BAB I PENDAHULUAN
Ancaman pembangunan ekonomi ekstraktif dan pembangunan infrastruktur yang mengkonversi lahan-lahan produktif pertanian, atau mengubah pertanian skala rumah tangga menjadi skala korporasi. Banyak media memberitakan atas hasil olah data BPS 2012 yang melaporkan adanya konversi lahan pangan sejumlah 100.000 ha/tahun, dan jumlah petani berkurang 3,1 juta/tahun (7,42% populasi). Akan tetapi kebijakan pemerintah di banyak kabupaten di Indonesia seakan menutup mata proses penghilangan lahan pangan ini. (Kompas, 12 Juni 2012).
A. Latar Belakang Kajian ini menjelaskan tentang manajemen konflik berbasis komunitas dengan pemanfaatan CDR (Community Dispute Responsibility) sebagai instrumen berbasis komunitas dalam manajemen konflik tambang pasir besi di Kulon Progo. Konflik merupakan hal yang sangat rentan terjadi dalam kehidupan sosial masyarakat. Konflik tambang pasir besi Kulon Progo merupakan konflik Sumber Daya Alam (SDA) yang sudah lama berlangsung. Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan instrumentasi CDR (Community Dispute Responsibility) dalam manajemen konflik berbasis komunitas pada konflik tambang pasir besi di Kulon Progo. Meskipun konflik tersebut sudah lama berlangsung namun penelitian ini tetap menarik karena terdapat perkembangan relasi kuasa antar aktor di lapangan dan juga peran komunitas masyarakat terkait pertambangan pasir besi sekarang ini. Berikut ini peneliti sajikan uraian secara komprehensif terkait latar belakang yang menjadikan penelitian ini menarik dan perlu dilakukan.
1
Konflik ini memuncak saat pengesahan kontrak antara Pemerintah Kabupaten Kulon Progo dengan investor yang akan menambang pasir besi di lahan pesisir pantai Kulon Progo pada akhir tahun 2008. Kebijakan pemerintah yang dinilai masyarakat tidak pro rakyat membuat rakyat semakin marah dan tidak terima akan kebijakan tersebut. Kawasan masyarakat yang dijadikan tambang pasir besi oleh pemerintah dan swasta membuat masyarakat pro dan kontra. Masyarakat yang kontra terhadap penambangan adalah mereka yang sehari-harinya menggantungkan dirinya bekerja menjadi petani penggarap lahan pantai. Sedangkan mereka yang pro penambangan adalah sekelompok masyarakat yang mendukung keberadaan tambang pasir besi oleh PT. JMI, juga masyarakat yang tergabung dalam Sekretariat Bersama Petani Penggarap Tanah Pakualam dan juga masyarakat yang tidak berprofesi sebagai petani penggarap lahan pantai serta tidak terkena dampak langsung dengan adanya penambangan pasir besi di pesisir pantai Kulon Progo. Adapun pihak swasta yang berperan dalam penambangan pasir besi adalah PT. Jogja Magasa Iron (JMI) di mana pemilik saham terbesarnya adalah Sri Sultan Hamengku Buwono X serta Pakualam IX.1 Pemerintah berdalih bahwa dengan adanya proyek penambangan pasir besi di Kulon Progo akan meningkatkan kesejahteraan dan taraf hidup masyarakat setempat namun jika dikaji lebih lanjut masyarakat sangat paham akan dampak yang ditimbulkan akibat penambangan pasir. Rusaknya ekosistem laut terutama lahan pesisir pantai yang menurut masyarakat menyebabkan terjadinya kerusakan lingkungan sehingga masyarakat sangat khawatir mereka akan kehilangan mata pencahariannya sebagai petani penggarap lahan pantai. Masyarakat juga takut jika dampak penambangan berakibat pada sumur-sumur yang mereka miliki akan menjadi asin karena intrusi air laut ke daratan (karena tidak adanya pembatas lagi), air sumur 1
Data diambil dari riset Eka Zuni Lusi Astuti yang kemudian dipublikasikan dalam “Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Volume 16 Nomor 1 pada bulan Juli tahun 2012 (62-74). Tulisan ini merupakan perngembangan dari hasil penelitian penulis pada tahun 2010 yang berjudul “Konflik Pasir Besi: Studi tentang Pengelolaan Sumber Daya Alam di Pesisir Pantai Selatan Kecamatan Galur Kabupaten Kulon Progo”.
2
yang asin tidak akan bisa digunakan untuk mengairi lahan pertanian mereka, selain itu air sumur yang asin akan mengganggu reproduksi perempuan. Bentuk protes ataupun demonstrasi yang mereka lakukan tidak lain adalah bentuk resistensi masyarakat Kulon Progo terhadap kebijakan pemerintah yang tidak memihak kepada mereka.2 Pemerintah lebih memilih dan mendukung elit politik serta pemilik modal dalam hal ini pihak swasta yaitu PT. JMI yang dimiliki oleh Sri Sultan Hamengku Buwono X dan Paku Alaman IX. Masyarakat yang diwakili dalam sebuah komunitas berusaha memperjuangkan haknya yang diberi nama PPLP-KP 3 (Paguyuban Petani Lahan Pantai Kulon Progo), komunitas masyarakat ini berupaya untuk melakukan advokasi ke berbagai pihak untuk mengakomodir kepentingan kolektif maupun kepentingan masyarakat sekitar tambang pasir Kulon Progo. Sudah tidak terhitung berapa kali PPLP-KP melakukan protes ke pemerintah namun aspirasi mereka kurang didengar. PPLP-KP juga beraliansi dengan beberapa LSM untuk merealisasikan usaha penolakan penambangan pasir di pesisir pantai Kulon Progo. Pesisir pantai Kulon Progo memiliki garis pantai sepanjang ±1,8 kilometer dengan kondisi tanah yang berupa pasir.4 Lahan pasir seluas 2000 meter dari permukaan laut diperkirakan mencapai 3600 hektare (Anshori, 2011) dan sebanyak 2500 hektar digunakan sebagai lahan pertanian dan perkebunan. Potensi yang dimiliki daerah Kulon Progo ini membuat daerah ini menjadi incaran berbagai pihak. Selain kesuburan daerah Kulon Progo, banyak penelitian yang membuktikan bahwa tanah pasir yang berada di pesisir pantai mengandung Titanium. Penelitian pada proyek penambangan sudah direncanakan sejak tahun 1973. Pemerintah serta investor masing-masing memiliki kepentingan terhadap potensi yang dimiliki Kulon Progo. Sedangkan PT. Jogja Magasa Iron merupakan korporasi yang dimiliki oleh keluarga Sultan yang memang 2
ibid Petani penggarap lahan pantai Kulon Progo merupakan kelompok tani terbesar yang menolak dan muncul akibat penambangan pasir besi Kulon Progo. 4 ibid 3
3
memiliki kepentingan khusus terhadap pasir besi Kulon Progo. Adanya kepentingan tersebut disinyalir untuk kepentingan komersil dalam rangka menambah pundi-pundi kekayaan yang dimiliki keluarga Keraton. Oleh karena itu Sultan memihak pada korporasi keluarga ini yaitu PT. Jogja Magasa Iron. Kekompakan pemerintah dan juga pihak korporasi membuat posisi masyarakat Kulon Progo khususnya petani lahan pantai sangat sulit. Sulit bagi mereka untuk memperjuangkan haknya bahkan mereka memaksa Bupati dan Ketua DPR untuk membatalkan kesepakatan antara pemerintah Kabupaten Kulon Progo dengan pemilik modal.5 Tarik ulur kepentingan pemerintah propinsi, korporasi dan juga masyarakat semakin menyebabkan konflik pasir besi semakin sulit diselesaikan. Sultan dan Pakualam memihak PT. Jogja Magasa Iron karena menurut pihak mereka lahan pantai yang digunakan sebagai mata pencaharian petani lahan pantai sehari-hari merupakan Sultan Ground dan Pakualam Ground6 sehingga para penguasa ini merasa dengan bebas dapat mengambil alih lahan menguntungkan yang notabene menjadi mata pencaharian masyarakat selama berpuluh tahun. Masyarakat pesisir sangat bergantung dengan lahan pesisir pantai. Pergulatan kepentingan antara korporasi dan petani saling memperebutkan produksi pasir besi selain karena mendatangkan keuntungan secara komersil bagi korporasi, pasir besi juga mampu menopang kehidupan ekonomi masyarakat lahan pantai. Begitu sulitnya masyarakat mengakses hak mereka sehingga komunitas masyarakat, PPLP-KP (Paguyuban Petani Lahan Pantai Kulon Progo) melakukan berbagai macam upaya advokasi ke berbagai pihak untuk mencari dukungan serta solusi dari konflik tambang pasir besi. PPLP-KP terbentuk tahun 2006 dan berfungsi sebagai gerakan sosial (social movement) dan gerakan politik
5 6
ibid Sultan Ground merupakan tanah yang selama ini diakui oleh masyarakat DIY sebagai milik Kesultanan yang meliputi tanah keprabon (tanah untuk bangunan istana dan pendukungnya) dan bukan keprabon (tanah yang digunakan penduduk/lembaga dengan hak dan tanpa alas hak). Sedangkan Pakualam Ground merupakan tanah yang selama ini diakui oleh masyarakat DIY sebagai milik Kadipaten Pakualam meliputi tanah keprabon dan bukan keprabon. Sultan Ground (SG) dan Pakualam Ground (PAG) memiliki pengertian tanah milik Sultan/Pakualam secara pribadi.
4
(political
movement)
dari
para
petani
lahan
pantai
yang
ingin
memperjuangkan haknya.7 Banyak kendala yang dihadapi komunitas masyarakat seperti PPLP-KP dalam memperjuangkan hak petani. Selain adanya tekanan dari korporasi dan pemerintah setempat baik pemerintah lokal maupun pemerintah propinsi juga harus menghadapi persepsi masyarakat yang pro terhadap privatisasi penambangan pasir ini. Masyarakat yang bersifat pro setuju dan mendukung segala kebijakan yang dikendalikan oleh Sultan sehingga pengaruh Sultan seringkali sulit dihindarkan dari benak mereka. Selain membawa dampak negatif bagi masyarakat setempat yaitu penggusuran
pemukiman
penduduk,
tergesernya
lahan
pertanian,
masyarakat juga sangat khawatir dengan adanya proyek tambang pasir besi karena benteng yang digunakan untuk memecah ombak akan hilang sehingga potensi dilanda tsunami semakin besar. Kekhawatiran masyarakat makin parah ditambah dengan adanya Undang-Undang Tata Ruang Kabupaten Kulon Progo yang menyebutkan bahwa kawasan pesisir pantai diperuntukkan untuk kawasan pertambangan. Konflik juga berkepanjangan karena menurut Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 disebutkan bahwa masyarakat berhak mengelola sepanjang lahan pesisir karena masyarakat memiliki sertifikat sah tetapi pada kenyataannya tidak demikian. Pemerintah lebih pro pada kepentingan korporasi yang berupaya mendapatkan keuntungan namun tidak memperhatikan kesejahteraan masyarakat pesisir pantai.8 Berbagai upaya yang dilakukan masyarakat untuk memperjuangkan hak-haknya selalu tidak berhasil karena kekuatan pemerintah. Pemerintah selalu menghindar ketika dimintai penjelasan serta pertanggungjawaban bahkan pemerintah masih tetap saja melegalkan penambangan pasir besi di kawasan pesisir pantai. Ditambah lagi dengan keputusan Kementerian ESDM 7 8
yang
sudah
sepakat
dan
mendukung
konsep
perubahan
ibid ibid
5
pengembangan dan pengelolaan proyek pengolahan pasir besi satu-satunya di pulau Jawa. Meskipun area yang dibangun menjadi pabrik terbatas yaitu di wilayah timur desa Karangwuni, kecamatan Wates yang memang sudah dibebaskan, masyarakat tetap berupaya menolak sekuat tenaga keberadaan pabrik yang akan semakin diperluas.9 Masyarakat yang tergabung dalam PPLP-KP (Paguyuban Petani Lahan Pantai Kulon Progo) terus berusaha melakukan advokasi demi masyarakat meskipun sering menemukan ‘jalan buntu’. Namun hal ini tidak menghentikan langkah PPLP-KP sebagai komunitas masyarakat untuk terus menyuarakan aspirasinya pada pemerintah. Seringkali PPLP-KP melakukan demonstrasi menuntut ketegasan sikap pemerintah dan pada akhirnya tidak menghasilkan apa-apa karena tidak ada respon dari pihak pemerintah. PPLP-KP terus menyuarakan aspirasi masyarakat untuk mempertahankan hak-hak mereka dan juga menolak keberadaan PT. Jogja Magasa Iron di kawasan tambang pasir besi Kulon Progo. Tidak adanya ketegasan sikap dan kepedulian pemerintah terhadap masyarakat. Kebijakan pemerintah lebih pro pada korporasi penguasa dibandingkan dengan nasib masyarakat yang ada di kawasan tersebut. Saat itu, banyaknya korban mogok makan dalam demonstrasi serta beberapa petani lahan pasir yang ditangkap polisi membuat masyarakat semakin marah dan anti terhadap pemerintah. Masyarakat menuntut pemerintah untuk segera membebaskan petani lahan pasir yang ditahan. 10 Pemerintah berdalih kebijakan penambangan berasal dan diputuskan oleh pusat sehingga pemerintah propinsi kurang memiliki kewenangan dalam memutuskan kebijakan. Meskipun pemerintah bersikeras memberikan pengertian kepada masyarakat bahwa kelak dengan adanya keberadaan proyek tambang pasir besi akan membawa dampak positif bagi masyarakat yaitu terbukanya lapangan pekerjaan, menambah Pendapatan Asli Daerah (PAD) serta akan meningkatkan kesejahteraan masyarakat pesisir pantai. Masyarakat juga 9
ibid ibid
10
6
bersikeras bahwa dengan adanya proyek tersebut akan membawa dampak negatif lebih banyak dibandingkan dampak positif. Hilangnya lahan pertanian pesisir pantai yang biasanya digunakan untuk bercocok tanam dan juga berkebun, akan hilangnya benteng pemecah ombak yang digunakan untuk mencegah potensi tsunami, tergesernya lahan pemukiman warga masyarakat pesisir pantai, sumur-sumur mereka yang akan menjadi asin karena air laut sehingga air sumur tidak dapat digunakan untuk kehidupan sehari-hari dan juga membahayakan kesehatan serta reproduksi perempuan di kawasan tersebut. Dengan adanya proyek tambang pasir besi juga akan membuat lahan pesisir pantai tidak lagi subur seperti sebelumnya sehingga diperlukan waktu lama untuk mengembalikan tanah pesisir pantai untuk subur kembali. B. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang permasalahan maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah “Bagaimana fisibilitas implementasi Community Dispute Responsibility (CDR) dalam penyelesaian konflik tambang pasir besi di Kulon Progo?” C. Tujuan Penelitian Creswell
(2010)
mengemukakan
bahwa
tujuan
penelitian
merupakan kumpulan pernyataan yang menjelaskan sasaran-sasaran, maksud-maksud atau gagasan-gagasan umum diadakannya suatu penelitian. Adapun tujuan penelitian ini adalah untuk: 1. Mengidentifikasi berbagai karakteristik dan watak CDR yang digunakan dalam manajemen konflik berbasis komunitas di proyek tambang pasir besi. 2. Mendapatkan deskripsi dan realitas secara jelas terkait konflik yang terjadi antara pemerintah, korporasi dan masyarakat dalam proyek tambang pasir besi.
7
3. Menjelaskan
proses
resistensi
masyarakat
terhadap
pemerintah
Kabupaten Kulon Progo dan juga PT. Jogja Magasa Iron. 4. Menjelaskan pihak-pihak yang terkait seperti PPLP-KP, LSM, LBH, Walhi serta pemerintah setempat. 5. Menunjukkan implikasi dari adanya manajemen konflik berbasis komunitas dan berbagai gerakan sosial dari pihak masyarakat sekitar serta komunitas masyarakat terhadap keberlangsungan lingkungan pesisir Kulon Progo. D. Manfaat Penelitian Adapun manfaat penelitian ini antara lain: 1. Memberikan deskripsi terkait konflik yang terjadi dan pengembangan resolusi konflik melalui fisibilitas implementasi Community Dispute Responsibility (CDR) yang dilakukan. 2. Mengetahui adanya proses manajemen konflik berbasis komunitas pada konflik tambang pasir besi di Kulon Progo melalui implementasi Community Dispute Responsibility (CDR).
E. Literature Review Dalam penelitian ini juga digunakan beberapa literature review yang dijadikan acuan dan komparasi terhadap fokus penelitian yang akan dijelaskan dalam tulisan ini. Pembahasan terkait pengelolaan Sumber Daya Alam (SDA) sudah banyak dikaji namun terdapat beberapa hal yang membedakan penelitian ini dengan beberapa penelitian lain yang pernah dipaparkan maupun dipublikasikan sebelumnya. Dalam Jurnal Ilmu Sosial dan Politik Volume 16 tahun 2012 yang berjudul “Konflik Pasir Besi: Pro dan Kontra Rencana Penambangan Pasir Besi di Kabupaten Kulon Progo” yang membahas tentang pertarungan kepentingan antara pemerintah Kabupaten dan masyarakat setempat dalam hal pengelolaan sumber daya alam di daerah pesisir.
8
Selain itu dijelaskan juga dalam Tesis yang berjudul “Potensi Konflik Pengelolaan
Sumber Daya Alam
Papua” (Studi
tentang
Pengoperasian PT. BP LNG Tangguh di Daerah Kepala Burung Propinsi Papua) terkait pengelolaan sumber minyak bumi dan gas di daerah Kepala Burung oleh BP Tangguh yang berada dalam wilayah tanah adat milik masyarakat setempat. Belum ada kesepakatan jelas antara BP Tangguh dengan seluruh masyarakat adat pemilik lokasi penambangan namun pemerintah lebih dahulu memberikan ijin. Potensi konflik didominasi oleh kepemilikan hak atas tanah yang belum diakui penuh oleh pemerintah sehingga menimbulkan kekhawatiran masyarakat akan keterlibatan militer di dalamnya. Upaya meminimalkan konflik dilakukan secara simultan dan bersama-sama antara pemerintah, BP Tangguh, masyarakat adat setempat dengan membangun kesamaan persepsi di antara semua pihak yang terlibat. Terdapat pula Tesis yang berjudul “Manajemen Konflik dalam Kasus Pertanahan di Kabupaten Labuhan Batu” (Studi Kasus PT. Grahadura Leidong Prima dengan Masyarakat Desa Air Hitam Kecamatan Kualuh Hulu dan Masyarakat Desa Sukarame Kecamatan Kualuh Leidong) menjelaskan bahwa penyebab terjadinya konflik
pertanahan
yaitu
ketidaksesuaian luas areal dalam pemberian hak guna usaha, penyimpangan prosedur dalam kegiatan pembebasan tanah, ketidakjelasan batas tanah, tumpang tindih
kepemilikan dan sebagainya
sehingga pemerintah
melakukan manajemen konflik terhadap penyelesaian masalah pertanahan tersebut dengan melakukan pendekatan konsiliasi, mediasi dan arbitrasi. Tesis lain yang berjudul “Organisasi sebagai Sarana Manajemen Konflik Common Pool Resources” (Kasus Pengelolaan Konflik Nelayan di Pantai Depok, Kabupaten Bantul, Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta) dibahas mengenai manajemen konflik yang digunakan oleh organisasi 45 dengan membolehkan (enabling) nelayan andon untuk mengambil ikan di pantai dan melarang (constraining) dalam memanfaatkan lahan pantai untuk kegiatan produktif sedangkan masyarakat asli dibolehkan untuk melakukan keduanya. Beberapa riset sebelumnya menjelaskan tentang deskripsi konflik yang terjadi, pengelolaan konflik dan juga resolusi konflik yang dilakukan 9
oleh beberapa stakeholder seperti pemerintah contohnya pemerintah daerah, pihak yang berlaku sebagai mediator, sedangkan dalam tesis saya akan dibahas mengenai manajemen konflik berbasis komunitas dengan background pemanfaatan atau intrumentasi tools yang dinamakan CDR (Community Dispute Responsibility) sebagai pengembangan resolusi konflik tambang pasir besi di Kulon Progo di mana masyarakat yang tergabung dalam komunitas-komunitas yang bergerak dan melakukan perjuangan memiliki peran penting dan memiliki preferensi arah pengembangan resolusi konflik menurut mereka sendiri yang kemudian menarik untuk diteliti. PENELITIAN Jurnal Ilmu Sosial dan Politik Volume 16 tahun 2012 yang berjudul “Konflik Pasir Besi: Pro dan Kontra Rencana Penambangan Pasir Besi di Kabupaten Kulon Progo” Oleh Eka Zuni Lusi Astuti Tesis yang berjudul “Potensi Konflik Pengelolaan Sumber Daya Alam Papua” (Studi tentang Pengoperasian PT. BP LNG Tangguh di Daerah Kepala Burung Propinsi Papua) Oleh: Margaretha Safkaur tahun 2005 Tesis yang berjudul “Manajemen Konflik dalam Kasus Pertanahan di Kabupaten Labuhan Batu” (Studi Kasus PT. Grahadura Leidong Prima dengan Masyarakat Desa Air Hitam Kecamatan Kualuh Hulu dan Masyarakat Desa Sukarame Kecamatan Kualuh Leidong) Oleh: Abdi Yoso tahun 2005
Tesis yang berjudul “Organisasi
ISI Pertarungan kepentingan antara pemerintah Kabupaten dan masyarakat setempat dalam hal pengelolaan sumber daya alam di daerah pesisir.
Pengelolaan sumber minyak bumi dan gas di daerah Kepala Burung oleh BP Tangguh yang berada dalam wilayah tanah adat milik masyarakat setempat. Belum ada kesepakatan jelas antara BP Tangguh dengan seluruh masyarakat adat pemilik lokasi penambangan namun pemerintah lebih dahulu memberikan ijin. Penyebab terjadinya konflik pertanahan yaitu ketidaksesuaian luas areal dalam pemberian hak guna usaha, penyimpangan prosedur dalam kegiatan pembebasan tanah, ketidakjelasan batas tanah, tumpang tindih kepemilikan dan sebagainya sehingga pemerintah melakukan manajemen konflik terhadap penyelesaian masalah pertanahan tersebut dengan melakukan pendekatan konsiliasi, mediasi dan arbitrasi. Manajemen konflik yang digunakan
10
sebagai Sarana Manajemen Konflik Common Pool Resources” (Kasus Pengelolaan Konflik Nelayan di Pantai Depok, Kabupaten Bantul, Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta) Oleh: Tri Lindawati tahun 2010
oleh organisasi 45 dengan membolehkan (enabling) nelayan andon untuk mengambil ikan di pantai dan melarang (constraining) dalam memanfaatkan lahan pantai untuk kegiatan produktif sedangkan masyarakat asli dibolehkan untuk melakukan keduanya.
F. Kerangka Teori 1. Community Dispute Responsibility (CDR) Community Dispute Responsibility (CDR) merupakan salah satu mekanisme penyelesaian konflik atau sengketa secara alternatif. Salah satu karakteristik proses penyelesaian konflik atau sengketa tersebut adalah menggunakan cara-cara non litigasi atau di luar pengadilan. Selain itu, cara-cara tersebut biasanya selain biayanya murah juga berlangsung secara cepat dan lebih fleksibel. Penyelesaian semacam ini dapat digunakan sebagai solusi dan alternatif di tengah masyarakat saat kondisi proses pengadilan sedang carut marut dan mulai dipertanyakan akuntabilitas serta kredibilitasnya. Permasalahan terkait sengketa ataupun konflik tidak dapat terlepas dari kehidupan bermasyarakat karena sudah menjadi bagian dari kehidupan manusia. Dapat dikatakan sengketa terjadi antar sesama keluarga, rekan bisnis, antar teman, suami-istri, dan sebagainya.11 “Like conflict, Alternative Dispute Resolution (ADR) permeates our lives. Everyone engages in ADR everyday: you negotiate with your co-worker about where to go to lunch, you call in your neighbor to “mediate” as you and your spouse try to reach agreement on what color to paint the living room, you arbitrate by deciding whether your son or your daughter will get the
11
Widipto Setiadi. “Penyelesaian Sengketa melalui Alternative Dispute Resolution (ADR)”, dalam http://www.legalitas.org/node/21.
11
family car for the evening based on the strength of their respective arguments.”12 Konflik dapat terjadi dalam kehidupan sederhana manusia setiap harinya. Misalnya kita bernegosiasi dengan asisten kita terkait di mana kita akan makan siang, kita bernegosiasi dengan anak saat mereka harus berkendara malam berikut dengan cara mereka mempertahankan argumennya. Sengketa yang terjadi perlu untuk dicari penyelesaiannya. Penyelesaian tersebut dapat melalui dua cara yaitu litigasi (melalui pengadilan) maupun non litigasi (di luar pengadilan). Kelompok masyarakat seperti PPLP-KP terbentuk karena gagasan-gagasan yang sama tentang penolakan keberadaan tambang pasir besi. Berkaitan dengan terbentuknya kelompok masyarakat tersebut baik bentuknya komunitas, organisasi, paguyuban dan semacamnya yang melakukan upaya bersama seperti penolakan terhadap keberadaan tambang pasir besi, penolakan terhadap upaya pemerintah daerah menurut Sigmeund Freud dalam Sarlito Wirawan (2008: 137) berpendapat ada beberapa fungsi dari kelompok itu sendiri yaitu: a. Fungsi kelompok masyarakat adalah untuk menghambat dan me-repress
impuls-impuls
naluri
perorangan.
Ketertiban
masyarakat ditentukan atas kemampuan ego-ego masyarakat yang bersangkutan untuk menyesuaikan dengan tuntutan masyarakat yang berlaku. b. Manusia dan lingkungan sosialnya selalu berada dalam konflik yang tiada henti. Masyarakat berada di atas kepentingan individu. c. Keadilan sosial timbul dari perasaan saling membutuhkan dan saling memenuhi antar anggota masyarakat. d. Pranata-pranata sosial seperti hukum dan agama dibentuk untuk melindungi umat manusia dan masyarakat dari perilaku dan insting-insting agresif. 12
Cathy A. Costantino, Christina Sickles Merchant. Foreword by William L. Ury. “Designing Conflict Management Systems (A Guide to Creating Productive and Healthy Organizations)”.
12
Selain itu, dengan berkelompok maka pranata-pranata sosial seperti sikap sosial berdasarkan persamaan nasib dan budaya dibentuk untuk melindungi setiap anggota kelompok masyarakat dari perilaku dan insting-insting agresif yang dianggap sebagai ancaman bersama. Masyarakat menganggap dengan mereka bersatu dan membentuk PPLP-KP, mereka akan mempunyai kekuatan untuk melindungi diri dari kekhawatiran akan perasaan termarjinalkan dari tempat tinggalnya akibat adanya proyek tambang pasir besi. Dalam bukunya, Cathy A. Costantino, Christina Sickles Merchant menjelaskan bahwa terdapat enam prinsip untuk sistem penyelesaian sengketa. Adapun enam prinsip tersebut digambarkan pada gambar di bawah ini:
Pertama adalah fokus terhadap kepentingan. Hal ini berarti setiap penyelesaian sengketa harus dimulai dengan proses (baik negosiasi langsung atau melalui mediasi) di mana terdapat pihak yang mencoba untuk memecahkan masalah dengan menggunakan tawar menawar berbasis kepentingan. Hal tersebut adalah cara terbaik untuk menemukan solusi yang dapat memuaskan semua pihak. Hanya ketika cara tersebut tidak berhasil, kemudian dapat beralih ke proses berbasis 13
hak (seperti arbitrasi) atau proses berbasis kekuasaan (seperti pemilu). Kedua,
pemenuhan
hak-hak
berbiaya
rendah
dan
dukungan
kekuasaan. Arbitrasi, voting dan protes merupakan alternatif berbiaya rendah untuk pemenuhan hak-hak dan kontes atau ajang kekuasaan. Meskipun hal tersebut lebih banyak memerlukan biaya dibandingkan negosiasi, ketiga hal tersebut lebih menekan biaya daripada melakukan ajudikasi maupun kekerasan. Ketiga, membangun loop-back untuk negosiasi. Strategi yang berbasis hak-hak dan kekuasaan untuk menyelesaikan
sengketa
jarang
perlu
dimainkan
sampai
akhir. Sebaliknya, apabila telah jelas siapa yang akan menang, pihak dapat kembali (yang Cathy A. Constantino dan Sickles Merchant menyebutnya loop-back pada negosiasi untuk mengembangkan solusi yang paling sesuai dengan kebutuhan mereka, serta hak-hak mereka). Sebuah contoh umum dari proses loop-back tersebut adalah ketika pihak menyelesaikan gugatan di luar pengadilan. Dengan begitu, menjadi jelas pihak yang akan menang, hal ini menguntungkan bagi kedua belah pihak untuk menghindari biaya dan ketidakpastian litigasi lebih lanjut, dan menegosiasikan solusi untuk sengketa mereka. Keempat,
membangun
konsultasi
sebelumnya,
kemudian
feedback (umpan balik) setelahnya. Meningkatkan pembagian informasi adalah strategi dasar dalam mengatasi semua konflik. Mekanisme konsultasi dan umpan balik di antara pihak memberikan konsistensi dan metode pembagian informasi yang dapat diandalkan. Kelima, pengaturan prosedur dalam urutan biaya rendah hingga biaya tinggi. Sistem
resolusi
konflik
biasanya
memiliki
serangkaian
langkah. Jika seseorang memiliki keluhan atau konflik dengan orang lain atau suatu organisasi, hal pertama yang harus dilakukan adalah mencoba menyelesaikannya sendiri, dan kemudian mencari bantuan dari seorang pengacara, dan sebagainya. Ury, Brett, dan Goldberg menyarankan bahwa dengan mengatur prosedur penyelesaian sengketa dalam urutan biaya rendah hingga ke biaya tinggi dapat mengurangi kemungkinan
terjadinya
eskalasi
secara
cepat. Meminimalkan
14
kecenderungan ke arah eskalasi cepat memiliki manfaat dalam mengurangi pertikaian dan meningkatkan keyakinan pada kemampuan sistem untuk menyelesaikan dasar konflik. Keenam, perlunya pemenuhan motivasi, keterampilan, dan sumber daya. Sebuah alternatif sistem dapat berfungsi hanya jika orang masuk ke dalamnya. Orang menciptakan kebiasaan, dan hal ini merupakan
batas
limit
untuk
perubahan
sistemik
berbasis
luas. Meskipun mungkin ada perlawanan aktif dari beberapa kelompok terhadap sistem sengketa-resolusi baru, masalah yang lebih besar adalah menyebar keterampilan, pengetahuan, dan kebiasaan yang dapat memperkuat sistem baru. Hal tersebut merupakan tugas para elit dalam konflik, dan pihak ketiga sebagai penengah untuk menyediakan sumber daya dan waktu yang diperlukan untuk menghasilkan kerjasama dengan sistem baru. Terdapat enam kategori yang menjadi pilihan dari Alternative Dispute Resolution (ADR) yaitu: pencegahan (preventive), negosiasi (negotiated), fasilitasi (facilitated), pencarian fakta (fact finding), penasehat (advisory), imposed. Adapun penjelasan kategori tersebut akan dijelaskan dalam gambar berikut ini:
15
Imposed ADR - binding arbitration
Advisory ADR: - Early neutral evaluation - Private judging - Summary jury trials - Minitrials - Nonbinding arbitration Fact finding ADR - Neutral expert fact finding - Masters - Magistrates
Preventive ADR - ADR clauses - Partnering - Consensus building - Negotiated rule making - Joint problem solving Negotiated ADR - Principled - Positional - Problem solving
Facilitated ADR - Mediated - Conciliation - Ombudsperson n
Gambar 1. Dinamika teknik Alternative Dispute Resolution (ADR) Metode preventive digunakan untuk mendahului adanya perselisihan, mekanisme penyelesaian sengketa tersebut diputuskan terlebih dahulu oleh pihak untuk mengatur cara dan upaya penanganan perselisihan atau konflik. Metode negosiasi termasuk yang didasarkan pada kepentingan (juga dikenal sebagai prinsip saling menguntungkan, winwin solution), posisi (menang-kalah didasarkan pada kekuasaan) dan pemecahan masalah (problem solving) yaitu menyepakati masalah yang akan diselesaikan serta menetapkan agenda penyelesaian masalah yang biasanya menggunakan prinsip-prinsip metode tersebut. Metode fasilitasi melibatkan pihak ketiga yang bersifat netral untuk membantu pihak-pihak yang bersengketa untuk mencapai resolusi konflik yang memuaskan pihak-pihak yang bertikai. Metode pencarian fakta mungkin akan mengikat atau tidak mengikat tergantung kesepakatan yang telah disetujui para pihak yang terlibat. Metode advisory, ditandai dengan adanya keterlibatan pihak ketiga yang bersifat netral (biasanya dipilih oleh pihak-pihak yang terlibat) yang dapat mengulas aspek16
aspek sengketa dan memberikan pendapat atau nasehat untuk kemungkinan hasil yang dapat dicapai. Metode terakhir adalah imposed di mana pihak ketiga membuat keputusan yang mengikat terkait keuntungan atau manfaat dari sengketa. Perhatian ke arah penyelesaian konflik berdasarkan community based approach menjadi sebuah pilihan yang perlu dikembangkan. Peralihan paradigma pengelolaan konflik dari pendekatan kekuasaan menuju pendekatan komunitas pada awalnya harus melalui sebuah perdebatan konseptual yang panjang. Misalnya oleh Thomas Hobbes, salah satu pemikir yang menegaskan kapasitas masyarakat dalam mengatur dirinya sendiri. Penyelesaian
konflik
menggunakan
Community
Dispute
Responsibility (CDR) termasuk jenis penyelesaian sengketa non litigasi karena putusannya di luar pengadilan dan bersifat informal. Meskipun begitu, keputusan yang dihasilkan tetap bersifat mengikat dan disepakati atas persetujuan masing-masing pihak yang berkonflik. Cara paling mudah dan sederhana dalam menyelesaikan konflik adalah masing-masing pihak yang berkonflik menyelesaikan konflik itu sendiri. Kemudian cara lain yang dapat digunakan adalah menggunakan jalur formal yaitu proses pengadilan dan jalur informal di mana Community Dispute Responsibility (CDR) termasuk di dalamnya. Community Dispute Responsibility (CDR) dapat dikatakan sebagai konsep yang berbentuk penyelesaian konflik melalui proses selain peradilan, melalui cara-cara yang sah menurut hukum baik berdasarkan pendekatan konsensus seperti negosiasi, mediasi dan konsiliasi maupun tidak berdasarkan konsensus seperti arbitrasi yang berlangsung atas dasar pendekatan adversarial (pertikaian) yang menyerupai proses peradilan sehingga menghasilkan adanya pihak yang menang dan pihak yang kalah. Penyelesaian konflik secara konsensus dilakukan dengan menekankan pada upaya musyawarah mufakat, kekeluargaan, perdamaian dan sebagainya. Semacam Alternative Dispute Resolution (ADR) atau dalam istilah Indonesia diterjemahkan
17
menjadi Alternatif Penyelesaian Sengketa (APS), CDR digunakan oleh masyarakat untuk memperoleh keputusan dengan segala prosesnya dan berbagai macam cara sehingga keputusan tersebut dapat diterima oleh masing-masing pihak yang berkonflik. Dalam banyak permasalahan biasanya, orang lebih suka mengusahakan suatu dialog (musyawarah) dan meminta pihak ketiga, kepala desa atau suku untuk bertindak sebagai mediator (perantara), konsiliator atau bahkan sebagai arbiter. Dalam hal ini CDR dapat digunakan oleh komunitas-komunitas yang ada di masyarakat untuk memperoleh penyelesaian dalam suatu konflik. Komunitas masyarakat melakukan upaya untuk mendapatkan hak masyarakat yang aspirasinya disuarakan pada komunitas tersebut. Advokasi yang sudah dilakukan komunitas masyarakat seperti PPLPKP baik advokasi dengan pemerintah setempat maupun pemerintah pusat. Bila mempersempit lingkungan organisasi maka dua orang pakar penulis dari Amerika Serikat ini yaitu, Cathy A Constantino, dan Chistina Sickles Merchant mengatakan dengan kata-kata yang lebih sederhana, bahwa konflik pada dasarnya adalah sebuah proses mengekspresikan ketidakpuasan, ketidaksetujuan, atau harapan-harapan yang tidak terealisasi. Kedua penulis tersebut sepakat bahwa konflik pada dasarnya adalah sebuah proses. 2. Manajemen Konflik Manajemen konflik adalah mengatur, membimbing dan memimpin semua orang yang menjadi bawahannya agar usaha yang sedang dikerjakan dapat mencapai tujuan yang telah ditetapkan sebelumnya. Manajemen konflik merupakan serangkaian aksi dan reaksi antara pelaku maupun pihak luar dalam suatu konflik. Manajemen konflik termasuk dalam suatu pendekatan yang berorientasi pada proses yang mengarahkan pada bentuk komunikasi termasuk tingkah laku dari pelaku maupun pihak luar dan cara mereka mempengaruhi kepentingan (interest) dan interpretasi. Bagi pihak luar (di luar pihak yang berkonflik) sebagai pihak ketiga yang diperlukan
18
adalah informasi yang akurat tentang situasi dan kondisi konflik. Hal ini karena komunikasi afektif diantara pelaku dapat terjadi jika ada kepercayaan terhadap pihak ketiga. Simon Fisher (2000) menyatakan bahwa ada beberapa upaya yang dapat dilakukan dalam usaha mengendalikan konflik dalam upaya membangun manajemen konflik. Adapun upaya-upaya tersebut antara lain: a. Pencegahan konflik yaitu suatu upaya yang bertujuan untuk mencegah timbulnya konflik yang lebih keras. Intinya adalah berusaha agar potential conflict tidak ‘meletus’ menjadi actual conflict. b. Pengelolaan konflik yaitu suatu usaha yang bertujuan untuk membatasi dan menghindari kekerasan dengan mendorong perubahan perilaku yang positif bagi pihak-pihak yang terlibat. c. Resolusi konflik yaitu suatu bentuk usaha untuk menangani sebab-sebab konflik dan berusaha membangun hubungan baru dan bisa bertahan lama di antara kelompok-kelompok yang bermusuhan. d. Transformasi konflik yaitu suatu upaya yang dilakukan untuk mengatasi sumber-sumber konflik sosial dan politik yang lebih luas dan berusaha mengubah kekuatan negatif menjadi kekuatan sosial dan politik yang positif. Dengan kata lain berupaya untuk mentransformasikan potential conflict menjadi hal yang positif bagi masyarakat yang bersangkutan. Misi awalnya adalah untuk memperagakan kemungkinankemungkinan
merubah
paradigma
dan
metode-metode
dari
penyelesaian konflik melalui konfrontasi dan permusuhan yang digunakan dalam kehidupan bermasyarakat dalam komunitas kearah penyelesaian dan pemecahan konflik yang lebih kontekstual dengan mengelola akar permasalahan yang menyebabkan terjadinya atau terekskalasi-nya konflik (Nasdian, 2004).
19
Menurut Nasdian (2004) proses mengelola konflik akhirnya melibatkan pula unsur-unsur pencegahan konflik itu sendiri (conflict anticipation), analisis konflik, penyiapan kondisi untuk menyelesaikan konflik sampai pada pelaksanaan berbagai pilihan penyelesaian termasuk misalnya melalui negosiasi. Sedangkan proses penyelesaian konflik dilakukan dengan mendayagunakan pertemuan-pertemuan diupayakan utnuk mencapai rekonsiliasi atau perdamaian, pemecahan perselisihan dan penyelesaian bersama. Pada kesempatan tersebut dapat pula dilakukan proses-proses lain seperti mediasi, fasilitasi dan negosiasi. Keterampilan manajemen konflik untuk mengubah situasi konflik menjadi sesuatu yang produktif. Sebuah konflik yang awalnya sangat sederhana tetapi apabila tidak segera diselesaikan atau salah dalam melakukan pendekatan penyelesaian maka konflik tersebut dapat menjadi sebuah konflik yang rumit dan kompleks sehingga sulit untuk diselesaikan dan menemukan jalan tengah yang bersifat win-win solution. Fisher mempunyai pandangan bahwa resolusi konflik menangani sebab-sebab konflik dan berusaha membangun hubungan baru dan yang bisa tahan lama di antara kelompok-kelompok yang bermusuhan. Apabila konflik sudah mencapai kesepakatan atau konsensus maka tidak akan berdampak pada konflik yang berkelanjutan sehingga
kedua
belah
pihak
merasa
tidak
direndahkan
dan
dipermalukan dengan adanya kesepakatan bersama atau konsensus yang telah disetujui. Namun tidak menutup kemungkinan bahwa konflik dapat diselesaikan apabila masing-masing pihak dapat melakukan perubahan terhadap posisi, kepentingan dan pola pikir masing-masing pihak. Resolusi konflik adalah upaya menemukan cara agar dapat bergerak dari posisi yang zero sum dan destruktif menuju kondisi positif sum dan konstruktif. Tujuannya adalah membangun proses penyelesaian konflik yang dapat diterima oleh semua pihak dan efektif
20
dalam menyelesaikan konflik (Azar dan Burton, 1986). Resolusi konflik dimaksudkan Burton sebagai upaya transformasi hubungan yang berkaitan dengan mencari jalan keluar dari suatu perilaku konfliktual sebagai suatu hal yang utama. Ada perbedaan antara resolusi sebagai perlakuan (treatment) terhadap persoalan akar konflik dengan resolusi sebagai penanganan (settlement) konflik dengan caracara paksa (coercive) atau dengan cara tawar-menawar (bargaining) atau perundingan (negotiation). Beberapa strategi yang dilakukan untuk melakukan pengembangan resolusi konflik antara lain yaitu Konsiliasi di mana semua pihak berdiskusi dan berdebat secara terbuka untuk mencapai kesepakatan tanpa ada pihak-pihak yang mendominasi dan memonopoli pembicaraan bahkan memaksakan kehendak. (Dahrendorf, 1959). Konsiliasi dilakukan dengan mengidentifikasi masalah serta memahami fakta dan keadaan, mendiskusikan masalah, merundingkan penyelesaian konflik dan memahami kebutuhan masing-masing pihak sehingga dapat dicapai kesepakatan yang disetujui satu sama lain. Kemudian Mediasi di mana kedua pihak mencari pihak ketiga sebagai mediator atau penasehat namun rujukan atau nasehatnya tidak bersifat mengikat (Dahrendorf, 1959). Mediasi juga merupakan intervensi pihak ketiga dalam konflik yang tujuannya membawa konflik pada suatu kesepakatan yang dapat diterima oleh masing-masing pihak dan konsisten dengan apa yang telah disepakati bersama. Manajemen konflik yang dilakukan dalam konteks ini dilakukan oleh komunitas sehingga dikatakan sebagai manajemen konflik berbasis komunitas. PPLP-KP sebagai komunitas masyarakat yang berupaya “menyambung lidah” masyarakat baik pada pihak perusahaan maupun pada pemerintah. PPLP-KP mempunyai banyak fungsi dan juga peran jika dilihat dari perspektif masyarakat. Selain itu, PPLP-KP juga memanfaatkan atau menginstrumentasikan CDR (Community Dispute Responsibility) sebagai upaya untuk melakukan manajemen konflik agar menemukan jalan tengah antara pemerintah, korporasi, masyarakat dan stakeholder lainnya yang terkait dengan konflik tersebut. 21
Berhubung konflik yang terjadi bukan hanya konflik vertikal saja tetapi juga konflik horizontal sehingga dibutuhkan instrumentasi suatu upaya yang disebut CDR (Community Dispute Responsibility). Konflik yang muncul ke permukaan tidak hanya berupa aksi perlawanan petani kepada pemerintah terkait dengan kegiatan proyek tambang pasir besi tetapi juga konflik-konflik lain dengan korporasi dan juga pihak-pihak lain yang terkait dengan penambangan pasir besi. Keterlibatan masyarakat yang diwakili suaranya oleh komunitas masyarakat sangat berperan dalam instrumentasi CDR (Community Dispute Responsibility) dalam manajemen konflik berbasis komunitas di tambang pasir besi Kulon Progo. 3. Resolusi Konflik Robbins (1996) dalam Organization Behavior menjelaskan bahwa konflik adalah suatu proses interaksi yang terjadi akibat adanya ketidaksesuaian antara dua pendapat (sudut pandang) yang berpengaruh atas pihak-pihak yang terlibat baik pengaruh positif maupun pengaruh negatif. Sedangkan teori sumber konflik seperti yang dikemukakan Fisher, et al (2000: 8-9) adalah: a. Teori hubungan masyarakat, yang menganggap bahwa konflik disebabkan oleh polarisasi yang terus terjadi, ketidakpercayaan dan permusuhan di antara kelompok yang berbeda dalam suatu masyarakat. Sasarannya yaitu meningkatkan komunikasi dan saling pengertian antara kelompok yang mengalami konflik, serta mengusahakan toleransi dan agar masyarakat lebih bisa saling menerima keragaman yang ada di dalamnya. b. Teori kebutuhan manusia, menganggap bahwa konflik yang berakar disebabkan oleh kebutuhan dasar manusia (fisik, mental dan sosial) yang tidak terpenuhi atau dihalangi. Hal yang sering menjadi inti pembicaraan adalah keamanan, identitas, pengakuan, partisipasi, dan otonomi. Sasarannya adalah mengidentifikasi dan
22
mengupayakan bersama kebutuhan mereka yang tidak terpenuhi, serta menghasilkan pilihan-pilihan untuk memenuhi kebutuhan itu. c.
Teori negosiasi prinsip, menganggap bahwa konflik disebabkan oleh posisi-posisi yang tidak selaras dan perbedaan pandangan tentang konflik oleh pihak-pihak yang mengalami konflik. Sasarannya adalah membantu pihak yang berkonflik untuk memisahkan perasaan pribadi dengan berbagai masalah dan isu dan memampukan mereka untuk melakukan negosiasi berdasarkan kepentingan mereka daripada posisi tertentu yang sudah tetap. Kemudian melancarkan proses kesepakatan yang menguntungkan kedua belah pihak atau semua pihak.
d. Teori identitas, berasumsi bahwa konflik disebabkan oleh identitas yang terancam, yang sering berakar pada hilangnya sesuatu atau penderitaan di masa lalu yang tidak diselesaikan. Sasarannya adalah melalui fasilitas lokakarya dan dialog antara pihak-pihak yang mengalami konflik, sehingga dapat mengidentifikasi ancaman dan ketakutan di antara pihak tersebut dan membangun empati dan rekonsiliasi di antara mereka. e. Teori kesalahpahaman antar budaya, berasumsi bahwa konflik disebabkan oleh ketidakcocokan dalam cara-cara komunikasi di antara berbagai budaya
yang berbeda. Sasarannya adalah
menambah pengetahuan kepada pihak yang berkonflik mengenai budaya pihak lain, mengurangi stereotip negatif yang mereka miliki tentang pihak lain, meningkatkan keefektifan komunikasi antar budaya. f. Teori transformasi konflik, berasumsi bahwa konflik disebabkan oleh masalah-masalah ketidaksetaraan dan ketidakadilan yang muncul sebagai masalah sosial, budaya dan ekonomi. Sasarannya adalah mengubah struktur dan kerangka kerja yang menyebabkan ketidaksetaraan dan ketidakadilan termasuk kesenjangan ekonomi, meningkatkan jalinan hubungan dan sikap jangka panjang di antara pihak yang berkonflik, mengembangkan proses dan sistem untuk
23
mempromosikan
pemberdayaan,
keadilan,
perdamaian,
pengampunan, rekonsiliasi, pengakuan. Sedangkan resolusi konflik merupakan bagian dari manajemen konflik yang sangat penting. Selain resolusi konflik juga terdapat pencegahan dan transformasi konflik. Ketiga hal tersebut mempunyai peran penting dalam proses manajemen konflik. Bloomfield dan Reilly (1998) 13 mengemukakan bahwa: “Conflict management is the positive and constructive handling of difference and divergence. Rather than advocating methods for removing conflict, (it) addresses the more realistic question of managing conflict: how to deal with it in a constructive way, how to bring opposing sides together in a cooperative process, how to design a practical, achievable, cooperative system for constructive management of difference.” Resolusi dalam Webster Dictionary menurut Levine (1998: 3) adalah
tindakan
mengurai
suatu
permasalahan,
pemecahan,
penghapusan atau penghilangan permasalahan. Resolusi konflik adalah upaya menemukan cara agar dapat bergerak dari posisi yang zero sum dan destruktif menuju kondisi positif sum dan konstruktif. Tujuannya adalah membangun proses penyelesaian konflik yang dapat diterima oleh semua pihak dan efektif dalam menyelesaikan konflik (Azar dan Burton, 1986). Mengenai resolusi konflik dalam kenyataan banyak dilakukan dengan cara represif dan jarang dilakukan dengan memanfaatkan potensi pengetahuan lokal. Teori resolusi konflik dikembangkan dari teori atau pendekatan konflik itu sendiri. Miall, Ramsbotham dan Woodhouse (2000:7-33), menawarkan banyak alternatif tentang resolusi konflik, mulai dari pemikiran klasik hingga pada pemikiran kontemporer. Pemikiran resolusi konflik berangkat dari asumsi bahwa konflik sebagai aspek
13
D. Bloomfield and Ben Reilly. 1998. The Changing Nature of Conflict and Conflict Management. In Peter Harris and Ben Reilly (1998) Democracy in Deep-rooted Conflict. Stockholm: Institute for Democracy and Electoral Assistance (IDEA), hlm 18.
24
intrinsik yang tidak mungkin dihindarkan dari perubahan sosial. Weitzman & Weitzman (dalam Morton & Coleman 2000: 197) mendefinisikan resolusi konflik sebagai sebuah tindakan pemecahan masalah bersama (solve a problem together). Berbeda dengan Fisher et al (2001: 7) yang menjelaskan bahwa resolusi konflik adalah usaha menangani sebab-sebab konflik dan berusaha membangun hubungan baru yang bisa tahan lama diantara kelompok-kelompok yang berseteru. Menurut Mindes (2006: 24) resolusi konflik merupakan kemampuan untuk menyelesaikan perbedaan dengan yang lainnya dan merupakan aspek penting dalam pembangunan sosial dan moral yang memerlukan keterampilan dan penilaian untuk bernegoisasi, kompromi serta mengembangkan rasa keadilan. Dari pemaparan teori menurut para ahli tersebut maka dapat ditarik kesimpulan bahwa yang dimaksud dengan resolusi konflik adalah suatu cara individu untuk menyelesaikan masalah yang sedang dihadapi dengan individu lain secara sukarela. Sedangkan Bodine dan Crawford (Jones dan Kmitta, 2001: 2) merumuskan beberapa macam kemampuan yang sangat penting dalam menumbuhkan inisiatif resolusi konflik antara lain: a. Kemampuan orientasi Kemampuan pemahaman
orientasi individu
dalam
resolusi
tentang
konflik
konflik dan
meliputi
sikap
yang
menunjukkan anti kekerasan, kejujuran, keadilan, toleransi, harga diri. b. Kemampuan persepsi Kemampuan persepsi adalah suatu kemampuan seseorang untuk dapat memahami bahwa tiap individu dengan individu yang lainnya berbeda, mampu melihat situasi seperti orang lain melihatnya (empati) dan menunda untuk menyalahkan atau memberi penilaian sepihak. c. Kemampuan emosi
25
Kemampuan
emosi
dalam
resolusi
konflik
mencakup
kemampuan untuk mengelola berbagai macam emosi, termasuk di dalamnya rasa marah, takut, frustasi dan emosi negatif lainnya. d. Kemampuan komunikasi Kemampuan komunikasi dalam resolusi konflik meliputi kemampuan mendengarkan orang lain yaitu memahami lawan bicara, berbicara dengan bahasa yang mudah dipahami dan meresume atau menyusun ulang pernyataan yang bermuatan emosional ke dalam pernyatan yang netral atau kurang emosional. e. Kemampuan berfikir kreatif Kemampuan berfikir kreatif dalam resolusi konflik meliputi kemampuan memahami masalah untuk memecahkan masalah dengan berbagi macam alternatif jalan keluar. f. Kemampuan berfikir kritis Kemampuan berfikir kritis dalam resolusi konflik yaitu suatu kemampuan untuk memprediksi dan menganalisis situasi konflik yang sedang dialami. Tidak jauh berbeda, Scannell (2010: 18) juga menyebutkan aspek-aspek yang mempengaruhi individu untuk dapat memahami dan meresolusi sebuah
konflik meliputi keterampilan berkomunikasi,
kemampuan menghargai perbedaan, kepercayaan terhadap sesama dan kecerdasan emosi. Oleh karena itu, dari pemaparan ahli tersebut di atas dapat diketahui bahwa dalam proses resolusi konflik diperlukan kemampuan-kemampuan tertentu untuk mencari solusi konflik secara konstruktif. Kemampuan tersebut diantaranya adalah kemampuan orientasi,
kemampuan
persepsi
atau
menghargai
perbedaan,
kemampuan emosi atau kecerdasan emosi, kemampuan berkomunikasi, kemampuan berpikir kreatif dan kemampuan berfikir kritis.
26
Resolusi konflik juga menyarankan penggunaan cara-cara yang lebih demokratis dan konstruktif untuk menyelesaikan konflik dengan memberikan kesempatan pada pihak-pihak yang berkonflik untuk memecahkan masalah mereka oleh mereka sendiri atau dengan melibatkan pihak ketiga yang bijak, netral dan adil untuk membantu pihak-pihak yang berkonflik memecahkan masalahnya. Resolusi konflik dimaksudkan Burton sebagai upaya transformasi hubungan yang berkaitan dengan mencari jalan keluar dari suatu perilaku konfliktual sebagai suatu hal yang utama. Secara umum penyelesaian konflik dapat dilakukan melalaui dua cara yaitu melalui mekanisme pengadilan (litigation process) dan penyelesaian di luar pengadilan (non litigation process). Akan tetapi proses litigasi mendapat banyak protes. Menurut (Wijoyo, 1998) terdapat proses pengadilan “adversarial” atau berlangsung atas dasar saling bermusuhan atau pertikaian antara para pihak. Proses pengadilan selalu menghasilkan bentuk penyelesaian yang menempatkan salah satu pihak sebagai pemenang (a winner) dan pihak lain sebagai pihak yang kalah (a loser). Dengan dasar asumsi itu penyelesaian konflik mencari bentuk lain yaitu penyelesaian di luar pengadilan ini dikenal dengan nama Alternative Dispute Resolution. Konsep Alternative Dispute Resolution ini merupakan ekspresi responsif atas ketidakpuasan penyelesaian konflik melalui proses litigasi yang konfrontatif. Ada perbedaan antara resolusi sebagai perlakuan (treatment) terhadap persoalan akar konflik dengan resolusi sebagai penanganan (settlement) konflik dengan cara-cara paksa (coercive) atau dengan cara tawar-menawar (bargaining) atau perundingan (negotiation). Pada hakekatnya resolusi konflik dipandang sebagai upaya penanganan sebab akibat konflik dan berusaha membangun hubungan baru yang bisa tahan lama di antara kelompokkelompok bermusuhan. Beberapa strategi yang dilakukan untuk melakukan pengembangan resolusi konflik antara lain yaitu konsiliasi di mana semua pihak berdiskusi dan berdebat secara terbuka untuk mencapai kesepakatan tanpa ada pihak-pihak yang mendominasi dan
27
memonopoli pembicaraan bahkan memaksakan kehendak (Dahrendorf, 1959). Konsiliasi dilakukan dengan mengidentifikasi masalah serta memahami fakta dan keadaan, mendiskusikan masalah, merundingkan penyelesaian konflik dan memahami kebutuhan masing-masing pihak sehingga dapat dicapai kesepakatan yang disetujui satu sama lain. Kemudian mediasi di mana kedua pihak mencari pihak ketiga sebagai mediator atau penasehat namun rujukan atau nasehatnya tidak bersifat mengikat (Dahrendorf, 1959). Mediasi juga merupakan intervensi pihak ketiga dalam konflik yang tujuannya membawa konflik pada suatu kesepakatan yang dapat diterima oleh masing-masing pihak dan konsisten dengan apa yang telah disepakati bersama. Selain itu, karena pentingnya keberimbangan kekuatan bagi resolusi konflik, bukan tidak biasa jika pihak ketiga bersikap memihak di dalam kontroversi yang mereka tengahi. Sebelum pihak-pihak yang berkonflik termotivasi untuk berusaha menuju ke arah penyelesaian, mereka seringkali perlu merasakan bahwa diri dan lawannya memiliki kekuatan yang relatif berimbang. Salah satu hal yang bisa dilakukan oleh pihak ketiga dalam hal ini adalah menyeimbangkan situasi yang menampakkan adanya perbedaan kekuatan dengan memihak kepada pihak yang lebih lemah, paling tidak untuk sementara. Pelaku konflik memandang diri mereka memiliki kekuatan yang seimbang mungkin akan melihat situasi ini sebagai ‘kemandekan’ yang mendorong mereka untuk menerapkan taktik-taktik problem solving, termasuk berkolaborasi dengan pihak ketiga. Sebagai contoh, dengan menyarankan agar pembicaraan dilakukan di tempat pihak yang lebih lemah atau bahkan dengan menampakkan sikap lebih cocok dengan kepentingan dan pendirian pihak yang lebih lemah, pihak ketiga mungkin akan mampu menciptakan kondisi yang lebih ideal untuk melakukan problem solving.14 Dahrendorf menjelaskan konflik sangat erat berkaitan dengan dua hal yaitu otoritas atau kekuasaan dan kepentingan. Menurut
14
G. Pruitt, Jeffrey Z. Rubin. 1986. Social Conflict (Escalation, Stalemate and Settlement). McGraw-Hill, Inc.
28
Dahrendorf konflik merupakan akibat dari adanya ketimpangan dalam distribusi kekuasaan yang dilakukan secara sistematis. Sementara otoritas dan kepentingan merupakan dua hal saling berkaitan yang menjadi pemicu terjadinya konflik. Kekuasaan telah melahirkan dua hal yaitu yang berkuasa dan dikuasai, di antara dua hal tersebut muncul dua hal berbeda yang saling bertabrakan kemudian menjadi pemicu konflik (dikutip dalam Ritzer, 2007: 154-155). Pada awal mula konflik masih sering diwarnai banyaknya pertikaian yang terjadi antara beberapa pihak dan tidak jarang juga menimbulkan korban sehingga pihak yang mengupayakan resolusi konflik berusaha untuk menemukan waktu dan situasi yang tepat untuk memulai (entry point) proses pengembangan resolusi konflik. Hal yang selanjutnya harus dilakukan adalah melakukan transformasi konflik dengan tujuan untuk mengalihkan permusuhan ke arah proses perdamaian. Untuk melakukan transformasi konflik masing-masing pihak harus mengurangi tuntutannya agar dapat tercapai penyelesaian yang memadai. Oleh karena itu, cara kolaborasi atau kerjasama sangat berguna jika masing-masing pihak yang mempunyai tujuan berbeda tetapi kompromi belum mungkin akan dilakukan (Santoso, 2002). Fisher dkk (2001:7) menggunakan istilah transformasi konflik secara lebih umum dalam menggambarkan situasi secara keseluruhan. Pencegahan Konflik, bertujuan untuk mencegah timbulnya konflik yang keras. Kemudian, Penyelesaian Konflik, bertujuan untuk mengakhiri perilaku kekerasan melalui persetujuan damai. Sedangkan Pengelolaan Konflik, bertujuan untuk membatasi dan menghindari kekerasan dengan mendorong perubahan perilaku positif bagi pihak-pihak yang terlibat. Tahap selanjutnya adalah Resolusi Konflik, yaitu menangani sebabsebab konflik dan berusaha membangun hubungan baru dan yang bisa tahan lama diantara kelompok-kelompok yang bermusuhan. Tahap terakhir adalah Transformasi Konflik, mengatasi sumber-sumber konflik sosial dan politik yang lebih luas dan berusaha mengubah
29
kekuatan negatif dari peperangan menjadi kekuatan sosial dan politik yang positif. Tahapan-tahapan di atas merupakan satu kesatuan yang harus dilakukan dalam mengelola konflik. Sehingga masing-masing tahap akan melibatkan tahap sebelumnya misalnya pengelolaan konflik akan mencakup pencegahan dan penyelesaian konflik. Definisi Konseptual dan Definisi Operasional Sebagai landasan pemahaman dan pedoman dalam upaya memahami permasalahan penelitian secara umum berikut penekanan beberapa variabel yang akan diteliti sehingga dengan adanya pemaparan di atas maka dapat disimpulkan bahwa batasan konseptual variabel yang digunakan adalah: 1. Community Dispute Responsibility (CDR) merupakan suatu konsep di mana penyelesaian konflik dilakukan melalui proses selain peradilan (non litigasi) yaitu melalui cara-cara yang sah menurut hukum baik berdasarkan pendekatan konsensus seperti negosiasi, mediasi dan konsiliasi maupun tidak berdasarkan konsensus seperti arbitrasi yang berlangsung atas dasar pendekatan adversarial yang menyerupai proses peradilan sehingga menghasilkan adanya pihak yang menang dan pihak yang kalah. Penyelesaian konflik secara konsensus
dilakukan
dengan
menitikberatkan
pada
upaya
musyawarah mufakat, kekeluargaan, perdamaian dan sebagainya. Oleh karena itu, fisibilitas CDR terlihat dari progresivitas karakter atau watak, kelemahan hingga tantangan dalam implementasinya. Dengan setting konflik tambang pasir besi Kulon Progo, maka dalam hal ini peneliti menekankan pada upaya penyelesaian konflik yang berkepanjangan melalui implementasi CDR yang dapat diidentifikasi fisibilitasnya melalui karakteristik dan wataknya. Adanya prinsip yang harus dipenuhi serta aturan main yang harus dilakukan oleh para pihak yang berkonflik. Selain itu, aktor-aktor yang yang berkonflik masing-masing memiliki kekuatan (bargaining position) sehingga harus dicari penyelesaian yang bersifat win-win
30
solution melalui upaya implementasi CDR sesuai dengan prinsip dan prasyaratnya (Cathy A Constantino, Christina S Merchant, 1996). 2. Manajemen Konflik merupakan serangkaian aksi dan reaksi baik dari pihak internal maupun eksternal konflik. Dalam penelitian ini, peneliti secara spesifik menjelaskan bahwa manajemen konflik yang diupayakan pada konflik tambang pasir besi di Kulon Progo yaitu manajemen konflik berbasis komunitas, di mana wadah atau organisasi yang diakomodir oleh masyarakat diberikan ruang dan keleluasaan untuk menyelesaikan konflik menggunakan modal kekuatan yang dimiliki baik yang bersifat material maupun immaterial. Komunitas yang bergerak di sini adalah PPLP-KP yang bersifat dinamis dan memiliki SDM serta relasi yang menjanjikan untuk penyelesaian konflik. 3. Resolusi Konflik merupakan pengelolaan konflik dan penyelesaian konflik yang dapat diterima oleh masing-masing pihak. Adapun resolusi konflik dalam penelitian ini digunakan peneliti sebagai ‘pintu masuk’ untuk menganalisa model penyelesaian konflik yang dilakukan tanpa melalui proses litigasi karena dalam penelitian ini, peneliti secara spesifik membahas CDR yang merupakan bagian ataupun tools lain dari bentuk alternatif resolusi konflik.
31
I. Kerangka/Alur Pemikiran
Negara
Masyarakat (PPLP-KP)
Manajemen Konflik Ala PPLP-KP
CDR
Swasta PT. JMI
SDA Pasir Besi
Konflik SDA
Pemetaan Aktor & Pemetaan Konflik
Resolusi Konflik
Penjelasan singkat: Aktor besar yang berkonflik memperebutkan kuasa atas Sumber Daya Alam yaitu tambang pasir besi menimbulkan konflik berkepanjangan dan bersifat fluktuatif sehingga dari pihak masyarakat menginisiasi alternatif
32
resolusi konflik menurut versi mereka dengan manajemen konflik berbasis komunitas PPLP-KP melalui fisibilitas implementasi Community Dispute Responsibility (CDR). Selain itu terdapat beberapa faktor yang menjadi modal PPLP-KP memiliki kekuatan untuk meredam konflik dan mengembangkan relasi dengan modal yang mereka miliki. G. Metode Penelitian 1. Jenis Penelitian Penelitian
ini
merupakan
penelitian
kualitatif
yang
menggunakan metode studi kasus. Penelitian kualitatif merupakan jenis penelitian yang temuan-temuannya tidak diperoleh melalui prosedur statistik atau bentuk hitung lainnya. Selain itu, penelitian kualitatif dapat menjadi sumber bagi deskripsi dan eksplanasi terkait proses-proses yang terjadi dalam konteks lokal karena melalui penelitian kualitatif, peneliti memasuki dunia informan serta mencari perspektif informan sehingga peneliti dapat menjalin hubungan keakraban dengan informan karena dengan begitu, peneliti dapat mengetahui konstruksi konflik pasir besi yang terjadi di lapangan. Penggunaan metode studi kasus sendiri bermula dari kerangka pemikiran awal terjadinya konflik hingga proses eskalasinya yang digunakan yang bertujuan untuk mengupayakan penyelesaian konflik melalui implementasi CDR sebagai bagian dari ADR serta menganalisa kelemahan CDR yang menghambat proses terjadinya resolusi konflik dengan community based approach. Studi kasus merupakan tipe pendekatan dalam penelitian berdasarkan suatu kasus yang dilakukan secara intensif, mendalam, mendetail,
dan
komprehensif
(Moleong,
2009)Keunggulan-
keunggulan penggunaan metode studi kasus antara lain:
33
a. Studi kasus dapat memberikan informasi yang penting mengenai hubungan antar konsep serta proses-proses yang membutuhkan penjelasan dan pemahaman yang lebih luas. b. Studi kasus memberikan kesempatan untuk memperoleh wawasan mengenai konsep-konsep dasar perilaku manusia melalui penyelidikan intensif peneliti dapat menemukan karakteristik dan hubungan-hubungan yang mungkin tidak diharapkan atau diduga sebelumnya. c. Studi kasus dapat menyajikan data-data dan temuan-temuan yang sangat berguna sebagai dasar untuk membangun latar permasalahan bagi perencanaan penelitian yang lebih besar dan mendalam dalam rangka pengembangan ilmu-ilmu sosial. Metode studi kasus juga tidak terlepas dari beberapa kelemahan antara lain: (1) Pada konteks yang dilakukan selama ini, studi kasus masih kurang memberikan dasar yang kuat untuk melakukan suatu generalisasi ilmiah. (2) Kedalaman studi yang dilakukan tanpa disadari ternyata justru mengorbankan tingkat keluasan yang seharusnya dilakukan sehingga sulit digeneralisasikan dengan keadaan yang berlaku umum. (3) Studi
kasus
memiliki
kecenderungan
kurang mampu
mengendalikan bias subjektivitas peneliti. Kasus yang dipilih untuk diteliti lebih cenderung pada sifat dramatiknya bukan karena sifat khas yang dimilikinya sehingga pandangan subjektivitas peneliti dikhawatirkan terlalu jauh mencampuri hasil penelitian. Beberapa alternatif yang merupakan terobosan-terobosan cerdas yang kemudian diambil oleh (Yin, 2003) untuk mengatasi beberapa kelemahan studi kasus yaitu: Pertama, studi kasus harus signifikan. Hal tersebut berarti kasus yang diangkat mengisyaratkan 34
sebuah keunikan dan memang khas serta menyangkut kepentingan publik atau masyarakat umum. Oleh karena itu bukan hanya disebabkan sifat dramatiknya saja. Kedua, studi kasus harus lengkap. Kelengkapan ini terdiri dari beberapa hal yaitu: a) Kasus yang diteliti mempunyai batas-batas yang jelas yaitu terdapat perbedaan yang jelas antara fenomena dan konteksnya. b) Tersedianya bukti-bukti relevan yang meyakinkan. c) Mempermasalahkan ketiadaan kondisi buatan tertentu yaitu meskipun menghadapi berbagai keterbatasan, kasus yang diangkat haruslah diselesaikan secara tuntas. 15 Penelitian kualitatif merupakan data yang dikumpulkan baik berupa kata-kata, gambar, dan bukan angka-angka. Hal ini disebabkan oleh adanya penerapan metode kualitatif. Selain itu, semua yang dikumpulkan kemungkinan menjadi kunci terhadap apa yang diteliti. Sejalan dengan pendapat tersebut, penulis bertujuan untuk mendapatkan data dalam wawancara dari orang-orang yang dianggap mampu memberikan jawaban yang diinginkan, serta menuangkannya dalam bentuk deskripsi. Penelitian kualitatif juga bermaksud untuk memahami fenomena tentang apa yang dialami oleh subjek penelitian misalnya perilaku, persepsi, motivasi, tindakan, dan lain-lain (Sugiyono, 2008). Secara holistik, dan dengan cara deskripsi dalam bentuk kata-kata dan bahasa. Pada suatu konteks khusus yang alamiah dan dengan memanfaatkan berbagai metode alamiah. Penelitian ini berusaha memahami fenomena manajemen konflik berbasis komunitas dengan instrumentasi CDR (Community Dispute Responsibility) sebagai pengembangan resolusi konflik pada tambang pasir besi di Kulon Progo.
15
Robert K. Yin. 2003. Metode Penelitian Studi Kasus. Jakarta: Raja Grafindo
35
2. Sumber Data Data primer merupakan data yang diperoleh langsung di lapangan baik melalui wawancara kepada masyarakat. Data sekunder merupakan data pendukung yang diperoleh dari dokumen baik pribadi maupun resmi, buku, jurnal, modul, laporan pertanggungjawaban baik dari instansi maupun sebagainya. Sumber data yang ingin ditemukan dalam penelitian ini adalah kondisi lingkungan dan setting atau tempat di mana konflik berlangsung. Kemudian informan baik dari pihak komunitas masyarakat maupun pihak lain yang terkait seperti korporasi dan pemerintah setempat. Selain itu, peneliti juga mengumpulkan dokumen baik sifatnya tertulis maupun tidak tertulis. Sumber data diperoleh secara bergulir atau snow ball dari informan kunci yang telah peneliti wawancarai sebelumnya. Penelitian diawali dengan penggalian informasi dari tokoh-tokoh formal. Informan mempunyai arti orang yang diperkirakan menguasai dan memahami data, informasi maupun fakta dari konflik tambang pasir besi yang terjadi. Data yang ingin ditemukan dalam penelitian ini adalah informasi yang diperoleh dari informan yang terlibat dalam proses manajemen konflik berbasis komunitas pada tambang pasir besi di Kulon Progo. Peneliti juga menggunakan observasi untuk mengamati proses interaksi sosial masyarakat dalam komunitas saat melakukan proses manajemen konflik berbasis komunitas
dengan
instrumentasi
CDR
(Community
Dispute
Responsibility) serta dokumen tertulis dan tidak tertulis yang mendukung argumentasi. Peneliti tidak berniat membatasi jumlah informan yang menjadi subjek penelitian namun mementingkan ketercukupan data untuk menjawab pertanyaan penelitian. Peneliti memutuskan jumlah informan telah cukup dan tidak perlu ditambah apabila terjadi pengulangan data. Menurut Sugiyono (2011) menjelaskan bahwa 36
penentuan informan dianggap telah memadai apabila telah sampai kepada taraf redundancy (kejenuhan data, penambahan informan tidak menambah informasi baru). 3. Teknik Pengumpulan Data Setting penting dalam penelitian ini adalah fisibilitas implementasi CDR dalam penyelesaian konflik tambang pasir besi. Oleh karena itu, dalam penelitian ini dibutuhkan berbagai jenis sumber data yang dapat digunakan untuk menganalisa terkait karakteristik dan watak CDR dalam penyelesaian konflik. Oleh karena itu, data ditemukan dari informasi yang dilakukan dengan: 1) Wawancara Proses wawancara menggunakan bantuan pedoman umum wawancara sehingga data yang peneliti butuhkan dari informan tidak terlewatkan. Menurut Bungin (2011: 110) mengungkapkan bahwa metode pengumpulan data kualitatif yang paling independen salah satunya adalah wawancara mendalam (in-depth interview). Peneliti menggunakan bantuan
alat
perekam
mendokumentasikan
berupa
voice
wawancara
agar
recorder tidak
untuk terdapat
hambatan pada proses wawancara dengan informan dalam penelitian. Pengamatan atau observasi dalam penelitian ini menggunakan
teknik
observasi.
Dokumentasi
yang
digunakan dalam penelitian ini untuk mendapatkan data yang sudah diolah dalam bentuk arsip tertulis. 2) Observasi lapangan Observasi dilakukan untuk menggali informasi tidak tertulis dalam interaksi sosial antar para aktor yang terlibat di dalam aktivitas politik informal seperti manajemen konflik berbasis komunitas. Namun juga bisa bersifat formal ketika
37
komunitas masyarakat melakukan advokasi hingga ke pemerintah pusat. Teknik ini juga akan melengkapi informasi dokumentasi yang belum dapat diperoleh dari teknik wawancara serta menemukan dokumentasi baik tertulis maupun tidak tertulis. Dalam obervasi ini yang menjadi fokus peneliti adalah kesesuaian pernyataan informan yang berhubungan dengan situasi dan kondisi lokasi tambang pasir besi serta lingkungan tempat tinggal informan. Hasil observasi tersebut berupa catatan tertulis ataupun rekaman audio visual yang berguna untuk mempertajam data yang didapatkan. 3) Dokumentasi Dokumentasi
dilakukan
dengan
melihat
atau
menganalisa dokumen-dokumen yang dibuat oleh subjek penelitian sendiri maupun oleh orang lain terkait dengan subjek penelitian. Beberapa fakta dan data tersimpan dalam bahan yang berbentuk dokumentasi. Sebagian besar data yang biasanya tersedia adalah surat-surat, catatan atau dokumen harian, laporan, foto dan sebagainya. Sifat utama data ini tidak terbatas pada ruang dan waktu sehingga memberikan peluang pada peneliti untuk mengetahui hal-hal yang pernah terjadi di waktu silam. 4. Instrumen Penelitian Berkaitan dengan proses collecting data (pengumpulan data), peneliti membutuhkan instrumen sebagai alat bantu penelitian. Adapun instrumen yang digunakan dalam penelitian ini adalah: a. Pedoman Wawancara Pedoman wanwancara digunakan agar wawancara yang dilakukan tidak menyimpang dari tujuan penelitian. 38
Pedoman wawancara ini disusun tidak hanya berdasarkan tujuan penelitian tetapi juga berdasarkan teori yang berkaitan dengan masalah yang diteliti. Adapun informan dalam penelitian ini adalah: 1. Masyarakat Kulon Progo dari kelompok yang pro dan kontra
terhadap
penambangan
pasir
besi
untuk
mengetahui lebih jauh terkait realita konflik yang terjadi, proses penyelesaian konflik yang berbasis komunitas serta
sistem
sosial
masyarakat
setempat
dalam
memandang resolusi konflik menggunakan CDR. 2. Aktivis STTB (Solidaritas Tolak Tambang Pasir Besi) dan FKMA (Forum Komunikasi Masyarakat Agraris) untuk mendapatkan informasi lebih jauh terkait relasi atau jaringan, aktivitas dan resolusi konflik berbasis komunitas yang diupayakan. 3. Akademisi untuk mendapatkan analisisnya atas konflik dan resolusi konflik melalui implementasi CDR. 4. NGO yang bergerak di bidang lingkungan untuk mengetahui peran serta sejauh apa keterlibatannya dalam menangani konflik tambang pasir besi di Kulon Progo. 5. Masyarakat Kulon Progo yang ditemui secara acak dalam rangka mencari sejauh mana upaya resolusi konflik melalui
fisibilitas
masyarakat
implementasi
ditentukan
sampai
CDR. pada
data
Batasan jenuh
(redundancy) yang didapatkan. b. Pedoman Observasi Pedoman observasi digunakan agar peneliti dapat melakukan
observasi
atau
pengamatan
sesuai
tujuan
penelitian. Pedoman observasi disusun berdasarkan hasil observasi terhadap perilaku subjek selama wawancara dan observasi terhadap lingkungan atau setting wawancara serta
39
pengaruhnya terhadap perilaku subjek dan informasi yang muncul saat wawancara berlangsung. c. Alat Perekam Penggunaan
kamera
untuk
tujuan
dokumentasi
sekaligus menggunakan voice recorder untuk merekam selama kegiatan wawancara berlangsung. Alat perekam berguna sebagai alat bantu pada saat wawancara agar peneliti dapat berkonsentrasi pada proses pengambilan data tanpa harus banyak berhenti untuk mencatat jawaban-jawaban dari subjek. Pada pengumpulan data, alat perekam baru dapat digunakan setelah mendapat ijin dari subjek penelitian untuk menggunakan alat tersebut selama wawancara berlangsung. 5. Teknik Analisis Data Setelah keseluruhan data yang diperlukan terkumpul, untuk menjawab rumusan masalah maka data tersebut perlu dianalisis dengan menggunakan teknik kualitatif. Adapun langkah-langkah yang ditempuh dalam teknik analisa data yang dilakukan dalam penelitian ini sebagai berikut: a. Reduksi data dimaksudkan untuk memilih dan memilah data mentah yang masih beragam untuk dikelompokkan dalam pokok-pokok persoalan sesuai fokus penelitian. Tujuannya agar data yang sama segera terkelompok pada bagian yang relevan dan mudah ditelusuri jika diperlukan. b. Kemudian data data yang tersusun secara sistematis didisplay. Data-data yang di-display berupa tabel, matriks, grafik dan sebagainya. Dengan demikian peneliti dapat mempelajari data dengan mudah dan tidak terbebani oleh banyaknya data.
40
c. Pengambilan kesimpulan atau verifikasi data atas pertanyaan penelitian. Data-data yang telah disusun sedemikian rupa dikaitkan dengan pola, model, hubungan kausalitas atau sebab akibat dan persamaan pendapat lain akan muncul kesimpulan dari objek yang telah diteliti. Dalam bukunya Qulitative Inquiry and Research Design: Choosing, Among Five Traditions menurut John W. Creswell (1998) proses analisa data dalam studi kasus tidak berbeda dengan penelitian kualitatif lainnya. Lebih lanjut Creswell menjelaskan bahwa untuk studi kasus analisisnya terdiri dari deskripsi terinci terkait kasus serta settingnya. Apabila suatu kasus menunjukkan kronologis suatu peristiwa maka menganalisisnya memerlukan banyak sumber data untuk menentukan bukti pada setiap fase dalam evolusi kasusnya. Terlebih lagi untuk setting kasus yang unik hendaknya informasi dianalisa untuk menentukan bagaimana peristiwa terjadi sesuai dengan settingnya sehingga dengan demikian data-data yang diperoleh dari lapangan kemudian dideskripsikan secara terinci dengan terlebih dahulu menjelaskan setting sosial historis dari peristiwa atau kasus yang menjadi objek dalam penelitian ini. H. Sistematika Penulisan Penelitian ini akan dipaparkan dalam lima bab yaitu: Bab I merupakan bab pendahuluan yang berisi tentang latar belakang terjadinya konflik, deskripsi konflik yang terjadi dan alasan pemilihan topik, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, literature review terkait manajemen konflik SDA, kerangka teori, definisi kontekstual, definisi operasional, metode penelitian dan sistematika penulisan bab pada penelitian manajemen konflik berbasis komunitas pada konflik tambang pasir besi di Kulon Progo.
41
Bab II dalam bab ini akan dibahas secara lengkap terkait deskripsi daerah penelitian, gambaran umum, profil masyarakat serta kasus terkait manajemen konflik berbasis komunitas, gerakan sosial yang dilakukan komunitas serta konflik sosial yang terjadi serta pihak-pihak atau aktor yang terlibat dan bertikai. Bab III Dalam bab ini akan dijelaskan mengenai hasil penelitian untuk menjelaskan otoritas dan peran yang dimiliki pihak yang terlibat, kemunculan gerakan masyarakat (social movement) utamanya gerakan yang dilakukan oleh komunitas PPLP-KP di sekitar tambang serta kepentingan pada konflik yang terjadi di lapangan dengan studi kasus konflik yang terjadi pada tambang pasir besi di Kulon Progo, Bab IV menjelaskan terkait detail hasil penelitian lapangan berdasarkan kerangka teori yang digunakan untuk menjelaskan fenomena konflik yang terjadi kemudian pemaparan manajemen konflik berbasis komunitas dan menganalisa upaya pengembangan resolusi konflik yang dilakukan pihak komunitas masyarakat. Penjelasan mengenai elaborasi pengembangan resolusi konflik dan transformasi konflik serta manajemen konflik berbasis komunitas
dengan
background
instrumentasi
Community
Dispute
Responsibility (CDR). Bab V Kesimpulan dan Saran untuk menjawab rumusan masalah yang telah disebutkan dalam Bab I. Kesimpulan dari hasil penelitian juga akan dihubungkan dengan kerangka teori yang digunakan. Bab ini juga meliputi kritik terhadap teori yang digunakan jika memang temuan di lapangan menunjukkan fenomena baru.
42