BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Dalam rangka mewujudkan derajat kesehatan masyarakat yang optimal yang diperlukan langkah-langkah peningkatan upaya kesehatan, diantaranya kesehatan ibu dan anak. Angka Kematian Ibu (AKI) dan Angka Kematian Bayi (AKB) merupakan indikator utama yang digunakan untuk menggambarkan status kesehatan masyarakat disuatu wilayah, tingginya angka kematian ibu dan angka kematian bayi mencerminkan status gizi masyarakat, kondisi lingkungan dan mutu serta jangkauan pelayanan kesehatan. Hingga kini kematian ibu dan kematian bayi di Indonesia masih menjadi masalah prioritas, berdasarkan survei demografi kesehatan Indonesia (SDKI) tahun 2002 AKI sebesar 307/100. 000 kelahiran hidup (BPS 2002). Target yang hendak dicapai dalam program kesehatan ibu sesuai dengan visi Indonesia sehat 2010 adalah upaya untuk meningkatkan pelayanan kesehatan ibu yang bermutu dan terjangkau dengan menurunkan angka kematian ibu (AKI) dari 450/100. 000 pada tahun 1986 menjadi 125/100. 000 pada tahun 2010 (Depkes, 2002). Penyebab utama tingginya AKI dan AKB adalah pendarahan, eklamsia dan infeksi yang sebenarnya dapat dengan cepat tertangani apabila para bidan dapat memberikan pelayanan yang lebih bermutu, dan terampil dalam menangani kegawat daruratan. Kondisi lain dari kematian ibu mencakup: 1) persalinan dengan bantuan dukun masih sebanyak 30%, 2) persalinan di rumah terjadi sebanyak 70% dapat menyebabkan terlambat melakukan rujukan jika terjadi komplikasi, 3) derajat kesehatan ibu sebelum dan selama kehamilan rendah, antara lain sekitar 50% anemia, 30% kurang energi kronis, 65% hamil dengan keadaan “4 terlalu”, 4) status perempuan dalam keluarga bukan sebagai pengambil keputusan sehingga harus menunggu keputusan dari pihak keluarga untuk menentukan dan mencari pertolongan, dan 5) keadaan “3 terlambat”, yaitu terlambat mengenali tanda bahaya dan mengambil keputusan di tingkat keluarga guna mencari pertolongan yang berkualitas, terlambat mencapai fasilitas
1
2
kesehatan, dan terlambat mendapatkan pertolongan cepat dan tepat ditingkat fasilitas pelayanan kesehatan (DepKes, 2001). Pada tahun 2000, pemerintah mencanangkan program nasional Making Pregnancy Safer yang merupakan strategi sektor kesehatan secara terfokus dan bagian dari program Safe Motherhood. Program ini berfokus pada pertolongan persalinan oleh tenaga kesehatan yang terampil dan terlatih, pelayanan yang optimal untuk setiap komplikasi obstetri dan bayi baru lahir, dan setiap wanita subur memiliki akses terhadap pencegahan kehamilan yang tidak diinginkan dan penanganan komplikasi keguguran. Propinsi Papua terdiri dari 20 kabupaten dengan jumlah penduduk 1. 875. 388 jiwa (BPS) memiliki 12 rumah sakit pemerintah, 5 rumah sakit swasta dan 4 rumah sakit TNI/POLRI, AL. Ketenagaan di rumah sakit terdiri atas 10 orang dokter Spesialis Anak, 7 orang internist, bedah 11 orang, SpOG 13 orang, dan lain-lain 19 orang. Dokter umum 111 orang, dokter gigi 20 orang, perawat 1121 orang, bidan 150 orang, tenaga penunjang 352 orang, lain-lain 465 orang. Fasilitas dan tenaga puskesmas: terdapat 72 puskesmas rawat inap, 173 puskesmas non rawat inap, puskesmas pembantu 735, pondok bersalin 250, pos kesehatan kampung 200, dokter umum 247 orang, dokter gigi 44, perawat 2476, bidan 1725, ahli gisi 146, dan tenaga lainnya. Ada beberapa masalah yang dihadapai antara lain penempatan tenaga kesehatan yang tidak merata, 1714 kampung tidak ada sarana pelayanan kesehatan, 196 puskesmas pembantu tidak memiliki tenaga kesehatan. Kesulitan rujukan pasien karena tranportasi, keterbatasan pelayanan dan kekurangan tenaga kesehatan di tingkat dasar. Rumah Sakit Umum Daerah Jayapura terletak di Propinsi Papua telah beroperasi sejak 5 juli 1959 dengan kepemilikan Zending, dan tahun 1963 diambil alih oleh pemerintah. Jumlah tempat tidur 325, dokter umum 25 orang, dokter spesialis 25 orang, dokter gigi 4 orang, perawat 280 orang, bidan 40 orang, non medis 148 orang. Visi rumah sakit umum Jayapura adalah menjadi rumah sakit yang terbaik di kawasan timur Indonesia dan salah satu misinya adalah menyelenggarakan pelayanan kesehatan dengan standar pelayanan prima. Instalasi Gawat Darurat (IGD) merupakan suatu tempat pelayanan rujukan-rujukan kasus
3
termasuk kasus maternal, dan pintu masuk pasien. Sayangnya IGD di RSUD Jayapura belum mempunyai fasilitas untuk menangani kasus-kasus maternal (IGD kebidanan), kasus maternal yang datang ke IGD dengan penanganan seperti pemasangan infus, perbaiki infus atau cairan dan langsung dibawa ke bagian kebidanan untuk penanganan lanjut. Pasien diantar dan didampingi oleh keluarga pasien dan petugas yang merujuk apabila petugas IGD sedang sibuk atau petugas IGD yang mendampngi apabila mereka tidak sibuk. Jarak antara IGD ke bagian kebidanan kurang lebih 300 m memerlukan beberapa tenaga untuk mendorong pasien sampai kebagian kebidanan. Kebijakan pemerintah Provinsi Papua bahwa semua masyarakat asli Papua dibebaskan dari biaya saat datang berobat ke rumah sakit, dan tidak boleh menolak pasien walaupun tidak membawa surat rujukan dari puskesmas, hal ini menyebabkan terjadi peningkatan jumlah pasien di IGD terutama pada saat sore dan malam sehingga menambah beban dari petugas IGD dengan jumlah tenaga yang ada. Bagian kebidanan RSUD Jayapura terdiri dari beberapa bagian seperti kamar bersalin, perawatan nifas (rooming in), perawatanperawatan kasus kebidanan, recovery room, VIP, Super VIP, kamar operasi kebidanan dengan jumlah 57 tempat tidur. Ketenagaan: 7 dokter SpOG, 2 dokter umum, 35 bidan, 4 perawat, 2 administrasi, pembantu orang sakit (POS) 2 orang dan 5 petugas kebersihan (dokter SpOG dengan kesibukannya yang tinggi, selain pelayanan di RSUD Jayapura juga dirumahsakit yang lain dan sebagai nara sumber dibeberapa pendidikan kesehatan termasuk pendidikan kedokteran. Kamar Operasi (KO) khusus untuk penanganan kasus kebidanan emergensi sudah ada beserta fasilitas yang dikelola oleh bagian kebidanan sendiri, beberapa bidan sudah dilatih khusus untuk instrumen dan tehnik KO untuk tenaga anaestesi masih dirangkap dari KO sentral. Tahun 2006 KO ditutup dengan alasan tenaga anastesi yang kurang, maka apabila ada kasus kebidanan yang dioperasi, semua ditangani di kamar operasi sentral. Berdasarkan latar belakang tersebut, yang menjadi dorongan bagi penulis ingin melakukan penelitian tentang pengelolaan rujukan kasus-kasus.maternal mulai pasien masuk dari IGD sampai kebagian kebidanan.
4
B. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan, maka rumusan masalah dalam penelitian adalah: bagaimanakah pengelolaan rujukan kasus maternal di Rumah Sakit Umum Daerah Jayapura?.
C. Tujuan Penelitian Tujuan umum dari penelitian ini adalah untuk mengetahui pengelolaan rujukan kasus maternal di RSUD Jayapura. Tujuan khusus penelitian ini adalah: 1. Untuk mengetahui penanganan rujukan kasus maternal di IGD RSUD Jayapura. 2. Untuk mengetahui bagaimana cara pengiriman rujukan kasus maternal dari IGD ke ruang Kebidanan di RSUD Jayapura. 3. Untuk mengetahui penanganan rujukan kasus maternal di bagian Kebidanan RSUD Jayapura.
D. Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat sebagai bahan informasi dan pertimbangan bagi pengambil kebijakan di Pemerintahan Propinsi Papua, sebagai bahan informasi dan pertimbangan bagi pihak manajemen RSUD Jayapura, khususnya pengeloalan rujukan kasus maternal. sebagai pengalaman bagi peneliti untuk melakukan penelitian bidang kesehatan, khususnya pengelolaan rujukan kasus maternal di rumah sakit. E. Keaslian Penelitian Tiga penelitian yang diacu sebagai penelitian terdahulu adalah sebagai berikut. Ritonga (2005) meneliti tentang manjemen unit gawat darurat pada penanganan kasus gawat obstetri di RSUD dr Tengku Mansyur Tanjung Balai tahun 2005-2006, mengatakan pelayanan dan pengelolaan unit gawat darurat secara teknis dan administratif belum berjalan secara optimal. Suhartini N (2005) meneliti tentang pemanfaatan rujukan kasus kebidanan oleh bidan praktek swasta
5
di RSUD Pare Kabupaten Kediri Jawa Timur, dengan subjek penelitian adalah bidan-bidan praktek swasta dan pasien yang dirujuk ke RSUD Pare maupun ke rumah sakit dan klinik swasta di wilayah Kabupaten Kediri. Gufria (2007) meneliti tentang pencegahan keterlambatan rujukan maternal di Kabupaten Majene. Mengatakan keterlambatan rujukan kasus maternal disebabkan beberapa faktor yaitu: keterbatasan sarana transportasi untuk daerah terpencil, terlambat pengambilan keputusan oleh pihak keluarga, keterbatasan kemampuan petugas kesehatan untuk menangani kasus kegawatdaruratan obstetri dan terlambat mendapatkan penanganan yang adekuat oleh petugas kesehatan, faktor geografi, jarak dan infrastruktur jalan sangat mempengaruhi akses masyarakat untuk melakukan rujukan.
BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Telaah Pustaka
A. Manajemen Rumah Sakit Pelayanan kesehatan khususnya bidang kesehatan Rumah Sakit adalah salah satu sarana kesehatan untuk melaksanakan upaya kesehatan secara berdaya guna dan berhasil guna dengan mengutamakan upaya penyembuhan, pemulihan yang dilaksanakan secara terpadu, tercapainya pola dan tindakan rumah sakit dalam upaya meningkatkan pelayanan kesehatan rumah sakit. Tugas Pokok dan Fungsi (Tupoksi) berdasarkan Kepres No. 40 Tahun 2001 tentang Pedoman Kelembagaan dan Pengelolaan Rumah Sakit Daerah serta Keputusan Mendagri No. 1 Tahun 2002 tentang Pedoman Susunan Organisasi dan Tata Kerja Rumah Sakit Daerah disebutkan bahwa Rumah Sakit Umum Daerah berkedudukan sebagai lembaga teknis daerah atau unsur penunjang pemerintah daerah. Rumah Sakit Umum Daerah dipimpin oleh seorang kepala dengan sebutan Direktur yang berada dibawah dan bertanggung jawab kepada kepala daerah melalui sekretaris daerah. Rumah Sakit Daerah dapat berbentuk lembaga teknis daerah atau Badan Usaha Milik Daerah. Kelembagaan Rumah Sakit Daerah ditetapkan dengan peraturan daerah. Rumah Sakit mempunyai tugas melaksanakan upaya kesehatan secara berdaya guna dan berhasil guna dengan mengutamakan upaya penyembuhan, pemulihan yang dilaksanakan secara serasi terpadu dengan upaya peningkatan serta pencegahan dan melaksanakan upaya rujukan. Fungsi Rumah Sakit Umum Daerah adalah menyelenggarakan pelayanan medis yang mencakup pelayanan penunjang medis dan non medis, pelayanan dan asuhan keperawatan, pelayanan rujukan fungsi, pendidikan dan pelatihan, penelitian dan pengembangan, serta pengelolaan administrasi dan keuangan. Rumah sakit menurut American Hospital Association 1974, adalah suatu organisasi yang melalui tenaga medis professional yang terorganisasi serta sarana kedokteran yang permanen menyelanggarakan pelayanan kedokteran,
19
20
asuhan keperawatan yang berkesinambungan, diagnosis serta pengobatan penyakit tertentu kematian yang diderita oleh pasien. Selain itu rumah sakit juga merupakan tempat dimana orang mencari dan menerima pelayanan kedokteran serta tempat dimana pendidikan klinik untuk mahasiswa kedokteran, perawat dan berbagai tenaga profesi kesehatan lainnya diselenggarakan (Azwar, 1996). Dalam memberikan pelayanan khususnya bidang Kesehatan Rumah Sakit adalah salah satu sarana kesehatan untuk melaksanakan upaya kesehatan secara berdaya guna dan berhasil guna dengan mengutamakan upaya penyembuhan, pemulihan yang dilaksanakan secara terpadu, tercapainya pola dan tindakan Rumah sakit dalam upaya pengelolaannya Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) mempunyai keunikan, karena secara teknis medis berada dibawah koordinasi Depkes, sedangkan secara kepemilikan sebenarnya berada di bawah pemerintah provinsi kabupaten/kota dengan pembinaan urusan kerumah-tanggaan dari Departemen Dalam Negeri (Trisnantoro, 2005). Sesungguhnya pelayanan rumah sakit bukan hanya individu pasien semata-mata, namun
dikembangkan
mencakup keluarga pasien serta
masyarakat dengan memperlakukan pasien sebagai manusia seutuhnya, selain itu pelayanan kesehatan rumah sakit adalah merupakan bagian integral dari pelayanan kesehatan secara keseluruhan dalam rujukan medik, pengayoman medik dalam wilayah rumah sakit (Saifuddin, et al., 2002).
B. Pelayanan Gawat Darurat Pengertian umum standar di bidang pelayanan kesehatan didefinisikan sebagai pernyataan ekspetasi atau harapan mengenai struktur (input), proses dan outcome dari sistem kesehatan di berbagai tingkat pelayanan baik di tingkat pelayanan kesehatan dasar (primary care), pelayanan kesehatan sekunder (secondary care) maupun pelayanan kesehatan tersier (tertiary care), termasuk di sini adalah standar struktur, proses dan outcome dari Sistem Penanggulangan Gawat Darurat Terpadu (SPGDT) baik di tingkat pra rumah
21
sakit (primary care), di rumah sakit (secondary care) atau rujukan antar rumah sakit (secondary dan tertiary care). Komponen-komponen penting dalam SPGDT sehari-hari dan bencana: (1) Komponen pra rumah sakit, komponen rumah sakit dan komponen antar rumah sakit. (2) Komponen penunjang adalah komunikasi, seperti telepon, mobile phone, radio medik dll. Transportasi, seperti ambulans, Pusling, (3) Komponen
sumber
daya
manusia:
petugas
kesehatan
(dokter,
perawat/paramedis) dan non kesehatan (awam umum, awam khusus, polisi, PMK, PMI), dan(4) Komponen sektor-sektor terkait (sektor kesehatan dan sektor non kesehatan) (Depkes, 2006). Azwar (1996) menyebutkan yang dimaksud dengan pelayanan gawat darurat (emergency care) adalah bagian dari pelayanan kedokteran yang dibutuhkan oleh penderita dalam waktu segera (immediately) untuk menyelamatkan
kehidupannya
(life
saving).
Unit
kesehatan
yang
menyelenggarakan pelayanan gawat darurat disebut dengan nama Unit Gawat Darurat (Emergency Unit). Tergantung dari kemampuan yang dimiliki, Keberadaan IGD tersebut yang dapat beraneka macam. Namun yang lazim ditemukan adalah yang tergabung dalam rumah sakit (hospital based emergency unit). Hanya saja betapapun telah majunya sistem rumah sakit yang dianut oleh suatu Negara, bukan berarti tiap rumah sakit memiliki kemampuan mengelola IGD sendiri. Untuk mengelola kegiatan IGD memang tidak mudah. Penyebab utamanya adalah karena IGD salah satu unit kesehatan yang paling padat modal, padat karya, serta padat teknologi. Kegiatan utama yang menjadi tanggung jawab IGD adalah menyelenggarakan pelayanan gawat darurat. jenis pelayanan kedokteran yang bersifat khas ini sering disalahgunakan. Pelayanan gawat darurat yang sebenarnya bertujuan untuk menyelamatkan kehidupan penderita (live saving), sering dimanfaatkan hanya untuk memperoleh pelayanan pertolongan pertama (first aid) dan bahkan pelayanan rawat jalan (ambulatory care). Pengertian gawat darurat yang dianut oleh anggota masyarakat memang berbeda dengan petugas kesehatan. Oleh anggota masyarakat, setiap gangguan kesehatan yang dialaminya, dapat saja diartikan