BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Lembaga Swadaya Masyarakat
(LSM) adalah organisasi/lembaga
yang
anggotanya adalah masyarakat warga negara Republik Indonesia yang secara sukarela atau kehendak sendiri berniat serta bergerak di bidang kegiatan tertentu yang ditetapkan oleh organisasi/lembaga sebagai wujud partisipasi masyarakat dalam upaya meningkatkan taraf hidup dan kesejahteraan masyarakat, yang menitikberatkan kepada pengabdian secara swadaya (Instruksi Mendagri,1990). Dengan demikian Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) atau Non-Governmental Organizations (NGOs) dapat dikatakan merupakan suatu bentuk organisasi yang memiliki karakteristik sosial sebagai organisasi mandiri (independen). Dalam beberapa dekade terakhir, LSM di negara-negara berkembang ikut andil di bidang sosial dan kesehatan seperti pengentasan kesejahteraan kaum miskin, sebagai donor fund dan pemeran health service delivery dalam beberapa kasus, salah satunya adalah program penanggulangan HIV-AIDS. Penanggulangan HIV-AIDS tersebut bertujuan untuk mencegah dan mengurangi angka penularan HIV, meningkatkan kualitas hidup ODHA dan mengurangi dampak sosial ekonomi akibat HIV-AIDS (KPAN, 2003). Selain itu, LSM atau NGOs di dalam program penanggulangan HIV-AIDS bersama UNAIDS melakukan kerjasama untuk memperluas jangkauan program nasional dan internasional, berkoordinasi dan berkolaborasi serta meningkatkan kapasitas dari beberapa sektor terkait dalam program pencegahan dan penanggulangan HIV-AIDS (Connor, 2000). LSM memainkan peranan penting dalam program penanggulangan HIV/AIDS di Indonesia dan dapat menjangkau orang-orang atau individu dan kelompok dengan kebutuhan khusus, salah satunya adalah waria yang biasanya sulit dijangkau oleh pemerintah (KPAN, 2003). Secara global, diperkirakan 19% dari transgender atau transwoman atau waria hidup dengan HIV dan dengan risiko tertular HIV 49 kali 1
2
lebih tinggi dari semua orang dewasa usia reproduksi (UNAIDS, 2015). Selain itu, beberapa penelitian secara epidemiologi di beberapa negara menyebutkan bahwa transwoman cenderung memiliki risiko seksual lebih tinggi atau sama tingginya dengan transman (WHO, 2015). Dilihat dari proporsi transgender yang terlibat dalam pekerja seks, Indonesia menempati urutan ke-3 yaitu sebesar 81% setelah India sebesar 90% dan Malaysia sebesar 84% yang kemudian diikuti oleh Kamboja sebesar 36% (UNAIDS, 2015). Hal ini juga diperkuat dengan adanya penelitian-penelitian sebelumnya dari Walter, et al., (2005); Brahman, et al., (2008) dan FHI, (2007) bahwa di Amerika Utara, Eropa dan negara-negara berkembang seperti India dan Nepal transwoman atau yang biasa kita kenal sebagai transgender atau transvestites atau waria di Indonesia memiliki tingkat infeksi lebih tinggi terhadap infeksi HIV (Bhatta, 2014). Di Indonesia prevalensi HIV pada kelompok waria menduduki peringkat kedua sebesar 22% setelah kelompok penasun yaitu sebesar 41%. Sedangkan pada perilaku berisiko dan perilaku menjual seks kelompok waria berada di posisi paling tinggi berturut-turut yaitu sebesar 26% (diantara Pria Potensi Risti, LSL dan Penasun) dan 81% (diantara LSL dan Penasun) (STBP, 2011). Selanjutnya, perkembangan jumlah kasus HIV-AIDS di Indonesia untuk infeksi HIV positif pada tahun 2013 mengalami peningkatan hingga 35% dibandingkan tahun sebelumnya dan untuk penderita AIDS di tahun yang sama lebih cenderung pada kelompok laki-laki, yaitu sebesar 55,1% atau 1,9 kali lebih besar dibandingkan dengan kelompok perempuan (Kemenkes RI, 2013). Sejak tahun 1987 sampai dengan Maret 2016 jumlah infeksi HIV dan AIDS di Indonesia berturut-turut sebesar 191.073 dan 77.910 orang dengan perbandingan proporsi pada laki-laki sebesar 42.838, perempuan sebesar 24.282 dan tidak diketahui sebesar 11.172. Selain itu, dilihat menurut faktor risiko kelompok heteroseksual menempati peringkat pertama sebesar 51.692 dan disusul kelompok biseksual menempati urutan ketiga sebesar 8.835 setelah kelompok penasun (P2PL RI, 2016). Provinsi DIY mengalami peningkatan dalam hal jumlah kasus baru infeksi HIV dengan menempati urutan ke-12 di tahun 2014 (Pusdatin Kemenkes RI, 2014).
3
Adanya kecenderungan penularan pada kelompok laki-laki lebih dari 55,1% yang didalamnya termasuk waria menyebabkan munculnya kasus HIV-AIDS yang cukup tinggi pada kelompok berisiko tersebut. Jumlah kasus HIV dan AIDS di provinsi DIY hingga Maret 2016 berturut-turut 3.334 kasus HIV dan 1.314 kasus AIDS. Selain itu, distribusi jumlah kasus HIV maupun AIDS di provinsi DIY berdasarkan jenis kelamin lebih besar pada laki-laki dibandingkan perempuan berturut-turut sebesar 3.089 dan 1.481 kasus. (KPAP, 2016). Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) Keluarga Besar Waria Yogyakarta (Kebaya) merupakan LSM yang secara khusus peduli pada kelompok waria. Lembaga tersebut merupakan LSM pertama kali di Indonesia (tahun 2006) menjadi proyek percontohan yang berhasil mendapatkan tawaran dana dari donor fund internasional karena kontribusinya dalam penanganan ODHA pada kelompok khusus waria dan penanganan tersebut masih berlanjut sampai sekarang (Wakijo et al., 2014). Namun demikian, LSM Kebaya secara resmi tidak memiliki SK (mandate) dalam menjalankan perannya, hanya sebatas berkoordinasi atau bermitra kerja dengan beberapa instansi terkait di dalam program penanggulangan HIV-AIDS di Yogyakarta (Pergub DIY, 2012). Standar cakupan populasi kunci khususnya waria dalam program penanggulangan HIV- AIDS merujuk pada target 90-90-90 yaitu 90% dari jumlah waria yang ada harus terjangkau, 90% dari waria yang terjangkau harus mengikuti/mengakses layanan VCT, 90% dari waria yang mengakses layanan VCT harus mengetahui hasilnya dan masuk terapi ARV dan dipastikan konsisten dalam melaksanakan terapi atau pengobatan (UNAIDS, 2014). Sedangkan untuk cakupan perubahan perilaku penggunaan kondom dan penggunaan alat suntik steril pada populasi kunci sebesar 60% dan Indonesia sendiri dalam target perubahan perilaku penggunaan kondom pada kelompok waria masih sebesar 40% (SRAN 2010-2014). Upaya penanggulangan HIV-AIDS secara umum di DIY dibagi menjadi 3 upaya, yaitu pencegahan penularan, pengobatan dan perawatan ODHA, serta pengamatan penyakit. Hal ini sesuai dengan Peraturan Daerah Provinsi DIY No. 12 tahun 2010
4
tentang Upaya Penanggulangan HIV-AIDS (Dinkes DIY, 2014). Salah satu peran LSM Kebaya dalam program penanggulangan HIV-AIDS adalah penjangkauan terhadap Community Based Organization (CBO) Waria di seluruh provinsi DIY. Adapun pencapain target oleh LSM Kebaya dalam penjangkauan waria sejumlah 10 CBO Waria di seluruh Yogyakarta. Jika dikalkulasikan sekitar 41,86% atau 193 dari 461 waria yang ada di database LSM Kebaya. Masih terdapat selisih 48,14% jika dibandingkan dengan target cakupan populasi (Data Intern LSM Kebaya, 2015). Penjangkauan dalam upaya pencegahan penularan HIV pada dasarnya bertujuan untuk mengubah perilaku individu terhadap risiko penularan infeksi HIV (Gupta et al., 2008). Selain itu, adanya penjangkauan adalah memenuhi kebutuhan individu yang berpotensi atau memiliki faktor risiko dalam komunitas mereka sendiri dan berada ditempat mereka tinggal, bekerja, dan bersosialisasi serta menghubungkan mereka kedalam layanan pencegahan, kemauan untuk melakukan tes HIV dan pengobatan (FDH, 2012). Penjangkauan yang dilakukan oleh LSM Kebaya bertujuan untuk menekan laju angka infeksi penularan HIV atau mengurangi risiko penularan. Meskipun secara legalitas hukum kedudukan LSM Kebaya belum sampai pada tingkat legalitas hukum nasional, akan tetapi sudah bisa memberikan kontribusi di dalam program penanggulangan HIV-AIDS di Yogyakarta melalui penjangkauan. Keterlibatan waria atau transgender terhadap penjangkauan atau intervensi perilaku tingkat komunitas lainnya dapat mengurangi risiko HIV hingga 25% (UNAIDS, 2015). Selain itu, dalam kegiatan penjangkauan, keterlibatan transgender bisa menjadikan sebagai agent of change (Cobos & Jones, 2009). Upaya penjangkauan yang dilakukan oleh LSM Kebaya kepada CBO atau komunitas waria tidak terlepas dari faktor Social Determinant of Health (SDoH) dimana komunitas khusus seperti waria atau transgender di dalam masyarakat masih mengalami stigma, diskriminasi serta tindak kekerasan dan pelecehan seksual dilihat dari orientasi seksual dan identitas yang menghambat dalam mengakses layanan kesehatan sehingga dapat mempengaruhi kesehatan mental dan perilaku berisiko tinggi mereka (UNDP, 2015).
5
Melihat kontribusi dalam program penanggulangan HIV-AIDS melalui kegiatan penjangkauan dan belum pernah ada dokumentasi kinerja yang dilakukan LSM Kebaya, peneliti tertarik menggali lebih dalam terkait kinerja kegiatan penjangkauan waria Lembaga Swadaya Masyarakat Keluarga Besar Waria Yogyakarta (LSM Kebaya) dalam program penanggulangan HIV-AIDS di Yogyakarta tahun 2015-2016, dimana pada tahun 2015-2016 merupakan transisi waktu LSM Kebaya selama 5 tahun terakhir tidak bekerja sama dengan donor fund dan pada tahun 2016 menjadi bagian dari upaya kegiatan penjangkauan populasi kunci yaitu waria dari LSM Vesta dimana merupakan Sub Sub Recipient yang mendapat bantuan dana dari program Global Fund – New Funding Model (GF-NFM). B. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang di atas maka perumusan masalahnya adalah bagaimana kinerja kegiatan penjangkauan waria Lembaga Swadaya Masyarakat Keluarga Besar Waria Yogyakarta (LSM Kebaya) dalam program penanggulangan HIV-AIDS di Yogyakarta tahun 2015-2016? C. Tujuan Penelitian 1. Tujuan Umum Mengetahui kinerja kegiatan penjangkauan waria Lembaga Swadaya Masyarakat Keluarga Besar Waria Yogyakarta (LSM Kebaya) dalam program penanggulangan HIV-AIDS di Yogyakarta tahun 2015-2016. 2. Tujuan Khusus a. Mengetahui pelaksanaan kegiatan penjangkauan waria Lembaga Swadaya Masyarakat Keluarga Besar Waria Yogyakarta (LSM Kebaya) dalam pogram penanggulangan HIV-AIDS di Yogyakarta tahun 2015-2016. b. Mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi atau yang menjadi kendala dalam
pelaksanaan
kegiatan
penjangkauan
waria
Lembaga
Swadaya
Masyarakat Keluarga Besar Waria Yogyakarta (LSM Kebaya) dalam pogram penanggulangan HIV-AIDS di Yogyakarta tahun 2015-2016.
6
D. Manfaat Penelitian 1. Bagi Institusi Kesehatan Sebagai bahan masukan program penanggulangan HIV-AIDS dalam pencegahan dan penularan HIV di Yogyakarta. 2. Bagi LSM Kebaya Sebagai bahan masukan kegiatan penjangkauan waria Lembaga Swadaya Masyarakat Keluarga Besar Waria Yogyakarta (LSM Kebaya) dalam pogram penanggulangan HIV-AIDS di Yogyakarta. 3. Bagi Mahasiswa Menambah khasanah pengetahuan dan gambaran tentang kinerja kegiatan penjangkauan waria Lembaga Swadaya Masyarakat Keluarga Besar Waria Yogyakarta (LSM Kebaya) dalam pogram penanggulangan HIV-AIDS di Yogyakarta. E. Keaslian Penelitian Tabel 1. Keaslian Penelitian Judul Peneliti, No Penelitian Tahun 1.
2.
Challenges to successful implementation of HIV and AIDS-related health policies in Cartagena, Colombia.
Collaborative Governance
Djellouli, Nehla, and María Cristina QuevedoGómez. 2015
Asri Swastini.
Persamaan Qualitative Research
Qualitative Research
Hasil Identifikasi hambatan : (1) Pemahaman populasi lokal dan keyakinan terhadap penggunaan kondom. (2) Stigma dan diskriminasi. (3) Kurangnya kerjasama dari Gereja, sektor pendidikan dan politisi pemerintah setempat. (4) Korupsi (5) Seringnya pergantian staff (6) Seringnya perubahan kepemimpinan (7) Lemahnya sumber daya ekonomi dan manusia. (8) Akses pelayanan kesehatan Pentingnya LSM sebagai aktor perintis, advokat dan pelaksana bagi perencanaan nasional. (1) Kolaborasi antara KPA dengan LSM tidak berjalan efektif.
7
3.
4.
5.
Penanggulanga n AIDS dan LSM dalam Kasus HIVAIDS di Kota Surakarta.
2010.
dengan pendekatan etnografi triangulasi.
(2) LSM lebih aktif, lebih sering terjun ke lapangan dibandingkan dengan KPA. (3) Pemerintah bergantung pada LSM, sedangkan LSM bergantung pada lembaga donor.
Fenomena Perilaku Seksual dan Potensi Penularan HIV/AIDS pada Waria di Kota Yogyakarta Pemberdayaan Waria dalam Promosi Pencegahan HIV/AIDS Melalui Sistem Multilevel Social Marketing di Kota Medan Identifying Training needs of Health-Care Providers Related to Treatment and Care of Transgendere Patients : A Qualitative Need Assessment Conducted in New England
Palupi Triwahyuni . 2008.
Qualitative research dengan triangulasi sumber dan metode.
(1) Pengetahuan waria masih kurang akan pentingnya condom use dalam upaya pencegahan penularan HIV-AIDS. (2) Waria belum memahami pentingnya perilaku seks sehat.
Siti Mastura. 2008.
Operational qualitative research
(1) Downline mengalami peningkatan diluar perkiraan. (2) Metode MSM efektif digunakan sebagai salah satu metode dalam upaya promotifpreventif HIV/AIDS. (3) Kelompok waria bisa menjadi agent of change dalam program penanggulangan HIV-AIDS.
Lurie, Samuel. 2005.
Qualitative research dengan pendekatan need assessment.
Ada kesenjangan dalam pengetahuan, sumber pengetahuan, keahlian profesional dan ketrampilan dalam menangani kebutuhan pasien transgender (waria) yang hidup dengan HIV maupun yang berisiko terhadap HIV.
Dari tabel diatas dapat dilihat bahwa kesamaan penelitian ini dengan penelitianpenelitian sebelumnya adalah pada objek penelitian secara umum yaitu program penanggulangan HIV-AIDS, metode penelitian qualitative research, dan subjek penelitian pada waria. Sedangkan untuk perbedaannya terletak pada objek penelitian secara khusus yaitu kinerja penjangkauan waria, tempat penelitian, tahun penelitian,
8
dan istansi/lembaga yaitu di LSM yang khusus menangani HIV-AIDS pada waria, bukan pada LSM yang menangani HIV-AIDS secara umum.