BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Tuberkulosis yang selanjutnya disebut TB merupakan salah satu penyakit infeksi menular yang disebabkan oleh bakteri Mycobacterium tuberculosis, yang sampai saat ini masih menjadi masalah di Indonesia bahkan dunia (Soeparman, 1990). Menurut data WHO (2010), saat ini di dunia terdapat 9,4 juta kasus baru TB dengan 1,7 juta kematian. Sementara itu, pada Tahun 2010 di Indonesia terdapat 430.000 kasus baru pertahun dengan 61.000 kematian pertahun (Kemenkes RI, 2011). Indonesia merupakan negara dengan pasien TB terbanyak ke-5 di dunia setelah India, Cina, Afrika Selatan dan Nigeria. Jumlah pasien TB di Indonesia sekitar 5,8% dari total jumlah pasien TB didunia dan diperkirakan setiap tahun ada 429.730 kasus baru dan kematian 62.246 orang. Angka kejadian TB di Indonesia sebesar 102 kasus per 100.000 penduduk dengan tingkat prevalensi sebesar 110 per 100.000 penduduk. Pada tahun 2009, prevalensi HIV pada kelompok TB di Indonesia sekitar 2,8%. Kekebalan ganda kuman TB terhadap obat anti TB (multi drugs resistance = MDR) diantara kasus TB baru sebesar 2%, sementara MDR diantara kasus pengobatan ulang sebesar 20% (WHO, 2009 dalam Kemenkes RI, 2011). Tahun 1995, hasil Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) menunjukkan bahwa penyakit TB merupakan penyebab kematian nomor tiga (3) setelah penyakit kardiovaskuler dan penyakit saluran pernafasan pada semua kelompok usia, dan nomor satu (1) dari golongan penyakit infeksi. Hasil Survei Prevalensi TB di Indonesia tahun 2004 menunjukkan bahwa angka prevalensi TB BTA positif secara Nasional 110 per 100.000 penduduk. Secara Regional prevalensi TB BTA positif di Indonesia dikelompokkan dalam 3 wilayah, yaitu: 1) wilayah Sumatera angka prevalensi TB adalah 160 per 100.000 penduduk; 2) wilayah Jawa dan Bali angka prevalensi TB adalah 110 per 100.000 penduduk; 3) wilayah Indonesia Timur angka prevalensi TB adalah 210 per 100.000 penduduk.
1
2
Khusus untuk propinsi DIY dan Bali angka prevalensi TB adalah 68 per 100.000 penduduk. Mengacu pada hasil survei prevalensi tahun 2004, diperkirakan penurunan insiden TB BTA positif secara Nasional 3-4 % setiap tahunnya (WHO, 2009 dalam Kemenkes RI, 2011). Sampai tahun 2009, keterlibatan dalam program Pengendalian TB dengan strategi DOTS meliputi 98% Puskesmas, sementara rumah sakit umum, Balai Kesehatan Paru Masyarakat mencapai sekitar 50%. Besarnya ancaman permasalahan TB, semua pihak harus berkomitmen dan bekerjasama dalam penanggulangannya. Pengendaliannya harus menjadi komitmen global seperti yang termaktub dalam goals dalam MDGs (WHO, 2009 dalam Kemenkes RI, 2011). Mengingat keberhasilan penanggulangan TB sangat tergantung pada jumlah penemuan kasus, maka setiap Unit Pelayanan Kesehatan (UPK) harus berupaya meningkatkan penemuan kasus, yang diistilahkan dengan case detection rate (CDR) dan mengendalikan pasien selama masa pengobatan agar tidak terjadi putus berobat (WHO, 2009 dalam Kemenkes RI, 2011). Prevalensi dan kematian adalah indikator langsung dari beban penyakit TB yang menunjukkan jumlah orang yang menderita penyakit ini dan kematian setiap tahunnya. Angka capaian CDR di Propinsi Jawa Tengah pada tahun 2011 sebesar 59,52%. Angka ini masih jauh dari angka yang ditargetkan Depkes sebesar 80%. Dalam hal ini perlu kajian khusus dalam penemuan kasus agar ada kesadaran dari masyarakat untuk memeriksakan dirinya apabila ada indikasi penyakit TB. CDR sangat terkait dengan Succes rate dan Cure rate. Succes rate adalah angka ketuntasan dalam menyelesaikan pengobatan sesuai standar. Sedangkan Cure rate adalah angka kesembuhan setelah pengobatan TB lengkap selama 6-8 bulan. Gagal adalah pasien yang hasil pemeriksaan dahaknya tetap positif atau kembali menjadi positif pada bulan kelima atau lebih selama pengobatan. Untuk menanggulangi masalah TB di Indonesia, world health organization (WHO) dan Bank Dunia merekomendasikan strategi directly observed treatment short-course (DOTS). Strategi DOTS harus diekspansi dan diakselerasi pada seluruh unit pelayanan kesehatan (UPK) dan berbagai institusi terkait. Strategi ini mulai diterapkan
3
secara bertahap pada tahun 1995 dan diberlakukan secara nasional pada tahun 2000 di seluruh UPK, terutama di Puskesmas yang diintegrasikan dalam pelayanan kesehatan dasar (Depkes RI, 2008). Succes rate dan cure rate di Propinsi Jawa Tengah selama 5 (lima) tahun berturut-turut (2007-2011) disajikan pada Tabel 1 sebagai berikut: Tabel 1. Succes Rate dan Cure Rate di Propinsi Jawa Tengah Tahun 2007-2011 No
Tahun
Indikator
2007
2008
2009
2010
2011
Target
1
Succes rate (%)
90,49
90,16
90,4
90,13
86,93
90
2
Cure rate (%)
84,24
83,9
85,01
85,15
82,18
85
Sumber: Profil Dinas kesehatan Kebumen Tahun 2011
Dari Tabel 1 dapat diketahui bahwa trend angka Succes rate ada kecenderungan menurun dan pada tahun terakhir (2011) berada di bawah target. Sedangkan angka Cure rate sangat fluktuatif dan angka pada tahun terakhir (2011) juga berada di bawah target yang telah ditentukan oleh Depkes. Kedua indikator tersebut menunjukkan angka yang hampir selalu berbanding lurus setiap tahunnya. Kedua indikator tersebut di atas perlu mendapat perhatian dan dibutuhkan strategi yang adekuat agar penanggulangan TB bisa terlaksana dengan efektif dan efisien. Dengan demikian, kegagalan pengobatan penyakit ini bisa ditekan seminal mungkin. Menelaah data TB dari salah satu Kabupaten di Jawa Tengah, yaitu Kabupaten Kebumen, didapat beberapa indikator TB yang masih harus menjadi perhatian. Cakupan CDR mengalami trend naik turun dalam 5 tahun terakhir. Demikian juga dengan data Cure Rate dan lost to follow-up. Cure Rate merupakan angka kesembuhan dari seluruh penderita TB yang berhasil ditemukan dan diobati, sedangkan default didefinisikan sebagai pasien yang telah berobat dan putus berobat 2 bulan atau lebih dengan BTA positif (Kemenkes RI, 2011). Seperti diketahui bahwa pengobatan yang tidak tuntas akan menimbulkan masalah kasus pengobatan ulang di kemudian hari sehingga rantai penularan sulit diputus.
4
Hal ini akan menimbulkan bertambahnya permasalahan dalam penanggulangan TB. Sebagai gambaran cakupan CDR dan Cure Rate di Kabupaten Kebumen pada tahun 2007-2011, disajikan pada Tabel 2 berikut:
Tabel 2. Cakupan CDR dan Cure Rate di Kabupaten Kebumen Pada tahun 2007-2011 No
Indikator
1
CDR (%)
2
Cure Rate (%)
2007 61,00
2008 61,40
Tahun 2009 49,00
78,00
80,40
82,86
2010 56,40
2011 60,40
82,42
78,00
Target 80 85
Sumber: Profil Dinas kesehatan Kebumen Tahun 2011
Dari Tabel 2 dapat diketahui bahwa CDR di Kabupaten Kebumen tidak pernah mencapai target selama 5 tahun berturut-turut. Demikian juga dengan cakupan Cure Rate. Bahkan terjadi penurunan cakupan CDR pada tahun 2008 ke tahun 2009 meskipun akhirnya naik lagi pada 2 tahun terakhir. cakupan Cure Rate menunjukkan trend yang cenderung meningkat tetapi masih di bawah target. Apabila dilakukan kajian lebih mendalam tentang cakupan CDR dan Cure Rate di Kabupaten Kebumen dalam 5 ahun terakhir, terlihat adanya ketimpangan dalam pengelolaan program TB, yang nantinya akan sangat berpengaruh terhadap status kesehatan masyarakat setempat. Tingkat penemuan kasus TB dan tingkat kesembuhan yang rendah akan menyebabkan meningkatnya tingkat penularan di masyarakat sehingga sulit untuk memutus rantai penularan penyakit ini. Pengkajian tentang daerah-daerah kantong yang memberi sumbangan tertinggi terhadap rendahnya kesembuhan harus dilakukan dengan cermat sehingga arah kebijakan penanggulangan TB lebih mengena sesuai sasaran. Salah satu penyebab tingkat kesembuhan yang rendah biasanya sebagai akibat dari tingginya pasien TB yang berhenti berobat sebelum selesai masa pengobatan yang semestinya. Apabila ini terjadi, maka akan terjadi kasus pengobatan ulang yang
5
sangat tinggi sehingga lingkaran penyakit TB sulit diputus. Pengobatan ulang yang tinggi akan meningkatkan fenomena Multi Drug’s Resistance (MDR). Menurut WHO, MDR-TB didefinisikan sebagai pasien TB yang setidaknya resisten pada 2 jenis obat anti TB yaitu Isoniasid (INH) dan Rifampicin. Mengingat fenomena MDR-TB ini sangat terkait dengan ketidakteraturan penderita TB dalam berobat, maka perlu ditelaah data putus berobat di masingmasing UPK. Berikut ini akan disajikan jumlah angka penderita sembuh dan putus berobat di masing-masing UPK di Kabupaten Kebumen pada Tabel 3.
Tahun 2013
RS 53 25 70 17 101 11 68 25 Kebumen 2 Puskesmas 493 12 397 8 440 8 402 17 3 BP4 102 19 89 20 89 16 41 9 Total 648 56 556 45 630 35 511 51 Sumber: Register TB03 dan TB08 Dinas kesehatan Kebumen Tahun 2008-2013
86
33
70
14
294 81 461
7 8 48
170 48 288
10 9 33
Dari Tabel 3 dapat diketahui bahwa trend jumlah penderita sembuh (BTA negatif) dan Putus berobat berbanding lurus. Secara total, jumlah penderita sembuh naik turun dan mengalami penurunan dari dari 2010 ke tahun 2011 dan 2012. Sedangkan putus berobat mengalami peningkatan pada 2 tahun terakhir. Menurunnya jumlah penderita yang sembuh (BTA negatif) dan meningkatnya putus berobat merupakan indikasi yang kurang baik dalam penanganan kasus TB. Hal ini akan menyebabkan meningkatnya kasus retreatment dikemudian hari dengan risiko Multi Drug’s Resistance. Dengan demikian, penyakit ini akan selalu ada di masyarakat dan akan menjadi masalah kesehatan masyarakat.
Putus berobat
Sembuh (BTA-)
Tahun 2012
Putus berobat
Tahun 2011 Sembuh (BTA-)
Putus berobat
Sembuh (BTA-)
Putus berobat
Tahun 2010
Putus berobat
1
Tahun 2009 Sembuh (BTA-)
UPK
Putus Berobat
No
Sembuh (BTA-)
Tahun 2008
Sembuh (BTA-)
Tabel 3. Jumlah Kesembuhan dan Putus Berobat Penderita TB BTA (+) di Kabupaten Kebumen Tahun 2008-2013 (Tribulan 2)
6
Soeparman (1990) mengatakan bahwa kegagalan pengobatan TB sebagian besar karena ketidakpatuhan pasien untuk berobat teratur akibat faktor ekonomi dan pengetahuan tentang penyakit TB. Ketidak patuhan pasien TB untuk berobat teratur adalah determinan dari cure rate dan default. Meningkatnya default sebenarnya mengindikasikan rendahnya kepatuhan pasien dalam berobat, yang pada akhirnya akan menyebabkan kegagalan pengobatan. Sebuah studi tentang TB menunjukkan bahwa faktor risiko yang secara signifikan berpengaruh terhadap kegagalan pengobatan, adalah: (1) penghasilan rendah atau < Rp.500,000 perbulan, (2) minum obat yang tidak teratur, (3) riwayat penyakit penyerta (diabetes melitus), (4) kebiasaan merokok, (5) dosis harian OAT yang tidak sesuai program dan (6) pemakaian OAT sebelumnya. Keenam faktor tersebut secara signifikan berpengaruh terhadap kegagalan pengobatan TB (Nugroho, 2009). Faktor pekerjaan seiring sejalan dengan faktor ekonomi. Jenis pekerjaan akan mempengaruhi jumlah pendapatan dan ekonomi masyarakat. Semakin baik pekerjaan dan pendapatan akan meningkatkan tingkat keberhasilan dalam pengobatan dan menekan angka putus berobat. Ketidak berdayaan dalam segi ekonomi menyebabkan penderita enggan untuk meneruskan pengobatan TB (Soeparman, 1990). Hal ini disebabkan karena penyakit TB ini sebagian besar diderita oleh masyarakat yang kurang mampu. Efek samping dari obat anti TBC akan memberikan pengaruh yang buruk, baik secara fisik maupun psikologis. Pengalaman dari pasien yang telah menggunakan obat TB, menyebutkan bahwa mereka cenderung merasa takut setelah mengalami perubahan warna kencing menjadi lebih gelap. Ada juga yang merasa mual sampai kehilangan nafsu makan kemudian berhenti berobat. Sebuah penelitian tentang efek samping obat TB yang dilakukan oleh (Koju et al., 2005), yang dilakukan pada 70 pasien TB (70% laki-laki dan 30% perempuan). Hasil menunjukkan ada peningkatan yang signifikan dalam total bilirubin, AST, ALT, alkali fosfatase, eosinofil, limfosit, monosit setelah pengobatan anti-TB. Sementara itu ada penurunan yang signifikan dalam jumlah WBC, neutrofil, jumlah trombosit, dan ESR. Dari 70 pasien yang diobati untuk TB, 80% dari jumlah total pasien melaporkan mengalami efek samping.
7
Pelayanan akan kesehatan merupakan kebutuhan masyarakat, walaupun untuk mencarinya memerlukan sejumlah pengorbanan, misalnya biaya untuk berobat (Esron, 2009), termasuk juga biaya perjalanan. Faktor ketersediaan OAT juga merupakan hal yang tidak dapat diabaikan dalam keberlanjutan penderita dalam berobat. Bila logistik tidak dikelola dengan baik, OAT tidak tersedia, maka penderita TB akan berhenti atau putus berobat. Sebuah penelitian TB di Indonesia, yang menelaah tentang kepatuhan pasien TB dalam berobat, dalam kontek keperawatan komunitas, menunjukkan bahwa ada korelasi yang signifikan antara peran petugas dan keaktifan PMO dalam mencegah pasien untuk tidak putus dalam berobat. Semakin tinggi peran petugas dan semakin aktif PMO maka semakin kecil kemungkinan pasien akan putus dalam berobat (Istiawan et al., 2010). Soeparman (1990) bahwa pendidikan sangat berperan dalam menentukan keputusan pasien TB baru untuk meneruskan pengobatan atau berhenti di tengah jalan. Biasanya semakin tinggi pendidikan, semakin tinggi pula kesadaran pasien untuk memperoleh kesembuhan sehinga angka putus brobat bisa ditekan sekecil mungkin. Tirtana & Musrichan (2011) yang mengatakan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi keberhasilan pengobatan pada pasien TB paru dipengaruhi oleh keteraturan berobat dan lama pengobatan (berpengaruh kuat), tingkat pendapatan, jenis pekerjaan, kebiasaan merokok, jarak tempat tinggal pasien hingga tempat pengobatan dan status gizi. Kelima hal terakhir memang tidak memberi pengaruh yang begitu kuat namun demikian tetap mempengaruhi keberhasilan pengobatan penderita TB paru. Uraian di atas menunjukkan besarnya permasalahan TB di Indonesia umumnya dan di Kabupaten Kebumen khususnya. Berdasarkan latar belakang masalah tersebut, maka masalah yang diangkat dalam penelitian ini adalah meningkatnya jumlah lost to follow-up (putus berobat) di Kabupaten Kebumen selama 2 tahun, yaitu 37 kasus pada tahun 2010 menjadi 51 pada tahun 2011 dan 48 pada tahun 2012.
8
B. Rumusan Masalah Dari uraian pada latar belakang dan rumusan penyebab masalah di atas, maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut. 1.
Adakah hubungan antara efek samping OAT dengan kejadian putus berobat pada penderita TB di Kabupaten Kebumen?
2.
Adakah hubungan biaya perjalanan ke sarana kesehatan dengan kejadian putus berobat pada penderita TB di Kabupaten Kebumen?
3.
Adakah hubungan antara ketersediaan OAT di sarana kesehatan dengan kejadian putus berobat pada penderita TB di Kabupaten Kebumen?
4.
Adakah hubungan antara pekerjaan dengan kejadian putus berobat pada penderita TB di Kabupaten Kebumen?
5.
Adakah hubungan antara tingkat pendidikan dengan kejadian putus berobat pada penderita TB di Kabupaten Kebumen?
6.
Adakah hubungan antara keaktifan PMO dengan kejadian putus berobat pada penderita TB di Kabupaten Kebumen?
7.
Adakah hubungan antara Peran Dokter dengan kejadian putus berobat pada penderita TB di Kabupaten Kebumen?
C. Tujuan Penelitian 1.
Tujuan umum Mengidentifikasi faktor-faktor yang berhubungan dengan kejadian putus berobat pada penderita TB di Kabupaten Kebumen.
2.
Tujuan khusus a. Mengetahui hubungan efek samping obat dengan kejadian putus berobat pada penderita TB di Kabupaten Kebumen b. Mengetahui hubungan biaya perjalanan ke sarana kesehatan dengan kejadian putus berobat penderita TB di Kabupaten Kebumen c. Mengetahui hubungan ketersediaan OAT di sarana kesehatan dengan kejadian putus berobat penderita TB di Kabupaten Kebumen
9
d. Mengetahui hubungan pekerjaan dengan kejadian putus berobat penderita TB di Kabupaten Kebumen e. Mengetahui hubungan tingkat pendidikan dengan kejadian putus berobat penderita TB di Kabupaten Kebumen f. Mengetahui hubungan keaktifan PMO dengan kejadian putus berobat penderita TB di Kabupaten Kebumen g. Mengetahui hubungan Peran Dokter dengan kejadian putus berobat penderita TB di Kabupaten Kebumen
D. Manfaat Penelitian 1.
Bagi Dinas Kesehatan Kabupaten Kebumen Memberikan tambahan informasi mengenai faktor-faktor yang berhubungan dengan kejadian putus berobat pada penderita TB sehingga bisa di gunakan sebagai upaya menetapkan dan menentukan kebijakan strategi penanggulangan TB, sehingga tidak ditemukan kembali penderita TB yang mengalami putus berobat.
2.
Bagi penderita TB Diharapkan dapat merubah perilaku menjadi lebih baik dan kembali menjalankan pengobatan TB guna mendapatkan kesembuhan
3.
Peneliti Menambah
wawasan
pengetahuan
dan
pengalaman
dalam
melakukan analisis data dan penelitian ilmiah. E. Keaslian Penelitian Penelitian tentang faktor-faktor yang berhubungan dengan kejadian putus berobat pada penderita tuberculosis (TB) di Kabupaten Kebumen Jawa Tengah belum pernah dilakukan penelitian oleh peneliti sebelumnya terutama di Kabupaten Kebumen Jawa Tengah. Penelitian yang sejenis/mirip di lokasi yang berbeda sudah pernah dilakukan, yaitu:
10
Peneliti (Damanik, 2010)
Judul Penelitian Faktor-faktor yang Menyebabkan Pasien Putus Obat pada Pasien TB Paru dengan Manajemen DOTS di Kabupaten Tobasa Sumatera Utara (Pessoa Militao de Factors associated Alburqueque et with treatment al., 2007) failure, dropout, and death in a cohort of tuberculosis patients in Recife, Pernambuco State, Brazil (Hasker et al., Default from 2008) tuberculosis treatment in Tashkent, Uzbekistan; Who are these defaulters and why do they default? (Kittikraisak et al., Factors associated 2009) with tuberculosis treatment default among HIVinfected tuberculosis patients in Thailand
Persamaan Variabel penelitian: pasien putus berobat, efek samping obat.
(Dooley et al., 2011)
Jenis penelitian: variabel yang diteliti studi kasus kontrol yaitu pasien TB yang kambuh, konsumsi alkohol, pengguna tembakau , pengguna narkoba Lokasi: Maroko
Risk factors for tuberculosis treatment failure, default,or relapse and outcomes of retreatment in Morocco
Variabel diteliti: pekerjaan
Perbedaan Jenis penelitian: kualitatif Instrumen penelitian: Panduan wawancara Lokasi: Sumatera Utara
yang Jenis penelitian: studi status kohort, variabel yang diteliti yaitu konsumsi alkohol, infeksi HIV Lokasi: Brasil
Jenis penelitian: studi kasus kontrol Subyek: pasien Default Variabel: status pekerjaan, penyakit lain yang menyertai
variabel yang diteliti yaitu penggunaan narkoba dan suntikan, konsumsi alkohol, infeksi HIV Lokasi: Uzbekistan
Variabel: status bekerja (employed)
Jenis penelitian: studi kohort, variabel yang diteliti yaitu pengetahuan, perilaku dan kepercayaan tentang TB dan HIV, penggunaan obatobatan dan alkohol