0,000). Selanjutnya dengan uji independent t-test, penelitian ini juga menunjukkan bahwa penurunan gejala inkontinensia urin pada kelompok intervensi berbeda dengan kelompok kontrol (t= -3,215, p=0,004). Penelitian ini menunjukkan bahwa latihan kegel efektif terhadap penurunan gejala inkontinensia urin pada lansia. Dengan demikian perawat dapat mengajarkan latihan kegel
sebagai
inkontinensia urin.
intervensi
nonfarmakologis
untuk
mengatasi