BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Ketika kita membicarakan praktik-praktik kehumasan, kita akan banyak menemukan berbagai macam kajian ataupun penelitian mengenai investor relations, costumer relations, ataupun internal relations. Namun, masih sedikit kajian yang ada mengenai keterlibatan praktik public relations dalam kaitannya denganalur pasokan, hubungan buyer-supplier, ataupun di dalam proses rantai pasokan pada perusahaan.Di dalam dunia industri, keberadaan supply chain atau rantai pasokan sangat vital bagi kelangsungan suatu industri ataupun bagi perusahaan itu sendiri.Rantai pasokan adalah suatu alur besar yang melibatkan aliran barang, informasi, uang dari satu tempat ke tempat lainnya. Menurut Christoper (dalam Metzer, 2001:7), Supply Chain merupakan jaringan dari berbagai organisasi yang terlibat, terhubung melalui arus ke atas maupun ke bawah, dalam proses dan aktivitas yang berbeda dalam memproduksi nilai yang berbentuk produk maupun jasa hingga ke tangan konsumen terakhir. Pada dasarnya hal ini merupakan proses dan perjalanan panjang yang harus ditempuh suatu produk hingga mencapai pos penjualan terakhir. Rantai ini telah di mulai sejak pemerolehan bahan mentah hingga akhirnya produk sampai ke tangan konsemen akhir.Hakikatnya, rantai pasokan berawal dari kebutuhan konsumenitu sendiri dan merupakan suatu bentuk upaya untuk memenuhi kebutuhan itu sendiri. Proses ini bukanlah proses sederhana yang hanya melibatkan antara perusahaan dengan pemasok saja.
Supply Chain terdiri dari semua pihak yang terlibat secara
langsung ataupun tidak langsung dalam pemenuhan kebutuhan konsumen (Chopra dan Meindl, 2001:4).Berbagai arus barang serta informasi, kesibukan pengiriman berbagai macam barang dari satu tempat ke tempat lainnya, penyimpanan, proses distribusi, dan berbagai proses lainnya menjadi bagian dari sebuah sistem besar yang terangkum dalam rantai pasokan. Sistem tersebut dapat kita analogikan dengan sistem tubuh.Untuk menunjang kelangsungan
tubuh manusia, terdapat sinergi yang sangat kompleks di
dalamnya yang melibatkan antara berbagai macam sistem dan organ tubuh. Kegagalan 1
pada salah satu bagian dapat mempengaruhi kinerja sistem dan pada akhirnya juga akan mempengaruhi fungsi serta kondisi tubuh secara keseluruhan. Resiko terburuk dari situasi ini adalah kematian, dimana hal tersebut menjadi tidak terhindarkan ketika salah satu sistem tubuh berhenti bekerja. Analogi di atas merefleksikan kompleksitas yang ada di dalam rantai pasokan, dimana hal tersebut melibatkan proses panjang dan berbagai pemain kunci yang berperan di dalamnya. Kerja sama dan koordinasi antara perusahaan dengan pemain kunci dalam alur pasokan menjadi salah satu prasyarat bagi berjalannya alur ini, dimana di dalamnya termasuk pemasok. Pemasok merupakan salah satu stakeholders yang penting bagi perusahaan sehingga, mereka harus menjaga hubungan baik dengan stakeholders. Bagaimanapun, stakeholders merupakan pihak yang memiliki pengaruh langsung bagi organisasi dan kelangsungan dari organisasi bergantung kepadanya. Karena posisinya dalam perusahaan dan pentingnya untuk menjaga hubungan dengan mereka, stakeholders sering menjadi sasaran dari kegiatan kehumasan perusahaan. Supplier Relationship Management merupakan bagian dari proses makro di dalam Manajemen Rantai Pasokan atau yang sering disebut denganSupply Chain Management (SCM). Supplier Relationship Management ini memberikan struktur mengenai bagaimana hubungan dengan pemasok dibangun dan dipertahankan.Berbeda dengan Costumer Relationshipyang lebih dahulu populer dantelah lama menjadi fokus dari banyak perusahaan, Supplier Relationship Management (SRM) merupakan konsep yang masih baru berkembang.Costumer Relationship Manajement (CRM) lebih berfokus pada pelanggan dan berpengaruh langsung pada penjualan sehingga hal ini banyak menjadi perhatian perusahaan. Namun, seperti yang telah dijelaskan di atas, setiap bagian dari sistem, baik pelangan dan pemasok memiliki posisi yang sama penting dalam rantai pasokan dan berpengaruh bagi kelangsungan perusahaan. Baik CRM maupun SRM merupakan bagian vital dari Supply Chain, dimana Costumer Relationshipmerupakan mekanisme pengaturan hubungan down stream ke arah pelanggan dan Supplier Relationship lebih pada hubungan up stream, yaitu dengan pemasok. Pemasok sangat berkaitan dengan berjalannya proses produksi serta operasi perusahaan, sehingga, pengelolaan, koordinasi dan kerja sama yang baik diperlukan di sini.Ketika kita mengambil contoh perusahaan otomotif, untuk bagian pasokan saja, terdapat ratusan pemasok yang bertugas untuk memproduksi setiap bagian komponen 2
yang berbeda. Boeing, misalnya, untuk memproduksi satu pesawat tipe 747 saja, membutuhkan 6 juta komponen yang berbeda (Boeing n.d.). Setiap komponen memiliki peranan tersendiri dalam pengoperasian pesawat dan harus dikirim dengan waktuyang tepat, sesuai dengan jadwal perakitannya untuk menekan penyimpanan. Kesalahan pada salah satu komponen, seperti baut atau perangkat elektronik dapat berakibat fatal bagi penerbangang pesawat tersebut dan dapat membahayakan keselamatan penumpang maupun awak pesawat. Dari keseluruhan komponen yang diperlukan, 70%-nya di dapatkan dari berbagai sumber yang tersebar di beberapa negara seperti Cina, Australia, Jepang, Korea Selatan, Kanada, Inggris, dan Indonesia (Antara Jatim, 2012). Setiap pemasok juga dapat terhubung dengan perusahan lain yang menghasilkan bagian-bagian yang diperlukan dalam pembuatan komponen dan hal ini masih dapat terus bercabang. Globalisasi mempermudah perusahaan untuk memperoleh supplier ataupun kontraktor di negara-negara yang lebih murah dan terpisah jauh dari perusahaan induk. Dengan banyaknya pihak yang terkait dan kompleksitas di dalamnya, hal ini berpotensi memunculkan krisis maupun berbagai resiko lainnya bagi perusahaan. Sehingga koordinasi diperlukan untuk meminimalkan resiko dan memastikan alur pasokan berjalan semestinya. Salah satu kasus yang pernah muncul berkaitan dengan hal ini adalah penarikan mainan produksi Mattel selama periode Agustus hingga september 2007 akibat penggunaan cat yang berbahaya maupun desain yang tidak sempurna sehingga membahayakan keselamatan anak-anak yang memainkannya. Pada awal kemunculan kasus ini saja, Mattel telah memperoleh ratusan laporan dan keluhan mengenai mudah copotnya magnet pada mainan-mainandan harus melakukan penarikan terhadap berbagai jenis mainan yang diproduksinya sejak November 2006 (BBC, 2007). Magnet yang lepas tersebut dapat tertelan dan jika lebih dari satu magnet yang tertelan, hal tersebut akan saling menarik satu sama lain dan mengakibatkan perforasi usus dan penyumbatan yang dapat berakibat fatal. Masalah lainnya yang juga muncul adalah kandungan timbal maupun bahan berbahaya pada cat yang digunakan. Penarikan pertama terjadi pada 1 Agustus 2007 dan melibatkan1,5 juta mainan buatan Cina, seperti mainanSesame Street, Dora theExplorer, BigBird, Elmo, Diegodanproduklainnya,karena adanya kadar timbal yang berlebihan di dalamnya. Dua minggu kemudian, Mattel melakukan penarikan lagi secara besar-besaran, termasuk lebih 3
dari 18 jenis mainan magnetik dan 436,000 mainan yang menggunakan cat timah termasuk 32.800mobil Sarge die-castyang berisicattimbal (Mattel Toy Recall, 2007). Dalam periode tersebut di perkirakan, lebih dari 20 juta mainan di tarik dari pasaran oleh Mattel, yang membuat hal ini menjadi kasus penarikan terbesar dalam sejarah Mattel. Mainan-mainan tersebut diproduksi oleh kontraktor maupun supplier Cina.Perbedaan peraturan dan standar antara Cina dan Amerika menjadi salah satu penyebab terjadinya hal tersebut. Kasus ini memberikan kerugian yang sangat besar bagi Mattel. Tidak hanya kerugian materiil saja yang harus dialami perusahaan ini. Kepercayaan pelanggan dan reputasi Mattel yang selama ini dikenal sebagai produsen mainan terpercaya pun ikut terpengaruh. Tidak hanya itu, hal ini juga menjadi pukulan bagi industri Cina yang pada saat itu sedang berkembang pesat. Insiden ini ikut andil dalam memperburuk citra industri Cina dan meningkatkan ketidakpercayaan publik terhadap kualitas produk buatan Cina. Pada awalnya, Mattel menyalahkan hal ini pada pemasok mereka di Cina. Perusahaan tersebut menyalahkan perusahaan sub kontrak Cina, Hong Li Da karena menggunakan pasokan cat yang tidak disetujui. Namun pada akhirnya, Mattel meminta maaf kepada konsumennya maupun pekerja di industri mainan Cina dan mengakui kesalahan mereka. Sama seperti banyak perusahaan asing lainnya, ongkos produksi dan tenaga kerja kerja murah menjadi salah satu daya tarik yang membuat Mattel memilih Cina sebagai salah satu basis produksinya. Namun, hal ini tidak disertai dengan kontrol, koordinasi, dan pengawasan yang ketat sehingga masalah ini terjadi. Hal ini memberikan pelajaran mengenai bagaimana masalah yang sederhana dapat mengakibatkan bencana yang fatal bagi perusahaan. Kasus di atas memperlihatkan bahwa koordinasi dan hubungan kemitraan yang baik sangat diperlukan dalam memanajemen pemain kunci seperti supplier di dalam rantai pasokan. Dengan memiliki hubungan yang baik dengan pemasok, perusahaan akan lebih diuntungkan dalam kompetisi dengan perusahaan lain, pengembangan produk baru, ataupunketika terjadi perubahan permintaan. Dengan meningkatnya kompetisi dalam dunia bisnis, proses pembelian mulai dipandang sebagai bagian dari fungsi strategis. Paradigma hubungan pemasok dengan perusahaan yang awalnya sekedar hubungan jualbeli mulai bergeser kearah hubungan yang lebih relasional. Hubungan kerja sama dan koordinasi yang baik antara perusahaan dan pemasok juga akan memastikan bahwa 4
pemasok selalu sejalan dengan perusahaan dan mampu beradaptasi dengan cepat terhadap kebutuhan perusahaan. Sebenarnya, Supplier Relationship management ini sendiri pada prinsipnya merupakan refleksi dari CRM. Konsepnya adalah, selain harus menjalin hubungan baik dengan kostumer, perusahaan juga harus menjalin hubungan yang sama baiknya dengan pemasoknya. Meski demikian, masih banyak perusahaan yang tidak menerapkan konsep tersebut. Dengan posisi perusahaan sebagai buyer yang lebih dominan dari pada supplier, hubungan di antara keduanya justru seringkali diwarnai tekanan.Hubungan pemasok juga penting untuk dikaji lebih lanjut di Indonesia, karena, di dalam konteks Asia, hubungan relasional masih memiliki pengaruh yang kuat dalam keputusan bisnis. Di sisi lain, menurut Marvondo dan Rodrigo dalam Hsiou, Purchase, dan Rahman (2002) literatur hubungan pemasok yang berasal dari barat masih memiliki kelemahan dalam menjelaskan faktor-faktor yang bersifat lintas budaya. Yang menjadi fokus kajian dalam penelitian ini sendiri adalah hubungan pemasok antara pabrik gula, yaitu Madukismo, dengan pemasoknya, yaitu petani tebu, paska swasembada gula. Pada Tahun 2008, Indonesia telah berhasil memenuhi kebutuhan gula yang dipergunakan untuk keperluan konsumsi dengan tingkat produksi yang mencapai 2,7 juta ton. Seterusnya, pemerintah mengharapkan agar tidak hanya keperluan gula konsumsi saja yang terpenuhi, namun juga kebutuhan gula untuk industri. Pemerintah menargetkan, untuk tahun 2014, Indonesia diharapkan akan telah mencapai swasembada gula dan memenuhi target produksi yang mencapai 3,1 juta ton. Untuk itu, pemerintah melaksanakan program swasembada gula, dimana salah satu program utamanya adalahmerevitalisasi industri gula. Revitalisasi ini melibatkan seluruh pabrik gula di Indonesia, baik itu BUMN maupun BUMS dan dilaksanakan pada tahun 2010 hingga 2014 nanti. Revitalisasi akan dilakukan pada sektor on-farm, yaitu perluasan areal dan peningkatan produktivitas gula dan revitalisasi sektor off-farm, yaitu,
rehabilitasi,
peningkatan kapasitas giling amalgamasi, peningkatan efisiensi pabrik, dan peningkatan kualitas gula. Disamping itu juga akan dibangun PG baru, pemberdayaan penelitian dan pengembangan gula dan peningkatan kualitas SDM di bidang industri gula (Direktorat Jenderal Perkebunan, 2012). Komisi VI DPR RI juga telah menyetujui anggaran Rp250 miliar untuk biaya revitalisasi pabrik gula seluruh Indonesia pada tahun 2012 ini. Dana 5
tersebut akan digunakan untuk perbaikan maupun pembaharuan mesin produksi di pabrikpabrik gula di Indonesia. PG Madukismo adalah pabrik gula milik PT Madubaru, yang berlokasi di desa Padokan, Kelurahan Tirtonirmolo, Kecamatan Kasihan, Kabupaten Bantul, Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Komposisi kepemilikan saham di PG Madukismo adalah 65% milik Sri Sultan Hamengku Buwono X dan sisanya, yaitu 35% Milik Pemerintah yang dikuasakan kepada PT.Rajawali Nusantara Indonesia (PT.RNI), sebuah perusahaan BUMN (Madubaru n.d.). Sebagai satu-satunya pabrik gula yang ada di wilayah Yogyakarta, PG madukismo memiliki peran yang sentral dalam pemenuhan kebutuhan gula di wilayah Yogyakarta maupun keberlangsungan program Swasembada
gula
nasional yang dicanangkan oleh pemerintah. Meski demikian, hingga saat ini salah satu kendala utama yang harus dihadapi oleh PG Madukismo adalah pada masalah pasokan tebu. Salah satu penyebab kurangnya pasokan tebu tersebut adalah adanya alih fungsi lahan tebu. Setiap tahun, ada 10 hingga 15 hektar tanah yang beralih fungsi. Selain masalah umum seperti penyusutan lahan yang terus terjadi akibat konsekuensi alami dari pertumbuhan pembangunan yang terus terjadi di Yogyakarta dan sekitarnya, alih fungsi lahan tebu menjadi komoditas lain juga merupakan salah satu bentuk ancaman pada pemenuhan produksi gula selama ini. Saat ini banyak petani maupun pemilik lahan yang memilih menanam padi ataupun menyewakan tanahnya untuk ditanami padi karena relatif menjajikan. Dahulu, dalam mengatasi masalah pasokan tebu, pemerintah Orde Baru memiliki program Tebu Rakyat Intensifikasi (TRI). TRI merupakan program nasional yang dilaksanakan berdasarkan Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 9 Tanggal 22 April 1975 yang tujuan utamanya adalah meningkatkan produksi gula nasional, yang mengalihkan sistem sewa tanah menjadi tebu rakyat. Dimana, di dalamnya terdapat dua unsur, yaitu petani yang tergabung dalam kelompok tani dan pabrik gula sebagai pimpinan kerja dari para petani. Namun dalam praktiknya, TRI ini akhirnya justru menjadi mekanisme yang menekan petani tebu. Meski demikian, saat ini, tampaknya petani menjadi jauh lebih otonom. Berlakunya Undang-undang nomor 12 tahun 1992 yang menjamin kebebasan berbudidaya menjadikan petani lebih bebas dalam memilih tanaman yang ingin dibudidayakannya. Pengalaman buruk dengan TRI justru membuat petani menjadi enggan 6
menanam tebu. Dengan adanya permasalahan seputar alih fungsi tersebut, peningkatan produksi tebu di Bantul masih mengalami kesulitan hingga saat ini. Pasca dijalankannya program swasembada gula oleh pemerintah dan termasuk berbagai bantuan dalam budidaya tebu di wilayah DIY, PG Madukismo (PT Madubaru), sebagai satu-satunya pabrik di wilayah tersebut ikut memperoleh tanggung jawab baru. Karena itu, meskipun pemerintah juga akan mengupayakan pembukaan lahan baru dengan melalui Kementrian Kehutanan, namun, masalah kurangnya pasokan tebu, alih fungsi lahan untuk tanaman lain, masalah sewa tanah dengan pemilik lahan maupun rendahnya animo masyarakat dalam menanam tebu masih merupakan salah satu masalah pelik yang harus diselesaikan oleh PG Madukismo jika ingin meningkatkan produksi gula yang dihasilkan dan menyukseskan program akselerasi dari pemerintah.
B. Rumusan Masalah Jika melihat permasalahan pasokan tebu PG Madukismo yang telah diuraikan di dalam latar belakang di atas, Supplier Relationsmasih merupakan salah satu tugas besar dari PG Madukismo sendiri. Supplier Relationsmerupakan tanggung jawab dari bagian Humas maupun seksi hubungan pemasok. Salah satu tujuannya adalah mempertahankan hubungan yang baik dengan perwakilan pemasok melalui perlakuan yang adil dan terbuka. Selain itu, juga untuk menjadikan perusahaan sebagai mitra yang baik, yang bekerja sama dengan sungguh-sungguh dalam menyelesaikan masalah produksi dan persediaan (Moore, 2005:408). Untuk itu, peneliti ingin mengetahui bagaimanakah Supplier Relationsdan upaya yang dilaksanakan PG Madukismo dalam membangun hubungan serta dukungan dari para pemasok. PG Madukismo sendiri merupakan sebuah pabrik gula dan bahan baku produksi untuk menghasilkan gula adalah tebu. PG Madukismo tidak memiliki lahan HGU (Hak Guna Usaha) sehingga tebu ini harus bergantung dari petani. Sehingga, yang dimaksudkan dengan pemasok di sini adalah petani tebu. Karena itu, PG Madukismo harus mendapat dukungan dari petani tebu, baik itu agar petani tetap mau menanam tebu, mempertahankan agar pemilik lahan mau menyewakan lahan yang dimilikinya, meningkatkan jumlah pasokan, mengadaptasikan kebijakan perusahaan maupun berbagai persoalan 7
lainnya yang berkaitan dengan pasokan bahan baku dan Supplier Relations, terutama pasca dijalankannya program revitalisasi industri gula 2010-2014 dalam rangka pemenuhan target program swasembada gula pada 2014. Untuk itu, rumusan dari penelitian ini adalah: “Bagaimanakah pelaksanaan hubungan masyarakat di dalam pengelolaan Supplier Relations PG Madukismo dalam membangun dukungan pemasok pasca program swasembada gula?”
C. Tujuan Penelitian 1. Untuk
mengetahui
bagaimanakah
supplier
relationsdijalankan
oleh
PG
Madukismo dalam rangka memenuhi kebutuhan pasokan tebu pasca adanya program Swasembada gula yang ditargetkan terpenuhi 2014 2. Untuk mengetahui strategi kehumasan apa saja yang digunakan oleh PG Madukismo dalam upaya untuk membangun dukungan para pemasok.
D. Manfaat Penelitian 1.
Bagi peneliti, penelitian ini akan memberikan tambahan wawasan dan pemahaman mengenai praktik-praktik kehumasan yang berkaitan dengan supplier relationsdi dalam perusahaan.
2.
Bagi perusahaan, penelitian ini dapat memberikan konstribusi mengenai gambaran hubungan perusahaan dengan pemasok yang selama ini telah dijalankan, sehingga dapat menjadi bahan evaluasi lebih lanjut.
3.
Bagi universitas, penelitian ini dapat menyumbangkan konstribusi dalam kajiankajian mengenai peran hubungan masyarakat didalam supplier relations serta praktiknya di dalam suatu perusahaan.
4.
Bagi pemerintah, penelitian ini dapat memberikan gambaran mengenai pelaksanaan program swasembada gula nasional yang telah dicanangkan dan masalah di wilayah up stream rantai pasokan di lapangan, sehingga dapat 8
digunakan sebagai bahan masukan dalam membuat kebijakan dan evaluasi program.
E. Kerangka Pemikiran 1.
Public Relations Di dalam masyarakat modern, masyarakat menjadi semakin terhubung dan
tergantung satu sama lain. Hal ini meningkatkan kebutuhan akan interaksi sosial, politik, dan ekonomi yang rumit, dimana pemeliharaan akan interaksi tersebut menjadi semakin dibutuhkan. Hal yang sama juga berlaku pada organisasi. Sebuah organisasi tidak dapat berdiri sendiri dan bergantung pada lingkungan dan masyarakatnya. Masyarakat atau publik dari organisasi ini adalah orang-orang yang dalam beberapa hal memiliki keterkaitan dengan organisasi. Di sinilah peran dari hubungan masyarakat diperlukan. Peran ini telah tergambarkan dalam nama hubungan masyarakat itu sendiri, dimana istilah hubungan masyarakat ini mengacu pada manajemen hubungan organisasi-masyarakat (Cutlip, Center dan Broom, 2005: 2). Sehingga, hubungan masyarakat dapat kita maknai sebagai sebuah fungsi manajemen yang mengelola hubungan yang saling menguntungkan antara organisasi dengan masyarakatnya. Saat ini, berbagai institusi telah mulai memahami dengan lebih jelas mengenai pentingnya untuk terus berubah sesuai dengan keadaan lingkungan dan terus melakukan adaptasi terhadap berbagai tekanan ataupun aspirasi baru yang terus muncul. Berbagai organisasi juga telah memahami pentingnya untuk mendengarkan publiknya dan menjaga hubungan komunikasi diantara keduanya. Sehingga, hubungan masyarakat menjadi semakin penting di dalam suatu organisasi. Menurut du Plessis (2000:13), Perkembangan hubungan masyarakat hingga saat ini sendiri tidak bisa dilepaskan dari beberapa faktor, yaitu ; •
Tumbuhnya organisasi dan institusi besar. Organisasi dan institusi besar ini menciptakan kebutuhan akan hubungan masyarakat untuk menginterpretasikan kebutuhan organisasi ke publiknya dan sebaliknya. 9
•
Adanya peningkatan akan perubahan, konflik dan konfrontasi di dalam masyarakat modern.Perubahan merupakan hal yang pasti terjadi di dalam masyarakat dan hal ini tidak dapat dipisahkan dari masyarakat modern. Demikian juga dengan konflik dan konfrontasi.karena itu, dibutuhkan hubungan masyarakat untuk menerjemahkan opini publik ke organisasi dan sebaliknya, sehingga organisasi dapat memenuhi tanggung jawab sosialnya terhadap masyarakat.
•
Adanya perkembangan teknologi di masyarakat. Hal ini menyebabkan publik menjadi tersegmentasi, terspesialisasi dan menjadi lebih pintar. Karenanya, organisasi harus mengadaptasikan cara komunikasi mereka
kepada publik
mereka yang relevan agar organisasi dapat mempersuasi, menginformasikan, mempengaruhi dan meraih publik tersebut. •
Tumbuhnya demokrasi di dunia. Pertumbuhan demokrasi ini ikut meningkatkan kesadaran akan pentingnya opini publik. Organisasi dituntut untuk lebih peka terhadap opini publik yang memiliki signifikansi bagi organisasi. Hal tersebut meningkatkan kebutuhan akan para profesional yang dapat bertindak dan mencetak opini publik. Sehingga, hubungan masyarakat yang profesional ini menjadi semakin esensial. Praktik dan pendekatan hubungan masyarakatterus berubah dan berkembang
dalam beberapa dekade terakhir ini. Perubahan lanskap media dan masyarakat ikut mempengaruhi praktik-praktik kehumasan yang ada. Makna dan pengertian dari hubungan masyarakat ini sendiri juga ikut berubah dan berkembang seiring dengan waktu, dari hanya sekadar publisitas dan pencitraan hingga sebagai penjembatan. Pada masa awal perkembangannya, komunikasi persuasif satu arah merupakan praktik yang lebih dominan. Munculnya Perang Dunia II merupakan salah satu faktor yang memicu perkembangan praktik ini. Pada masa tersebut, Amerika menggunakan kekuatan kampanye dan informasi yang terorganisir melalui komite informasi publik. Karena untuk tujuan perang, komunikasi yang dilakukan cenderung bersifat propaganda dengan tujuan mempengaruhi dan memperoleh dukungan dari pihak lain. Sehingga pada masa-masa awal perkembangannya, praktikhubungan masyarakat lekat dengan upaya pembujukan. Beberapa dekade setelah Perang Dunia II, pemahaman ini bergeser dan menjadi lebih matang, dengan melibatkan hubungan dua arah, saling pengertian, dan adanya timbal balik di dalamnya.Humas tidak lagi hanya komunikasi satu arah dan upaya pembujukan 10
publik saja. Hal ini senada dengan pandangan Harword L. Childs (dalam Cutlip, Center dan Broom, 2005:3), yang menyatakan bahwa hubungan masyarakat bukanlah sebuah praktik yang bertujuan untuk menyajikan sudut pandang ataupun seni untuk memperlembut sikap dan mental, maupun hubungan yang sopan dan menguntungkan. Hubungan masyarakat pada dasarnya adalah upaya untuk berdamai atau melakukan penyesuaian dengan masyarakat ketika aspek-aspek perilaku pribadi dan perusahaan memiliki kepentingan sosial. Penyesuaian ini menegaskan adanya upaya korektif dan peran pengambilan kebijakan serta mengindikasikan adanya tingkatan manajemen di dalam prosesnya. Meski demikian, pemahaman masyarakat dan organisasi akan hubungan masyarakat masih sangat beragam. Terdapat berbagai pemahaman yang berbeda-beda mengenai hubungan masyarakat dan seringkali, hubungan masyarakat ini kemudian disalahartikan. Banyak yang melihat hubungan masyarakat
hanya sebagai publisitas
yang tujuan utamanya adalah mendapatkan peliputan media. Sedangkan, sebagian lagi melihat hubungan masyarakat ini sebagai upaya defensif untuk melindungi organisasi, menyembunyikan fakta, dan memutar balikan berita negatif menjadi positif. Hal ini bukanlah pengertian yang tepat dari hubungan masyarakat. Etika, kebenaran, dan kredibilitas merupakan nilai dari hubungan masyarakat yang baik. Sedangkan tindakan menutupi, mendistorsi, dan membuat
alasan merupakan antitesis dari hubungan
masyarakat yang baik (Seitel, 1992:14). Karena itu, beberapa akademisi seperti Cutlip, Center, dan Broom menggunakan ‘niat baik’ sebagai salah satu syarat bagi keberhasilan hubungan. Kredibilitas akan muncul dengan adanya kinerja dan praktik organisasi yang baik. Perilaku dan tindakan yang baik pada akhirnya akan berbicara dengan sendirinya. Ada juga kerancuan antara hubungan masyarakat dengan pemasaran. Sehingga beberapa orang melihat hubungan masyarakat ini tidak berbeda dengan pemasaran yang tujuan utamanya adalah penjualan. Philip Kotler (dalam Dozier, Grunig dan Grunig, 1995:71) juga condong pada hal ini pada pemikiran awalnya dan melihat hubungan masyarakat sebagai salah satu dari beberapa sebaran pemasaran. Hal ini berbeda dengan pandangan yang saat ini dipahami secara umum oleh praktisi humas yang secara tegas memisahkan hubungan masyarakat dari pemasaran. Perbedaan antara keduanya yaitu,
11
“Secara ringkas, pemasaran berfokus pada hubungan pertukaran dengan pelanggan. Hasil upaya pemasaran adalah quid pro quo yang memenuhi permintaan konsumen dan mencapai sasaran ekonomi organisasi. Sebaliknya, hubungan masyarakat mencakup banyak sekali hubungan dan tujuan dengan sejumlah publik, yaitu karyawan, investor, tetangga, kelompok dengan minat khusus, pemerintah, dan banyak lagi” (Cutlip, Center, dan Broom, 2005:7). Untuk menghindari adanya kerancuan dengan bidang kajian dan fungsi managemen yang lain, definisi merupakan hal yang substansial ketika kita ingin memahami dengan jelas mengenai hubungan masyarakat. Dalam era yang lebih awal, Bernays memberikan definisi yang menekankan pada unsur persuasif di dalamnya yang menyatakan hubungan masyarakat merupakan upaya yang bertujuan untuk membangun dukungan publik. Definisi ini mengambil pendekatan yang cenderung satu arah. Pendekatan semacam inilah yang umum diambil oleh para praktisi hubungan masyarakat dan terkadang masih bisa kita ditemukan dalam praktik yang dilakukan organisasi. Pendekatan tersebut dipandang hanya berorientasi pada tindakan saja, dan konstribusinya terhadap teori kehumasan dikritisi karena terlalu manipulatif dan anti demokrasi. Pendekatan yang berbeda diambil oleh akademisi Amerika, Botan dan Hazleton (dalam Watson dan Noble, 2005:6), yang menyatakan bahwa hubungan masyarakat merupakan proses untuk melakukan kontrol simbolis atas disposisi evaluatif (sifat, gambaran) dan perilaku dari publik atau klien yang relevan. Pandangan ini merupakan salah satu dari sedikit pemikiran yang mengambil pendekatan konseptual, di antara mayoritas definisi yang umumnya lebih menekankan objektif dari hubungan masyarakat. Di sini, karena menggunakan kontrol sebagai salah satu penekanan dalam pendekatannya, pendekatan ini cenderung menggunakan model asimetris, dimana yang digunakan adalah komunikasi persuasif dan tujuannya agar publik sesuai dengan objektif perusahaan. Dari berbagai pendekatan yang ada, terdapat pemisah antara pandangan awal yang melihat hubungan masyarakat sebagai satu arah dengan pandangan dua arah. Untuk saat ini sendiri, yang umumnya diterima oleh akademisi adalah pendekatan yang lebih menekankan dua arah, dengan indikasi banyaknya penekanan pada keuntungan bersama yang memperlihatkan perlunya proses komunikasi dua arah sehingga organisasi dapat bertindak untuk kepentingan dirinya sendiri sekaligus pihak lain yang berinteraksi dengannya. Selain itu, salah satu pandangan yang juga sangat umum ditemui di dalam definisi hubungan masyarakat adalah, adanya manajemen fungsi di dalam kegiatan 12
kehumasan organisasi. Pendekatan ini salah satunya diambil oleh Cutlip, Center dan Broom (2005:5), yang menyatakan, “Public Relations merupakan fungsi manajemen yang membentuk dan memelihara hubungan yang saling menguntungkan antara organisasi dan masyarakat, yang dijadikan sebagai sandaran tolak ukur keberhasilan atau kegagalannya.” Hal ini memperlihatkan bahwa hubungan masyarakat dikelola dan direncanakan, memiliki objektif yang harus dicapai, dan hasil yang terukur. Manajemen humas juga dapat
diartikan
sebagai
pengorganisasian,
penerapan
pengelolaan
fungsi-fungsi
staf,
manajemen
(perencanaan,
pengarahan/pengkoordinasian,
dan
penilaian/evaluasi) dalam kegiatan kehumasan (Putra, 2008:1.11). Sebagai sebuah fungsi manajemen, kegiatan humas mencakup mengelola reputasi perusahaan, mengevaluasi sikap publik, mengidentifikasi kebijakan dan prosedur yang dilakukan
organisasi
berdasarkan kepentingan publik dan menjalankan program yang bertujuan untuk mendapatkan pengertian dan penerimaan publik. Untuk kepentingan penelitian, definisi dari Cutlip, Centre dan Broom inilah yang akan kita gunakan sebagai landasan apa itu hubungan masyarakat. Di sisi lain, pendekatan hubungan masyarakat yang digunakan di sini tidak semata hubungan masyarakat sebagai state of being saja, namun juga sebagai sebuah metode komunikasi. Hal ini mengacu pada pemikiran Efendi (1993:94), yang menyatakan bahwa pengertian hubungan masyarakat dapat dilihat dari dua sudut pandang, yaitu sebagai state of being dan yang kedua sebagai method of communication (metode komunikasi). Humas sebagai state of being adalah bentuk perwujudan dari hubungan masyarakat dalam bentuk lembaga. Hubungan masyarakat di sini dilihat sebagai bagian dari struktur di dalam organisasi yang fungsi utamanya adalah menjalankan komunikasi perusahaan, dan menghubungkan perusahaan dengan publiknya. Sedangkan, dalam humas sebagai methode of communication, hubungan masyarakat dilihat sebagai suatu metode komunikasi. Dalam artian, hubungan masyarakat dilihat sebagai suatu rangkaian atau sistem kegiatan yang menjalankan kegiatan komunikasi secara khas. Sebagai sebuah metode komunikasi, sebuah organisasi dapat dikatakan telah melakukan kegiatan kehumasan tanpa harus melalui atau bahkan memiliki lembaga kehumasan di dalamnya, ketika organisasi tersebut telah melaksanakan kegiatan komunikasi secara khas. Pendekatan inilah yang nantinya akan lebih ditekankan di dalam penelitian ini. 13
Sebagai metode komunikasi, suatu kegiatan dapat dinyatakan sebagai upaya kehumasan ketika kegiatan tersebut memiliki aspek hubungan masyarakat di dalamnya, seperti pemeliharaan hubungan yang saling menguntungkan dan adanya fungsi manajemen seperti yang telah dikemukakan oleh Cutlip, Centre dan Broom di atas. Selain itu, untuk lebih jelasnya,
Efendi(1993:95) menyatakan, sebuah organisasi telah
melaksanakan kegiatan kehumasan, ketika organisasi tersebut telah menjalankan kegiatan komunikasi yang khas, dengan ciri-ciri sebagai berikut; •
Komunikasi yang dijalankan bersifat 2 arah atau timbal balik
•
Kegiatan yang dilaksanakan mencakup penyebaran informasi, persuasi, dan pengkajian opini publik
•
Tujuan yang ingin dicapai adalah tujuan perusahaan itu sendiri
•
Sasaran yang dituju adalah publik internal dan publik eksternal organisasi
•
Efek yang diharapkan adalah terciptanya harmonisasi antara organisasi dan publiknya
2.
Dukungan Pemasok di Dalam Perusahaan Setiap perusahaan, baik itu retailer ataupun perusahaan manufaktur, harus
memperoleh material, jasa, ataupun pasokan dari sumber luar. Pembelian material, jasa dan pasokan ini dapat diperoleh melalui pihak pemasok atau supplier. Posisi pemasok ini sangat penting bagi operasional perusahaan sehingga sulit membayangkan bagaimana sebuah perusahaan dapat berdiri dan beroperasi tanpa dukungan pihak lain untuk memasok kebutuhan yang diperlukannya dalam proses produksinya. Sebuah perusahaan juga tidak mungkin memenuhi sendiri segala kompetensi yang diperlukan. Untuk itu, diperlukan kerja sama dan dukungan dengan pihak lain, termasuk dengan pemasok. Lepasnya dukungan dan kepercayaan dari pemasok dapat menimbulkan hambatan dalam proses produksi perusahaan dan hal ini akan mengganggu operasional perusahaan. Jika tidak ditangani dengan baik, hal ini akan menimbulkan krisis bagi perusahaan dan dapat mengancam keberlangsungan perusahaan. Keberadaan dukungan maupun sokongan dari pemasok menjamin ketersediaan 14
pasokan bahan baku ataupun layanan yang diperlukan ketika perusahaan sedang membutuhkannya. Dukungan dari pemasok juga mengindikasikan bahwa pemasok bersedia untuk menjalin kerjasama dan mau terlibat dalam rencana strategis perusahaan. Bentuk-bentuk dukungan ini dapat berupa pasokan bahan baku, peralatan, layanan, bahkan dukungan keuangan. Pemasok juga dapat membantu dengan harga yang wajar, kualitas yang terus diperbaiki, penyerahan barang tepat waktu dan mengurangi biaya persediaan sehingga dapat meningkatkan keuntungan perusahaan dalam jangka panjang (Suyanto, 2007:71). Pemasok yang berpengalaman juga seringkali dapat memberikan masukan yang berharga dalam masalah pembelian hingga pengembangan produk baru. Menurut Bossert (2004: 3), pemasok yang potensial dapat kita lihat dan evaluasi dari kemampuannya dalam menyediakan beberapa hal, seperti; •
Kualitas yang diinginkan, yaitu kesesuaian produk dan jasa dengan keperluan penggunaan yang dimaksudkan.
•
Jumlah total dari produk yang dibutuhkan, termasuk juga kesesuaian dengan jadwal dimana produk dibutuhkan.
•
Pelayanan secara Tangible dan intangible. Yaitu, berupa manfaat maupun pelayanan, baik yang dapat diukur maupun yang tidak, yang dapat memberikan manfaat lebih disamping masalah kualitas dan harga.
•
Harga, sebagai salah satu nilai yang dapat diukur. Pemasok juga merupakan salah satu mata rantai yang kritis bagi keuntungan
perusahaan, bagian pasar dan kelangsungan hidup sebagian besar perusahaan. Kualitas dan pelayanan yang diberikan oleh pemasok berpengaruh langsung pada tingkat kualitas dan pelayanan yang diberikan perusahaan pada pelanggan. Karena itu, pemasok menjadi bagian dari rangkaian faktor yang mempengaruhi seluruh pencapaian dalam pasar, laba, dan kelangsungan hidup perusahaan (Fernandez, 1995:7). Meski demikian, banyak perusahaan menempatkan pemasok di luar lingkaran dan melihatnya sebagai pihak luar. Hal ini membuat pemasok menjadi kurang terintegrasi dengan organisasi. Pemasok hanyalah pihak yang memberikan perlayanan yang dibutuhkan oleh organisasi dimana mereka harus memenuhi syarat-syarat yang diberikan organisasi kepada mereka. Dengan kata lain, hubungan pembeli dan pemasok menjadi hubungan yang dingin yang terbatas pada hubungan jual-beli saja. Mengasingkan pemasok semacam ini hanya akan menyia15
nyiakan potesi dan kemampuan pemasok dalam mendukung strategi kompetitif perusahaan. Pemasok biasanya telah memiliki pengalaman dan pengetahuan lebih dibidangnya, sehingga seringkali, mereka memiliki pandangan dan saran yang berharga dalam masalah pembelian, maupun bagi pengembangan produk dan strategi organisasi. Sehingga, melibatkan pemasok dari tahap awal dan mengintegrasi pemasok dengan arah strategis organisasi secara keseluruhan dan mengaitkan kebutuhan organisasi beserta pelanggannya dengan pemasok perlu dilakukan. Hal ini mengakibatkan peningkatan kesadaran akan perlunya mutu terpadu dan integrasi antara pemasok dengan pembeli, dengan lebih menekankan hubungan jangka panjang dengan pihak pemasok. Tingginya kualitas bahan pasokan dapat meningkatkan produktivitas operasional di dalam perusahan. Hal ini pada akhirnya akan mengurangi biaya internal yang dibutuhkan. Karena itu, kontrol kualitas sangat diperlukan untuk menjamin bahwa pasokan tetap terjaga dan sesuai dengan kebutuhan perusahaan. Hal ini sangat membutuhkan hubungan komunikasi yang kuat. Hubungan komunikasi ini adalah salah satu landasan yang penting bagi semua hubungan kemitraan. Hubungan semacam ini terjalin untuk memastikan bahwa kedua pihak memperoleh keuntungan dari kerja sama yang dilakukan dan tidak ada pihak yang dirugikan. Ada beberpa keuntungan dan strategi yang dapat diterapkan ketika perusahaan memiliki hubungan yang kuat dengan pemasok. Salah satunya adalah Just in Time (JIT), yaitu pengiriman material tepat ketika hal tersebut dibutuhkan dalam proses produksi. Ketepatan pengiriman semacam ini diperlukan dalam industri gula tebu, karena tebu harus segera diolah setelah proses penebangan. Tujuan utama dari JIT ini adalah untuk mengurangi penyimpanan yang dilakukan perusahaan. Secara umum, penyimpanan biasanya dilakukan oleh perusahaan untuk mengatasi kondisi ketika perusahaan dihadapkan pada insiden yang tidak terduga dan untuk memastikan perusahaan akan terus memperoleh pasokan yang konstan. Namun hal ini dapat diatasi dengan hubungan yang kuat dengan pemasok.Pengurangan resiko dapat dilakukan dengan hubungan komunikasi yang rutin dan intensif dengan supplier. Selain itu, masalah ketersediaan pasokan juga dapat dilakukan dengan forecasting atau memprediksi kebutuhan pasokan jangka panjang dan melakukanupdate terhadap performa pemasok. JIT ini sendiri terkadang melibatkan pembelian, pengiriman,dan produksi. Tujuan dari JIT adalah kegiatan yang sesuai dengan tahapan waktu sehingga komponen material yang dibeli tiba ke perusahaan atau titik 16
perakitan tepat ketika mereka dibutuhkan pada proses transformasi( Bowersox, Closs dan Cooper, 2002: 156). Sehingga proses JIT ini sangat dipengaruhi oleh jadwal produksi final. Biasanya JIT ini dilakukan pada pemasok yang terpercaya, dan di dalamnya dibutuhkan hubungan yang sangat dekat, kolaborasi, dan komunikasi. Selain
masalah
penyimpanan,
perusahaan
umumnya
juga
berusaha
memperpendek siklus pengembangan produk untuk memperkenalkan produk ke pasar lebih cepat. Hal ini bisa dilakukan ketika pemasok kritikal dilibatkan kedalam proses pengembangan produk dan melibatkan asistensi mereka. Pemasok kritikal ini merupakan pemasok yang produknya memiliki posisi yang kritis bagi pengembangan produk baru. Supplier biasanya paham teknologi dan memiliki pengetahuan di bidangnya, serta paham akan kapabilitas dan limit produksinya. Dengan memahami ekspektasi yang diharapkan oleh perusahaan pembeli, pemasok dapat merekomendasikan perubahan, sehingga mereka dapat menghasilkan performa yang lebih baik. Kebutuhan untuk melibatkan pemasok secara lebih awal dan melibatkan mereka dalam pengembangan desain pun menjadi semakin perlu dilakukan. Salah satu yang memicu hal ini adalah semakin pendeknya siklus hidup produk dan permintaan konsumen sehingga dibutuhkan pengembangan produk yang lebih cepat. Sama dengan JIT, hal ini membutuhkan dukungan dan kepercayaan serta kolaborasi yang kuat dengan pihak pemasok.
3.
Hubungan Pemasok / Supplier Relationship Management Saat ini, lingkungan bisnis menjadi semakin kompetitif dan terus menerus
berkembang. Dalam kondisi yang demikian, kebutuhan akan proses pembelian dan manufaktur yang lebih efisien menjadi meningkat. Sehingga, proses pembelian yang dilakukan oleh perusahaan tidak hanya sekedar sebuah kegiatan jual beli saja. Pembelian telah menjadi sebuah fungsi stategis yang ikut menentukan kompetensi perusahaan di dalam persaingan bisnis dan posisi kompetitif perusahaan. Kemampuan dalam pembelian menjadi sangat krusial dengan konsekuensi berupa keberhasilan perusahaan dalam meraih posisi di dalam pasar. Pembelian komponen dan servis sangat menentukan sebagian besar dari biaya manufaktur akhir. 70 hingga 80% dari biaya manufaktur akhir ditentukan dari proses pembelian ini (Burnes dan Dale, 1998:1). Karena itu, kompetensi perusahaan di 17
bidang ini sangat diperlukan untuk menekan biaya manufaktur dan proses penambahan nilai. Sebuah perusahaan tidak mungkin memiliki semua kompetensi sendiri, sehingga, hubungan kemitraan yang stategis diperlukan di sini. Pembangunan hubungan kerja sama antara buyerdan supplier telah lama menjadi perhatian dalam dunia bisnis, meskipun hal ini terbatas dalam lingkup kompetitif. Pandangan awal yang melihat hubungan pemasok hanya sebatas proses jual-beli sedikit demi sedikit telah tergeser dan kebutuhan akan hubungan kemitraan dalam jangka panjang pun mulai diperhitungkan. Paradigma akan hubungan supplier yang awalnya hanya bersifat transaksional mulai bergeser ke arah relasional. Menurut Seth dan Sharma (1997:92), ada beberapa beberapa alasan yang mendasari pergeseran hubungan tersebut, yaitu, yang pertama adalah semakin berkembangnya pemasaran dan upaya-upaya identifikasi atas keinginan dan kebutuhan dari konsumen yang spesifik. Dalam upaya memenuhi kebutuhan tersebut, diperlukan kerja sama dengan pemasok sehingga pelayanan dan proses pembelian menjadi lebih efisien. Yang kedua adalah, adanya hubungan dengan pemasok membuat perusahaan menjadi lebih efektif, terutama dalam pengimplementasian strategi, yaitu seperti ketika menerapkan quality platform. Yang ketiga adalah, ada teknologi yang memungkinkan perusahaan untuk menyeleksi kostumer maupun pemasok yang paling tepat dan mengkalkulasi profitabilitas. Dan terakhir, adanya pertumbuhan kompetisi dan aliansi mendorong perusahaan untuk meningkatkan hubungan dengan pemasok. Seiring dengan waktu, kepentingan akan kolaborasi pun juga semakin meningkat. Untuk mewujudkan hal tersebut dibutuhkan kooperasi dan kepercayaan dari kedua pihak. Sehingga keberadaan Supplier Relationship dalam mengatur hubungan buyer-supplier pun diperlukan. SRM sendiri merupakan bagian dari proses makro supply chain management dan merupakan cerminan dari CRM. Namun, jika fokus utama dari Costumer Relationship Management adalah pelanggan maka fokus utama dari Supplier Relationship Management adalah pemasok. CRM berdampak langsung pada keuntungan konsumen, sedangkan SRM lebih pada perusahaan.
SRM dan CRM ini merupakan
penghubung yang vital di sepanjang rantai pasokan. Posisi pemasok sendiri sama pentingnya dengan posisi kostumer di dalam perusahaan. Pemasok sangat vital bagi kelangsungan proses produksi perusahaan. Proses pembelian dan ketersediaan pasokan akan banyak berpengaruh pada jadwal produksi, biaya, waktu, 18
hingga kualitas dan
pemenuhan permintaan konsumen. Gangguan yang terjadi pada bagian ini berpotensi meningkatkan jumlah biaya, menghambat proses produksi hingga operasonal perusahaan secara keseluruhan. Karena itu, salah satu landasan dari SRM sendiri adalah, selain harus menjalin hubungan baik dengan pelanggannya, perusahaan juga harus menjalin hubungan yang sama baiknya dengan pemasoknya. Hubungan antara pembeli dengan pemasok tidak boleh hanya berhenti dalam lingkup formal seperti dalam kontrak. Telah banyak kajian yang menekankan perlunya perusahaan untuk mengeser hubungan dari paradigma formal ke arah yang lebih behavioral dan relasional. Hal ini akan membuat hubungan keduanya menjadi lebih fleksibel dan terbentuk kemitraan yang lebih responsif. Sebuah hubungan kolaborasi yang baik dan aliansi yang baik antara perusahaan dengan pemasok akan mempermudah dalam berbagi informasi strategis, lead time yang lebih baik, pengurangan biaya dalam jangka panjang, dan peningkatan kualitas serta fleksibilitas operasional. Hal ini akan menambah nilai produk. Salah satu keuntungan utama dari program SRM yang paling umum diungkapkan adalah penghematan waktu. Jika dilakukan secara baik dan berkelanjutan, hal ini akan menuntun pada penghematan dari tahun ke tahun. Menurut data dari Nelson, Moody, dan Stegner (dalam Echenoweth, 2012:7-8) , dalam pengukuran Producer Price Index (PPI) selama periode 1992-1998 yang menunjukan persentase pertumbuhan biaya secara kumulatif, rata-rata perusahaanperusahaan otomotif Amerika yang ada dalam kategori Good Company memiliki pertumbuhan biaya yang cukup tinggi dan mencapai 7,1% pada akhir 1997. Perusahaanperusahaan ini diketahui hanya melaksanakan Purchasing and Supply Chain Management (PSCM) saja namun tidak berfokus pada kerja sama dengan supplier. Sedangkan rata-rata perusahaan-perusahaan Jepang seperti Honda, Nissan, dan Toyota masuk dalam kategori best in Class dan memiliki pertumbuhan biaya yang terus menyusut dengan nilai PPI sebesar -16,0% pada akhir 1997. Hal ini berarti perusahaan perusahaan tersebut berhasil menghemat hingga $600 juta jika di banding perusahaan Amerika dalam kategori Good Company. Hal ini dikarenakan perusahaan-perusahaan otomotif Jepang tersebut memberikan perhatian lebih pada upaya pengembangan hubungan yang lebih dekat dengan pemasoknya. Salah satu andil atas kesadaran akan hubungan antara
perusahaan dengan
perusahaan pemasok di Jepang adalah adanya sistem Kerietsu. Kerietsu adalah sistem konglomerat Jepang yang saling berdagang satu sama lain, sejak Restorasi Meiji pada 19
tahun 1868 (Fernandez, 1995:32). Para pengusaha tersebut membentuk suatu kelompok yang terdiri dari beberapa perusahaan yang saling melakukan bisnis di antara mereka sendiri, berbagi kepemilikan saham, dan saling bertemu untuk membahas keadaan. Perbedaan perlakuan antara perusahaan Jepang dan Amerika terhadap pemasoknya juga dikemukakan Liker dan Choi (2004), dimana hal ini terlihat dalam pernyataan seorang Direktur pemasok sistem interior Ford, GM, and Chrysler pada Oktober 1999, yang menyatakan bahwa 3 perusahaan otomotif terbesar di Amerika tersebut akan melakukan cara apapun untuk mengurangi biaya dan hal tersebut menimbulkan banyak tekanan dan ketidakpercayaan di pihak pemasok. Salah seorang Senior Executive dari salah satu pemasok Ford juga menyatakan bahwa sikap perusahaan tersebut cenderung konfrontasional terhadappemasoknya. Pendapat yang berbeda dikemukakan oleh pemasok-pemasok perusahaan otomotif Jepang seperti Honda dan Toyota, yang menyatakan bahwa Honda memberi banyak tuntutan tapi sangat loyal dan bagaimana Toyota memberikan pengharggan dan membantu pemasok untuk terus mengembangkan sistem produksi mereka. Hal ini banyak memberikan gambaran mengenai bagaimana perbedaan pendekatan dalam berhubungan dengan supplier antara perusahaan otomotif Jepang yang beroperasi di Amerika dan perusahaan otomotif dari Amerika. Perusahaan otomotif Amerika lebih fokus pada penekanan biaya dan target sehingga terkadang cenderung konfrontasional dan memposisikan supplier sebagai lawan. Sedangkan perusahaan otomotif Jepang lebih melihat supplier sebagai mitra dan memberikan penekanan pada hubungan jangka panjang. Dalam penelitian mengenai PPI di atas, terlihat bagaimana perbedaan pendekatan tersebut mengantarkan perusahaan otomotif Jepang justru menjadi yang terbaik dikelasnya dalam masalah penekanan biaya. Menurut survei yang dilakukan pada 31 perusahaan Amerika maupun perusahaan Asing lainnya yang dikemukakan oleh Kruss dan Handfiel (1999), mengenai performa dan kapabilitas Supplier, terdapat beberapa perbaikan yang terjadi, yangterkait dengan usaha pengembangan Supplier, yaitu, waktu siklus order 19 %, kualitas (yang diindikasikan dengan lebih sedikit kekurangan dan pengembalian) sebesar 24%, pengiriman yang tepat waktu 39%, perubahan harga pada pemasok 3%, pengurangan shared price 7%, waktu untuk pengembangan produk baru 19%, dan akses pada teknologi baru (Echenoweth, 2012:31).
20
Ada beberapa pemikiran, mengenai bagaimana hubungan dengan pemasok mempengaruhi performa perusahaan. menurut Seth dan Sharma (1997), banyaknya jumlah pemasok yang ada dapat meningkatkan level ketidakpastian. Tingginya ketidakpastian melahirkan upaya-upaya untuk melakukan kontrol terhadap jalannya proses pembelian. Upaya-upaya pengontrolan ini mengakibatkan adanya kenaikan dalam masalah biaya. Efisiensi dari proses pembelianpun menjadi menurun. Hubungan dengan pemasok di sini berfungsi untuk menurunkan ketidakpastian dalam proses pembelian. Sehingga, proses pembelian pun bisa menjadi lebih efisien. Di sisi lain, hubungan dengan pemasok juga dapat meningkatkan keefektifan organisasi. Hal ini contohnya adalah ketika perusahaan ingin pemasok menginvestasikan teknologi tertentu sehingga perusahaan pembeli dapat mengimplementasikan quality platform, pelayanan dengan level yang lebih tinggi, ketersediaan onderdil, dan pertukaran informasi antara perusahaan dengan pemasok. Umumnya, pemasok akan lebih bersedia untuk terlibat dalam hal-hal tersebut ketika telah ada hubungan yang baik antara pemasok dengan pembeli. Menurut Prahinski dan Benton (2004), program pengembangan pemasok hanya akan meningkatkan performa pemasok hanya jika pemasok memiliki komitmen. Hal ini juga tergantung pada persepsi pemasok mengenai komitmen, loyalitas, dan keberlanjutan dari hubungannya dengan pembeli. Di sini, buyerdapat mempengaruhi komitmen dan intensitas komunikasi, dimana hal ini akan berujung pada peningkatan hubungan antara pemasok dengan pembeli. Pengembangan hubungan ini juga melibatkan peningkatan kerja sama, loyalitas, dan orintasi hubungan jangka panjang. Hal lain yang harus ada di dalam hubungan perusahaan dan pemasok adalah komitmen. Menurut Hunt dan Morgan (1994) komitmen dan kepercayaan merupakan isu sentral yang menentukan sukses tidaknya hubungan dengan pemasok. Ada beberapa isu yang menjadi kajian dalam masalah kelangsungan hubungan dengan pemasok. Beberapa diantaranya adalah, masalah keuntungan, kerja sama jangka panjang, serta masalah resiko yang dihadapi ketika perusahaan memutuskan percaya kepada pemasok dan bahwa mereka tidak akan berlaku oportunis.Karena itu, dibutuhkanlah komitmen dan kepercayaan, sehingga efisiensi, produktivitas, dan efektivitas bisa meningkat. Singkatnya, komitmen dan kepercayaan merupakan kunci yang mendorong perilaku 21
kooperatif di dalam hubungan antara pemasok dan pembeli. Anderson dan Weitz (1991) juga menyatakan bahwa hubungan di dalam supply chain bergantung pada persepsi akan komitmen antar anggotanya. Sehingga perilaku yang ditunjukan oleh perusahaan akan mempengaruhi persepsi pemasok akan komitmen perusahaan, dan hal ini akan mempengaruhi komitmen dari pemasok itu sendiri. Dengan kata lain, komitmen dari perusahaan akan membuahkan komitmen pada pemasok. Seperti yang telah disebutkan di atas, aspek lain yang juga tidak kalah penting dalam keberlangsungan hubungan dengan pemasok adalah kepercayaan. Aspek ini diidentifikasikan ketika partner memiliki integritas dan dapat dipercaya hingga level tertentu (Morgan dan Hunt, 1994). Integritas sendiri seringkali dikaitkan dengan beberapa hal, yaitu kualitas yang handal, kemampuan, kejujuran, keadilan, tanggung jawab, kehadiran dan nilai kebajikan(Dwyer &Lagrace, 1986;Rotter, 1971danMorgan&Hunt, 1994). Kepercayaan dan integritas ini tidak muncul begitu saja. Kepercayaan akan muncul setelah teruji seiring dengan dengan berjalannya waktu. Dengan munculnya kepercayaan antara pembeli dan pemasok, hubungan antara keduanya baru dapat terjalin dengan efektif.
F. Metodologi Penelitian Penelitian ini akan melihat bagaimanakah Supplier Relationsdijalankan di PG Madukismo pasca adanys program swasembada gula 2014. Di dalam penelitian ini, yang lebih ditekankan adalah ‘bagaimana’ dan ‘mengapa’ fenomena tersebut terjadi, dimana di dalamnya, kontrol terhadap peristiwa tidak dapat dilakukan dan fenomena terjadi secara aktual. Untuk itu, metode yang sesuai untuk digunakan di dalam penelitian ini adalah studi kasus. Secara umum, studi kasus merupakan strategi yang umum untuk digunakan, jika pokok permasalahan yang diajukan adalah “how” dan “why” dan peneliti hanya memiliki sedikit peluang untuk melakukan kontrol atas peristiwa yang berlangsung (Yin, 1996:1). Yin (1984) memberikan pengertian yang lebih rinci, yaitu, penelitian studi kasus adalah sebuah metoda penelitian yang secara khusus menyelidiki fenomena kontemporer yang 22
terdapat dalam konteks kehidupan nyata, yang dilaksanakan ketika batasan-batasan antara fenomena dan konteksnya belum jelas, dengan menggunakan berbagai sumber data.Studi kasus merupakan metode penelitian kualitatif yang melibatkan pengujian intensif, dengan menggunakan berbagai sumber data yang dapat bersifat kuantitatif, kualitatif, atau bisa juga menggunakan keduanya. Studi kasus bukan merupakan metode yang digunakan untuk menguji sebuah teori, namun untuk mempelajari mengenai aspek yang melekat pada suatu teori. Pertanyaan “bagaimana” dan “mengapa” ini juga lebih eksplanatoris dan lebih mengarah ke penggunaan strategi kasus, dimana pertanyaan semacam ini berkenaan dengan kaitan-kaitan operasional yang menuntut pelacakan waktu tersendiri, dan bukan sekedar frekuensi atau kemunculan (Yin, 1996:7).
1. Objek Penelitian Fenomena yang diteliti menggunakan studi kasus merupakan fenomena kontemporer atau masa kini di dalam kehidupan nyata. Program swasembada gula merupakan program yang dicangkan oleh pemerintah untuk meningkatkan produksi gula di indonesia, dengan target untuk memenuhi swasembada gula pada tahun 2014. Program ini telah dijalankan hingga saat ini dan salah satunya adalah dengan melalui program revitalisasi industri gula 2010-2014.Masalah kurangnya pasokan tebu untuk produksi gula yang di alami oleh PG Madukismo juga merupakan masalah aktual yang masih terus terjadi hingga saat ini, yang mengancam pencapaian program ini. Sehingga, yang menjadi objek penelitian dalam penelitian ini adalah aktivitaspublic relation di dalampengelolaan Supplier Relations PG Madukismo, dalam upaya pemenuhan program swasembada gula nasional 2014 yang dicanangkan pemerintah Republik Indonesia. Melalui penelitian ini, peneliti tidak hanya mencari apa itu hubungan pemasok namun lebih pada bagaimana sebuah hubungan pemasok terjadi di sebuah pabrik gula dalam upaya pencapaian swasembada gula nasional 2014, dan variabel apa saja yang terlibat di dalamnya. Dengan melalui penelitian studi kasus ini, data yang didapatkan bisa lebih detail serta mendalam dan memungkinkan peneliti untuk menemukan data-data yang terlihat tidak penting namun ternyata memiliki peranan yang penting setelah melalui
23
penelitian. Sehingga,tidak menutup kemungkinan untuk memperoleh data baru yang melengkapi ataupun mengganti data sebelumnya.
2. Teknik pengumpulan Data Data merupakan unsur yang penting di dalam sebuah penelitian. Dibutuhkan suatu data yang tepat dan akurat agar peneliti dapat memperoleh jawaban dari pertanyaan dan tujuan penelitian yang dilakukan. Kualitas data ini sangat erat kaitannya dengan kualitas penelitian. Sehingga, diperlukan teknik pengumpulan data yang tepat agar data yang dihasilkan akurat dan sesuai dengan tujuan dari penelitian.
Menurut Keller (1994)
sendiri, pengumpulan data dapat didefinisikan sebagai satu proses mendapatkan data responden melalui responden dengan menggunakan metode tertentu. Di dalam penelitian ini, metode pengumpulan data yang akan dilakukan adalah; •
Observasi Observasi atau pengamatan adalah metode pengumpulan data dimana peneliti atau kolaboratornya mencatat informasi sebagaimana yang mereka saksikan selama penelitian (Gulo, 2002:116). Pengamatan ini dapat dilakukan dengan cara kasual maupun formal. Secara formal, akan dilakukan pengukuran atas tipe perilaku tertentu selama periode waktu yang ditentukan dengan melalui pengamatan atas kerja yang dilakukan dipabrik, pelaksanaan di lapangan, dan kegiatan lain yang berkaitan dengan hubungan perusahaan, yaitu PG Madukismo dengan pemasoknya. Sedangkan observasi kasual merupakan pengamatan yang tidak harus dilaksanakan secara formal ataupun terikat pada periode tertentu dan dapat dilakukan selama pengumpulan bukti-bukti yang dibutuhkan ketika melakukan wawancara ataupun dokumentasi.
•
Wawancara Wawancara merupakan suatu tipe teknik observasi dimana data linguistik merupakan fokus investigasi utama (Crano dan Brewer, 1986:229). Jenis 24
pengumpulan data ini dapat dilakukan secara tatap muka dengan bertemu langsung dengan narasumber. Cara lainnya adalah melalui telepon, meskipun ada batasan dalam pengumpulan melalui tipe ini. Sedangkan untuk jenis wawancara yang akan dilakukan, penelitian ini akan menggunakan wawancara jenis open-ended. Yaitu peneliti menanyakan pertanyaan-pertanyaan mengenai berbagai fakta di samping opini dari responden sendiri. Dengan demikian, responden akan cenderung lebih bebas dalam menjawab. Ada dua cara yang dilakukan dalam wawancara, yaitu terstruktur dan tidak terstruktur. Wawancara terstruktur dilakukan dengan cara peneliti menanyakan pertanyaan yang telah disusun sebelumnya. Sedangkan, wawancara tidak terstruktur lebih tidak terikat pada susunan pertanyaan dan wawancara yang dilakukan mengalir dengan bebas. Pemilihan sampel sendiri dilakukan secara sengaja maupun berlanjut (purposive atau snowball). Purposive sampling sering juga dianggap jugdement sampling. Peneliti memilih sampel secara sengaja dengan melalui penilaian akan siapa yang berada dalam posisi terbaik untuk memberikan informasi yang dibutuhkan. Sedangkan untuk pemilihan sampel bola salju, peneliti memilih narasumber yang dapat memberikan informasi yang dibutuhkan dan mampu menuntun peneliti kepada narasumber lain yang dapat memberikan data yang diperlukan dan juga dapat menuntun kepada sumber lain, demikian seterusnya, saling berantai sesuai dengan kebutuhan dari penelitian. Narasumber setidaknya akan meliputi Humas, Pegawai PT. Madubaru (PG Madukismo), kelompok tani, Sinder, Dinas pertanian, pemilik lahan, pengangkut tebu dan narasumber lain yang terkait dengan masalah pasokan tebu PG. Madukismo. •
Studi pustaka Studi pustaka merupakan suatu upaya yang dilakukan untuk menghimpun informasi yang relevan dengan topik penelitian. Teknik ini digunakan untuk mengumpulkan data dengan memanfaatkan buku-buku, makalah, 25
jurnal, kartu katalog, referensi umum dan khusus, buku pedoman, laporanlaporan penelitian yang telah dilakukan, tesis, disertasi, jurnal, ensiklopedi, surat kabar, dan penelusuran internet. Hal ini termasuk dokumen, arsip, dan bahan tertulis lain dari PG Madukismo yang berkaitan dengan masalah pasokan dan hubungan dengan pemasok PG.
3. Teknik Analisis Data Menurut Yin (1996:133) ada 3 teknik analisis data dominan yang digunakan dalam studi kasus, yaitu, penjodohan pola, pembuatan penjelasan, dan analisis deret waktu. Teknik ini dapat diaplikasikan ke dalam studi kasus tunggal maupun multi kasus. Teknik lainnya juga dimungkinkan untuk digunakan tetapi jika ada situasi-situasi khusus, yaitu ketika ada unit-unit analisis terpancang atau ketika banyak jumlah studi kasus yang harus dianalisis. Jika menggunakan teknik lain pun, teknik dominan ini tetap harus digunakan dan tidak secara terpisah. Teknik analisis pembuatan penjelasan merupakan jenis khusus dari penjodohan pola dan akan lebih cocok ketika penelitian yang digunakan adalah eksplonatori. Sedangkan deret waktu lebih mengarah pada pendeteksian perubahan tren. Untuk penelitian ini sendiri, yang akan digunakan adalah penjodohan pola. Penjodohan pola ini dilakukan dengan cara memperbandingkan pola yang ada di dalam empiris dengan pola yang telah diprediksikan. Ketika ada kesamaan pada kedua pola tersebut, maka hal ini akan menguatkan validitas internal studi kasus yang dilakukan (Yin, 1996:140). Untuk penelitian eksplanatori, pola yang digunakan berkaitan dengan variabel dependen dan independen.
26