BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Kusta adalah penyakit kronis yang disebabkan oleh kuman kusta (Mycobacterium leprae) terutama menyerang kulit dan saraf tepi. Penularan dapat terjadi dengan cara kontak yang erat dan lama dengan penderita. Ulkus kulit pada penderita kusta lepromatosa dapat menjadi sumber penyebar basil. Organisme kemungkinan masuk melalui saluran pernafasan atas dan juga melalui kulit yang terluka (Haymen, 2008). Penyakit kusta banyak ditemukan di negara-negara berkembang yang pada umumnya masih mengalami keterbatasan dalam memberikan pelayanan kesehatan, pendidikan dan tingkat sosial ekonomi yang rendah. Jumlah penemuan penderita kusta baru didunia sampai tahun 2012 sebanyak 232.857 kasus. Jumlah tersebut tersebar di Asia Tenggara 71%, Amerika 16%, Afrika 9%, Mediterania 2% dan Pasifik Barat 2%. Indonesia merupakan penyumbang penderita kusta terbesar ketiga di dunia setelah India dan Brasil. Jumlah penderita baru yang dilaporkan dari beberapa negara dalam lima tahun terakhir cenderung mengalami penurunan, sedangkan di Indonesia cenderung tetap. Penderita kusta baru yang ditemukan di Indonesia
tahun 2012 berjumlah 18.994 penderita, kasus baru tipe MB 15.703
(82,67%), kasus baru pada anak 2.191 (11,54%), kasus baru dengan cacat tingkat 2 sebesar 2.131 (11,22%), kasus kambuh 194 (1%) (WHO, 2013). Provinsi Jawa Timur merupakan daerah dengan jumlah penderita kusta terbanyak di Indonesia. Rata-rata penemuan penderita kusta per tahun antara 4.0005.000 kasus. Penyebaran penderita kusta meliputi pantai utara Jawa dan Madura. Empat puluh dua persen wilayah (16 kabupaten) memiliki angka prevalensi di atas 1/10.000 penduduk. Pelaksanaan program pemberantasan kusta yang telah dicapai selama itu adalah penurunan secara signifikan pada angka kesakitan (prevalence rate) 1
2
dari 9,51 per 10.000 penduduk pada tahun 1989 menjadi 1,46 per 10.000 penduduk pada tahun 2012. Disisi lain beberapa permasalahan yang masih ditemukan adalah angka penemuan penderita baru (Case Detection Rate) tidak ada penurunan yang berarti, tingginya proporsi cacat kusta dan tingginya proporsi penderita usia anak (Profil Kesehatan Jatim, 2013). Gambaran lengkap pelaksanaan program kusta di Jawa Timur adalah sebagai berikut:
Tabel 1. Pencapaian Program Pemberantasan Penyakit Kusta Provinsi Jawa Timur Tahun 2009-2012 No 1 2 3 4 5 6
Indikator Target Program Nasional Prevalence Rate < 1/10.000 Case Detection Rate < 0,5/10.000 Proporsi anak (< 14 th) 5% Proporsi Cacat II 5% Proporsi MB Released From Treatment Rate a. PB 95% b.MB 90% Sumber: Profil Kesehatan Jatim, 2013
2009 1,69 1,60 12% 11% 84%
Pencapaian 2010 2011 1,48 1,63 1,25 1,39 11% 10% 13% 13% 85% 85%
2012 1,46 1,26 9% 14% 86%
95% 91%
93% 90%
93% 89%
97% 90%
Rumah Sakit Kusta Kediri (RSK Kediri) merupakan salah satu rumah sakit rujukan kusta di Jawa Timur. Jangkauan pelayanan terutama pada daerah Jawa Timur bagian barat. Rata-rata kunjungan kasus baru setiap tahun sekitar 1.160, sedangkan kunjungan kasus lama sekitar 3.500. Kasus kusta yang paling banyak dilayani adalah reaksi kusta (41,04%) (Profil RSK Kediri, 2012). Studi pendahuluan yang dilakukan pada bulan Januari s/d Juni 2013 di didapatkan 88 penderita baru dimana sekitar 44% (39 pasien) mengalami kecacatan dan 34% (30 pasien) mengalami reaksi kusta. Hasil survei yang dilaksanakan di lima kota di Indonesia menyebutkan bahwa penderita cacat kusta 60% mengalami keterbatasan dalam aktivitas sehari-hari, 35,5% mengalami permasalahan sosial dan stigma. Dampak lebih lanjut dari kecacatan adalah munculnya stigma negatif terhadap penderita kusta. Permasalahan
3
pokok terkait masalah stigma adalah perasaan malu dan kebingungan dalam mencari pendamping hidup dan sulitnya mendapat pekerjaan (Van Brakel et al., 2012). Reaksi kusta adalah episode akut dalam perjalanan kronis penyakit kusta yang merupakan suatu reaksi kekebalan baik seluler maupun humoral yang mengakibatkan kerusakan jaringan. Terdapat 2 tipe reaksi kusta yaitu reaksi tipe 1 atau reversal reaction (RR) dan tipe 2 atau erythema nodosum leprosum (ENL). Reaksi tipe 1 disebabkan karena meningkatnya kekebalan seluler terhadap kuman kusta dikulit dan saraf, yang dapat terjadi pada penderita kusta tipe Pausibasiler (PB) maupun Multibasiler (MB). Reaksi tipe 2 merupakan reaksi humoral dimana basil kusta yang utuh maupun tidak utuh menjadi antigen yang terjadi pada penderita tipe MB (Mansjoer et al., 2000). Reaksi kusta dapat terjadi sebelum pengobatan tetapi terutama selama pengobatan dan setelah pengobatan (Lockwood et al., 2012). Reaksi merupakan penyebab pokok kerusakan saraf serta kecacatan, terjadi pada sekitar sepertiga penderita kusta (Dogra et al., 2013). Studi kohort yang dilakukan Sousa, et al., (2012) memperkirakan bahwa kecacatan yang disebabkan oleh penyakit kusta berkisar antara 16% s/d 56%
utamanya karena reaksi kusta.
Penderita kusta yang mengalami
kejadian reaksi tipe 1 mempunyai risiko 54,33 kali lebih besar untuk mengalami kecacatan sedangkan reaksi tipe 2 memiliki risiko 20,67 kali dibandingkan mereka yang tidak pernah mengalami kejadian reaksi setelah dikontrol variabel pekerjaan dan tipe kusta (Widarsih et al., 2013). Diagnosis kasus sejak dini dan penanganan reaksi merupakan hal yang sangat pokok dalam pencegahan terjadinya kecacatan kusta (Sales et al., 2013). Penanganan yang tepat terhadap reaksi kusta, diagnosis kasus sejak dini, identifikasi pasien kusta yang mempunyai risiko munculnya komplikasi serta ketepatan waktu penanganan kasus merupakan tahapan yang dapat dilakukan untuk mencegah kecacatan kusta (WHO, 2010). Berdasarkan beberapa hasil penelitian menyebutkan bahwa jenis kelamin, umur pada saat diagnosis kusta, tipe kusta serta jumlah bercak mati rasa merupakan
4
faktor risiko terjadinya reaksi kusta. Hubungan jenis kelamin dengan reaksi kusta menunjukkan hasil yang berbeda. Sebagian menyebutkan jenis kelamin bukan merupakan faktor risiko reaksi kusta (Nery et al., 1998, Rangue et al., 2006) sedangkan penelitian lain menyatakan jenis kelamin sebagai faktor risiko reaksi kusta (Kumar et al., 2004, Antunes et al., 2013). Kejadian infeksi penyakit, trauma, stres mental, vaksinasi, hamil dan melahirkan merupakan pencetus kejadian reaksi kusta. Perbedaan intensitas paparan merupakan kondisi yang mendasari terjadinya perbedaan besarnya risiko kejadian reaksi. Peningkatan usia akan diikuti dengan potensi untuk mengalami infeksi. Peningkatan usia merupakan faktor risiko reaksi kusta (Sousa et al., 2007). Penderita yang berumur lebih dari 15 tahun pada saat diagnosis kusta mempunyai risiko untuk terjadinya reaksi kusta lebih tinggi dibandingkan dengan pasien yang berumur kurang dari 15 tahun. Keadaan ini dipengaruhi oleh sistem imun anak dimana sel T helper 2 (Th2) diduga mampu mengatasi terjadinya reaksi kusta (Rangue et al., 2007). Prevalensi kejadian reaksi kusta tipe I sebesar 8,09% sedangkan tipe 2 sebesar 4,70%. Kejadian reaksi tipe 1 lebih banyak dijumpai pada penderita dengan tipe Borderline (BB) diikuti tipe Borderline lepromatosa (BL), Borderline tuberkuloid (BT) dan Lepromatosa (LL) ( Sharma et al., 2004). Mayoritas reaksi kusta (80,5%) terjadi pada penderita dengan jenis kusta MB. Risiko kejadian reaksi pada pasien kusta MB lebih tinggi dibandingkan dengan jenis kusta yang lain (Antunes et al., 2013). Kusta tipe MB merupakan gambaran banyaknya bakteri. Proses pengobatan kusta akan membunuh bakteri sehingga banyaknya bakteri yang mati membawa dampak tingginya paparan antigen. Reaksi terjadi karena peningkatan respon imun seluler maupun humoral (Scolllard et al., 1994). Multidrug therapy (MDT) adalah kombinasi dua atau lebih obat anti kusta yang salah satunya terdiri dari Rifampisisn sebagai anti kusta yang sifatnya bakterisid dengan obat anti kusta lain yang bisa bersifat bakteriostatik. Terjadinya proses pembersihan kuman dan peningkatan respon imun merupakan penyebab terjadinya reaksi (Antunes et al., 2013). Semakin lama orang menderita kusta akan berakibat
5
semakin banyak kuman M. leprae yang yang mati atau pecah sehingga memicu timbulnya reaksi kusta. Reaksi tipe 1 umumnya terjadi 6-12 bulan setelah memulai pengobatan MDT, sedangkan rekasi tipe 2 kebanyakan terjadi pada tahun pertama atau kedua setelah memulai pengobatan MDT (Kumar et al., 2004). Reaksi kusta tipe 2 lebih banyak terjadi pada penderita yang mengalami sakit dalam waktu 4 bulan sampai 3 tahun setelah onset kejadian kusta (Schollard et al., 1994). Indek bakteri mengindikasikan kepadatan kuman M. leprae dalam tubuh penderita kusta. Kepadatan bakteri mempunyai hubungan terhadap tingginya paparan antigen (Penna et al., 2008). Indek bakteri merupakan salah satu faktor terhadap kejadian reaksi kusta (Antunes et al., 2013). Reaksi tipe 1 didominasi pasien dengan indek bakteri < 3 sedangkan reaksi tipe 2 didominasi pasien dengan indek bakteri > 3 (Nery et al., 1998). Berdasarkan kondisi diatas peneliti ingin mengetahui faktor risiko reaksi kusta di RSK Kediri dengan harapan dapat membantu memberikan informasi untuk pencegahan kecacatan kusta.
B. Perumusan Masalah
Apakah umur pada saat diagnosis, jenis kelamin, tipe kusta, lama pengobatan dan indek bakteri merupakan faktor risiko kejadian reaksi kusta?
C. Tujuan
1. Tujuan Umum Mengidentifikasi faktor risiko yang berhubungan dengan kejadian reaksi kusta di RSK Kediri
6
2. Tujuan khusus a. Mengetahui besarnya risiko umur pada saat diagnosis terhadap kejadian reaksi kusta di RSK Kediri. b. Mengetahui besarnya risiko jenis kelamin terhadap kejadian reaksi kusta di RSK Kediri. c. Mengetahui besarnya risiko tipe kusta terhadap kejadian reaksi kusta di RSK Kediri. d. Mengetahui besarnya risiko lama pengobatan terhadap kejadian reaksi kusta di RSK Kediri. e. Mengetahui besarnya risiko indek bakteri terhadap kejadian reaksi kusta di RSK Kediri.
D. Manfaat Penelitian
1. Bagi Peneliti sebagai sarana untuk mengembangkan ketrampilan dalam pelaksanaan penelitian. 2. Sebagai masukan kepada pengelolaan program kusta di RSK Kediri khususnya dan di Jawa Timur pada umumnya. 3. Sebagai salah satu acuan dan rujukan bagi peneliti yang berminat dalam penelitian yang sama.
E. Keaslian Penelitian
Beberapa penelitian faktor risiko reaksi kusta pernah dilakukan sebelumnya, tetapi berbeda dengan penelitian yang akan penulis laksanakan. Penelitian ini menggunakan pendekatan studi kasus kontrol dengan populasi studi penderita kusta terdaftar di RSK Kediri tahun 2009-2014 (hospital based). Persamaan dan perbedaan pada penelitian terdapat pada desain penelitian, variabel penelitian sumber data yang digunakan dan lokasi penelitian.
7
Beberapa penelitian yang pernah dilakukan seperti tabel berikut :
Tabel. 2 Penelitian Faktor Risiko Reaksi Kusta
No
Penulis
Judul
Perbedaan
Hasil
1
2
3
4
5
1
Kumar et al, (2004)
Epidemiological Characteristic of Leprosy Reactions: 15 Years Experience from Nort India
Desain study: analisis retrospective untuk melihat faktor deterrminan kejadian reaksi Lokasi penelitian: India
Jenis kelamin perempuan, beratnya penyakit dan kusta jenis MB merupakan faktor risiko terjadinya reaksi tipe 1. Faktor kejadian reaksi tipe 2 yaitu kusta lepromatosa, jenis kelamin perempuan dan indek bakteri >3.
2
Pocatera et Clinical Course Of al, (2006) Erythema Nodosum Leprosum: an 11Year Cohort Study In Hyderabad, India
Variabel terikat kejadian reaksi tipe 2 Lokasi penelitian: India
Kusta jenis Lepromatosa (LL) dan Borderline Lepromatosa dengan indek bakteri > 4+ merupakan faktor risiko reaksi tipe 2
3
Ranque et al, Age Is Important (2006) Risk Factor for Onset and Sequelae of Reversal Reactions in Vietnamese Patients with Leprosy
Variabel terikat kejadian reaksi tipe 1 Lokasi penelitian: Vietnam
Tipe kusta, indek bakteri, jumlah lesi dan umur saat diagnosa kusta merupakan faktor risiko reaksi tipe 1
8
1 4
2 Prawoto (2008)
3
4
5
Faktor-faktor Risiko yang Berpengaruh Terhadap Terjadinya Reaksi Kusta (Studi di Wilayah Kerja Puskesmas Kabupaten Brebes)
Varibael bebas: stres, kelelahan fisik.menstruasi, kehamilan,laktasi, kontrasepsi hormonal, riwayat pengobatan reaksi tidak adekuat. Varibel terikat tidak dibedakan antara reaksi tipe 1 dan 2. Data: dari masyarakat Lokasi penelitian: Brebes
Umur saat diagnosa >15 tahun, lama sakit lebih 1 tahun dan kelelahan fisik merupakan faktor risiko reaksi kusta