1
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pemerintah Indonesia menyepakati deklarasi Millenium Development Goals (MDGs) 2015, yang mana salah satunya adalah mengurangi angka kematian anak. Hal ini dikarenakan masih tingginya angka kematian balita, penyebab utama kematian adalah penyakit infeksi dan parasit, serta banyak diantaranya yang berhubungan dengan kekurangan gizi. Faktor multidimensional yang mempengaruhi status gizi seorang anak adalah faktor sosial-ekonomis sampai pada faktor fisik-biologis. Salah satu faktor penting dan sangat berpengaruh secara timbal balik dengan keadaan kekurangan gizi adalah penyakit infeksi dan parasit (Supariasa et al., 2002). Selama 10 tahun terakhir polemik penanganan gizi untuk masyarakat Indonesia juga tak kunjung hentinya khususnya untuk gizi anak dan balita (Irianto, 2014). Hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) menunjukan angka prevalensi gizi kurang pada balita (BB/U<-2SD) memberikan gambaran yang fluktuatif dari 18,4% (2007) menurun menjadi 17,9% (2010) kemudian meningkat lagi menjadi 19,6% (tahun 2013). Beberapa Provinsi, seperti Bangka Belitung, Kalimantan Timur, Kalimantan Tengah, Sulawesi Tengah menunjukkan kecenderungan menurun. Dua Provinsi yang prevalensinya sangat tinggi (>30%) adalah NTT diikuti Papua Barat, dan dua Provinsi yang prevalensinya <15% terjadi di Bali, dan DKI Jakarta (Riskesdas, 2013). Gambaran tentang prevalensi gizi kurang di Indonesia masih kita lihat kecenderungan lebih besar prevalensi gizi kurang berada di wilayah Indonesia Timur. Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 42 Tahun 2013 Tentang Gerakan Nasional Percepatan Perbaikan Gizi disebutkan bahwa untuk mewujudkan sumber daya manusia Indonesia yang sehat, cerdas, dan produktif diperlukan status gizi yang optimal, dengan cara melakukan perbaikan gizi secara terus menerus dan pemerintah bertanggung jawab meningkatan pengetahuan dan
1
2
kesadaran masyarakat akan pentingnya gizi dan pengaruhnya terhadap peningkatan status gizi. Masalah gizi adalah gangguan kesehatan seseorang atau masyarakat yang disebabkan oleh tidak seimbangnya pemenuhan kebutuhannya akan zat gizi yang diperoleh dari makanan. Menurut Azwar, (2004) kekurangan gizi biasanya terjadi secara tersembunyi dan sering luput dari pengamatan biasa. Tidaklah mudah untuk mengetahui seorang ibu hamil yang menderita kekurangan zat gizi besi (anemia), atau seorang bayi yang terganggu pertumbuhannya atau seorang anak sekolah yang lemah tidak mampu mengikuti proses belajar karena kekurangan zat gizi tertentu seperti iodium atau zat besi. Sebagian besar penduduk Indonesia atau sekitar 50% dapat dikatakan tidak sakit akan tetapi juga tidak sehat dan kondisi ini tergolong kekurangan gizi. Kekurang gizi secara perlahan akan berdampak terhadap tingginya kematian anak, kematian ibu dan menurunnya produktivitas kerja. Pemeriksaan status gizi masyarakat pada prinsipnya merupakan upaya untuk mencari kasus malnutrisi dalam masyarakat, terutama mereka yang terbilang golongan rentan. Mereka yang terbilang golongan rentan dalam masyarakat ialah (1) ibu hamil dan menyusui karena kebutuhan akan zat gizi mereka meningkat; (2) bayi dan “balita” karena mereka belum mampu mengkonsumsi atau mencerna makanan yang tersedia dan mereka cenderung cepat mengalami malnutrisi karena kebutuhan akan zat gizi yang juga tinggi; (3) keluarga atau orang yang kebutuhannya tak tercukupi oleh sistem distribusi makanan yang lazim karena jumlah keluarga yang besar, atau lansia yang tinggal sendiri, atau janda (Arisman,2010). Upaya memantau kesehatan gizi masyarakat dalam jangka panjang dapat dipergunakan sampel dari masyarakat yang merupakan bagian yang sangat sensitif terhadap perubahan kondisi gizi di dalam masyarakat itu. Balita merupakan sampel yang memenuhi syarat karena berat badan pada kelompok ini merupakan parameter yang paling sesuai karena cukup sensitif, erat hubungannya dengan konsumsi energi dan protein yang merupakan dua jenis zat gizi yang paling sering menimbulkan problema kesehatan gizi pada skala nasional atau daerah luas
3
regional di Indonesia. Parameter ini juga cukup sensitif terhadap perubahanperubahan akut mengenai konsumsi bahan makanan pokok dan mudah pelaksanaan pemantauannya, dapat dilakukan kesinambungan oleh masyarakat itu sendiri dengan biaya murah tanpa memerlukan peralatan rumit dan keahlian khusus (Sediaoetama, 2004). Dalam Repelita VI salah satu langkah kebijakan pangan dan gizi adalah penganekaragaman konsumsi pangan atau diversifikasi konsumsi pangan, yaitu meningkatkan kesadaran masyarakat terhadap pentingnya pola makan yang beraneka ragam untuk meningkatkan mutu gizinya. Pola konsumsi pangan, yang lebih banyak menekankan pada energi yang berasal dari karbohidrat didorong untuk berubah ke arah pola pangan sesuai dengan Pedoman Umum Gizi Seimbang (PUGS). Makanan yang buruk mungkin diberikan ibu karena alasan tertentu: (1) miskin (protein hewani merupakan makanan yang mahal); (2) kurang pengetahuan bahwa
anak-anak membutuhkan makanan protein tinggi
selama masa
pertumbuhan cepat; (3) pendapat yang salah tentang makanan tertentu misalnya, tidak bersedia memberi susu, telur, ikan, daging, atau polong-polongan (kacang) pada anak kecil dengan alasan yang tidak benar, seperti makanan ini mungkin menyebabkan cacingan, atau terlalu ditekankan pada pentingnya makanan tertentu (Irianto, 2014). Hasil Riskesdas tahun 2013 menunjukkan pola konsumsi pangan sayur dan buah secara nasional tidak menunjukkan perubahan yang berarti yaitu 93,5% tahun 2007 dan 93,6% tahun 2013. Kebiasaan penduduk dalam mengkonsumsi makanan dibakar/dipanggang, makan minum manis dan pemakaian bumbu penyedap mengalami penurunan tahun 2013 dibanding tahun 2007, sedangkan kebiasaan makan asin mengalami peningkatan dari 24,5% menjadi 26,2 %. Konsumsi makanan berpengaruh terhadap status gizi seseorang. Status gizi kurang terjadi bila tubuh mengalami kekurangan satu atau lebih zat-zat gizi esensial. Gangguan gizi disebabkan oleh faktor primer atau sekunder. Faktor primer adalah apabila susunan makanan seseorang salah dalam kuantitas atau kualitas yang disebabkan oleh kurangnya penyediaan pangan, kurang baiknya distribusi pangan, kemiskinan, ketidaktahuan, kebiasaan makan yang salah, dan
4
sebagainya. Faktor sekunder meliputi semua faktor yang menyebabkan zat-zat gizi tidak sampai di sel-sel tubuh setelah makanan dikonsumsi (Almatsier, 2004). Faktor lain yang mempengaruhi status gizi anak diantaranya adalah faktor ekonomi keluarga yang berdampak pola makan dan kecukupan gizi anak; faktor sosial-budaya yang mendudukkan kepentingan ibu hamil dan ibu menyusui setelah kepentingan bapak selaku kepala keluarga, dan anak; faktor pendidikan yang umumnya rendah sehingga berdampak pada pengetahuan ibu yang sangat terbatas mengenai pola hidup sehat dan pentingnya zat gizi bagi kesehatan dan status gizi anak (Devi, 2010). Penelitian yang dilakukan di Bangladesh tentang determinan faktor resiko anak malnutrisi dengan memakai regresi logistik ordinal dengan hasil bahwa jarak kelahiran, pendidikan ibu, nutrisi selama hamil, status ekonomi, indeks makan anak, kejadian demam, kejadian diare menjadi prediktor malnutrisi pada anak (Das & Rahman, 2011). Menurut WHO diare merupakan penyebab kematian terbanyak nomor dua pada anak berusia dibawah lima tahun dengan 1,5 juta anak meninggal setiap tahunnya. Diare juga merupakan penyebab utama kejadian malnutrisi pada anak berusia dibawah lima tahun. Berdasarkan data Riskesdas, 2013 insiden diare yang paling banyak terjadi pada kelompok umur 1-4 tahun sebesar 5,1% dan berdasarkan tempat tinggal diare lebih banyak terjadi di daerah pedesaan sebesar 2,3%. Dari 33 Provinsi di Indonesia yang paling banyak insiden diare adalah Provinsi diwilayah Indonesia Timur, yang tertinggi di Provinsi Papua sebesar 4,1%. Penyebab utama kasus gizi buruk di kota metropolitan tampaknya bukan karena masalah ekonomi atau kurang pengetahuan. Kasus gizi buruk di kota besar biasanya didominasi oleh malnutrisi sekunder. Sedangkan penyebab gizi buruk di daerah pedesaan atau daerah miskin lainnya sering disebut malnutrisi primer, yang disebabkan karena masalah ekonomi dan rendahnya pengetahuan. Hal ini dikuatkan oleh penelitian Smith, (2004) bahwa status gizi anak di daerah perkotaan lebih baik karena efek kumulatif dari serangkaian kondisi sosial ekonomi yang lebih menguntungkan dan kepedulian pada perawatan anak dan ibu
5
lebih baik. Data Badan Pusat Statistik menunjukkan bahwa jumlah penduduk miskin pada bulan September 2012 (penduduk dengan pengeluaran per kapita per bulan di bawah garis kemiskinan) di Indonesia mencapai 28,59 juta orang 11,66% (Badan Pusat Statistik, 2013). Sebagai pelaksana upaya kesehatan, diperlukan sumber daya manusia kesehatan yang mencukupi dalam jumlah, jenis dan kualitasnya, serta terdistribusi secara adil dan merata sesuai tuntutan kebutuhan pembangunan kesehatan. Keberadaan tenaga medis maupun non medis di Indonesia belum memenuhi terutama untuk ahli gizi yang ada di masyarakat. Menurut Joko Susilo dari sejumlah ahli gizi yang menjadi pegawai negeri sipil distribusinya tidak merata dan terbanyak berada di Pulau Jawa, dengan kondisi seperti ini diharapkan pemerintah memprioritaskan pengembangan pendidikan gizi serta pendistribusian tenaga gizi secara lebih merata (Kementerian Kesehatan RI, 2013). Masalah distribusi kesehatan yang tidak merata masih merupakan isu utama dalam upaya meningkatkan akses masyarakat terhadap pelayanan kesehatan. Banyaknya tenaga kesehatan secara tidak langsung berpengaruh terhadap derajat pembangunan suatu bangsa, karena semakin banyak tenaga kesehatan yang tersedia di suatu wilayah, maka akan berpengaruh terhadap akses, biaya, dan kualitas layanan kesehatan (Kurniati & Efendi, 2012). Studi yang dilakukan di Indonesia menggunakan data IFLS tahun 1993 dan 1997 menunjukkan bahwa kualitas layanan kesehatan bergantung pada ketersediaan jenis, dan jumlah tenaga kesehatan (Barber et al., 2007). Berdasarkan data Riset Fasilitas Kesehatan (Rifaskes) tahun 2011 jumlah tenaga gizi yang bekerja di Puskesmas adalah 9874 orang. Terdapat 24,4% Puskesmas yang tidak memiliki tenaga gizi di Puskesmas. Sebagian tenaga gizi adalah lulusan Akademi Gizi ( 69,2%), selebihnya adalah lulusan SPAG (16,4%), dan ada yang lulusan DIV/S1-S2 (14,3%). Secara Nasional Puskesmas yang melakukan lengkap seluruh kegiatan program perbaikan gizi masyarakat sebesar 61,9% sedangkan 37,8% tidak lengkap seluruh kegiatan. Terendah yang tidak lengkap melakukan kegiatan (31,1%) Provinsi Maluku dan (38,1%) Provinsi Kalimantan Tengah (Kemenkes RI, 2013).
6
Penelitian dari Survei Kehidupan Keluarga Indonesia (Sakerti) tahun 1993 dan 1997 tentang petugas kesehatan, kualitas pelayanan, dan kesehatan anak: simulasi hubungan antara peningkatan staf kesehatan dan panjang anak. Kesimpulan dari penelitian ini bahwa peningkatan jumlah staf kesehatan dapat memperbaiki kesehatan anak (Barber & Gertler, 2009). B. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang, maka rumusan masalah penelitian ini adalah: 1. Bagaimana status gizi Balita berdasarkan kehadiran tenaga gizi, determinan status gizi dan sosial ekonomi dengan menggunakan data IFLS EAST 2012 ? 2. Bagaimana hubungan kehadiran tenaga gizi dengan status gizi balita ? 3. Bagaimana hubungan frekuensi makan, penyakit diare, higiene dan sanitasi dengan status gizi Balita? 4. Bagaimana hubungan pendidikan ibu dan status ekonomi dengan status gizi Balita? C. Tujuan Penelitian 1.
Tujuan umum Untuk menganalisis hubungan kehadiran tenaga gizi, determinan status gizi, dan sosial ekonomi yang berhubungan dengan status gizi dengan menggunakan data IFLS EAST 2012
2.
Tujuan khusus a. Untuk menganalisis hubungan kehadiran tenaga gizi dengan status gizi balita menggunakan data IFLS EAST 2012 b. Untuk menganalisis frekuensi makan, penyakit diare, higiene dan sanitasi dengan status gizi balita menggunakan data IFLS EAST 2012 c. Untuk menganalisis hubungan pendidikan ibu, status ekonomi dengan status gizi balita menggunakan data IFLS EAST 2012
7
D. Manfaat Penelitian 1.
Manfaat teoritis Sebagai pengembangan ilmu pengetahuan yang berkaitan dengan keadaan status gizi balita khususnya di daerah Indonesia Timur
2.
Manfaat praktis Menjadi dasar bagi pembuat dan pengambil kebijakan dalam membuat kebijakan tentang masalah gizi balita khususnya di daerah Indonesia Timur E. Keaslian Penelitian Sesuai dengan pengetahuan penulis, penelitian tentang pengaruh kehadiran
tenaga gizi terhadap status gizi balita (Analisa Data IFLS EAST 2012) yang pernah dilakukan, antara lain : 1. Penelitian (Barber & Gertler, 2009) dalam penelitiannya yang berjudul Health Workers, quality of care, and child health: Simulating the relationships between increases in health staffing ang child length. Tujuan mengetahui hubungan antara tenaga, kualitas dan panjang anak. Hasil Penelitian ini menunjukkan bahwa peningkatan jumlah dokter dan perawat pada daerah yang belum ada dokter dan perawat dapat meningkatan kualitas pelayanan kesehatan anak. Status kesehatan anak diukur berdasarkan panjang anak dan stunting. Kesamaan penelitian ini adalah menggunakan data Sakerti atau IFLS dengan desain cross sectional dan analisis data dengan menggunakan regresi multivariat. Perbedaan pada variabel dan tahun data yang digunakan untuk penelitian. 3. Penelitian (Chopra, 2006) yang berjudul Risk factor for undernutrition of young children in a rural area of South Africa. Tujuan penelitian ini untuk mengidentifikasi faktor-faktor yang berhubungan dengan anak kurang gizi. Hasil penelitian bahwa migrasi atau kepindahan, pendidikan ibu, ibu yang buta huruf, rumah yang terbuat dari bahan tradisional, keberadaan toilet, terakhir anak diberi ASI, durasi menyusui dan berat lahir berhubungan secara significant terhadap underweight for age (UWFA). Persamaan penelitian ini
8
pada desain cross sectional namun berbeda lokasi penelitian dan variabel penelitian. 4. Penelitian (Semba et al., 2008) penelitiannya berjudul Effect of parental formal education on risk of child stunting in Indonesia and Bangladesh: a crosssectional study. Tujuan penelitian ini untuk mengetahui efek dari pendidikan formal orang tua terhadap kejadian stunting pada anak di bawah lima tahun. Kesamaan dengan penelitian ini adalah memakai data sekunder dengan desain cross sectional pada anak di bawah lima tahun namun berbeda sumber data sekunder dan variabel dependennya. 5. Penelitian (Bhandari & Chhetri, 2013) yang berjudul Nutritional Status of Under Five Year Children and Factors Associated in Kapilvastu District, Nepal. Penelitian ini dilakukan untuk menilai status gizi anak-anak di bawah umur lima tahun dan untuk mengetahui faktor-faktor yang berhubungan dengan kurang gizi pada anak. Kesamaan penelitian menggunakan desain cross sectional dan sampel penelitian anak yang berumur di bawah lima tahun. Perbedaan pada statistik dengan menggunakan SPSS versi 16 dan analisis data menggunakan WHO anthro versi 3.2.2 6. Penelitian (Hien & Kam, 2008) yang berjudul Nutritional Status and the Characteristics Related to Malnutrition in Children Under Five years of age in Nghean, Vietnam. Hasil penelitian menunjukkan bahwa wilayah tempat tinggal, tingkat pendidikan dan pekerjaan ibu, besarnya rumah tangga, anak nomor berapa di keluarga, berat lahir dan durasi pemberian ASI eksklusif secara signifikan berhubungan dengan malnutrisi. Kesamaan penelitian menggunakan desain cross sectional dan sampel anak di bawah umur lima tahun. Perbedaan pada analisis statistik menggunakan Epi-Info versi 3.4.1 dan SPSS versi 13.0