BAB I PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG Film adalah medium komunikasi massa yang ampuh. Bukan saja untuk hiburan tetapi juga untuk penerangan dan pendidikan. Dalam ceramahceramah penerangan atau pendidikan kini banyak yang menggunakan media film sebagai alat pembantu untuk memberikan penjelasan. Melihat keberadaan film yang memiliki daya tarik kemasan gambar bergerak, warna, bentuk dan suara dengan aspek alur cerita, pemeran, dan setting, film mendapat tempat tersendiri. Film dapat memproduksi pesan yang akan dikomunikasikan lewat pemanfaatan teknologi kamera, warna, dialog, sudut pengambilan gambar, musik dan suara menjadi tampilan audio dan visual yang terekspresikan menjadi sebuah karya seni dan sastra yaitu bagaimana adegan satu dengan adegan yang lain dirangkai membentuk cerita film sehingga isi pesan yang disampaikan mudah dipahami oleh penonton. Film merupakan perwujudan dari seluruh realitas kehidupan dunia yang begitu luas dalam masyarakat, oleh karenanya, film mampu menumbuhkan imajinasi, ketegangan, ketakutan dan benturan emosional khalayak penonton, seolah mereka ikut merasakan dan menjadi bagian dari cerita film tersebut. Selain itu isi pesan film dapat menimbulkan aspek kritik sosial, pendidikan, ilmu pengetahuan, norma kehidupan dan hiburan bagi khalayak penonton. Saat ini banyak sekali film-film maupun tayangan televisi yang menampilkan atau mengangkat budaya etnis daerah dalam cerita. Sejak lama latar belakang etnis, budaya dan agama yang beragam menjadi bahan baku bagi kisah fiksi, termasuk film cerita di Indonesia, misal film Ca Bau Kan, Jangan Panggil Aku Cina. Tidak hanya mengangkat latar belakang etnis yang berbeda, film-film seperti Ayat-ayat Cinta, Cin(t)a menghadirkan sebuah kisah cinta dengan latarbelakang agama dan etnik yang berbeda. Dalam hal
1
ini, film-film Indonesia yang menggunakan tema-tema kebudayaan, etnik, dan agama, akan menjadi sebuah cara pandang tersendiri tentang identitas masyarakat dalam gambaran kehidupannya melalui media visual yang akan ditangkap oleh para khalayak penonton. Keturunan Cina paling sering diangkat ke dalam sebuah film. Padahal seperti yang kita ketahui, banyak sekali keturunan-keturunan etnik dan budaya di Indonesia yang dapat diangkat ke dalam sebuah film. Salah satunya adalah keturunan Arab yang terdapat dalam film 3 Hati, 2 Dunia, 1 Cinta. Di sisi lain, film ini juga mengangkat tema kebudayaan Arab yang kental. Adalah seorang pemuda bernama Rosid yang hidup dalam keluarga keturunan Arab yang sudah bertahun-tahun tinggal di Condet, Jakarta Timur. Sebagai seorang laki-laki keturunan Arab, Rosid (Reza Rahadian) memiliki wajah yang khas Timur Tengah, berhidung mancung dan berperawakan tinggi. Hanya
saja,
yang
membedakan
Rosid
dengan
keluarganya
adalah
keinginannya untuk memanjangkan rambutnya yang keriting. Karena keinginannya itu pula Rosid tidak bisa memakai peci sebagaimana yang biasa dikenakan oleh keluarga muslim, termasuk keluarga keturunan Arab di Betawi (sekarang disebut dengan Jakarta). Diadaptasi dari 2 novel cerdas karya Ben Sohib, Da Peci Code dan Rosid dan Delia, film ini merepresentasikan kompleksitas keberagaman negeri bernama Indonesia. Penggambaran kompleksitas, yang menjadi keunggulan film ini percampuran etnik, budaya dengan agama dalam film ini memperlihatkan sebuah sifat
masyarakat Indonesia dalam berbagai kelas
sosial. Kita bisa lihat bahwa keluarga Rosid jelas sekali merupakan keluarga keturunan Arab yang sudah berakulturasi dan menggunakan dialek Betawi sebagai bahasa sehari-hari. Sementara itu Delia digambarkan berlatarbelakang Sulawesi Utara dan bercakap dengan bahasa Indonesia yang bercampur Bahasa Inggris untuk ungkapan-ungkapan sederhana. Mereka berasal dari kelas sosial berbeda, dimana keluarga Rosid adalah pedagang kecil di sebuah pasar tradisional, sedangkan keluarga Delia digambarkan berlatar kelas menengah atas dengan rumah berpagar besi dan berhalaman luas serta dengan
2
mudah
mengirim
anak
mereka
bersekolah
di
Amerika.
Film
ini
menggambarkan bahwa kedua kelas sosial berbeda itu dalam menjalani hidup. Dapat kita lihat dalam film tersebut, bahwa sesungguhnya Indonesia adalah negara yang multietnik dan multisuku-budaya. Ada yang asli pribumi, dan ada pula yang tidak. Salah satu etnis atau komunitas bukan pribumi tersebut adalah komunitas keturunan Arab. Di samping itu, ada komunitas Tionghoa. Umum diketahui bahwa kendatipun komunitas Arab bukan penduduk asli Nusantara, mereka memiliki peranan penting dalam perjalanan sejarah bangsa ini, mulai ketika bangsa ini masih sebagai imagined community pada saat kolonialisme berlangsung, era kemerdekaan, hingga pada era sekarang ini. Komunitas keturunan Arab ini juga mendiami salah satu kota yaitu Betawi, atau yang sekarang lebih dikenal dengan sebutan Jakarta. Tarian Zapin dan marawis yang terdapat dalam salah satu adegan dalam film ini merupakan kebudayaan Arab. Mendengar irama marawis kita akan dibawa pada suasana Arab yang kental. Wajar karena kesenian ini sendiri memang berasal dari negeri tersebut. Bersama dengan Gambus, masuknya marawis ke Indonesia bisa dikatakan melewati dua pintu. Di Jakarta sendiri dikenal adanya kaum Ulaiti. Yaitu keturunan orang-orang arab asal Hadramaut, Yaman Selatan yang datang membanjiri pesisir nusantara sejak dua abad lalu. desakan ekonomi dan keinginan berdakwah membuat mereka mendatangi Indonesia. Sejak pertengahan abad 19 dan awal abad 20 masyarakat keturunan Arab sudah menetap di daerah Betawi atau yang lebih dikenal dengan Jakarta. Umumnya mereka berasal dari darerah Hadramaut dan Aden yang sekarang dikenal dengan nama Yaman Selatan. Mereka datang ke Jakarta untuk berdagang. Kemudian mereka diharuskan tinggal di tempat tertentu yang sudah ditetapkan oleh pemerintah Belanda yang kemudian dikenal sebagai pemukiman kampung Arab. Selain itu, mereka juga dihimpun dalam kelompok-kelompok yang tergantung dari jumlah banyaknya orang Arab yang tinggal di daerah tersebut (Algadri 1984, Van den Berg 1989, dalam Zeffry,
3
2004: 17). Sebagian masyarakat Arab tersebut kemudian menikah dengan pribumi, dan kemudian muncul kebudayaan Arab campuran. Untuk bisa membaur dengan warga Jakarta, perpaduan bahasa pun terjadi. Dulu kaum Ulaiti ini masih mengandalkan bahasa Arabnya untuk berkomunikasi. Tapi lambat laun mulai bercampur aduk dengan bahasa betawi. Contoh nyata adanya pengaruh arab dalam bahasa betawi adalah penggunaan istilah. ―Ane‖ dan ―Ente‖ yang memang digunakan keluarga Rosid dalam pergaulannya sehari-hari dalam film 3 Hati, 2 Dunia, 1 Cinta ini. Penyebaran musik dan budaya Arab ke Jakarta bisa dikatakan memiliki pola yang sama dengan penyebaran budaya India. Yaitu melalui kunjungan orang-orangnya langsung maupun lewat media hiburan. Jika beberapa tahun lalu, kita begitu banyak menyaksikan tayangan film India di televisi begitu pula dengan budaya arab. Dulu, di kawasan Sawah Besar, Jakarta Pusat terdapat Alhambra Theatre. Yaitu bioskop yang mengkhususkan diri untuk memutar film-film mesir. Dari tontonan tersebut, rupanya warga lokal semakin akrab dengan seni dan budaya Mesir-Arab. Sebuah film hendaknya memperhatikan segi sosial dan budaya bangsa yang menyangkut identitas bangsa secara menyeluruh. Dan dalam film 3 Hati, 2 Dunia, 1 Cinta, merupakan film yang memiliki tematikal tentang masyarakat keturunan Arab, yang digambarkan dalam konteks sosio kultural dalam masyarakat Indonesia. Sebagai kebudayaan Indonesia, keturunan Arab juga merupakan salah satu kebudayaan bangsa yang harus diintegrasikan dengan kebudayaan masyarakat Indonesia. Film 3 Hati, 2 Dunia, 1 Cinta akan menjadi sebuah cara pandang tersendiri tentang representasi keturunan Arab dalam gambaran kehidupannya melalui media visual yang akan ditangkap oleh khalayak. Kehadiran film yang mengangkat keturunan Arab ini merupakan fenomena yang menarik dan jarang diteliti dimana dalam film tersebut terdapat simbol-simbol identitas yang ditonjolkan oleh masyarakat Jakarta keturunan Arab. Namun perlu diketahui bagaimanakah film ini merepresentasikan simbol-simbol keturunan Arab di Jakarta.
4
Menurut Stuart Hall (1997 : 15, dalam Dewabrata, 2004: 26), konsep representasi menempati tempat yang penting dalam studi tentang budaya. Stuart Hall (dalam Budianta, 2007: 120) mengatakan bahwa identitas budaya merupakan suatu produksi yang tidak pernah tuntas, selalu dalam proses, dan selalu dibangun di dalam, bukan di luar representasi. Identitas bukanlah esensi, melainkan sejumlah atribut identifikasi yang menunjukkan bagaimana kita diposisikan dan memposisikan diri dalam masyarakat, karenanya tidak bisa tidak terkait dengan aspek budaya dan kesejarahan. Karenanya, identitas tidak bersifat statis, selalu dikonstruksi dalam ruang dan waktu, serta identitas bersifat kompleks dan majemuk. Masalah representasi dan narasi sangat penting dalam film ini. Hal ini menyangkut masalah otoritas penulis sebagai pengirim, penonton sebagai penerima, dan gambar-gambar yang dipilih sebagai pesan yang ingin disampaikan. Untuk itu peneliti ingin meneliti lebih lanjut tentang Representasi keturunan Arab di Jakarta dalam Film 3 Hati, 2 Dunia, 1 Cinta‖. Pentingnya hal ini adalah untuk menjadikan analisis semiotik sebagai sarana untuk menganalisa peristiwa, kejadian yang dianggap sebagai tanda dari proses komunikasi.
B. RUMUSAN MASALAH Dari latarbelakang tersebut dapat disimpulkan rumusan masalah yang ingin diteliti adalah ―Bagaimana Representasi Keturunan Arab di Jakarta dalam film 3 Hati, 2 Dunia, 1 Cinta?‖
C. TUJUAN PENELITIAN 1. Untuk mengetahui bagaimana representasi keturunan Arab di Jakarta dalam film 3 Hati, 2 Dunia, 1 Cinta. 2. Untuk mengetahui relevansi yang ada antara film dan realita yang terjadi di Masyarakat
5
D. MANFAAT PENELITIAN 1. Penelitian ini diharapkan dapat dijadikan referensi tambahan bagi masalah penelitian selanjutnya terutama yang berhubungan dengan studi perfilman. 2. Penelitian ini diharapkan menjadi masukan bagi para pembuat film untuk lebih berkreasi dalam memproduksi sebuah film sehingga lebih berkualitas dan berbobot, baik dari segi visual maupun cerita yang lebih menarik maka pesan dapat tersampaikan dengan baik serta dapat meningkatkan kesadaran masyarakat tentang multikulturalisme.
E. OBJEK PENELITIAN Objek penelitian ini adalah Film 3 Hati, 2 Dunia, 1 Cinta yang disutradaari oleh Beni Setiawan. Film berdurasi 100 menit ini terdiri dari banyak scene. Dari scene-scene yang terdapat di dalam film ini, penulis mengkhususkan pada scene yang berkaitan dengan simbol-simbol keturunan Arab di Jakarta.
F. KERANGKA PEMIKIRAN 1. Film Sebagai Media Komunikasi Massa Seiring dengan perkembangan jaman kebutuhan akan informasi dalam masyarakat semakin meningkat. Media yang digunakan tentu saja media
yang
dapat
mencangkup
orang
banyak.
Pada
awal
perkembangannya media massa yang populer adalah surat kabar. Kemudian dengan berkembangnya teknologi sinematografi muncul film sebagai media informasi massa yang baru, yang dinilai cukup efektif memberikan informasi kepada khalayak massa karena bersifat audiovisual. Sekarang film merupakan media komunikasi massa paling populer. Seiring dengan munculnya kembali bioskop-bioskop dan didukung dengan kemajuan teknologi film, kini film telah menemukan kembali ruhnya. Bahkan di kota-kota besar film telah menjadi kebutuhan dan gaya hidup,
6
kebutuhan akan hiburan dan informasi ditengah-tengah padatnya aktifitas kehidupan masyarakat massa di era globalisasi ini. Hal ini terjadi karena sebagai bentuk karya seni, film dapat berpengaruh dalam memperkaya dan sebagai referensi pengalaman hidup, dapat menjadi pendidik, dan bisa juga menjadi media komunikasi yang menakutkan bila membawa pengaruh yang buruk dalam pesan film tersebut. Sebagai media komunikasi massa, maka film merupakan sebuah pesan yang dikomunikasikan kepada khalayak luas atau kepada sejumlah besar orang. Secara garis besar para ahli memetakan dua sisi relasi antara media dengan masyarakat, sisi pertama fokus perhatiannya pada teori yang berkaitan dengan relasi media-masyarakat, perhatian terhadap cara media digunakan di masyarakat dan pengaruh timbal balik yang lebih besar antara struktur sosial dan media. Pada sisi yang kedua fokus perhatiannya pada relasi media-audiens dengan member penekanan pada pengaruh kelompok dan individu serta hasil dari transaksi media (Junaedi, 2007: 15). Film akan mempengaruhi dan membentuk masyarakat berdasarkan muatan pesan di baliknya, tanpa pernah berlaku yang sebaliknya. Karena film merupakan potret dari masyarakat dimana film itu dibuat. Film selalu merekam realitas yang tumbuh dan berkembang di dalam masyarakat, dan kemudian menampilkannya keatas layar (Irwanto, dalam Sobur, 2006: 127). Menurut M. Alwi Dahlan seperti yang dikutip oleh Bestantia dalam Potret Etnik Cina dalam Film Indonesia, keunggulan film sebagai media komunikasi massa memiliki ciri-ciri: a. Sifat informasi. Film lebih dapat menyajikan infrmasi yang matang dalam konteks yang relatif lebih utuh dan lengkap. Pesanpesan film tidak bersifat topikal dan terputus-putus tetapi dapat ditunjang oleh pengembangan masalah yang tuntas. b. Kemampuan distorsi. Sebagai media informasi film dibatasi oleh ruang dan waktu tertentu. Untuk mengatasinya menggunakan ‖distorsi‖ dalam proses konstruksinya, baik di tingkat fotografi ataupun pemaduan gambar, yang dapat memampatkan informasi, membesarkan ruang atau melompat batas waktu.
7
c. Situasi komunikasi. Film dapat membawakan situasi komunikasi yang khas yang menambah intensitas keterlibatan khalayak. Film dapat menimnbulkan keterlibatan yang seolah-olah sangat intim dengan memberikan gambar wajah atau bagian badan yang sangat dekat. d. Kredibilitas. Situasi komunikasi film dan keterlibatan emosional penonton dapat menambah kredibilitas pada suatu produk film. Karena penyajian film disertai oleh perangkat kehidupan yang mendukung (pranata sosial, manusia dan perbuatannya, hubungan antara peran dan sebagainya), umumnya penonton dengan mudah mempercayai keadaan yang digambarkan walaupun kadangkadang tidak logis atau tidak berdasar kenyataan (anonim, 2004: 19). Bahasa dalam film adalah kombinasi antara bahasa suara dan bahasa gambar. Dalam teori komunikasi, film mengandung pesan yang disampaikan kepada komunikan. Makna yang diterima komunikan tidak selalu sama, sistem pemaknaan dalam film berkaitan erat dengan khalayak yang menontonnya. Oleh karena itu film dimaknai berbeda-beda oleh tiap individu berdasarkan kemampuan berfikirnya yang mungkin karena faktor pengalaman masa lalu, tingkat pendidikan, dan budaya yang dimilikinya sehingga pada suatu film akan memiliki pemaknaan yang berbeda-beda terhadap realitas yang ada oleh masing-masing individu. Keberhasilan seseorang dalam memahami film secara utuh sangat dipengaruhi oleh pemahaman orang tersebut terhadap aspek naratif serta aspek sinematik dari sebuah film. Jadi jika sebuah film dianggap buruk bisa jadi bukan karena film tersebut buruk, tapi karena kita sendiri masih belum mampu memahaminya secara utuh (Pratista, 2008: 3). Bagi para seniman, film dapat dijadikan sebagai sebuah karya seni, bagi dunia pendidikan, film dapat digunakan untuk tujuan pendidikan dan penerangan, serta menambah kajian-kajian diskusi dalam bidang komunikasi seperti film 3 Hati, 2 Dunia, 1 Cinta yang sedang dibahas. Film sebagai suatu media penyampai pesan sekaligus sebagai sebuah produk budaya, film juga tak lepas dari kekuasaan yang dimiliki pembuat film sebagai komunikator pesan untuk memasukkan berbagai nilai maupun elemen yang mendasari hal yang tampak dalam film tersebut. Begitu pula
8
dengan film 3 Hati, 2 Dunia, 1 Cinta yang menjadi objek dari penelitian ini yang mengangkat identitas keturunan Arab yang tinggal di Jakarta.
2. Representasi dalam Film Telah banyak studi yang dibuat, yang berasal dari pendekatan cultural studies, untuk memahami hubungan antara film dan kebudayaan, yang menghasilkan tema-tema seperti: film and society, film and politics, film and mass culture, film and pop culture, dan sebagainya. Kajian kultur ini menganalisis cara-cara dimana makna-makna sosial dihasilkan melalui kebudayaan (sistem nilai dan cara hidup masyarakat) yang terungkap pada bentuk-bentuk dan praktek-praktek seperti televisi, radio, film, musik, olahraga, serta fashion. Barthes dan Althusser kemudian mendefinisikan ulang makna ‖kebudayaan‖ sebagai proses-proses yang mengkonstruksi cara hidup suatu masyarakat melalui sistem-sistem dalam masyarakat yang memproduksi makna, rasa, atau kesadaran, terutama sistem media representasi yang menyajikan gambar-gambar. Sebagai salah satu media massa, film masuk ke dalam kategori media representasi tersebut. Sebagai mana media representasi lainnya, film mampu mengkonstruksi dan menghadirkan kembali realitas yang terdapat dalam masyarakat melalui sistem kode, konvensi, mitos dan ideologi budaya masyarakat secara spesifik. Pembuat film menggunakan konvensikonvensi representasi dan segala perlengkapan yang tersedia di dalam kebudayaannya untuk membuat sesuatu yang segar tapi familiar, baru tapi bersifat umum, individual namun representatif ( Turner, 1999: 152-153). Menurut Tim O‘Sullivan, dalam Noviani (2006) istilah representasi memiliki dua pengertian. Pertama, representasi sebagai sebuah proses sosial dari representing. Kedua, representasi sebagai ―produk‖ dari proses sosial representing. Istilah yang pertama merujuk pada prosses sedangkan yang kedua merupakan produk dari pembuatan tanda yang mengacu pada suatu makna (Noviani, 2002:61).
9
Representasi
merupakan
salah
satu
praktek
utama
yang
memproduksi kebudayaan dan sebuah posisi kunci dalam sesuatu yang disebut ―circuit of culture‖ ( Hall, 1997:1). Lingkaran kebudayaan terdiri dari lima elemen yaitu identitas, produksi, konsumsi, regulasi, dan representasi, yang masing-masing mempunyai hubungan timbal balik satu sama lain. Secara sederhana, kebudayaan adalah tentang ―shared meanings‖, ia merupakan sebuah proses, kesatuan praktek-praktek yang berkenaan dengan produksi dan pertukaran makna di antara anggota masyarakat atau kelompok. Dan, bahasa adalah sebuah media dimana kita dapat menangkap dan memahami hal-hal dimana di dalamnya makna diproduksi dan dipertukarkan. Bahasa mampu melakukan hal tersebut karena ia beroperasi sebagai sebuah sistem representasi, demikian juga halnya film bekerja. Lebih jauh lagi Hall menyatakan bahwa representasi merupakan sistem penghubung antara bahasa (baik secara verbal mapun visual) dan kultur. Terdapat dua prinsip representasi sebagai produksi makna melalui bahasa yaitu: a. Mengartikan dalam pengertian menjelaskan atau menggambarkan sesuatu dalam pikiran dengan sebuah gambaran imajinasi untuk menempatkan persamaan dalam pikiran kita. b. Representasi menjelaskan konstruksi makna sebuah simbol Dengan prinsip ini berarti representasi digunakan untuk menjelaskan (konstruksi) makna sebuah simbol, sehingga kita dapat mengkomunikasikan makna objek melalui bahasa kepada orang lain yang bisa mengerti dan memahami konvensi bahasa yang sama ( Hall dalam Yusuf, 2005: 10-11). Menurut Stuart Hall, representasi menunjuk pada proses maupun produk dari pemaknaan suatu tanda. Ia merupakan bagian yang esensial dari proses dimana makna dihasilkan atau diproduksi, dan diubah antara anggota kulturnya. Ada dua pendekatan
untuk
memahami
dan
menguraikan praktek representasi, yaitu dengan pendekatan semiotik dan pendekatan wacana. Pendekatan semiotik berfokus pada bagaimana reprsentasi tersebut dilakukan, pada bagaimana bahasa memproduksi
10
makna. Sedangkan pendekatan wacana lebih menitikberatkan pada efek dan konsekuensi-konsekuensi yang ditimbulkan oleh praktek representasi tersebut. Pendekatan wacana tidak hanya mengulas bagaimana bahasa dan representasi memproduksi makna, namun juga bagaimana pengetahuan yang diproduksi oleh wacana tertentu itu berhubungan dengan kekuasaan, mengatur perilaku-perilaku, mengkonstruksi identitas dan subyektivitas, juga
turut
menentukan
cara-cara
hal
tertentu
direpresentasikan.
Didiskusikan, dipraktekakkan, serta dipelajari ( Hall, 1997: 6).
3. Film dan Semiotika Proses pembelajaran mengenai pluralisme melalui media film akan menghasilkan makna-makna yang dapat dipahami oleh masyarakat. Khusus mengenai representasi hubungan antaretnik dalam film dapat dikaji melalui simbol-simbol, tanda-tanda yang ada dalam film. Dalam usaha pemahaman makna, film dapat dilihat sebagai teks yang tidak hanya sebagai naskah yang tersaji secara audio visual, tetapi sebagai jalinan tanda-tanda yang mengandung makna. Sebagai sebuah teks, film dapat dikatakan merupakan bahasa yang digunakan untuk berkomunikasi. Jadi film merupakan sarana untuk mengekspresikan makna, ide, dan emosi (Budhy K. Z dalam Indraswati, 2002: 30). Dalam
banyak
penelitian
tentang
dampak
film
terhadap
masyarakat, hubungan antara film dan masyarakat selalu dipahami secara linier. Artinya, film selalu mempengaruhi dan membentuk masyarakat berdasarkan muatan pesan Film merupakan salah satu bidang penerapan semiotika. Film dibangun dengan banyak tanda. Tanda-tanda itu termasuk berbagai sistem tanda yang bekerjasama dengan baik dalam rangka mencapai efek yang diharapkan. Film dibangun dengan tanda semata-mata. Tanda-tanda itu termasuk berbagai sistem tanda yang bekerjasama dengan baik untuk mencapai efek yang diharapkan. Pada film digunakan tanda-tanda ikonis, yaitu tanda-tanda yang menggambarkan sesuatu. Gambar yang dinamis
11
dalam film merupakan ikonis bagi realitas yang dinotasikannya (Van Zoest, dalam Sobur, 2004: 128). Pada umumnya film dibangun dengan banyak tanda, yang terpenting dalam film adalah gambar dan suara. Sardar & Loon (2001) mengatakan film dan televisi memiliki bahasanya sendiri dengan sintaksis dan tata bahasa yang berbeda. Film pada dararnya bisa melibatkan bentukbentuk simbol visual dan linguistik untuk mengkodekan pesan yang sedang disampaikan (Sardan & Loon dalam Sobur, 2004: 130). Tata bahasa itu terdiri atas berbagai macam unsur yang akrab, misalnya seperti pemotongan (cut), pemotretan jarak dekat (close-up), pemotretan dua (two shot), pemotretan jarak jauh (long shot), pembesaran gambar (zoom-in), pengecilan gambar (zoom-out), memudar (fade), pelarutan (dissolve), gerakan lambat (slow motion), gerakan yang dipercepat (speedded-up), dan efek khusus (special effect). Bahasa tersebut juga mencangkup kode-kode representasi yang lebih halus, yang tercangkup dalam kompleksitas dari penggambaran visual yang harfiah sehingga sombol-simbol yang paling abstrak dan arbiter serta metafora. Metafora visual sering menyinggung objek-objek dan simbol-simbol dunia nyata serta mengkonotasikan makna-makna sosial dan budaya. Begitulah sebuah film pada dasarnya bisa melibatkan bentuk-bentuk simbol visual dan linguistik mengodekan pesan yang sedang disampaikan (Sobur, 2006: 131). Figur utama dalam pemikiran semiotika sinematografi sampai sekarang adalah Cristian Metz dari Ecole des Hautes Etudes et Sciences Sociales (EHESS) Paris. Menurutnya, penanda (signifiant) sinematografis mempunyai hubungan motivasi atau beralasan dengan penanda yang tampak jelas melalui hubungan penanda dengan alam yang dirujuk. Penanda sinematografis selalu kurang lebih beralasan dengan tidak pernah semena-mena (Metz dalam Sobur, 2006: 131-132).
12
4. Identitas Keturunan Arab dalam Sinema Indonesia Sebuah karya film tak bisa terlepas dari budaya, sistem sosial, politik, ekonomi, di mana karya tersebut diciptakan. Sebagai produk budaya, film memegang peranan penting dalam merepresentasikan aspekaspek yang mewakilinya. John Hartley (1999: 208 dikutip oleh Murtianti, 2009: 32) mengistilahkan peran film ini sebagai cultural citizenship yaitu partisipasi dalam kehidupan budaya dalam suatu bangsa. Film sebagai cultural citizenship dapat merangkul hak-hak warga negara sebagai komunitas berdasarkan bentuk yang lain seperti etnisitas, gender, orientasi seksual, usia, wilayah dan sebagainya. Semua hal tersebut berkaitan dengan identitas. Stuart Hall (1996 dikutip oleh Murtianti 2009: 32) melihat identitas sebagai sebuah konstruk sosial yang tidak permanen. Identitas adalah sebuah posisi subyektivitas. Kekuasaan bermain dalam menentukan identitas seseorang. Seringkali kekuasaan menciptakan mitos yang subyektifitas. Identitas ditandai dengan perbedaan yang ditandai secara simbolik dan dialami secara sosial. Penanda simbolik dapat berupa penampilan fisik dan warna kulit. Untuk penanda simbolik ini tidak selalu berupa faktor biologis, kelas sosial juga dapat menjadi penanda seperti pada waktu pemerintah kolonial Belanda dengan membagi masyarakat ke dalam kelas-kelas. Identitas adalah representasi budaya dalam hal ini film adalah cara di mana kita dapat mengkonstruksi identitas, memilih media untuk menceritakan diri dan kehidupan kita agara identitas dan makna yang kita inginkan terbentuk. Film merupakan sebuah upaya untuk memilih makna dari berbagai pengalaman yang kemudian dijadikan satu kedalam sebuah cerita.
Kemungkinan
terjadinya
perbedaan
antara
identitas
yang
direpresentasikan dengan identitas dalam kehidupan nyata tidaklah dapat dihindarkan kara pada dasarnya pembuatan film melibatkan interpretasi sang sutradara. Pemilihan peristiwa apa dan siapa yang diceritakan dan ditonjolkan adalah tindakan menginterpretasi.
13
Film sebagai bahasa memberikan tanda-tanda tempat makna diproduksi. Visual dalam film merupakan konsep-konsep yang akan dipertukarkan dalam proses representasi. Proses ini melibatkan pembuat film dan penontonnya. Representasi selalu bekerja dalam dua operasi yaitu inkulsi dan eksklusi ( Murtianti, 2009: 34). Sifat-sifat negatif atau stereotip selalu dilakukan dalam operasi eksklusi atau pemisahan dengan pihakpihak yang lainnya. Pihak-pihak yang terkena stereotip adalah pihak-pihak yang dieksklusi dari mayoritas atau normal. Di sini proses representasi membedakan ―kita‖ dan ―mereka‖ adalah pihak-pihak yang kita eksklusi. Dalam banyak kasus, media memang memiliki kecenderungan untuk menampilkan secara tidak seimbang dan bias bahkan cenderung mengabadikan stereotipe beberapa kelompok masyarakat yang bisa dikategorikan sebagai kelompok minoritas dan marjinal. Stereotipe yang dilakukan oleh oleh media terhadap kelompok masyarakat minoritas ini merupakan salah satu bentuk komplain yang sering dialamatkan oleh masyarakat kepada media. Kecenderungan media untuk merepresentasikan secara negatif kelompok-kelompok minoritas ini diperhatikan oleh banyak pengamat media. Perempuan sebagai contohnya, telah banyak ditampilkan dalam iklan televisi. Seringkali perempuan ditampilkan dalam bingkai yang sangat bias, bahkan menjadi komoditas dalam iklan. Perempuan dalam iklan hanya sebagai pelengkap kalaupun menjadi sentral tetap saja ditampilkan secara tidak seimbang. Dalam film ataupun sinetron Indonesia pula sering dijumpai sejumlah peran yang sangat melekat dengan etnik tertentu. Pembantu rumah tangga diidentikan dengan perempuan berlogat jawa yang sangat kental, pedagang minyak wangi di Jakarta digambarkan dengan wajah-wajah Arab yang menggunakan bahasa Arab campuran, sopir atau pengacara identik dengan laki-laki Batak, dan masih banyak yang lainnya. Hal-hal seperti ini tidak dapat disalahkan karena ini merupakan hak pembuat film. Tetapi yang harus diperhatikan di sini
14
adalah fakta bahwa yang ditampilkan oleh media sering dianggap sebagai sebuah kebenaran oleh khalayak. Realitas yang ditampilkan media dianggap sebagai realitas obyektif oleh khalaykanya. Hal ini dimungkinkan karena khalayak terlalu banyak mengonsumsi media sehingga banyak yang tidak memiliki perspektif di luar perspektif yang ditampilkan di media. Hal ini menunjukan ―kuasa‖ media dalam membentuk kelompok minoritas dapat ditampilkan sekenanya. Dengan demikian, etnisitas bukanlah konsep yang berangkat dari sebuah kebenaran tentang tubuh dan karakteristiknya. Etnisitas dalam konteks media didefinisikan sebagai sebuah konsep yang beroperasi dalam kekuatan sosial politik dan ekonomi. Dengan kuasa yang dimilikinya, media mampu mentransfer apa yang disebut dengan etnis yang menjadi minoritas dalam masyarakat.
G. KERANGKA KONSEPTUAL 1. Film
Menurut Oey Hong Lee, film sebagai alat komunikasi massa yang kedua muncul di dunia, mempunyai masa pertumbuhannya pada akhir abad ke-19, dengan perkataan lain pada waktu unsur yang merintangi perkembangan surat kabar sudah dibuat lenyap. Ini berarti bahwa dari permulaan sejarahnya film dengan lebih mudah dapat menjadi alat komunikasi yang sejati, karena ia tidak mengalami unsurunsur teknik, politik, ekonomi, sosial dan demografi yang merintangi kemajuan surat kabar pada masa pertumbuhannya dalam abad ke-18 dan permulaan abad ke-19 (Sobur, 2004: 126). Film merupakan perwujudan dari seluruh realitas kehidupan dunia yang begitu luas dalam masyarakat, oleh karenanya, film mampu menumbuhkan imajinasi, ketegangan, ketakutan dan benturan emosional khalayak penonton, seolah mereka ikut merasakan dan menjadi bagian dari cerita film tersebut. Selain itu isi pesan film dapat menimbulkan aspek
15
kritik sosial, pendidikan, ilmu pengetahuan, norma kehidupan dan hiburan bagi khalayak penonton.
2. Representasi ―Representasi adalah sesuatu yang merujuk pada proses yang dengannya realitas disampaikan dalam komunikasi, via kata-kata, bunyi, citra atau kombinasinya‖ (Fiske, 2007). Representasi adalah konsep yang digunakan dalam proses sosial, pemaknaan melalui sistem penandaan yang tersedia: dialog, tulisan, video, film, fotografi, dsb. Secara ringkas, representasi merupakan produksi makna melalui bahasa. Menurut Stuart Hall (1997), representasi adalah salah satu praktek penting yang memproduksi kebudayaan. Kebudayaan merupakan konsep yang sangat luas, kebudayaan menyangkut pengalaman berbagi. Seseorang dikatakan berasal dari kebudayaan yang sama jika manusia-manusia yang ada di situ membagi pengalaman yang sama, membagi kode-kode kebudayaan yang sama, berbicara dalam bahasa yang sama, dan saling berbagi konsep-konsep yang sama. Dalam hal ini kita gunakan bahasa sebagai medium perantara dalam memaknai sesuatu, memproduksi dan mengubah makna. Disini dapat kita lihat bahwa bahasa beroprasi sebagai sistem representasi. Lewat bahasa (simbol-simbol, dan tanda, tertulis, lisan atau gambar) kita mengungkapkan pikiran , konsep, dan ide-ide kita tentang sesuatu. Makna sangat tergantung dari cara kita merepresentasikannya. Istilah representasi itu sendiri menunjuk pada bagaimana seseorang, satu kelompok, gagasan atau pendapat tertentu ditampilkan dalam pemberitaan. Representasi ini penting dalam dua hal. Pertama, apakah
seseorang
kelompok
atau
gagasan
tersebut
ditampilkan
sebagaimana mestinya. Kedua, bagaimanakah representasi itu ditampilkan. Dengan kata, kalimat, aksentuasi, kelompok, atau gagasan tersebut ditampilkan dalam pemberitaan kepada khalayak. Persoalan utama dalam
16
representasi adalah bagaimana realitas, atau obyek tersebut ditampilkan (Eriyanto, 2001:113). Konsep representasi penting digunakan untuk menggambarkan hubungan antar teks media dengan realitas. Chaira Giaccardi menyatakan secara semantik, dapat diartikan: ―To decipt, to be a picture of, atau to ac or speak for (in the place of in the name of) some body. Berdasarkan kedua makna tersebut, to represent didefinisikan sebagai to stand for‖. Representasi menjadi tanda yang tidak sama dengan realitas yang direpresentasikan tetapi dihubungkan dengan, mendasarkan diri pada realitas yang menjadi referensinya (Giaccardi dalam Noviani, 2002: 61). Proses representasi melibatkan tiga elemen: pertama, obyek yakni sesuatu yang di representasikan. Kedua, tanda yakni representasi itu sendiri. Ketiga, coding yakni seperangkat aturan yang menentukan hubungan tanda dengan pokok persoalan. Coding membatasi maknamakna yang mungkin muncul dalam proses interpretasi tanda. Tanda dapat menghubungkan obyek yang telah ditentukan secara jelas. Dengan demikian didalam representasi ada sebuah kedalaman makna, termasuk di dalamnya terdapat identitas suatu kelompok tertentu pada suatu tempat tertentu (Noviani, 2002: 62). Dalam representasi itu sendiri ada beberapa persoalan krusial yang muncul ke permukaan, namun hal utama yang layak ditarik sebagai satu persoalan adalah bagaimana representasi yang dilakukan media terhadap dunia sosial dibandingkan dengan dunia nyata yang sifatnya eksternal. Pada hakikatnya memang ada problematika antara realitas sosial yang kita alami sehari-hari dengan realitas media yang membentuk kesadaran dan cara kita berfikir. 3. Keturunan Arab Tidak dapat dipungkiri, keturunan Arab sudah menjadi bagian dari keberagaman etnis yang ada di Indonesia. Sama seperti keturunan Tionghoa, keturunan Arab telah bermukim di Indonesia sejak beratus-ratus
17
tahun lalu. Diperkirakan sejak abad 15 bangsa Arab memasuki Indonesia bersama dengan para pedagang India dan Gujarat. Keberadaan bangsa Arab tersebar di hampir semua kepulauan Nusantara sejalan dengan proses penyebaran agama Islam. Dapat dikatakan, bahwa para pedagang Arab lah yang telah memperkenalkan Islam di Nusantara. Setelah perpecahan besar di antara umat Islam yang menyebabkan terbunuhnya khalifah keempat Ali bin Abi Thalib, mulailah terjadi perpindahan besar-besaran dari kaum keturunannya ke berbagai penjuru dunia. Ketika Imam Ahmad Al-Muhajir hijrah dari Irak ke daerah Hadramaut di Yaman kira-kira seribu tahun yang lalu, keturunan Ali bin Abi Thalib ini membawa serta 70 orang keluarga dan pengikutnya. Sejak itu berkembanglah keturunannya hingga menjadi kabilah terbesar di Hadramaut, dan dari kota Hadramaut ini lah asal-mula utama dari berbagai koloni Arab termasuk orang-orang Arab yang sekarang ini bermukim di tanah Nusantara. Hanya beberapa orang dari mereka yang berasal dari tepian Teluk Persia, Yaman, Syiria, Mesir atau dari pantai timur Afrika. Sejak awal kedatangannya, bangsa Arab hanya berorientasi pada kepentingan penyebaran agama dan perdagangan. Oleh karena itu pandangan
hidup
mereka
ditentukan
oleh
kemampuan
mereka
mengadaptasikan diri dengan budaya dan masyarakat setempat. Di semua wilayah Nusantara keberadaan bangsa Arab selalu menempel (embedded) dengan etnik setempat. Walaupun disana-sini terlihat seakan-akan terjadi segregasi (adanya koloni "Kampung Arab") akan tetapi secara sosiokultural bangsa Arab tetap mewujudkan diri dalam tampilan budaya setempat. Menurut Hasan Bahanan dalam Masyarakat Etnis Arab dan Identitas Budaya Lokal, beberapa faktor yang menyebabkan latar belakang kedatangan bangsa Arab di suatu wilayah tertentu, yaitu: a. Motivasi migrasi adalah perdagangan dan penyebaran Agama Islam. Menggabungkan perdagangan dengan penyebaran Agama menghasilkan proses asimilasi yang unik.
18
b. Dengan semangat keagamaan proses asimilasi terjadi melalui perkawinan dengan penduduk setempat yang berlangsung kemudian dalam jangka waktu yang panjang. c. Hasil kawin campur itu menyebabkan etnis Arab Indonesia tidak bersifat monolitik dalam kehidupan sosio-kulturalnya. Hal ini bisa dilihat dari berbagai macam bahasa lokal yang digunakan oleh sub-keturunan Arab di seluruh Indonesia. d. Karena pengaruh penyebaran agama Islam sedemikain kuatnya dalam praktek budaya suku-suku bangsa di Nusantara, maka terjadilah percampuran beberapa unsur budaya Arab-Islam dengan budaya lokal dalam setting sosio-kultural etnik Indonesia. Konsekuensinya, budaya yang ditampilkan oleh keturunan Arab cenderung berwarna lokal (http://www.kampoengampel.com/berita/seputar-ampel/11masyarakat-etnis-arab-dan-identitas-budaya-lokal.html). Akhir abad ke-18 menandakan keberhasilan orang-orang Arab dalam berintegrasi dengan jaringan kekerabatan nusantara. Kemampuan adaptasi dan asimilasi melalui perkawinan menyebabkan identitas diri keturunan Arab dipengaruhi oleh warna lokal. Kondisi ini disadari sepenuhnya oleh orang-orang Arab sejak awal. Walaupun dalam masa penjajahan Belanda dilakukan politik segregasi melalui pemisahan status hukum antara bangsa Eropa, Timur Asing dan Pribumi. Segregasi itu tidak pernah mengurangi dan menghambat proses asimilasi. Pertumbuhan koloni keturunan Arab di berbagai wilayah Indonesia tetap tinggi. Bersama komunitas Melayu, Bugis dan Minangkabau, komunitas Hadramaut membentuk jalinan kultural hibrida di Nusantara (Reid dalam Berg). Komunitas Hadramaut ini mulai menempati sektor-sektor penting di Nusantara sebagai penasihat para penguasa, ulama, bajak laut, bahkan menjadi penguasa. Cara-cara komunitas lokal berhasil mereka adopsi dan hubungan kekerabatan yang sangat kuat menjadikan mereka tidak dilihat sebagai orang asing, namun sebagai bagian dari Nusantara yang sangat pluralis. Para pendatang ini dengan mudah menjadi bagian dari identitas bangsa dengan mengadopsi bahasa, gaya hidup, dan tata cara mereka. (Terarsip
dalam
http://www.kampoengampel.com/berita/seputar-ampel/11-
masyarakat-etnis-arab-dan-identitas-budaya-lokal.html - sdfootnote3sym )
19
H. METODOLOGI PENELITIAN Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan analisis semiotik. Semiotik dapat pula disebut sebagai Culture Meaning, artinya semiotik selalu dikait-kaitkan dengan kebudayan. Peneliti ingin meneliti lebih lanjut tentang ―Representasi Keturunan Arab di Jakarta dalam Film 3 Hati, 2 Dunia, 1 Cinta‖. Dengan pertimbangan, semiotik melihat media sebagai struktur keseluruhan, ia mencari makna yang laten atau konotatif Pentingnya hal ini adalah untuk menjadikan analisis semiotik sebagai sarana untuk menganalisa peristiwa, kejadian yang dianggap sebagai tanda dari proses komunikasi. Untuk mengkaji representasi keturunan Arab yang terkandung pada film 3 Hati, 2 Dunia, 1 Cinta, penelitian ini menggunakan metode analisis semiotik yang mengacu pada teori Roland Barthes, dimana dirasa cocok dengan penelitian sebuah film. Menurut Roland Barthes semiotik tidak hanya meneliti mengenai penanda dan petanda, tetapi juga hubungan yang mengikat mereka secara keseluruhan (Sobur, 2004: 123). Barthes mengaplikasikan semiologinya ini hampir dalam setiap bidang kehidupan, seperti mode busana, iklan, film, sastra dan fotografi. Metode Barthes banyak dipengaruhi oleh Ferdinand de Saussure, seorang peletak dasar linguistik modern (semiotika) dari Prancis. Peneliti mengkaji tentang pemaknaan atas tanda dengan menggunakan metodologi Roland Barthes yang memfokuskan perhatiannya pada gagasan mengenai signifikasi dua tahap (two order signification). Di dalam semiotika Barthes akan ditemukannya dua sifat makna yang yaitu denotatif dan konotatif. ―Makna denotatif adalah makna yang tampak secara langsung (makna asli dari tanda). Sementara makna konotatif adalah makna yang merupakan turunan dari makna denotatif dan lebih mengarah pada interpretasi yang dibangun melalui budaya, pergaulan sosial dan lain sebagainya‖(Sobur, 2004: 69). Sebagai contoh visual dalam film 3 Hati, 2 Dunia, 1 Cinta, denotasi adalah setiap adegan (scene) yang ditampilkan atau nampak melalui indera
20
pengelihatan kita, misalnya foto atau potret: apa yang dipotret sedangkan konotasi adalah bagaimana obyek tersebut dipotret atau difoto, misalnya memotret dengan sudut pandang kamera close up. Membongkar makna yang berada di balik sebuah film, dapat dilihat melalui petanda-petanda yang berada di dalamnya. Dalam film objek, orang atau pemandangan merupakan dimensi denotatif. Sedangkan prosedur konotasi ditentukan/dipengaruhi oleh posisi dan angle kamera, posisi objek atau manusia yang berada dalam frame, proses pencahayaan dan pewarnaan, dan suara. Kode-kode dalam film dapat diidentifikasikan melalui penggunaan tanda-tanda tertentu seperti teknik fotografi yang digunakan, dialog pemain, musik atau soundtrack, sound effect dan efek grafis dalam film tersbut. Pemaknaan atas tanda tidak bisa dilepaskan dari referensi budaya dimana tanda itu berada. Artinya makna konotatif yang dilekatkan pada sebuah tanda, sifatnya sangat konstekstual. Makna sebuah tanda tergantung pada kode dimana tanda tersebut berada. Kode-kode tersebut memberikan sebuah kerangka di dalamnya tanda-tanda menjadi masuk akal dan bisa dipahami. Kode-kode ini juga menjadi pembatas bagi makna yang mungkin muncul,karenanya kode-kode ini cenderung menstabilkan hubungan antara penanda dan petanda (Noviani, 2002:78-79). Analisis yang digunakan untuk mendukung kajian Barthes dengan membagi film dalam suatu struktur film yaitu scene dan shot.
Penulis
menggunakan konsep Arthur Asa Berger dengan melihat dari teknik-teknik pengambilan gambar, teknik editing dan pergerakan kamera untuk mendukung analisis ini. Fungsi dari teknik kamera adalah mencoba memahami makna dari objek-objek yang direkam oleh kamera film dan disuguhkan pada penonton. Dimana cara pengambilan gambar ini dapat berfungsi sebagai penanda. Konsep cara pengambilan gambar, teknik editing dan pergerakan kamera dapat dilihat pada tabel berikut:
21
Tabel 1.1 Camera Shot Penanda – Camera Shot
Defenisi
Petanda (Artinya)
Extreme Close Up (E.C.U)
Sedekat mungkin dengan objek (contoh: hanya hanya mengambil bagian dari wajah)
Kedekatan hubungan dengan cerita dan atau pesan film
Close Up (C.U)
Wajah keseluruhan menjadi objek
Keintiman, tetapi tidak sangat dekat. Bisa juga menandakan objek sebagai inti cerita
Medium Close Up (M.C.U)
Pengambilan gambar dari kepala sampai dada
Memberikan penekanan unsur dramatik terhadap suatu adegan seperti dialog atau aksi
Medium Shot (M.S)
Setengah badan. Pengambilan gambar dari Kepala sampai pinggang
Hubungan personal antara tokoh dan menggambarkan kompromi yang baik
Long Shot (L.S)
Setting dan karakter (shot penentuan)
Menekankan lingkungan atau latar pengambilan gambar. Mengganbarkan konteks, skop dan jarak publik
Full Shot (F.S)
Seluruh badan objek
Hubungan sosial
Sumber: Arthur Asa Berger, Media Analysis Techniques : Teknik-teknik Analisis media, Alih Bahasa Setio Budi HH, Penerbitan UAJY, 2000. Hal : 32
Tabel 1.2 Tekning Editing dan Pergerakan Kamera Penanda
Defenisi
Petanda
Pan down
Kamera mengarah ke Bawah
Menunjukkan kekuasaan, Kewenangan
Pan up
Kamera mengarah ke atas
Menunjukkan kelemahan, Pengecilan
Dolly in
Kamera mengarah ke
Memperlihatkan sebuah observasi, focus
22
Dalam Fade in/out
Image muncul dari gelap ke terang dan sebaliknya
Permulaan dan akhir Cerita
Cut
Perpindahan dari gambar Satu ke gambar yang lain
Simultan, kegairahan
Wipe
Gambar terhapus dari Layar
―Penutupan‖ kesimpulan
Sumber: Arthur Asa Berger, Media Analysis Techniques : Teknik-teknik Analisis media, Alih Bahasa Setio Budi HH, Penerbitan UAJY, 2000. Hal : 33-34
Pada konsep Barthes, tanda konotatif tidak hanya memiliki makna tambahan, namun juga mengandung kedua bagian tanda denotatif yang melandasi keberadaanya. Sistem signifikasi dalam semiotika Barthes dapat dijelaskan sebagai berikut : Tabel 1.3 Gambar Peta Tanda Roland Barthes 1. Signifier (penanda)
2. Signified (petanda)
4. Denotative sign (tanda denotatif) 4. CONNOTATIVE SIGNIFIER (PENANDA KONOTATIF)
5. CONNOTATIVE SIGNIFIED (PETANDA KONOTATIF)
6. CONNOTATIVE SIGN (TANDA KONOTATIF) Sumber: Alex Sobur, Semiotika Komunikasi, Bandung: Remaja Rosdakarya, 2004, hal: 69
1. Metode Pengumpulan Data Metode dalam penelitian ini akan dikategorikan menjadi dua aspek yaitu aspek mikro dan makro. Hal tersebut dilakukan semata-mata karena alasan teknis yaitu untuk membuat data-data yang terkumpul menjadi lebih sistematis sehingga akan mempermudah proses analisa dan pemahaman terhadap obyek penelitian. Pengumpulan data ini dilakukan
23
dengan cara mengidentifikasi, mengamati, serta memahami isi dari film 3 Hati, 2 Dunia, 1 Cinta pada tingkat scene. Berikut ini pemaparannya:
Tabel 1.4 Aspek Mikro dan Makro Data Aspek
Jenis Data
Mikro
Film 3 Hati, 2 Dunia, 1 Cinta Film
Makro
Representasi Keturunan Arab Ciri fisik Tempat tinggal Pakaian Bahasa Kepercayaan Mata pencaharian Sistem kekerabatan Kebudayaan Sumber: hasil olah data penulis
2. Pengolahan Data Setelah mengamati dan memahami isi film pada tingkat scene, maka
kemudian
adegan-adegan
tersebut
diklasifikasikan.
Pengklasifikasian tersebut dibuat berdasarkan unsur-unsur pembentuk representasi keturunan Arab yang terdapat dalam film tersebut.
3. Penyajian Data Data diamati dan diseleksi untuk kemudian diklasifikasi sesuai dengan unit analisis yang telah ditentukan. Data yang telah diklasifikasi kemudian dianalisis berdasarkan pendekatan semiotika Roland Barthes. Setelah dianalisis kemudian data-data tersebut diinterpretasikan. Setelah dianalisis dan diinterpretasikan, kemudian akan ditarik suatu kesimpulan.
24
4. Metode Analisis Data Langkah-langkah teknis dalam menganalisa data pada penelitian ini adalah dengan melakukan interpretasi secara semiotik terhadap scene film 3 Hati, 2 Dunia, 1 Cinta secara keseluruhan, untuk kemudian memecahkan keseluruhan scene tersebut ke dalam sejumlah tabel.
5. Unit Analisis Penelitian Tabel 1.5 Unit Analisis Penelitian Unit Analisis
Kategori
Sub Kategori
Keturunan Arab
Dapat dilihat dari simbolsimbol keturunan Arab di Jakarta
Simbol-simbol keturunan Arab tersebut dapat digolongkan berdasarkan ciriciri fisik, kebudayaan, kepercayaan, bahasa, pakaian, sistem kekerabatan, dan mata pencaharian di dalam masyarakat keturunan Arab tersebut
Sumber: Hasil olah data penulis
6. Instrumen Penelitian Tabel 1.6 Unit Terteliti Visualisasi
Naskah
Instrumen Penelitian Unsur a.
Teknik Visualisasi
b.
Editing
c.
Setting
a.
Dialog
b.
Karakterisasi
Sub Unsur Komposisi gambar, teknik pengambilan gambar Teknik Transisi, cut, dissolve, dsb. Objek (bangunan, benda, manusia, hewan), lokasi, situasi Aksen, pilihan kata, cara berbicara, ungkapan non verbal Gerak-gerik, akting, bentuk fisik, kostum
25