1
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Kesehatan merupakan kondisi sejahtera dari badan, jiwa, dan sosial yang memungkinkan setiap orang produktif secara ekonomis (Ps. 1 point (1) UU Nomor 23/1992 tentang Kesehatan). Dalam konteks bernegara, seorang warganegara juga berhak atas taraf hidup yang menjamin kesehatan dan kesejahteraan untuk dirinya dan keluarganya, termasuk pangan, pakaian, perumahan dan perawatan kesehatannya serta pelayanan sosial yang diperlukan, dan berhak atas jaminan pada saat menganggur, menderita sakit, cacat, menjadi janda, mencapai usia lanjut atau mengalami kekurangan mata pencarian yang lain karena keadaan yang berada di luar kekuasaannya (Pasal 25, Deklarasi Hak Asasi Manusia, 1948). Atas pemahaman tersebut, maka pemerintah sebagai penjamin hak-hak dari tiap warganegaranya wajib mengupayakan agar hak tersebut dapat terpenuhi. Di Indonesia, pasal ke lima (5) dari Pancasila adalah dasar dari semua undang-undang atau peraturan yang akan menjamin hak dari tiap warganegara untuk memperoleh jaminan sosial. Hak ini juga termaktub dalam UUD 45 pasal 28H dan pasal 34, dan diatur dalam UU No. 23/1992 yang kemudian diganti dengan UU 36/2009 tentang Kesehatan. Dalam UU 36/2009 ditegaskan bahwa setiap orang mempunyai hak yang sama dalam memperoleh akses atas sumber daya di bidang kesehatan dan memperoleh pelayanan kesehatan yang aman, bermutu, dan terjangkau. Di sisi lain, setiap orang juga mempunyai kewajiban turut serta dalam program jaminan kesehatan sosial. Usaha pemerintah untuk mewujudkan jaminan kesehatan dirintis dengan pendirian PT. Askes Indonesia (Persero) dan PT. Jamsostek, yang tujuan awalnya adalah melayani antara lain pegawai negeri sipil, penerima pensiun, veteran, dan pegawai swasta. Untuk warga tidak mampu ada beberapa macam program yang diselenggarakan
yaitu
seperti
program
Jaminan
Kesehatan
Masyarakat
(Jamkesnas) dan Jaminan Kesehatan Daerah (Jamkesda). Namun program-
2
program tersebut terkesan terbagi-bagi sehingga sulit untuk membuat standar yang merata bagi seluruh warganegara. UU No. 40/2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) dan UU No 24/2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) merupakan tonggak-tonggak perubahan sistem kesehatan nasional menuju pelayanan kesehatan semesta (universal health coverage). PT. Askes Indonesia berubah menjadi BPJS Kesehatan dan mulai beroperasi sejak tanggal 1 Januari 2014. BPJS Kesehatan telah ditunjuk sebagai pembayar tunggal (single payer) bagi pelayanan kesehatan dari tingkat pertama sampai rujukan tingkat tiga (terakhir) di Indonesia. Visi BPJS Kesehatan adalah Cakupan Semesta 2019, dimana seluruh penduduk Indonesia memiliki jaminan kesehatan nasional untuk memperoleh manfaat pemeliharaan kesehatan dan perlindungan dalam memenuhi kebutuhan dasar kesehatannya yang diselenggarakan oleh BPJS Kesehatan yang handal, unggul dan terpercaya (BPJS, 2010). Peserta BPJS sendiri adalah seluruh warganegara Indonesia dan orang asing yang telah bekerja paling singkat 6 (enam) bulan di Indonesia, yang telah membayar iuran (BPJS, 2014). Sistem pembayaran iuran BPJS dibagi menjadi beberapa cara yaitu membayar sendiri (untuk non pekerja), ditanggung bersama perusahaan (BPJS Ketenagakerjaan), dan ditanggung pemerintah (untuk warga tidak mampu). Cara membayar pelayanan kesehatan di fasilitas kesehatan tingkat pertama atau FKTP (puskesmas, klinik swasta dan dokter pelayanan primer) didasarkan pada sistem kapitasi. Pembayaran atas pelayanan di tingkat kedua dan ketiga (rumah sakit rujukan) didasarkan pada tarip INA-CBGs yang tidak lain merupakan cara pembayaran berbasis kasus (case-based), pertama kali dikembangkan di Amerika Serikat (Kusnanto, 2015). BPJS Kesehatan dan Dinas Kesehatan melakukan seleksi kredensial untuk menetapkan fasilitas kesehatan tingkat pertama yang berhak memberikan pelayanan kepada peserta BPJS dan berapa besaran kapitasi yang berhak diterima oleh fasilitas yang bersangkutan, sebagaimana diatur dalam Permenkes 59/2014 ps. 4. Bagi penyedia layanan kesehatan swasta, baik di tingkat pertama (klinik) maupun di tingkat lanjutan (rumah sakit), pemerintah membuka pintu seluasluasnya untuk ikut menjadi penyedia layanan BPJS kesehatan dengan cara
3
melengkapi persyaratan-persyaratan dan mendaftarkan diri ke kantor cabang BPJS Kesehatan setempat. Rumah Sakit atau Klinik swasta harus menjalani proses kredensial yang menuntut persyaratan tertentu berkaitan dengan sarana-prasarana yang harus dipenuhi, sehingga dapat menjadi rujukan pasien-pasien BPJS. Proses kredensial ini membutuhkan waktu dan dana untuk memenuhi persyaratan yang diharuskan. Sebelum lolos kredensial atau akreditasi BPJS, RS atau klinik swasta hanya bisa merawat pasien-pasien non BPJS. Menurut aturan BPJS sesuai yang tercakup dalam Perpres No. 111/2013, Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama (FKTP) adalah institusi yang berhak memberikan pelayanan kesehatan non spesialistik yang mencakup hal-hal seperti pelayanan promotif dan preventif; pemeriksaan, pengobatan, dan konsultasi medis; tindakan medis non spesialistik, baik operatif maupun non operatif; pelayanan obat dan bahan medis habis pakai, dll. Puskesmas, Klinik Pratama, dan praktek dokter umum adalah beberapa contoh dari FKTP tersebut. FKTP berhak merujuk pasien jika dibutuhkan penanganan lanjutan oleh dokter spesialis atau membutuhkan fasilitas yang tidak terdapat di FKTP. Institusi FKTP akan merujuk pasien ke Fasilitas Kesehatan Tingkat Lanjutan (FKTL). FKTL, menurut definisinya, merujuk pada institusi kesehatan yang lebih besar, dengan fasilitas yang lebih lengkap, seperti Klinik Pratama, Rumah Sakit Umum (RSU), dan Rumah Sakit Khusus (RSK). Jenis layanan yang terdapat di FKTL adalah pemeriksaan, pengobatan dan konsultasi spesialistik oleh dokter spesialis dan subspesialis; tindakan medis spesialistik, baik bedah maupun non bedah sesuai dengan indikasi medis; rehabilitasi medis; dan perawatan inap non intensif dan intensif. Di kota Depok sendiri, berdasarkan daftar yang dirilis oleh BPJS, institusi kesehatan yang berhak menjadi FKTL adalah rumah sakit swasta dan rumah sakit umum daerah (RSUD), sehingga klinik-klinik yang berstatus Klinik Utama, baik Klinik Utama Rawat Jalan (KURJ) maupun Klinik Utama Rawat Inap (KURI) tidak bisa menjadi rujukan (FKTL) dari klinik-klinik FKTP. Klinik Utama Rawat Inap (KURI) Sumber Bahagia merupakan fasilitas kesehatan swasta dengan sarana rawat inap, berlokasi di Jalan Bahagia, Depok, Jawa Barat. Klinik tersebut
4
belum mengikuti kredensial untuk dapat melayani pasien BPJS. Fokus pelayanan Klinik Utama Sumber Bahagia, yang dilengkapi dengan USG dan sarana operasi adalah pelayanan kesehatan ibu dan anak, termasuk pelayanan spesialistik kebidanan dan pediatrik. Pelbagai pelayanan yang diberikan oleh KURI Sumber Bahagia meliputi pemeriksaan kehamilan, persalinan oleh bidan atau dokter kebidanan, operasi section caesaria, pemasangan alat kontrasepsi, imunisasi dan konseling. Sistem Jaminan Sosial Kesehatan diimplementasikan mulai tahun 2014 dengan BPJS sebagai pembayar tunggal untuk para penerima bantuan iuran (PBI) dan mereka yang telah membayar premi sebagai anggota BPJS. Pada tahun 2019 diharapkan semua individu terlindungi dari asuransi kesehatan, BPJS atau asuransi kesehatan lain yang dikoordinasi oleh BPJS. Dengan demikian, sesuai dengan fakta bahwa di kota Depok hanya institusi sekelas rumah sakit yang hanya bisa menjadi rujukan dari FKTP dan kenyataan bahwa KURI Sumber Bahagia yang belum terakreditasi untuk melayani BPJS akan mengalami penurunan kunjungan atau pemanfaatan rawat inap, sehingga pendapatan akan merosot dan bukan tidak mungkin mengalami kebangkrutan.
B. Permasalahan Penelitian Permasalahan penelitian ini adalah apa efek dari implementasi BPJS Kesehatan di 2014 pada jumlah kunjungan pasien di KURI Sumber Bahagia, dan jika memang ada perubahan yang signifikan, strategi apa saja yang ditempuh pengelola klinik tersebut untuk mempertahankan eksistensi klinik tersebut sebagai akibat perubahan tersebut, bahkan jika memungkinkan mengembangkannya menjadi lebih produktif.
C. Tujuan Penelitian Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menemukan salah satu atau beberapa model strategi yang ditempuh oleh klinik non BPJS dalam menghadapi implementasi BPJS sejak tahun 2014 sehingga klinik tersebut tidak mengalami penurunan kunjungan dan pendapatan yang dapat mengakibatkan kebangkrutan.
5
D. Manfaat Penelitian 1. Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi para pelaku bisnis provider jasa kesehatan non-BPJS Kesehatan agar dapat bertahan atau lebih mengembangkan usahanya dalam memberikan pelayanan kesehatan yang komprehensif. 2. Hasil penelitian ini dapat memberikan sudut pandang baru dari jenis-jenis pelayanan kesehatan yang belum atau tidak tercakup dalam BPJS Kesehatan dan membuka peluang bagi para pelaku bisnis jasa kesehatan agar lebih kreatif dalam mengembangkan layanan mereka. 3. Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah pengetahuan penulis tentang diversifikasi dan spesialisasi layanan untuk institusi kesehatan non rekanan BPJS Kesehatan.
E. Keaslian Penelitian Penelitian serupa tentang asuransi kesehatan atau diferensiasi layanan pernah dilakukan oleh: 1. Zulfiah Abdussamad (2013), Pengaruh Diferensiasi Jasa dan Kualitas Pelayanan Terhadap Kepuasan Pasien pada Rumah Sakit Islam Gorontalo. 2. Fitri Damayanti (2011), Kepemilikan Asuransi Kesehatan dan Pemanfaatan Pelayanan Kesehatan oleh Penduduk Usia Lanjut Di Kota Tarakan. 3. Athanasius Wrin Hudoyo (2010), Hubungan Antara Kepemilikan Asuransi Kesehatan Dengan Kepatuhan Mengikuti Sistem Rujukan Berjenjang Pada Pasien Baru di Poliklinik Penyakit Dalam RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta. 4. Isak Iskandar Radja (2014), Asuransi Kesehatan Sosial dan Biaya Out of Pocket di Indonesia Timur. 5. Syafik Ahmad (2015), Strategi Pemasaran Diferensiasi dan Fokus untuk Meningkatkan Kunjungan Pasien pada Poliklinik Rawat Jalan di Rumah Sakit Pertamedika Tarakan.