BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pertambangan minyak dan gas bumi (migas) Blok Cepu di Kabupaten Bojonegoro, Jawa Timur, telah menjadi isu penting lokal maupun nasional sejak 2005. Melimpahnya kandungan migas Blok Cepu1 yang pengerjaannya diberikan kepada perusahaan energi raksasa asal Amerika Serikat ExxonMobil alih-alih kepada perusahaan negara Pertamina, tidak hanya dikaitkan dengan penyediaan energi nasional, tetapi juga kedaulatan negara. Pada level daerah, proyek Blok Cepu juga sangat mewarnai dinamika diskurus dan praktik ekonomi-politik lokal. Eksploitasi Blok Cepu dengan operator
ExxonMobil
Mobil
Cepu
Ltd.
(EMCL)2—anak
perusahaan
ExxonMobil—bisa dibilang menjadi puncak gemerlap tambang migas di Bojonegoro. Sebelumnya, sejak 2004 Bojonegoro telah dimuntahi minyak dari Lapangan Sukowati (Blok Tuban) yang dioperatori Joint Operating Body Pertamina-PetroChina East Java (JOB-PPEJ). Tidak hanya pemerintah pusat yang berekspektasi tinggi terhadap proyek Blok Cepu dengan menempatkannya sebagai proyek energi andalan nasional, pemerintah daerah (pemda) beserta warga Bojonegoro juga menaruh harapan besar akan berkah migas bagi pembangunan daerah. Dalam skema otonomi daerah (desentralisasi), eksploitasi migas diharapkan bisa mengatrol pendapatan daerah dari hasil pengelolaan Participating Interest (PI—penyertaan modal dalam pengelolaan tambang migas melalui Badan Usaha Milik Daerah-BUMD), pajak 1
Dengan potensi kandungan migas Blok Cepu yang mencapai 10,96 miliyar barel minyak dan 62,64 trilion cubic feet (TFC) gas (Batubara, 2011), Badan Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (BP Migas, kini SKK Migas) mematok target puncak produksi Blok Cepu mencapai 165.000 barel minyak per hari—angka ini ditaksir setara dengan 20 persen produksi minyak nasional—pada 2014. 2
EMCL sebelumnya bernama Mobil Cepu Limited (MCL). Pergantian nama dari MCL menjadi EMCL diumumkan pada pertengahan Oktober 2014. Lihat Joel Joko, “MCL Berganti Nama Jadi EMCL”, dalam BlokBojonegoro.com 15 Oktober 2014; Ririn Wedia, “MCL Resmi Ganti Nama Menjadi EMCL”, dalam SuaraBanyuutip.com 15 Oktober 2014.
1
usaha, dan Dana Bagi Hasil (DBH). Mengingat Bojonegoro merupakan daerah endemik kemiskinan sejak era kolonial,3 eksploitasi migas juga diharapkan bisa membawa multiplier effects bagi warga lokal agraris—terutama bagi mereka yang lahannya telah dibebaskan untuk kawasan tambang—yang selama ini lekat dengan keterbelakangan, seperti terbukanya peluang usaha di berbagai sektor. Baik Pemda maupun warga Bojonegoro pun aktif memanfaatkan berbagai strategi untuk memaksimalkan peluang-peluang tersebut. Pada level kebijakan, Pemda Bojonegoro menerapkan Peraturan Daerah (Perda) Nomor 23 tahun 2011 tentang Percepatan Pertumbuhan Eksplorasi dan Eksploitasi serta Pengolahan Minyak dan Gas Bumi di Kabupaten Bojonegoro (selanjutnya disebut Perda Konten Lokal). Melalui perda ini, Pemda Bojonegoro bermaksud menekankan keterlibatan sumber daya lokal, baik modal, tenaga kerja, maupun lingkungan, termasuk pengaturan pelaksaan program coporate social responsibility (CSRpertanggungjawaban sosial perusahaan) dalam pertambangan migas. Pemberlakukan
Perda
Konten
Lokal
beresonansi
dengan
diskursus
keterlibatan warga lokal yang bergema di aras akar rumput. Sejak dimulainya proyek Blok Cepu, warga sekitar kawasan pertambangan kerap melakukan aksiaksi demonstrasi hingga memblokir jalan akses proyek untuk menyuarakan tuntutan agar dilibatkan dalam proyek: dipekerjakan di sektor tambang, pembangunan
fasilitas
publik,
serta
mendapatkan
program-program
pemberdayaan sosial. Diberlakukannya Perda Konten Lokal tersebut sempat mengakibatkan tertundanya target-target tahapan proyek yang telah dipatok pemerintah pusat (melalui SKK Migas) dan operator. Perda Konten Lokal setidaknya mewajibkan kontraktor kontrak kerja sama (KKKS/operator), mitra KKKS, dan pengolah migas untuk mengutamakan keikutsertaan perusahaan lokal, BUMD, Badan Usaha Milik Desa (BUMDes), dan koperasi, serta mengutamakan keikutsertaan tenaga kerja lokal. Selain itu, mereka diwajibkan untuk mendirikan kantor 3
Konsep kemiskinan endemik di Bojonegoro digagas oleh peneliti dari Australia C. L. M. Panders (1984) lewat bukunya Bojonegoro 1900–1942: A Story of Endemic Poverty in North-East Java (Singapura: Gunung Agung).
2
perwakilan di Bojonegoro. Kewajiban-kewajiban tersebut mengakibatkan tertundanya target-target tahapan proyek yang telah diagendakan sebelum diterapkannya Perda Konten Lokal. Pemerintah pusat pun geram, dengan menuduh Pemkab Bojonegoro menghambat proyek Blok Cepu karena tidak segera mengeluarkan Izin Mendirikan Bangunan (IMB) untuk proyek infrastruktur pendukung eksploitasi.4 Lamanya proses rilis IMB tersebut lantaran Pemkab Bojoneogro harus menyesuaikannya dengan Perda Konten Lokal dan Perda Rencana Tata Ruang dan Wilayah (RTRW). Sedangkan Pemerintah Pusat berpatokan pada target puncak produksi minyak nasional sebesar 1,01 juta barel per hari (bph) yang telah diamanatkan oleh Instuksi Presiden Nomor 2 tahun 2012 tentang Peningkatan Produksi Minyak Bumi Nasional. Inpres ini disahkan pada 10 Januari 2012 saat sedang tingginya tensi tarik-ulur proyek infrastruktur Blok Cepu. Tingginya tensi tarik-ulur kepentingan dalam eksploitasi migas Blok Cepu di Bojonegoro tersebut tidak luput dari perhatian media massa, baik media nasional maupun lokal. Di Bojonegoro, gemerlap pertambangan migas Blok Cepu melahirkan beberapa media massa lokal yang secara intensif mengulas isu seputarnya, salah satunya Blok Bojonegoro Media yang menerbitkan tabloid bulanan Blok Bojonegoro dan media daring blokBojonegoro.com.5 Tabloid Blok Bojonegoro diterbitkan oleh perusahaan media lokal PT. Bojonegoro Cinta Abadi 4
Geramnya pemerintah pusat terhadap pemberlakuan Perda Konten Lokal yang dinilai menghambat target produksi Blok Cepu menjadi sorotan media-media nasional. Lihat: Johana Purba, “Dianggap Hambat Blok Cepu, SBY Bakal Panggil Pemkab Bojonegoro”, Portalkbr.com (16/11/2012), diakses dari http://www.portalkbr.com/berita/nasional/2303034_4202.html pada Selasa, 30 April 2013; Bernadette Christina, “Blok Cepu Terhambat, SBY Panggil Bupati Bojonegoro”, Tempo.co (12/8/2012), diakses dari http://www.tempo.co/read/news/2012/08/12/090422937/Blok-Cepu-Terhambat-SBY-PanggilBupati-Bojonegoro pada Selasa, 30 April 2013. 5
Selain Blok Bojonegoro Media, media lokal lain di Bojonegoro yang mengulas isu pertambangan migas Blok Cepu secara intensif adalah Suara Banyuurip yang menerbitkan tabloid bulanan dan portal daring. Penelitian ini hanya menganalisis Blok Bojonegoro dengan alasan batasan profesionalisme. Tidak seperti Blok Bojonegoro, Suara Banyuurip yang diterbitkan oleh lembaga non-profit (NGO/LSM) Lembaga Informasi Masyarakat Banyuurip Bangkit (LIMA 2B) tidak dikelola secara komersial dengan distribusi terbatas pada pihak-pihak yang terkait pertambangan migas. Sementara Blok Bojonegoro dikelola secara profesional perusahaan dan didistribusikan secara komersial di kios-kios penjual media cetak hampir di seluruh Bojonegoro.
3
(PT BCA) setiap bulan sejak Juni 2011 mengiringi santernya isu Blok Cepu. Nyaris setiap edisi Blok Bojonegoro memuat laporan tentang pertambangan migas. Dalam meliput isu seputar pertambangan migas, Blok Bojonegoro secara intensif melaporkan kerumitan tarik ulur kepentingan di aras lokal, termasuk suara-suara para aktor lokal yang ingin terlibat aktif dan mendapatkan berkah hasil migas. Ini berbeda dengan media-media nasional/Jakarta yang cenderung fokus pada isu makro (nilai investasi, target produksi, kebijakan energi), di mana kepentingan-kepentingan elit ekonomi-politik nasional yang diutamakan. Ramainya tuntutan warga dan kepentingan berbagai pihak lokal dalam pengelolaan pertambangan migas di Bojonegoro beresonansi dengan pemberitaan media-media massa lokal yang mengusung isu-isu lokal. Artinya, ada resonansi antara agenda media lokal dalam memberitakan pertambangan dengan agenda khalayaknya dalam memaknai dan menyikapi pertambangan. Ini sesuai dengan paradigma konstruktionisme sosial dalam studi media massa yang memaknai media massa punya peran signifikan dalam mengkonstruksi makna realitas. Melalui pemberitaan, media mengkonstruksi realitas sosial melalui pembingkaian (framing) gambaran realitas dalam ragam cara tertentu; dan kahalayak mengkonstruksi pandangan mereka sendiri tentang realitas sosial di dalam berinteraksi dengan konstruksi-konstruksi simbolis yang ditawarkan media. Pendekatan ini mengamini baik media massa maupun khalayak memiliki kekuatan dalam mengkonstruksi realitas dengan proses negosiasi di antara keduanya (McQuail, 2005, hal. 101-102; 461). Berangkat dari pendekatan tersebut, penelitian ini hendak mengeksplorasi bagaimana Blok Bojonegoro sebagai media lokal membingkai pemberitaan pertambangan migas Blok Cepu di Bojonegoro; serta bagaimana bingkai tersebut beresonansi (bergema) dengan diskursus publik yang termanifestasikan salah satunya dalam perdebatan seputar kebijakan terkait pertambangan migas. Bingkaibingkai yang ditawarkan berita merupakan struktur inti dari wacana berita. Sementara wacana berita merupakan elemen pokok dari wacana publik (Gamson & Modigliani, 1989).
4
Sebagai media pers, Blok Bojonegoro tentunya relevan untuk diposisikan sebagai salah satu pengawal demokrasi. Maka, penelitian ini juga akan mengelaborasi pemberitaan Blok Bojonegoro terkait praktik jurnalisme yang dijalankan dalam konteks demokrasi pengelolaan pertambangan migas. Poin terakhir ini akan menguji pemenuhan fungsi-fungsi jurnalisme yang dijalankan oleh Blok Bojonegoro dalam memberitakan isu pertambangan migas Blok Cepu di Bojonegoro. B. Masalah Penelitian
Bagaimana pertambangan migas Blok Cepu di Bojonegoro yang diwacanakan bisa menyejahterakan daerah dan warga lokal dibingkai oleh pemberitaan tabloid Blok Bojonegoro?
Bagaimana bingkai-bingkai pemberitaan tersebut beresonansi dengan diskursus seputar kebijakan publik terkait pertambangan migas di Bojonegoro?
Bagaimana pemberitaan Blok Bojonegoro seputar pertambangan migas Blok Cepu yang mengkonstruksi bingkai-bingkai tertentu menerapkan prinsip-prinsip jurnalisme?
C. Tujuan Penelitian Melalui metode analisis pembingkaian (framing), penelitian ini hendak mengetahui bingkai-bingkai (frames) seperti apa yang dipakai oleh pemberitaan tabloid Blok Bojonegoro seputar pertambangan migas Blok Cepu di Bojonegoro; bagaimana bingkai-bingkai tersebut beresonansi dengan diskursus kebijakan publik; serta bagaimana strategi pembingkaian tersebut memenuhi prinsip-prinsip jurnalisme. Penelitian ini tidak menggunakan analisis isi karena tidak ingin membatasi ruang lingkup analisisnya pada struktur teks berita. Penelitian ini juga tidak menggunakan analisis wacana karena berusaha fokus pada proses konstruksi berita tentang pertambangan migas dan tidak hendak mengelaborasi struktur wacana besar yang melingkupi industri pertambangan seperti ideologi atau citra.
5
Dengan begitu, penelitian ini berusaha fokus pada proses pemberitaan (konstruksi teks) dan diskursus kebijakan publik sebagai konteks atasnya. D. Manfaat Penelitian Penelitian ini akan memberikan manfaat dalam beberapa konteks, antara lain: 1. Dalam konteks teoritis kajian media, penelitian ini kiranya akan memperkaya kajian pemberitaan dengan analisis framing. Khususnya mengenai isu pertambangan migas dan manfaatnya bagi warga lokal seiring pelaksanaan desentralisasi. Lebih spesifik lagi, dengan subyek penelitian media lokal, penelitian ini kiranya bisa menambah ragam kajian media yang selama ini didominasi oleh media-media besar Jakarta. 2. Secara pragmatis, hasil penelitian ini diharapkan bisa dijadikan sebagai bahan evaluasi bagi pengelola media, terutama jurnalis Blok Bojonegoro, dalam memberitakan isu pertambangan. 3. Hasil penelitian ini juga diharapkan bisa menjadi bahan refleksi para pemangku kepentingan dalam pengelolaan pertambangan migas, terutama di level lokal daerah. E. Kerangka Pemikiran Penelitian ini menggunakan kerangka pemikiran yang mengelaborasi empat teori. Teori pertama memaparkan posisi media massa dalam proses komunikasi massa, sebagai titik berangkat. Teori kedua menjelaskan peran media massa dalam proses konstruksi realitas sosial. Dilanjutkan dengan uraian tentang teori framing sebagai strategi media dalam proses konstruksi realitas. Teori terakhir mengelaborasi fungsi pemberitaan media massa dengan prinsip-prinsip jurnalisme sebagai penyokong demokrasi. E.1 Media Massa dalam Proses Komunikasi Massa Proses komunikasi dimungkinkan oleh media atau kanal yang memperantarai pesan dari komunikator ke komunikan maupun sebaliknya. Komunikasi massa, dalam pengertiannya yang paling mula, merujuk pada proses di mana organisasi
6
yang kompleks dengan perangkat mesin memproduksi dan menyalurkan pesan publik kepada khalayak luas, heterogen, dan terpisah-pisah (Dominick, 2005, hal. 11-12). M. Janowitz (1968, hal. 41-53) menyatakan, komunikasi massa mencakup institusi dan teknik dengan mana organisasi atau kelompok yang berkemampuan khusus menggunakan perangkat teknologi (misalnya percetakan, radio, film, dsb.) menyebarkan pesan simbolis kepada khalayak banyak, heterogen, dan tersebar secara luas. Dalam pemaknaan awalnya tersebut, proses komunikasi massa cenderung diidentifikasi sebagai proses transmisi yang melibatkan sumber (pengirim), encoding (pengkodean), decoding (pemaknaan kode), penerima (receiver— khalayak), dan noisy (gangguan). Di sini sumber komunikasi massa merujuk pada individu atau kelompok yang punya peran tertentu dalam kehidupan masyarakat. Pengirim berupa organisasi atau profesional komunikator seperti jurnalis, presenter, produser, dan sebagainya. Karakteristik penting dari komunikasi massa adalah penerima pesannya berupa khalayak. Ada beberapa karakter khalayak dari komunikasi massa: berjumlah besar; heterogen; tersebar pada letak geografis yang terpisah-pisah; bersifat
saling
anonim.
Secara
ringkas,
McQuail
(2005,
hal.
54-56)
mengidentifikasi proses komunikasi massa dengan ciri-ciri sebagai berikut: distribusi dan resepsi dalam skala luas, satu arah, relasi yang asimetris, impersonal dan saling anonim, terbangun dalam relasi pasar dan kalkulatif, dan pesannya terstandarisasi. Dalam pemahaman ini, proses komunikasi massa dimaknai sebagai proses satu arah, sepihak, dan impersonal. Relasi antara pengirim dan khalayak di sini tidak hanya asimetris, tetapi juga kerap bersifat kalkulatif atau manipulatif di mana khalayak diposisikan sebagai konsumen. Berangkat dari pemaknaan tersebut, media massa pada awalnya dipandang mempunyai kekuatan mutlak dalam memengaruhi khalayaknya. Adapun model komunkasi massa yang membarengi paradigma awal ini berasal dari Shannon dan Weaver (1949) yang mengajukan model proses komunikasi massa sebagai proses skuensial dari sumber yang menyeleksi pesan, lalu ditransmisikan dalam bentuk tanda
melalui
saluran
komunikasi
(channel)
7
kepada
penerima
yang
mentransformasikan kembali tanda tersebut menjadi pesan respons untuk sebuah tujuan. Model ini mengandaikan perbedaan antara pesan yang disampaikan dan pesan yang diterima yang dihasilkan dari gangguan (noise) pada saluran komunikasi (McQuail, 2005, hal. 63). Fokus penelitian pada awal perkembangan kajian media pun menyasar dampak atau efek. Sebagaimana diungkapkan Everet M. Rogers (1986), model transmisi dari proses komunikasi massa ini menggiring para ilmuan komunikasi kepada pendekatan yang linier dan berorientasi kepada efek pada dekade pasca 1949. Paradigma dominan tersebut dalam perkembangannya menuai kritik. Tanda yang diusung oleh pesan yang dimaksudkan oleh pengirim kerap tidak dipahami oleh penerima; senantiasa terjadi pula banyak gangguan pada kanal komunikasi yang mendistorsi makna pesan. Pemaknaan ini mendelegitimasi bahwa media mempunyai kekuatan besar dalam memengaruhi khalayak. Pada periode 1960 dan 1970-an, paradigma alternatif yang mengkritik pendekatan model transmisi mengemuka. Dipengaruhi oleh kelompok epistemik Frankfurt School, paradigma alternatif tersebut, pertama, menekankan gagasan mutakhir bahwa pesan media massa mengandung ideologi, sehingga menggiring para peneliti untuk membongkar pesan-pesan ideologis yang tertanam dalam muatan media. Gagasan tentang makna-makna pasti yang tertanam dalam pesan media—yang menggiring pada pengaruh pasti, bisa diprediksi, dan terukur— ditolak. Hatta, makna dari pesan media mestinya dipandang sebagai hasil konstruksi dan penafsiran sesuai dengan situasi sosial dan kepentingan dari khalayak. Kedua, institusi media massa yang awalnya dipandang bebas nilai, perlu diuji-ulang sebagai institusi yang jauh dari netralitas sekaligus penuh muatan ideologis, berdasarkan strategi beroperasinya. Paradigma ini, ketiga, lantas menggiring pada fokus kajian media massa kepada penelitian-penelitian kualitatif, baik dalam konteks kebudayaan, wacana atau etnografi penggunaan media massa. Paradigma alternatif ini, sebagaimana diringkas oleh McQuail (2005, hal. 67), memiliki karaktertistik sebagai berikut:
Pemaknaan yang kritis terhadap masyarakat dan penolakan atas netralitas;
8
Penolakan terhadap model transmisi dari proses komunikasi;
Pandangan yang tidak melulu berangkat dari pesan dan teknologi media;
Teradopsinya perspektif interpretatif dan konstruksionis;
Metodologi kualitatif;
Penggunaan teori-teori kebudayaan dan ekonomi-politik;
Perhatian pada ketidakadilan dan sumber-sumber oposisi dalam kehidupan masyarakat.
Jika paradigma awal dominan (model transmisi) cenderung memandang khalayak sebagai pihak pasif dalam menerima pesan dari media massa, paradigma alternatif memandang khalayak sebagai pihak yang aktif dalam meresepsi pesan. Khalayak tidak dimaknai sebagai pihak yang bebas dimanipulasi oleh media; relasi antara media dan khalayaknya bersifat kompleks. Khalayak memaknai produk dari budaya massa, mendefinisikan ulang maknanya, dan mengkreasikan pemaknaan-pemaknaan baru atas gambaran dirinya (Dominick, 2005, hal. 49). Paradigma ini lantas memunculkan ‘pendekatan resepsi’. Pendekatan ini memosisikan pemaknaan pesan dari media massa berada pada khalayak, bukan berada pada media itu sendiri sepenuhnya. Pesan-pesan media senantiasa terbuka dan bermakna ganda (polisemi) serta ditafsirkan sesuai dengan konteks kultural khalayaknya (McQuail, 2005, hal. 73-74). Pendekatan ini memiliki beberapa prinsip kunci, antara lain: pesan media memiliki keserbaragaman makna; teradapat kelompok-kelompok penafsir yang berbeda; dan kuasa utama pemaknaan pesan berada pada khalayak. Pendekatan ini terutama merujuk pada pandangan Stuart Hall (1980) yang menekankan tahap-tahap transformasi melalui mana pesan media melewati proses pemaknaan oleh khalayak dari makna aslinya. Dalam pandangan Hall, komunikator memilih untuk menandai (encode) pesan-pesan dan memanipulasi bahasa untuk tujuan ideologis dan institusionalis media; sementara penerima pesan (decoder) tidak diwajibkan untuk menerima pesan sebagaimana pesan itu disampaikan, tetapi bisa dan pasti melawan pengaruh ideologis pesan itu dengan merujuk pada sumber-sumber lain sesuai dengan pengalaman dan pandangan mereka sendiri. Relasi antara media massa dan khalayaknya, dengan demikian,
9
kadang menciptakan kesepahaman yang berkesesuaian antara makna pesan yang dimaksudkan media dan pemakanaan khalayak; adakalanya tidak sesuai. E.2 Media Massa dalam Proses Konstruksi Realitas Sosial Sebagaimana dibahas sebelumnya, media massa pada derajat tertentu memiliki pengaruh terhadap khalayaknya dalam proses pemaknaan atau penafsiran pesan. Berada pada proses komunikasi massa di mana spektrum jangkauannya luas dan berjalan kompleks, media massa makanya senantiasa terikat pada sistem sosial yang terbangun dari interaksi individu, kultur, dan masyarakat. Dari kondisi objektif tersebut bisa ditarik inferensi bahwa media massa punya peran signifikan dalam proses konstruksi sosial atas realitas. Sebagaimana diungkapkan McQuail (1972, hal. 13), media massa berperan dalam membentuk kesadaran individual dan kolektif melalui pengorganisasian dan pensirkulasian pengetahuan mengenai hidup keseharian mereka sendiri maupun konteks di luar hidup mereka. Gagasan McQuail tersebut berkorespondensi dengan gagasan Peter L. Berger dan Thomas Luckman (1966) sebagai peletak dasar paradigma konstruksionisme. Mereka mengajukan postulat bahwa sosiologi pengetahuan harus memerhatikan segala sesuatu yang menyuguhkan ‘pengetahuan’ di dalam masyarakat (Berger & Luckman, 1990, hal. 15). Konstruksionisme sosial mempunyai asumsi dasar bahwa realitas sosial masyarakat (struktur, kekautan, dan gagasan) mengada (being) atas ciptaan manusia, dicipta dan direproduksi secara terus menerus serta terbuka untuk diubah. Realitas bukanlah sebuah tatanan di luar diri individu, melainkan dikonstruksi melalui proses interaksi di dalam kelompok, komunitas, dan kebudayaan. Maka, ini menitikberatkan pada berbagai ekspresi konstruksi sosial atas realitas, bukan semata-mata pada artikulasi-artikulasi intelektual. Di sinilah media massa sebagai saluran komunikasi massa yang memuat berbagai ekspresi sosial menemukan signifikansi perannya sebagai salah satu aktor pembentuk realitas sosial. Bangunan realitas yang terbentuk dari proses dialektis itu bersifat objektif, subjektif, dan simbolis. Realitas objektif adalah realitas yang terbentuk dari
10
pengalaman di dunia objektif yang berada di luar diri individu; dimaknai sebagai kenyataan atau fakta yang melampaui keberadaan sederhananya dan tidak perlu diverifikasi lebih jauh. Realitas simbolis merupakan ekspresi simbolis dari realitas objektif dalam ragam bentuk, seperti seni, sastra, dan muatan-muatan media massa. Sementara realitas subjektif merupakan realitas yang terbentuk sebagai proses penyerapan kembali realitas objektif dan simbolis oleh individu melalui proses internalisasi. Interaksi antara individu dengan realitas objektif dan simbolis yang membentuk realitas subjektif individu terorganisasikan dalam jarak yang disebut ‘zona relevansi’, yang membedakannya dari ruang aktivitas langsung individu ‘di sini dan sekarang’ (‘here and now’). Zona relvansi disebut ‘dekat’ (close) ketika interaksi dan pengalaman individu dengan elemen dan aktor-aktor sosial berjalan tatap muka. Zona relevansi disebut ‘jauh’ (remote) ketika interaksi tersebut dijalankan oleh individu dengan unsur dan aktor-aktor sosial yang lebih abstrak dan tidak bisa diakses oleh pengalaman langsung individu, seperti diskursus publik atau tatanan sosial. Zona relevansi ini memberikan konteks dimensi interaksi ketiga realitas, yakni level mikro (untuk zona dekat) dan makro (untuk zona jauh) kehidupan sosial (Adoni & Mane, 1984). Figur 1.1 Sirkuit Konstruksi Sosial atas Realitas OBJEKTIVE REALITY CLOSE
REMOTE
SUBJECTIVE REALITY
SYMBOLIC REALITY CLOSE
CLOSE
REMOTE
REMOTE
Pemosisian peran media massa dalam proses konstruksi sosial atas realitas merentang pada interrelasi antara realitas simbolis dengan realitas objektif; antara realitas simbolis dengan realitas subjektif; serta antara realitas simbolis dengan
11
realitas subjektif sekaligus realitas objektif—dengan fokus pada level mikro dan level makro. Studi yang menguji bagaimana media massa menggambarkan realitas objektif melalui muatan-muatannya berada pada interrelasi antara realitas simbolis dan realitas objektif. Studi di ranah ini, misalnya, menyimpulkan, publikasi biografi oleh majalah populer di Amerika selama kurun 1920-an dan 1940-an berkaitan dengan perubahan nilai-nilai dan norma warga Amerika dari penekanan pada produktivitas ke penekanan pada konsumerisme (Lowenthal, 1961, dalam Adoni & Mane, 1984). Mengaitkan antara realitas simbolis dengan realitas objektif perilaku kelompok masyarakat menempatkan studi ini fokus pada level mikro. Studi yang fokus pada level makro, misalnya oleh kalangan neo-Marxist, yang mengungkapkan bahwa muatan-muatan media massa melanggengkan ideologi dominan, sehingga melegitimasi tantanan sosial dan memelihara status quo (Gitlin, 1979; Murdock, 1973; Hall, 1977, dalam Adoni & Mane, 1984). Studi pada ranah ini juga mempertanyakan siapa yang bertanggung jawab atau faktorfaktor apa yang menentukan corak penggambaran realitas dalam muatan-muatan media. Studi yang mempertanyakan sejuah mana muatan-muatan media massa berkontribusi terhadap persepsi individu atas realitas sosial, berada pada ranah kaitan antara realitas simbolis dengan realitas subjektif. Teori yang berakar di ranah ini misalnya media system dependency dari Ball-Rokeach dan DeFluer (1976), yang menggambarkan bagaimana individu-individu tergantung pada media massa untuk menangkap realitas. Teori lain di ranah ini adalah agenda setting (McCombs & Shaw, 1972) yang menguji sejauh mana agenda pers berkontribusi terhadap agenda isu yang dianggap penting oleh publik dan elit politik. Adoni dan Mane (1984) menawarkan pendekatan holistik untuk mendedah peran media dalam proses konstruksi sosial atas realitas. Pendekatan ini diterapkan dengan menguji keterkaitan ketiga realitas (objektif, simbolis, dan subjektif) sekaligus, baik dalam level mikro maupun makro kehidupan sosial. Penerapannyamisalnya dari anggota Frankfrut School Adorno dan Horkheimer
12
(1972) yang mengungkapkan bawa produk budaya massa merupakan komoditas ekonomi yang diproduksi oleh industri budaya dengan sokongan kekuatan politik dan finansial. Pendekatan ini intinya memosisikan media sebagai pencipta ulang yang selektif dan bias atas sebuah realitas. Penelitian skripsi ini hendak menguji bagaimana isu pertambangan migas dikonstruksi oleh media massa lokal tabloid Blok Bojonegoro. Hatta, penelitian ini akan mencari keterkaitan antara realitas simbolis seputar isu pertambangan migas yang ditampilkan media massa lokal dalam pemberitaannya dengan realitas subjektif dan objektif khalayaknya yang termanifestasikan dalam diskursus publik. E.3 Framing sebagai Strategi Media Mengemas Realitas Paradigma konstruksionisme menempatkan media sebagai pencipta ulang yang selektif dan bias atas sebuah realitas. Media mengkonstruksi gambaran subjektif dari realitas, menseleksi dan mengorganisasikan informasi yang berserakan dan membingungkan untuk membuatnya masuk akal bagi mereka sendiri maupun khalayaknya. Di sini lah konsep framing menemukan signifikansinya (McQuail, 2005, hal. 101). Gagasan framing secara mendasar mendapat pondasi dari elaborasi Erving Goffman (1974) yang mengungkapkan bahwa sebuah bingkai (frame) diperlukan untuk mengorganisasikan kepingan-kepingan pengalaman dan informasi yang berserakan guna menuntun individu dalam memaknai realitas. Gagasan ini dikemukakan dari asumsi bahwa individu tidak bisa memahami dunia secara menyeluruh sehingga mereka aktif mengklasifikasikan dan menafsirkan pengalaman-pengalaman hidup mereka untuk membuat dunia di sekeliling mereka masuk akal. Reaksi individu terhadap informasi yang diindera makanya tergantung pada skema-skema penafsiran (schemata of interpertration) yang disebut ‘primary frameworks’. Dalam
kajian
media
massa,
konsep
framing
digunakan
untuk
menggambarkan kekuatan teks yang dikomunikasikan. Framing merujuk pada cara tertentu di mana pengaruh terhadap kesadaran tertentu didesakkan oleh
13
transfer atau komunikasi informasi dari sebuah sumber informasi. Sederhananya, framing merupaakan strategi media massa mengkonstruksi makna dengan seleksi, penonjolan, dan pertautan fakta ke dalam muatan media agar lebih bermakna, lebih menarik, lebih diingat, untuk menggiring interpretasi khalayak ke dalam perspektif tertentu (Entman, 1993). Schuefele (1999) membagi framing ke dalam dua dimensi: bingkai media (media frames) dan bingkai individu (individual frames). Bingkai media merujuk pada perangkat-perangkat yang tertanam dalam wacana politis, sementara bingkai individu merujuk pada struktur-strutktur internal pikiran individu yang memengaruhi pemaknaan pesan media. Fokus penelitian ini pada bingkai media. William A. Gamson dan Andre Modligiani (1987) mengidentifikasikan ‘bingkai media sebagai sebuah pusat organisasi ide atau cerita yang menyediakan makna untuk sebuah potongan kejadian yang berlangsung... Bingkai menunjukkan apa yang sedang kontroversial, esensi dari isu.’ Dalam telaahnya mengenai kaitan antara opini publik dan wacana media mengenai isu seputar nuklir, Gamson dan Modligiani (1989) mendifinisikan bingkai sebagai media packages. Sebuah kemasan (package) mempunyai struktur internal yang mana intinya adalah sebuah pusat organisasi ide—disebut frame—yang membuat masuk akal peristiwaperistiwa yang relevan dan mengungkapkan apa yang menjadi isu. Sebuah package
mengandung
perangkat
pembingkaian
(framing
devices)
yang
mengungkapkan inti bingkai dan posisi-posisi. Teridiri dari metafora, contoh, slogan, penggambaran, dan ikon. Lebih spesifik terkait pemberitaan, framing bisa dipelajari sebagai sebuah strategi pengkonstruksian dan pemrosesan wacana berita atau sebagai sebuah karakteristik wacana itu sendiri
(Pan & Kosicki, 1993). Menurut Pan dan
Kosicki, wancana media merupakan proses pemaknaan sosial (sociocognitive) yang melibatkan tiga aktor, yaitu sumber, jurnalis, dan khalayak yang beroperasi di dalam memahami budaya bersama dan menyangkut dasar-dasar kehidupan sosial. Framing, sebagaimana digunakan oleh kalangan konstrusktivis dalam menguji wacana media, difokuskan pada konseptualisasi teks media ke dalam dimensi-dimensi yang bersifat empiris dan operasional berupa perangkat
14
pembingkaian yang teridiri dari struktur sintaksis (syntactical structures), struktur naskah (script structures), struktur tematik (thematic structures), dan struktur retoris (rethorical structures). Model dari konseptualisasi framing tergambar dalam Figur 1.2. Sintaksis dalam pengertian paling umum adalah pengaturan dan hubungan kata dengan kata atau dengan struktur lain yang lebih besar.6 Dalam wacana berita, struktur sintaksis merujuk pada pola-pola ajek aransemen kata atau frase ke dalam kalimat. Bisanya termanifestasikan dalam model penulisan berita pada umumnya, yakni piramida terbalik dan tata penyebutan (atribusi) sumber berita. Struktur piramida terbalik mengacu pada perngorganisasian bagian-bagian berita secara runut, seperti headline (judul), lead (pembukaan), episode (runtutan cerita), background (latar belakang), dan ending (penutup) atau conclusion (kesimpulan). Perangkat framing ini digunakan untuk membangun klaim atas validitas empiris atau faktisitas melalui pengutipan ahli atau data empiris, menghubungkan sudutsudut pandang tertentu dengan otoritas melalui pengutipan sumber-sumber pejabat, dan memarjinalisasi sudut pandang tertentu melalui pengaitan sebuah kutipan atau sudut pandang dengan penyimpangan sosial.
6
Kamus Besar Bahasa Indonesia
15
Struktur skrip mengacu pada urutan aktivitas dan komponen-komponen kejadian yang sudah diinternalisasikan sebagai representasi mental yang terstruktur dari peristiwa tertentu. Struktur skrip dalam wacana berita mengacu pada kelengkapan berita yang lazimnya terdiri atas unsur-unsur 5W dan 1H: Siapa (Who), Apa (What), Kapan (When), Di mana (Where), Mengapa (Why), dan Bagaimana (How). Meskipun mereka tidak selalu hadir dalam sebuah cerita berita, unsur-unsur kelengkapan berita itulah yang seharusnya dikumpulkan dan dilaporkan oleh jurnalis. Dalam struktur tematik, berita dipandang mengandung elemen-elemen pengujian atau penyusunan hipotesis. Sebauh tema dikemukakan baik eksplisit maupun implisit, lantas bukti-bukti yang didapatkan dari observasi jurnalis atau kutipan sumber disajikan untuk mendukung hipotesis. Struktur ini mengerangkai berita sebagai sebuah bentuk pengetahuan dan jurnalisme sebagai sebuah disiplin metode perengkuhan pengetahuan yang menggunakan prinsip-prinsip empirislogis ilmu sosial. Maka, berita bisa dipandang sebagai seperangkat proposisi yang
16
membentuk sebuah sistem hubungan sebab-akibat atau empiris-logis. Struktur tematik mengandung sebuah rangkuman dan isi utama berita. Rangkuman biasanya dikemukakan melalui headline, lead atau kesimpulan. Sementara isi utama merupakan bukti pendukung hipotesis yang diusung dan berisi episode, latar, dan kutipan. Hipotesis biasanya didukung oleh detail, generalisasi, dan nominalisasi, pertalian antarkata, antarkalimat atau antarposisi yang disebut koherensi. Struktur retoris menggambarkan pilihan-pilihan gaya bahasa yang disusun penulis berita dalam kaitannya dengan efek yang diharapkan. Perangkat framing dari Gamson dan Modligiani (1989) yang terdiri dari metafora, eksemplar, frase ungkapan (cathphrase), dan gambar tercakup kedalam struktur ini. Gambar bisa berupa karikatur, foto dengan angle tertentu, dan grafik. Unsur lain biasanya berupa leksion yang menunjukkan pilihan kata dalam suatu kalimat tertentu. Unsur-unsur dalam struktur ini dikemukakan dari pernyataan retoris sumber berita maupun pernyataan penulis berita itu sendiri. Struktur retoris dipakai untuk memaksimalkan legitimasi hasil observasi atau penafsiran tertentu dari fakta agar berita meraih efektivitas. E.4 Jurnalisme Dalam menjalankan perannya sebagai saluran komunikasi massa dalam sistem sosial, media massa bisa dibedakan ke dalam dua dimensi: media jurnalisme (pers/media berita) dan media hiburan (Siregar, 2000). Sebagai pers, media massa berfungsi melayani warga masyarakat dalam keberadaannya sebagai bagian dari suatu institusi sosial (politik, ekonomi dan budaya). Sementara sebagai media hiburan, media massa menjalankan fungsinya pada tataran personal untuk mengisi ruang psikologis khalayak. Fokus penelitian ini, dengan unit analisis pemberitaan, menyasar pada dimensi pertama. Secara normatif, mengikuti prinsip American Press Institute, fungsi jurnalisme adalah menyediakan informasi bagi warga negara agar bisa membuat keputusan sebaik mungkin tentang kehidupan, komunitas, masyarakat, dan pemerintahan mereka. Pembuatan keputusan yang baik tergantung pada warga
17
negara
yang
mengetahui
fakta-fakta
akurat
dan
bisa
dipercaya
serta
menempatkannya dalam konteks yang bermakna.7 Konsekuensinya, kerja jurnalisme memperoleh panduan profesionalisme yang berpegang pada prinsip kebenaran
dan
objektivitas—dikerjakan
dengan
metode
objektif
untuk
menghasilkan produk informasi kebenaran (truth) faktual. Krusialnya
peran
jurnalisme
dalam
proses
demokrasi
senantiasa
menumbuhkan kritik terhadap penerapannya oleh pers. Kritik pada umumnya mengemuka pada tiga belenggu: 1) sikap partisan pers terhadap kelompok elit politik; 2) jurnalisme profesional yang cenderung elitis—hanya mengedepankan narasumber pejabat elit formal; dan 3) dominannya kepentingan ekonomi atau pasar. Ketiga belenggu ini berimplikasi pada praktik-praktik profesional jurnalisme. Sikap partisan pers terhadap kelompok elit politik tertentu mulanya hendak diatasi dengan digagasnya jurnalisme profesional di mana legitimasi pemberitaan pers didasarkan pada pemuatan sumber-sumber pemegang otoritas yang relevan, bukan pendapat salah satu kelompok politik. Tetapi, jurnalisme profesional lantas terjerembab pada elitisme pemberitaan (Bagdikian, 1997). Sementara, belenggu dominasi kepentingan ekonomi atau pasar menggejala seiring dengan semakin terkomersialisasinya pemberitaan di era kapitalisme global. Hiperkomersialisasi sepaket dengan konsentrasi kepemilikan serta konglomerasi korporasi media, menggiring pers untuk cenderung mengejar laba, alih-alih menyediakan pemberitaan yang berkualitas (McChesney, 2000). Hiperkomersialisasi dan konglomerasi media juga menggejala di Indonesia. Pascareformasi 1998, pertumbuhan industri media di Indonesia disetir oleh kepentingan kapital yang lantas meneguhkan oligopoli media dan konsentrasi kepemilikan. Sampai tahun 2012, duabelas korporasi media menguasai nyaris seluruh saluran media, baik cetak, penyiaran, maupun online (Nugroho, Putri, & Laksmi, 2012). Korporasi-korporasi media tersebut berkongsi dengan berbagai bisnis besar lain, mulai dari sumber daya alam, properti, hingga jasa kesehatan. 7
Diakses dari http://www.americanpressinstitute.org/journalism-essentials/what-isjournalism/purpose-journalism/ pada 15 Agustus 2014
18
Beberapa di antaranya dimiliki oleh konglomerat yang sekaligus politisi elit. Ignatius Haryanto (2010) mengungkapkan, praktik jurnalisme di Indonesia sangat dipengaruhi oleh kepentingan komersial sekaligus politis dari pemilik media. Artinya, pers di Indonesia mengidap tiga belenggu sebagaimana disebut di awal. Dengan asumsi bahwa tujuan pers untuk merengkuh khalayak sebanyak mungkin bagi pengiklan (economic imperative) sebagai kondisi objektif, pers tidak mungkin memenuhi ekpekstasi terhadap perannya untuk mengorganisasikan opini dan diskursus publik sebagai prasyarat demokratisasi. Dalam konteks mikro, keterbatasan ini lantaran kerja pers ‘didikte’ oleh logika waktu. Kerja pers yang ‘dikejar waktu’ ini berimplikasi pada kencenderungannya untuk mengulas peristiwa (events centered reporting) ketimbang isu (Patterson, 1998). Para peneliti media yang mengevaluasi pemberitaan pers pun pada umumnya berkesimpulan bahwa pers gagal mengulas isu. Padahal pada kenyataannya, praktik jurnalisme sehari-harii digambarkan oleh redaktur eksekutif New York Times James Reston sebagai ‘pencarian yang menyenangkan akan kebaruan setelah Sekarang’ (“the exhilarating search after Now”) (Patterson, 2003). Meskipun demikian, bukan berarti pengulasan peristiwa dalam pemberitaan begitu saja membatalkan fungsi jurnalisme sebagai penyedia saluran diskursus yang rasional mengenai kepentingan umum. John Zaller (2003) menawarkan gagasan Burglar Alarm Standard sebagai penurunan Full News Standard—di mana media tidak perlu mengulas berbagai isu yang berkaitan dengan kepentingan publik, tetapi, ibarat alarm penanda bahaya, cukup berdering ketika terjadi gangguan.8 Patterson (2003) tidak sepenuhya bersepakat dengan Zaller. Baginya, Full News Standard tetap lebih baik dan rasional untuk diterapkan. Untuk mengatasi ekspektasi yang tidak rasional tersebut, alih-alih menurunkan standard penuh 8
Burglar Alarm News merupakan standar pemberitaan yang diajukan oleh John Zaller (2003) sebagai alternatif dari Full News Standard. yang tidak mungkin atau tidak rasional untuk bisa dipenuhi oleh pers. Full News Standard didasarkan pada ekspekstasi maksimal bahwa pers seharusnya mengulas segala isu yang berkaitan dengan kepentingan umum. Ekspektasi ini menurut Zaller tidak rasional. Sebagai alternatifnya, Zaller mengajukan Burglar Alarm News di mana fungsi berita ibarat alat penanda bahaya yang hanya perlu berdering ketika terjadi gangguan. Standard ini tentunya menurunkan standard penuh.
19
sebagaimana digagas Zaller, Patterson meminjam temuan Shanto Iyengar (1991) tentang pembingkaian (framing). Iyengar menunjukkan, ketika sebuah peristiwa dibingkai secara tematik—sebagai sebuah kejadian dari rentetan peristiwa dengan ulasan sebab dan akibatnya—khalayak bisa lebih memahami peristiwa secara utuh, daripada secara episodik—sebagai sebuah kejadian tunggal yang bepengaruh hanya terhadap mereka yang sedang ditampilkan terlibat. Inti dari pembingkaian secara tematik adalah mengulas peristiwa dalam konteks yang bermakna. Alternatif lain dari kejumudan jurnalisme profesional yang cenderung elitis adalah pemberitaan dengan prinsip multiperspektif (Gans, 2011). Konsep pemberitaan multiperspektif, selain sebagai label untuk pemberitaan alternatif, juga mengandaikan ditumbuhkannya lima tipe berita, yakni: 1. National: Berita mengenai ekonomi dan berbagai institusi lain di berbagai bagian bangsa, tidak melulu mengenai ibukota negara. 2. Buttom-up news: berita tentang bagaimana orang-orang biasa terkena dampak kebijakan dan tindakan pejabat tinggi pemerintah serta elit politik; juga tentang bagaimana orang-orang biasa dipandang dan dipahami oleh kebijakan dan tindakan elit. 3. Output new: berita mengenai bagaimana kebijakan dan program publik dan privat yang ditujukan untuk kemaslahatan bekerja. 4. Representative news: laporan tentang aktivitas dan pendapat-pendapat warga negara biasa dengan berbagai kemajemukannya. 5. Servise news: informasi mengenai kerja lembaga pemerintah dan lembaga-lembaga lain yang secara relevan berkaitan dan berguna bagi pribadi khalayak.
20
Namun
demikian,
pemenuhan
pemberitaan
terhadap
prinsip
multiperspektif—sebagai prinsip normatif media dalam konteks elitisme jurnalisme profesional—tentunya harus memenuhi prinsip-prinsip praksis jurnalisme. Mengikuti premis teoritis Kent Asp (2007), peran pers dalam masyarakat demokratis adalah menyediakan formasi kebebasan berpendapat melalui pemenuhan dua fungsi normatif: menyediakan informasi bagi warga negara dan mengawasi pemerintah. Dua fungsi normatif tersebut lantas dijabarkan ke dalam tiga fungsi praksis: menyuplai pendapat-pendapat yang berbeda (supplay different opinions), menyediakan informasi tentang berbagai isu (provide information on issues), dan menunjukkan kekeliruan tindakan pemerintah (expose misbehavior). Tiga fungsi ini berkesesuaian dengan tiga permintaan normatif terhadap media: keberimbangan (fairness), informatif (informativeness), dan pengawasan (scrutiny). Pemenuhan terhadap fungsi dan permintaan normatif media tersebut secara empiris bisa diuji melalui keadilan (impartiality) dalam penggambaran aktor, isu, dan keterhubungan antara aktor-isu; nilai informasi (information value) yang meliputi relevansi (relevancy), ketepatan (density), keluasan (breadth), kedalaman (depth); dan kualitas pengawasan (quality of scrutiny) yang meliputi ketepatan (correctness) dan efektivitas (effectiveness). Figur 1.3 Fungsi media di dalam demokrasi-Premis Teoritis (Asp, 2007, hal. 33)
21
Diawali dengan pembacaan yang intensif terhadap berita-berita seputar pertambangan migas oleh Blok Bojonegoro dan beberapa media di Jakarta, penelitian ini memiliki asumsi dasar bahwa terjadi kecenderungan pemberitaan yang berbeda di antara masing-masing dua media tersebut. Media-media besar di Jakarta cenderung memuat berita berporos pusat dengan agenda dan narasumber para pemegang otoritas formal pemerintah pusat, sedangkan media lokal cenderung berporos pada tema-tema lokal dengan narasumber otoritas formal pemerintah daerah dan warga lokal. Dari asumsi dasar tersebut, penilitian ini tidak hendak membandingkan dua kecenderungan itu. Penelitian ini hendak mengeksplorasi bagaimana framing pemberitaan seputar pertambangan migas Blok Cepu oleh tabloid Blok Bojonegoro sebagai media lokal di Bojonegoro yang cenderung mengulas isu-isu lokalitas memenuhi nilai-nilai berita multiperspektif dan prinsip-prinsip praksis jurnalisme. F. Metodologi F.1 Obyek Obyek penelitian ini adalah pemberitaan seputar pertambangan migas Blok Cepu pada tabloid Blok Bojonegoro sejak terbit pertama Juli 2011 hingga 2013. Periode tersebut dipilih sebagai momen pelaksanaan lima paket proyek EPC Blok Cepu, di mana berbagai pihak berkepentingan di level lokal mendapatkan momentum untuk mengartikulasikan kepentingan mereka dalam hingar-bingar pertambangan migas. Tabloid Blok Bojonegoro memiliki dua rubrik utama pemberitaan, Investigasi dan Fokus. Maka, unit analisis penelitian ini membatasi objeknya pada dua rubrik tersebut. F.2 Sifat dan Jenis Penelitian Penelitian ini masuk di ranah penelitian kualitatif. Adapun sifat penelitiannya adalah eksploratif. Penelitian ini hendak mengeksplorasi suatu fenomena sosial tanpa mengadakan uji hipotesis.
22
F.3 Pengumpulan Data Ada dua jenis data yang akan dikumpulkan sebagai bahan penelitian. Pertama data primer, beruba berita yang dikumpulkan dari kliping asli cetakan tabloid Blok Bojonegoro untuk keperluan analisis teks. Kedua data skunder, berupa hasil wawancara dari jurnalis Blok Bojonegoro; wawancara dari para kelompok kepentingan seperti NGO; dokumen-dokumen tertulis laporan NGO; dokumen kebijakan Pemerintah Daerah; pernyataan Bupati di berbagai media dan materi presentasinya; serta berita-berita di media lain terkait pertambangan migas Blok Cepu. Data skunder digunakan untuk mengeksplorasi konteks dinamika perdebatan kebijakan seputar pertambangan migas di Bojonegoro untuk mengkonfirmasi bingkai-bingkai berita yang dianalisis. F.4 Metode Berpijak pada paradigma konstruksionisme, penelitian ini menggunakan metode analisis framing. Basis asumsi mendasarnya, realitas tatanan sosial bukan tercipta atau terberikan atas kodrat alam atau sabda Tuhan, melainkan hasil konstruksi elemen-elemen dan aktor sosial. Media massa merupakan aktor sosial yang mengkonstruksi realitas lewat pemberitaannya. Melalui pemberitaannya, media massa senantiasa berusaha menyodorkan pandangan bahwa mereka menggambarkan realitas secara objektif dan netral. Namun, mereka mengkonstruksi gambaran subjektif dari realitas, menseleksi dan mengorganisasikan sebuah banjir informasi yang membingungkan untuk membuatnya masuk akal bagi mereka sendiri maupun khalayaknya. Bagaimana media massa mengkonstruksi gambaran subjektif dari sebuah realitas secara selektif tersebut akan dilihat dengan analisis framing. Adapun model analisis framing yang dipakai adalah model dari Zhongdan Pan & Gerald M. Kosicki (1993). Dalam model ini, unit pengamatan terhadap teks dinilai komprehensif, karena selain meliputi seluruh aspek yang terdapat dalam teks (kata, kalimat, parafrase, label, ungkapan), perangkat tersebut juga menempatkan policy option sebagai konteks diskursus publik yang bisa termanifestasikan dalam perdebatan seputar kebiajakan publik.
23
Penelitian ini hendak mengamati teks pemberitaan seputar pertambangan migas di Bojonegoro yang dilaporkan oleh tabloid Blok Bojonegoro untuk melihat kecenderungan bingkai yang diusung. Bingkai yang termanifestasikan di dalam teks berita tersebut akan dikaitkan dengan konteks diskursus kebijakan seputar pertambangan migas; serta dikaitkan dengan prinsip-prinsip jurnalisme sebagai pemenuhan fungsi utama pers. F.5 Analisis Data Tahapan penelitian dimulai dengan pengumpulan materi pemberitaan isu pertambangan migas di Bojonegoro pada rubrik Investigasi dan Fokus tabloid Blok Bojonegoro selama 2011–2013. Teks berita kemudian dikelompokkan berdasarkan tema-tema tertentu yang mendominasi kecenderungan pemberitaan, antara lain: a. Pemerintah Pusat versus Pemerintah Daerah b. Kesiapan Pemerintah Daerah c. Nasib Pribumi d. Sikap Operator dan Kontraktor Proyek Blok Cepu Teks berita kemudian dibedah dengan analisis framing dari Zhongdan Pan dan Gerald M. Kosicki yang mengurai perangkat pembingkaian melalui struktur sintaksis, skrip, tematis, dan retoris. Mengikuti aplikasi model ini oleh Bimo Nugroho, Eriyanto, dan Franz Sudiarsis (1999), perangkat framing tersebut bisa diturunkan dalam Tabel 1.1.
24
Tabel 1.1 Struktur Wacana Berita dan Perangkat Framing Struktur
Perangkat Framing
Sintaksis
1. Skema berita
Skrip
2. Kelengkapan berita
Tematik
Retoris
3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11.
Detail Maksud Nominalisasi Koherensi Bentuk kalimat Kata ganti Leksikon Grafis Metafora
Unit yang Dianalisis Headline (atau judul), lead, latar informasi, kutipan narasumber, pernyataan, penutup 5W+1H (who, what, when, where, why, dan how)
Paragraf, proposisi, kalimat, hubungan antar kalimat
Kata, idiom, gambar foto, grafik
Kecenderungan bingkai berdasarkan tema-tema tertentu tersebut selanjutnya akan dianalisis secara kontekstual yang merentang pada elaborasi keterkaitan antara bingkai-bingkai dengan perdebatan seputar kebijakan publik mengenai pertambangan migas (perdebatan kebijakan publik tersebut didapatkan dari studi pustaka seperti dokumen peraturan daerah, pandangan pejabat, dan laporanlaporan NGO) dan perbandingan dengan prinsip-prinsip jurnalisme. Alur logika penelitian ini tergambar dalam bagan Figur 1.3.
25
Figur 1.3 Alur Logika dan Kerja Penelitian
Berita Petambangan Migas Tabloid Blok Bojonegoro
Analasisi Framing model Zhongdan Pan & Kosicki
Prinsip-prinsip jurnalisme
Konstruksi wacana seputar isu pertambangan migas di Bojonegoro Analisis kontekstual
Perdebatan Kebijakan seputar Pertambangan Migas
F.6 Penyajian Data Hasil analisis penelitian ini akan disajikan dalam bentuk kalimat, kata, dan proposisi.
26
