BAB I PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG Media dan khalayak merupakan dua hal yang saling berkaitan. Keduanya seakan saling bergantung satu sama lain di mana keduanya mengalami perubahan seiring dengan kebutuhan akan informasi yang tak pernah terpuaskan. Saat ini media sudah mengalami banyak perkembangan dalam hal penyebaran informasi kepada khalayak. Segala jenis media, baik cetak maupun elektronik, telah memiliki berbagai strategi untuk membuat khalayak tertarik dengan informasi yang diberikan. Berbagai jenis konten media yang ada saat ini membuat khalayak bisa dengan mudah memilih jenis media yang disukainya. Salah satu karakteristik yang paling menonjol dari perilaku mereka dalam mengakses media adalah kecenderungan untuk mengintegrasikan beragam jenis produk media, baik secara horizontal maupun vertikal 1. Sebagai contoh: berlangganan suratkabar, membeli majalah, menonton televisi, sekaligus menonton film di bioskop, mengakses internet dan seterusnya. Seiring dengan hal tersebut, salah satu jenis media yang muncul pertama kali, yaitu media cetak, perlahan tapi pasti mulai tergeser keberadaannya oleh media elektronik yang perkembangannya semakin lama semakin canggih 2. Eksistensi media cetak yang pada masa sebelumnya cukup berpengaruh besar dalam penyebaran informasi menjadi kurang dilirik oleh khalayak karena media ini dianggap cukup kuno dan kurang praktis dalam beberapa hal.
1
Amir Effendi Siregar, A. G. Eka Wenats Wuryanta, Ana Nadhya Abrar, et al. 2010. “Ekonomi dan Manajemen Media: Perkembangan Kajian, Otokritik, dan Eksplorasi Terhadap Isu Lokalitas” dalam Potret Manajemen Media di Indonesia. Yogyakarta: Total Media. Hal. 45. Integrasi vertikal terjadi ketika sebuah perusahaan mengembangkan bisnisnya ke bidang-bidang yang berada pada jalur produksi yang sama. Sedangkan integrasi horisontal terjadi ketika sebuah perusahaan mengakuisisi aktivitas bisnis tambahan, yang berada pada tingkatan rantai nilai (value chain) yang sama, dalam industri yang mirip atau berbeda. 2 Terarsip dalam http://www.suaramerdeka.com/v1/index.php/read/news/2009/07/01/31827/Era-Digital-AncamEksistensi-Media-Cetak- diakses 27 Agustus 2014.
1
Bila ingin memperoleh informasi melalui media cetak, satu-satunya cara adalah dengan membaca atau melihatnya karena konsep media cetak adalah mengutamakan pesan visual. Dengan kata lain, media cetak memiliki ruang terbatas dalam penyampaian informasi karena hanya menggunakan satu indera. Tak hanya sebagai sumber informasi, media cetak sebagai salah satu media hiburan juga mengalami penurunan. Novel, yang merupakan salah satu konten hiburan yang diminati khalayak, pun tidak mampu bertahan menghadapi gempuran teknologi media. Menurut situs web Daily Mail, tiap tahun, angka penjualan novel turun 25 persen. Dalam tiga bulan pertama di tahun 2012, novel yang terjual hanya 11,3 juta. Padahal untuk periode yang sama tahun lalu, angkanya mencapai 14,9 juta 3. Hal ini menandakan bahwa novel mulai mengalami penggerusan dalam hal penjualan. Konten media cetak satu ini dinilai membosankan dan membuat minat membaca berkurang karena dipenuhi oleh tulisan 4. Namun tidak demikian di Indonesia. Meski didominasi tulisan, novel masih digemari oleh khalayak, terutama kaum muda. Untung Wahyudi dalam Eksistensi Sastra dan Minat Baca-Tulis di Kalangan Remaja (2012) menyebutkan bahwa minat baca terhadap novel salah satunya tergantung dari penuturan penulis dalam menceritakan materi yang ada dalam novel tersebut 5. Apalagi saat ini tidak semua novel ditulis dalam bahasa baku dan formal. Gaya penulisan novel sudah semakin berkembang seiring dengan perkembangan pemakaian bahasa dalam kehidupan sehari-hari. Bahkan para novelis Indonesia memiliki ciri khas masing-masing dalam penulisan buku yang membuat buku mereka menjadi lebih laris lagi 6.
3
Terarsip dalam http://www.tempo.co/read/news/2012/04/12/072396503/Penjualan-Novel-Mulai-Tergerus-e-Reader pada 25 Agustus 2014. 4 Will Self. Mei 2014. The Novel is Dead (This Time It's for Real). Terarsip dalam http://www.theguardian.com/books/2014/may/02/will-self-novel-dead-literary-fiction diakses pada 21 Agustus 2014. Dalam tulisan ini dijelaskan novel mulai kurang diminati sekarang ini karena dianggap kuno dan konsumen mulai melirik media lain, seperti media digital yang lebih kreatif dan praktis. 5 Terarsip dalam http://www.riaupos.co/559-spesial-eksistensi-sastra-dan-minat-baca-tulis-di-kalangan-remaja.html#.UhrPmODeKE diakses pada 11 Agustus 2014. 6 Terarsip dalam http://www.perpustakaan.depkeu.go.id/DefaultPrg.asp?in=Detailnews&IdNews=734 diakses pada 9 Juni 2014.
2
Sesuai dengan pengertian dalam KBBI, salah satu ciri novel adalah ditulis secara naratif di mana tulisan mendominasi. Tulisan yang kebanyakan selalu muncul di setiap halaman ini terkadang bisa menyebabkan kejenuhan dalam membacanya. Will Self dalam The Novel is Dead (This Time It's for Real) (2014) berpendapat bahwa kejenuhan yang disebabkan karena dominasi tulisan dalam sebuah novel membuat minat membaca juga berkurang. Karena hal itu, beberapa jenis novel menyelipkan gambar di sela halaman untuk menghilangkan penat. Gambar yang terdapat di dalamnya biasanya berupa karikatur atau tentang sesuatu yang membutuhkan gambar agar dapat lebih dimengerti. Beralih ke gambar, ada satu jenis buku yang lebih didominasi oleh gambar. Buku ini disebut komik. Komik memanjakan pembacanya dengan gambar di setiap halamannya sehingga pembaca tidak perlu membayangkan lagi. Komik memang memiliki faktor visualisasi yang paling banyak di antara jenis buku lainnya. Ternyata komik memiliki definisi yang beragam. Will Eisner 7, komikus senior yang dianggap sebagai Bapak Novel Komik di Amerika, menyebut komik sebagai tatanan gambar dan kumpulan kata yang berurutan. Di Indonesia, cikal bakal komik banyak dipengaruhi oleh agama Buddha, Hindu, dan Islam. Pada masa itu, candicandi dan goa yang dibangun memiliki relief pada dindingnya. Salah satu indikatornya bisa ditemukan di dalam Goa Leang-leng di Sulawesi Selatan. Di sana terdapat gambar babi hutan yang bisa mengindikasikan tentang adanya pola komunikasi melalui gambar bagi masyarakat pada waktu itu. Penampakan relief pada candi Borobudur dan Prambanan tadi juga bisa dijadikan sebagai referensi timbulnya komik indonesia. Jika mengacu pada pengertian komik yang dikemukakan oleh Will Eisner, maka gambar pada dinding-dinding candi dapat dikategorikan sebagai komik, karena merupakan gambar yang berurutan dan merupakan rangkaian suatu cerita tertentu.
7
Will Eisner. 2008. Graphic Storytelling and Visual Narrative. New York: W. W. Norton & Company dalam Suci Lestari, Sukma Putri C, dan Tuniarti. 2009. Media Grafis: Media Komik. Bandung: Universitas Pendidikan Indonesia. Terarsip dalam http://file.upi.edu/Direktori/FIP/JUR._KURIKULUM_DAN_TEK._PENDIDIKAN/197706132001122LAKSMI_DEWI/MEDIA_GRAFIS/MEDIA_GRAFIS-HSL_MHSISSWA/komik/Medgraf,.pdf diakses pada 12 Mei 2014.
3
Di Indonesia, penjualan komik masih menduduki peringkat tertinggi di toko buku 8. Menurut situs kompas.com, Business Manager M&C!, Jerry Udampo, mengungkapkan bahwa baik anak-anak maupun dewasa sangat menggemari komik karena cerita yang dipadu dengan gambar tersebut cukup menghibur. Selain itu, sebagian besar komik merupakan cerita gambar bersambung sehingga penggemar pasti akan terus memburu serial komik favoritnya dan tidak segan untuk membeli. Berangkat dari pemaparan di atas, beberapa penerbit telah melakukan inovasi dalam hal menarik segmentasi yang lebih luas yaitu melakukan adaptasi konten. Dalam konteks ini, adaptasi konten yang dilakukan adalah mengadaptasi suatu cerita dalam suatu prosa (novel) ke komik. “All texts are multimodal . . . There is a trend in which, increasingly, the written text is no longer structured by linguistic means . . . but visually, through layout, through the spatial arrangement of blocks of text, of pictures and other graphic elements on the page.” 9 Menurut situs publishersweekly.com, dalam beberapa tahun terakhir beberapa penerbit di Amerika sering melakukan adaptasi konten dari novel-novel best-seller ke komik. Sebut saja novel The Kite Runner (2003) karangan Khaled Hosseini diadaptasi ke dalam bentuk film (2007) dan empat tahun kemudian muncul dalam format komik. Beberapa penerbit kelas atas seperti Marvel, Tokyopop, Yen Press, and Del Rey Books memakai strategi ini untuk meningkatkan profit dan menarik para penggemar komik yang mana memiliki arti memperluas segmentasi pembaca. Isi cerita yang disuguhkan dalam versi komik pun bisa sama dengan isi dalam novel atau, kebanyakan akhir-akhir ini, mengambil bagian dalam cerita novel dan mengulasnya menjadi lebih menarik lagi. Ide cerita yang terdapat di novel dikembangkan dengan lebih detail melalui informasi tambahan yang diperoleh dari penulis. Tak hanya di luar negeri, beberapa penerbit di Indonesia juga menerapkan hal yang sama untuk meningkatkan profit dan memuaskan keinginan pembaca dalam 8
Terarsip dalam http://megapolitan.kompas.com/read/2010/03/25/18020666/Penjualan.Komik.Pegang.Peringkat.Tertinggi diakses pada 2 Mei 2014. 9 Gunther Kress and Theo van Leeuwen. 1998. Front pages: (The Critical) analysis of newspaper layout. In A. Bell & P. Garret (Eds.), dalam Approaches to Media Discourse. London: Blackwell Publishing. Hal. 187.
4
hal mengeksplorasi novel yang mereka suka. Beberapa penerbit diantaranya adalah GagasMedia yang menerbitkan novel KambingJantan (2005) dan membuat kembali dalam bentuk komik dengan dua edisi pada tahun 2008. Kemudian ada juga penerbit Grasindo yang menerbitkan novel 5 cm (2006) dan mempublikasikan format komiknya lima tahun kemudian. Kebanyakan komik tersebut diterbitkan oleh penerbit yang sama. Dengan memanfatkan karya yang sudah terkenal dan memiliki banyak penggemar, penerbit percaya bahwa adaptasi konten ke komik, yang mana lebih didominasi gambar, mampu meningkatkan profit. Salah satu komik yang menerapkan adaptasi konten ini adalah novel “Anak Kos Dodol” (AKD) yang merupakan karangan Dewi ‘Dedew’ Rieka. Novel yang bercerita tentang kekonyolan anak kos yang notabene merupakan para mahasiswa yang tinggal di kota Yogyakarta untuk menimba ilmu ini memiliki daya tarik tersendiri sehingga diterbitkan dalam bentuk seri. Tak lama kemudian, muncul “Anak Kos Dodol Dikomikin” yang merupakan bentuk visual cetak dari novel tersebut. Animo para penggemar ternyata positif dan pihak penerbit pun tak menyia-nyiakan hal tersebut dengan membuat seri komik dari kisah nyata Dewi ‘Dedew’ Rieka ini. Tema ini dirasa penting untuk diteliti karena topik mengenai adaptasi konten belum banyak dibahas dalam ranah akademis. Hal ini terbukti dari penelusuran peneliti di internet maupun referensi-referensi media cetak yang ada. Dari berbagai buku yang membahas tentang adaptasi, kebanyakan berbicara tentang novel ke film: Novel to Film: An Introduction to the Theory of Adaptation (McFarlane, 1996), Stanley Kubrick and the Art of Adaptation: Three Novels, Three Films (Jenkins, 1997), Novels into Film (2003), dan lainnya. Penelitian dalam negeri pun demikian, kebanyakan hal membahas mengenai adaptasi dari novel ke film di mana ekranisasi menjadi bahan utama, seperti: Transformasi Novel Rebecca (1938) Karya Daphne Du Maurier ke Bentuk Film Rebecca (1940) Karya Alfred Hitchcock: Analisis Ekranisasi (2009), Transformasi Lintas Genre: Dari Novel ke Film, dari Film ke Novel (2009), Wacana Cerita dalam Ekranisasi Novel “Botchan” Karya Natsume Soseki (2011), dan lainnya. Hal ini dikarenakan trend adaptasi konten yang lebih mendominasi adalah novel ke film di mana adaptasi ini memang lebih dulu
5
dilakukan 10. Namun adaptasi yang masih dalam ranah media cetak juga mulai merangkak naik, terutama di Indonesia.
B. RUMUSAN MASALAH Berdasarkan latar belakang penelitian yang diuraikan di atas, peneliti mengajukan rumusan masalah “Bagaimana proses adaptasi konten dari novel “Anak Kos Dodol” dalam pembuatan komik “Anak Kos Dodol Dikomikin”?”
C. TUJUAN PENELITIAN Berdasarkan rumusan masalah di atas, penelitian ini bertujuan: 1. Mengetahui proses adaptasi konten dari novel ke komik. 2. Mengetahui bentuk keterlibatan penulis novel “Anak Kos Dodol” dalam proses adaptasi konten.
D. MANFAAT PENELITIAN 1. Manfaat Teoritis Penelitian ini diharapkan dapat memberi sumbangan konseptual tentang proses adaptasi konten dari novel ke komik.
2. Manfaat Praktis Penelitian ini secara praktis dapat memberikan gambaran pada mahasiswa tentang proses adaptasi konten dari novel ke komik.
10
Terarsip dalam http://www.koran-sindo.com/node/300062 diakses pada 13 Mei 2014.
6
E. KERANGKA PEMIKIRAN 1. Adaptasi Konten Adaptasi bukanlah hal yang asing lagi saat ini karena telah menjamah semua jenis media tanpa terkecuali: di layar televisi dan film, pertunjukan musik dan drama, di internet, novel dan komik. Pada dasarnya, adaptasi merupakan penceritaan ulang dalam bentuk baru untuk menarik khalayak baru juga. Walter Benjamin 11 menyebutkan bahwa hal penting dalam bercerita merupakan seni dalam pengulangan cerita tersebut di mana suatu seni yang terdapat di dalamnya berasal dari seni lain dan sebuah cerita terlahir dari suatu cerita. Robert Stam 12 berpendapat, sastra akan selalu memiliki keunggulan aksiomatik
(tak
perlu
pembuktian)
atas
setiap
adaptasi
karena
kesenioritasannya sebagai suatu bentuk seni. Pernyataan ini menandakan bahwa sastra merupakan bagian dari seni. Tapi hirarki ini juga melibatkan apa yang ia sebut iconophobia (kecurigaan terhadap visual) dan logophilia (kecintaan terhadap kata). Arti kata sastra di sini menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah “karya tulis yang jika dibandingkan dengan tulisan lain, memiliki berbagai ciri keunggulan, seperti keaslian, keartistikan, keindahan dalam isi dan ungkapannya” di mana novel masuk dalam kategori tersebut. Tentu saja, pandangan negatif dari adaptasi mungkin hanya menjadi produk dari gagalnya harapan dari khalayak yang menginginkan keaslian teks yang diadaptasi atau pada bagian dari seseorang mengajar sastra dan karena itu membutuhkan kedekatan dengan teks dan mungkin beberapa nilai hiburan untuk melakukannya. Adaptasi merupakan pengulangan, namun bukan peniruan. Menurut Hutcheon 13,
mengadaptasi
bisa
berarti
menyesuaikan,
mengubah,
menyocokkan. Itulah mengapa terkadang konten yang diadaptasi tidak
11
Walter Benjamin. 1992. The Task of The Translator dalam Rainer Schulte and John Biguenet. 1992. Theories of Translation. Chicago:University of Chicago Press.Hal. 90. 12 Robert Stam. 2000. The Dialogics of Adaptation. Oxford: Blackwell dalam Linda Hutcheon. 2006. A Theory of Adaptation. New York: Taylor & Francis Group. Hal. 10. 13 Linda Hutcheon. 2006. A Theory of Adaptation. New York: Taylor & Francis Group. Hal. 5.
7
sepenuhnya sama dengan teks asli sumbernya. Dalam bukunya A Theory of Adaptation (2006), kata adaptasi dapat merujuk kepada tiga hal, yaitu : a. Sebagai kesatuan bentuk atau produk, adaptasi merupakan transkode yang spesifik, luas, dan dipublikasikan. Adaptasi dalam konteks ini diartikan sebagai sebuah terjemahan. Dalam penerjemahan, teks orisinil dianggap aksiomatik
dan
otoritas,
sementara
konten
adaptasi
sering
dipermasalahkan dalam hal kesetiaan. Walter Benjamin 14 berpendapat bahwa adaptasi bukanlah tentang makna perbaikan nontekstual yang yang telah disalin atau direproduksi dari teks asli, melainkan keterlibatan dengan teks asli sehingga dilihat sebagai karya yang berbeda. Adaptasi dalam bentuk media yang berbeda di mana terjadi penerjemahan dalam bentuk transposisi dasi suatu sistem tanda (misalnya, kata) ke yang lain (misalnya gambar), mengalami penerjemahan secara spesifik dalam hal pengkodean ulang. Contoh dari adaptasi sebagai kesatuan produk adalah skenario dalam film The French Lieutenant’s Woman (1981) yang merupakan hasil adaptasi dari novel karangan John Fowles (1969) dengan judul yang sama. ketika novel bercerita tentang kisah pada era Victoria, film menceritakan bagaimana suasana di abad ke 19. Kesadaran narator dalam novel diterjemahkan dalam bentuk sinematik yang terlihat dalam film di mana ada aktor yang berperan sebagai narator dengan karakter yang sesuai dengan gaya Victoria 15. b. Sebagai proses interpretasi kreasi oleh penyadur, adaptasi adalah tindakan mengambil alih atau menyelamatkan, dan ini selalu merupakan proses ganda menafsirkan dan kemudian menciptakan sesuatu yang baru. Ketika mengadaptasi, penyadur tidak selalu bisa menampilkan apa yang terdapat
14 15
Schulte dan Biguenet. Op. Cit., Hal. 77. Neil Sinyard. 1986. Filming Literature: The Art of Screen Adaptation. London: Croom Helm. Hal. 135-140.
8
dalam karya orisinil. Pekerjaan penyadur dalam hal ini melakukan pengurangan atau kontraksi; yang biasa disebut “seni bedah” 16 . c. Sebagai contoh, mengadaptasi novel trilogi karangan Philip Pullman His Dark Materials (1995) ke dalam film berdurasi dua jam membuat sang sutradara Nicholas Wright harus menghilangkan beberapa bagian dari novel dan berfokus pada klimaks dari inti cerita. Selain itu, penjelasan mengenai tema dan detail plot juga harus disertakan karena tidak semua penonton membaca novel. Di sinilah penyadur dituntut untuk mampu berkreasi menginterpretasikan suatu karya orisinil melalui kreativitas yang dimiliki. d. Sebagai intertekstualitas, khalayak melihat adaptasi sebagai suatu catatan terhadap suatu karya lain yang ditiru. Dengan menekankan pada hubungan karya suatu individu dengan karya lain dalam suatu sistem, adaptasi memiliki identitas sebagai suatu karya. Salah satu bagian dari adaptasi yang menjadi dilema adalah keakraban suatu karya yang dibesarkan melalui pengulangan dan memori. Sebagai contoh, pertunjukan balet Swan Lake (1877) dari komposer Tchaikovsky telah dijadikan patokan dalam setiap pertunjukan balet yang mengusung cerita yang sama. Namun dalam adaptasi tarian yang dilakukan oleh Matthew Bourne, terjadi perbedaan makna dalam tarian yang lebih condong ke arah perubahan karakter. Untuk mengetahui adanya perubahan seperti ini, penonton perlu memiliki memori terhadap karya tersebut supaya bisa melihat perbedaan atau persamaan. Meskipun adaptasi dikategorikan sebagai hasil kreasi kedua, namun perkembangan adaptasi konten berkembang pesat hingga saat ini. Pada tahun 1992, 85 persen dari pemenang Festival Penghargaan Film Oscar merupakan film adaptasi. Tak hanya itu, 95 persen dari miniseri dan 70 persen serial TV merupakan hasil adaptasi menghiasi layar kaca di Amerika Utara 17.
16 17
Porter H. Abbott. 2002. The Cambridge Introduction to Narrative. Cambridge: Cambridge University Press. Hal. 108. Hutcheon.Op. Cit., Hal. 4.
9
Hutcheon juga menyebutkan bahwa pengadaptasian tidak hanya dilakukan dari karya sastra ke film atau sebaliknya, tetapi juga dapat dilakukan dengan berbagai media lainnya 18, seperti: a. Puisi: seni tertulis di mana bahasa digunakan untuk kualitas estetiknya dengan tipografi dan pemilihan diksi serta gaya bahasa yang indah. Salah satu bentuk adaptasi dari karya sastra ke puisi adalah diterbitkannya buku Phantom Pantasia: Poetry for the Phe Phantom of The Opera Phan (2014) oleh Batalha Publisher yang merupakan kumpulan puisi berisikan karakter terkenal dalam novel The Phantom of The Opera (1910) karangan Gaston Lerous, yaitu hantu dalam opera. b. Drama: cerita konflik manusia dalam bentuk dialog yang diproyeksikan pada pentas dengan menggunakan percakapan dan tindakan di hadapan penonton. c. Opera: sebuah drama yang seluruhnya atau sebagian besar dinyanyikan dengan iringan orkestra dengan kostum, pemandangan, dan tindakan yang tepat. Meskipun karya orisinil The Phantom of The Opera adalah sebuah novel, namun bentuk adaptasi opera lebih melejit. Salah satunya adalah musikal The Phantom of Opera: A Love Story (1986) di mana Andrew Lloyd Webber sebagai komposer dalam opera tersebut. Opera ini sering dijadikan patokan bagi opera lain, seperti musikal Love Never Dies yang disutradarai oleh Joseph Traynor (2006). d. Tari: gerak tubuh secara berirama yang dilakukan di tempat dan waktu tertentu untu keperluan pergaulan, mengungkapkan perasaan, maksud, dan pikiran. Pada tahun 2006, Atlantic Ballet Theatre of Canada menampilkan pertunjukan balet The Phantom of the Opera yang menceritakan kisah cinta antara Christine dan Erik. e. Lagu: gubahan seni nada atau suara dalam urutan, kombinasi, dan hubungan temporal (biasanya diiringi dengan alat musik) untuk 18
Ibid. Hal. 34-35.
10
menghasilkan
gubahan
musik
yang
mempunyai
kesatuan
dan
kesinambungan. Band metal Iced Earth membuat sebuah lagu berjudul “The Phantom Opera Ghost” (2001) yang liriknya juga mengisahkan tentang Phantom dan Christine. f.
Komik: suatu bentuk seni yang menggunakan gambar-gambar tidak bergerak yang disusun sedemikian rupa sehingga membentuk jalinan cerita. Karya adaptasi The Pantom of The Opera juga terdapat dalam bentuk gambar komik dalam salah satu subcerita pada majalah komik tahunan Tales of The Shadow 2: Gentlemen of the Night (2006) terbitan Black Coat Press. Inti komik ini masih bercerita tentang para karakter utama, yaitu Erik dan Christine. Beberapa contoh bentuk adaptasi di atas menceritakan satu kisah dengan
cara yang berbeda. Para penyadur memberikan sesuatu yang didapatkan juga dalam karya orisinil pada konten lain: mengaktualisasikan atau mengkonkretkan gagasan; membuat menyederhanakan pilihan, tetapi juga memperkuat dan eksplorasi; membuat analogi; mengkritik atau menunjukkan rasa hormat terhadap karya original, dan sebagainya. Mereka mengambil ide cerita, bukan membuat sesuatu yang baru lagi. Pada kenyataannya, adaptasi bukan lagi sekedar menceritakan ulang suatu karya,
namun
juga
memberikan
tambahan
keuntungan.
John
Ellis 19
mengungkapkan bahwa proses adaptasi seharusnya dilihat sebagai suatu investasi besar (secara finansial dan fisik) dalam keinginan untuk mengulang suatu tindakan dalam bentuk representasi yang lebih dipersempit lagi pengulangannya. Ellis mengungkapkan bahwa ada pertimbangan finansial dalam suatu adaptasi. Tidak hanya dilakukan saat-saat krisis ekonomi: pada abad ke 19, para komposer Italia membuat pertunjukan opera yang di adaptasi dari novel dijadikan pilihan yang aman untuk menghindari resiko finansial dan masalah sensor. Film-film periode klasik Hollywod juga kebanyakan diadaptasi dari novelnovel populer, inilah yang disebut “mencoba dan teruji”. Dalam hal ini, bukan 19
John Ellis. 1982. The Literary Adaptation. Screen 23 (May–June): 3–5 dalam Linda Hutcheon. Loc. Cit.
11
hanya tentang penghindaran resiko namun juga keuntungan yang mampu diciptakan. Buku best-seller mungkin dapat mencapai hingga satu juta pembaca, sebuah pertunjukan Broadway akan dilihat satu hingga delapan juta penonton, namun adaptasi film atau televisi akan mampu memperoleh jumlah penonton yang lebih banyak lagi 20. Selain mendapatkan profit yang lebih besar, adaptasi juga dilakukan untuk menciptakan konsumen baru. Film The Lion King tentu sudah tidak asing lagi di kalangan anak-anak, karena itulah pihak Broadway berani membuat opera musikal dari kisah singa tersebut 21. Tak hanya di situ, adaptasi sebagai bentuk penggunaan ulang di media lain dilanjutkan dalam bentuk videogame berdasarkan kisah Simba oleh Virgin Interactive pada Desember 1994 22. Dengan demikian perluasan konsumen pun tak dapat dielakkan. Ditambah lagi, kebanyakan perusahaan multinasional pemilik studio film pada masa kini sudah memiliki hak paten terhadap suatu karya dalam bentuk media lain, sehingga mereka bisa membuat ulangnya dalam bentuk videogame, misalnya, dan memasarkannya di stasiun televisi yang juga merupakan milik perusahaan tersebut 23. Berdasarkan beberapa asumsi yang telah disebutkan, para ahli yang telah disebutkan di atas berpendapat, bagaimanapun, bahwa ide cerita yang dibuat sebenarnya sama, inti dari apa yang dialihkan di media dan genre yang berbeda, masing-masing yang berkaitan dengan cerita dalam cara yang berbeda dan secara resmi melalui modus yang berbeda dari keterlibatan- menceritakan, melakukan, atau berinteraksi. Dalam beradaptasi, "ekuivalensi" yang dicari dalam sistem tanda yang berbeda untuk berbagai elemen cerita: tema, peristiwa, dunia, karakter, motivasi, sudut pandang, konsekuensi, konteks, simbol, citra, dan sebagainya. Millicent Marcus 24 telah menjelaskan bahwa ada dua pemikiran teoritis yang berlawanan pemikiran tentang hal ini: baik cerita 20
Linda Seger. 1992. The Art of Adaptation: Turning Fact and Fiction Into Film. New York: Henry Holt and Co. Hal. 5. Hutcheon. Lo. cit. 22 Westwood Studios, Inc. 1994. The Lion King. London: Virgin Interactive Entertainment (Europe) Ltd. Terarsip dalam http://www.mobygames.com/game/lion-king diakses pada 11 Agustus 2014. 23 Kristin Thompson. 2003. Storytelling in Film and Television. Cambridge: Harvard University Press. Hal. 81-82. 24 Millicent Marcus. 1993. Filmmaking by The Book: Italian Cinema and Literary Adaptation. Baltimore: Johns Hopkins University Press. Hal. 14. 21
12
dapat bertahan secara independen dari setiap perwujudan dalam sistem menandakan tertentu atau, sebaliknya, hal itu tidak dapat dianggap terpisah dari mediasi modus material yang pada akhirnya berujung pada pendapatan keuntungan. Fenomena adaptasi menunjukkan bahwa meskipun yang terakhir secara jelas berlaku untuk para penonton, berbagai elemen cerita bisa dan dianggap secara terpisah oleh penyadur dan oleh ahli teori, jika hanya karena kendala teknis media yang berbeda pasti akan menyoroti aspek yang berbeda dari cerita tersebut 25. Menurutnya, ada beberapa elemen yang paling mudah dan paling umum untuk diadaptasi antar media, genre atau konteks. Elemen-elemen tersebut antara lain adalah tema, karakter dan fabula (unit-unit terpisah dalam cerita). Elemen-elemen ini masuk ke dalam proses adaptasi, di mana mereka diubah, disesuaikan dan/atau dicocokkan dengan medium, genre, atau konteks yang baru. Proses adaptasi dapat membatasi atau bahkan di saat yang bersamaan membuka kemungkinan baru dalam bercerita. Tema merupakan elemen cerita yang paling mudah dilihat dalam hal adaptasi konten. Penyadur masa kini berpendapat bahwa tema merupakan bagian paling penting dalam berbagai konten dan harus menyajikan suatu adegan kejadian yang memperkuat bentuk adaptasi yang baru tersebut 26. Karakter juga menjadi bagian yang secara jelas mengalami transformasi dari bentuk teks ke bentuk lainnya dan, sebagaimana Murray Smith 27 kemukakan, menjadi bagian yang krusial untuk efek retoris dan estetika bagi teks pertunjukan maupun naratif karena mereka mengikat imajinasi khalayak melalui apa yang mereka sebut pengakuan, pensejajaran, dan kesetiaan. Unit-unit yang terpisahkan, atau disebut fabula, juga bisa dijadikan lintasan media, sebagaimana fabula mampu meringkas intisari dari berbagai versi konten yang diadaptasi 28. Namun tidak menutup perubahan yang terjadi ketika proses 25
Gaudreault, Andre. 1998. Variations Sur Une Problematique dalam Hutcheon. Op. Cit., Hal. 10. Seger. Op. Cit. Hal. 14. 27 Murray Smith. 1995. Engaging Characters: Fiction, Emotion, and The Cinema. Oxford: Clarendon Press. Hal. 4-6. 28 Philippe Hamon. 1977. Texte Litteraire et Metalangage. Hal. 264 dalam Hutcheon. Op. cit.., Hal. 11. 26
13
adaptasi dilakukan: langkah yang berubah, waktu yang dipersempit. Perubahan dalam sudut pandang dari cerita yang diadaptasi mampu memberi perbedaan yang cukup kentara. Sementara itu, menurut Stam 29, adaptasi sekarang sedang dianalisis sebagai produk kreativitas artistik yang "terjebak dalam pusaran transformasi intertekstual yang sedang berlangsung, teks menghasilkan teks-teks lain dalam proses daur ulang yang tak ada habisnya, transformasi dan transmutasi, tanpa poin keaslian". Pernyataan tersebut menunjukkan bahwa adaptasi konten dilakukan sebagai salah satu wadah kreativitas dari suatu ide cerita yang akan terus dikembangkan tanpa memandang bentuk media yang digunakan. Hal ini cukup membuktikan mengapa adaptasi konten tidak hanya dilakukan dalam satu bentuk saja melainkan beberapa macam konten dan tidak memandang era. Salah satu contoh adaptasi konten yang berhasil menjamah berbagai bentuk konten adalah tokoh fiksi karakter pahlawan super yang paling berpengaruh dari Amerika Serikat, Superman. Tokoh yang berasal dari penerbit DC Comics ini diciptakan oleh seorang seniman Canada, Joe Shuster, dan penulis Amerika Serikat Jerry Siegel. Superman pertama kali muncul dalam serial Action Comics edisi #1 di Amerika Serikat pada tahun 1938 dan kemudian juga muncul di berbagai serial drama, radio, acara televisi, film layar lebar, surat kabar, komik, novel, dan videogame berbahasa Inggris. Serial komik Superman sempat menduduki peringkat teratas di Amerika Serika pada tahun 1992 dan 2004 di mana saat itu komik ini terus diadaptasi ke dalam berbagai bentuk seperti film dan serial TV. Bahkan hingga saat ini pamor superhero yang terkenal dengan lambang “S” di dada tersebut masih menunjukkan eksistensinya dengan peluncuran film Man of Steel, arahan Zack Snyder yang dibintangi oleh Kevin Costner, Amy Adams, Russell Crowe dan Henry Cavill pada tahun 2013. 2. Hak Cipta dalam Adaptasi Konten Salah satu hal yang tidak bisa diabaikan dalam hal adaptasi konten adalah perkara lisensi. Sebelum membahas mengenai hal tersebut, akan dibahas 29
Robert Stam. 2000. The Dialogics of Adaptation. Oxford: Blackwell dalam Hutcheon. Op. Cit.,Hal. 209-210.
14
mengenai hak cipta terlebih dahulu. Hak cipta (lambang internasional: ©, Unicode: U+00A9) adalah hak eksklusif Pencipta atau Pemegang Hak Cipta untuk mengatur penggunaan hasil penuangan gagasan atau informasi tertentu. Pada dasarnya, hak cipta merupakan "hak untuk menyalin suatu ciptaan". Hak cipta dapat juga memungkinkan pemegang hak tersebut untuk membatasi penggandaan tidak sah atas suatu ciptaan. Pada umumnya pula, hak cipta memiliki masa berlaku tertentu yang terbatas. Hak cipta berlaku pada berbagai jenis karya seni atau karya cipta (ciptaan) yang mencakup puisi, drama, karya tulis berupa sastra, film, foto, karya koreografis (tari, balet, dan sebagainya), komposisi musik, rekaman suara, karya seni rupa dua maupun tiga dimensi (lukisan, patung, dan dan sebagainya), perangkat lunak komputer, siaran radio dan televisi, serta desain industri. Di Indonesia, masalah hak cipta diatur dalam Undang-undang Hak Cipta, yaitu Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002. Dalam undang-undang tersebut, pengertian hak cipta adalah "hak eksklusif bagi pencipta atau penerima hak untuk mengumumkan atau memperbanyak ciptaannya atau memberikan izin untuk itu dengan tidak mengurangi pembatasan-pembatasan menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku" (pasal 1 butir 1). Hak cipta merupakan bagian dari Hak Kekayaan Intelektual (HKI). HKI yang menjadi pokok dalam penelitian ini lebih difokuskan kepada kekayaan intelektual menyangkut bentuk adaptasi. Adapun kekayaan intelektual merupakan kekayaan atas segala hasil produksi kecerdasan daya pikir seperti teknologi, pengetahuan, seni, sastra, gubahan lagu, karya tulis, karikatur, dan lain-lain yang berguna untuk manusia 30. Hak eklusif yang diberikan Negara kepada individu pelaku HKI (inventor, pencipta, pendesain dan sebagainya) tiada lain dimaksudkan sebagai penghargaan atas hasil karya (kreativitas)nya dan agar orang lain terangsang untuk dapat lebih lanjut mengembangkannya lagi,
30
Adrian Sutedi. 2009. Hak Atas Kekayaan Intelektual. Jakarta: Sinar Grafika. Hal. 38.
15
sehingga dengan sistem HKI tersebut kepentingan masyarakat ditentukan melalui mekanisme pasar 31. 3. Komodifikasi dalam Ekonomi Politik Media Secara sederhana,
industri
media memanfaatkan
khayalak
untuk
mengambil suatu keuntungan yang sebesar-besarnya dengan mempromosikan berbagai konten yang menarik sehingga mereka tertarik dengan konten tersebut dan itu merupakan kesempatan bagi media untuk mengambil suatu keuntungan. Dengan kata lain, perluasan (ekspansi) media yang dalam penelitian ini berfokus pada adaptasi konten, menghasilkan kekuatan yang besar dalam mengendalikan khayalak melalui sumber-sumber produksi media berupa teknologi, jaringan dan lainnya. Hal inilah yang yang kemudian disebut sebagai ekonomi politik dalam media, di mana ekonomi menjadi tujuan utama dan diperlukan politik sebagai bentuk usaha pengontrolan terhadap khalayak. Sementara itu ekonomi politik menurut McQuail 32 merupakan pendekatan kritik sosial yang fokus utamanya pada hubungan antara struktur ekonomi, dinamika industri media, dan ideologi konten dari media. Dalam hal ini, institusi media harus dinilai sebagai bagian dari sistem ekonomi yang juga berkaitan erat dengan sistem politik. Kualitas pengetahuan tentang khalayak, yang diproduksi oleh media, sebagian besar dapat ditentukan oleh nilau tukar pelbagai ragam isi dalam kondisi yag memaksakan perluasan pasar, dan juga ditentukan oleh kepentingan ekonomi para pemilik dan penentu kebijakan. Berbagai kepentingan tersebut berkaitan dengan kebutuhan untuk memperoleh keuntungan dari hasil kerja media sebagai akibat dari adanya kecenderungan monopolistis dan proses integrasi, baik secara vertikal maupun horizontal. Lebih jelas, ekonomi politik secara umum memiliki pengertian: “In the narrow sense, political economy is the study of the social relations, particularly the power relations, that mutually constitute the production, distribution, and consumption of resources, including communication resources. This formulation has a certain practical value 31 32
Terarsip dalam http://id.wikipedia.org/wiki/Kekayaan_intelektual diakses pada 9 Juni 2014. Denis McQuail. 2011. McQuail’s Mass Communication Theory: Fifth Edition. London: Sage Publication. Hal. 105.
16
because it calls attention to how the communication bussines operates.” 33 Vincent Mosco The Political Economy of Communication: Rethinking and Renewal (2009) menjelaskan bahwa ada tiga konsep awal dalam politik ekonomi media yang dapat dikatakan sebagai “pintu masuk” yaitu komodifikasi, spasialisasi, dan strukturasi. Komodifikasi berhubungan dengan bagaimana proses transformasi barang dan jasa beserta nilai gunanya menjadi suatu komoditas yang mempunyai nilai tukar di pasar. Spasialisasi, berkaitan dengan sejauh mana media mampu menyajikan produknya di depan pembaca dalam batasan ruang dan waktu di mana struktur kelembagaan media menentukan perannya di dalam memenuhi jaringan dan kecepatan penyampaian produk media di hadapan khalayak. Terakhir, strukturasi berkaitan dengan relasi ide antaragen masyarakat, proses sosial dan praktik sosial dalam analisis struktur. Secara umum, komodifikasi adalah transformasi nilai guna menjadi nilai tukar. Konsep ini mengacu pada pemanfaatan barang dan jasa yang dilihat dari kegunaannya yang kemudian ditransformasikan menjadi komoditas yang dinilai berdasarkan maknanya di pasar. Proses transformasi dari nilai guna menjadi nilai tukar, dalam media massa selalu melibatkan para awak media, khalayak pembaca, pasar, dan negara apabila masing-masing di antaranya mempunyai kepentingan. Nilai tambah produksi konten akan sangat ditentukan oleh kemampuan berita tersebut memenuhi kebutuhan sosial dan individual. Dalam proses ini, sesuatu diproduksi bukan terutama atas dasar nilai guna, tetapi lebih pada nilai tukar. Artinya sesuatu diproduksi bukan semata-mata memiliki kegunaan bagi khalayak, tetapi lebih karena bisa dipertukarkan di pasar. Dengan demikian orientasi produksi bukan untuk memenuhi kebutuhan objektif masyarakat tetapi lebih mendorong akumulasi modal. Berdasarkan penjelasan Mosco tersebut, secara garis besar komodifikasi berhubungan dengan bagaimana proses transformasi barang dan jasa beserta nilai gunanya menjadi suatu komoditas yang mempunyai nilai tukar di pasar. Hal 33
2
Vincent Mosco. 2009. The Political Economy of Communication: Rethinking and Renewal. London: Sage Publication. Hal.
17
ini berarti siapa saja yang memulai kapital dengan mendeskripsikan sebuah komoditi maka ia akan memperoleh keuntungan yang sangat besar. Dalam lingkup institusi atau lembaga media, para pekerja media dilibatkan untuk memproduksi dan mendistribusikannya ke konsumen yang beragam. Konsumen dalam hal ini bisa khalayak pembaca media cetak, penonton televisi, pendengar radio. Nilai tambah dari komodifikasi akan sangat ditentukan sejauh mana produk media tersebut dapat memenuhi kebutuhan individual maupun sosial. Terdapat tiga jenis komodifikasi yang dijabarkan oleh Mosco, yaitu komodifikasi isi, komodifikasi audiens dan komodifikasi pekerja. Komodifikasi isi merupakan bentuk transformasi yang berpusat pada isi konten di mana kumpulan informasi dan data yang tidak bermakna pada awalnya kemudian diolah menjadi sedemikian rupa sehingga mendapat nilai tukar. Proses transformasi pesan, berkisar dari data menjadi sistem suatu pemikiran ide, menjadi suatu konten yang dapat terjual di pasar merupakan bagian dalam komodifikasi isi. 4. Trend Adaptasi Konten dari Teks ke Visual Dari sekian banyak bentuk adaptasi konten yang dilakukan dalam dunia media, adaptasi teks literatur terbilang paling sering dilakukan. Hal ini didukung oleh pernyataan Alexis Weedon yang berpendapat bahwa fungsi buku (literatur) sebagai sarana berstatus tinggi untuk mengkonsumsi ide-ide baru dan ekspresiekspresi kultural mulai ditantang untuk menyampaikan pesan dalam bentuk media lain 34. Berbagai bentuk adaptasi literatur kebanyakan berbentuk visual, seperti: film, opera, komik, dan serial TV. Media visual 35 di sini artinya semua alat peraga yang digunakan dan bisa dinikmati lewat panca-indera mata. Misalnya film yang diadaptasi dari novel, dan sebaliknya, menjadi salah satu trend yang dilakukan oleh banyak penggiat seni masa kini. Novel sebagai salah satu bentuk literatur fiksi menjadi salah satu media yang cukup sering diadaptasi. 34
Alexis Weedon. 2014. “Crossing Media Boundaries: Adaptations and New Media Forms of The Book” dalam Convergence: The International Journal of Research into New Media Technologies, Vol. 20 (I). Hal. 109. 35 Daryanto. 1993. Media Visual untuk Pengajaran Teknik. Bandung: Tarsito. Hal. 27.
18
Adaptasi konten dari bentuk literatur ke visual sendiri bermula dari adaptasi konten novel ke film. Joseph Conrad 36 mengungkapkan “My task which I am trying to achieve is, by the power of the written word, to make you hear, to make you feel – it is, before all, to make you see”. Conrad menginginkan pembaca untuk melihat ke dalam dan akhirnya mampu menangkap bahasa dan konsep naratif yang disampaikannya melalui gambar kepada pembaca. Ungkapan ini selanjutnya menjadi patokan bagi para pembuat film di Amerika, bahkan seluruh dunia, untuk terus berkreasi mengembangkan ide dari novel. Adaptasi konten dari teks literatur ke visual memang menjadi salah satu pilihan yang cukup populer hingga saat ini karena pengembangan antara teks ke dalam bentuk visual pada kenyataannya membantu khalayak dalam hal mendalami suatu karya. “Text and image exchange their signifying qualities, with the written passages highlighting their character as pasted-on, visible images of language, while the photohraphic images appear clipped and cited like the fragments of speech.” 37 Meskipun menjadi primadona dalam dunia adaptasi media, adaptasi dari novel ke film justru menuai banyak kritikan dari berbagai pihak. Bentuk visualisasi yang menjadi ciri khas pada kenyataannya merupakan bumerang besar bagi industri film. “It was an obvious fact that each act of visualization narrowed down the open-ended characters, objects or landscapes, created by th ebook and reconstructed in the reader’s imagination, to concreate define images.” 38 Pada awal 1926, Virginia Woolf 39 mengomentari seni film yang masih muda perkembangannya di mana penyederhanaan karya sastra yang pasti terjadi di transposisi untuk media visual yang baru dan menyebut film sebagai "parasit" dan sastra merupakan "mangsa" dan "korban". Namun ia juga meramalkan bahwa film memiliki potensi untuk mengembangkan idiom mandiri di mana film dalam genggamannya memiliki simbol tak terhitung untuk emosi namun sejauh 36
Joseph Conrad. 1945. The Nigger of the Narcissus. London: J. M. Dent and Sons. Hal. 45 Tyrus Miller. 2013. “Situating Images” dalam On Writing with Photography. London: University of Minnesota Press. Hal. 193. 38 Ct Seymour Chatman. 1980. Story and Discourse: Narrative Structure in Fiction and Film. New York: Cornell University Press. Hal. 118. 39 Virginia Woolf. 1926. New Republic 47: The Movies and Reality. (4 Aug.). Hal. 308–310 dalam Hutcheon. Op. cit.,. Hal. 3. 37
19
ini gagal menemukan ekspresi dalam kata. Sementara itu, dalam pandangan ahli semiotika film Christian Metz 40, film “menceritakan kisah-kisah yang berkelanjutan; mampu mengungkapkan hal-hal yang bisa juga disampaikan dalam kata-kata dengan cara yang berbeda. Ada alasan untuk kemungkinan dalam kebutuhan adaptasi". Seperti yang sudah diketahui, literatur menawarkan kemungkinan area komunikasi yang luas di mana pembaca selaku penikmat teks diajak berbicara dalam bentuk rangkaian kata. Visualisasi yang ditampilkan dalam bentuk film membuat imajinasi pembaca yang telah membaca novel terlebih dahulu semakin terbatas dan mempersempit respon dalam dunia interaksi teks. Sementara itu, dari segi pembuat film sendiri, merupakan suatu tekanan tersendiri untuk memindahkan koneksi antarteks yang sudah tercipta sebelumnya ke dalam teks dan memberikan ekspresi terbak secara visual kepada khalayak agar mendapat respon yang paling tidak memuaskan hati para khalayak. Setidaknya adaptasi yang telah diciptakan mampu memberikan interprestasi, sebagai bentuk spesifik dan original teks, meskipun tidak lengkap. Namun justru tantangan-tantangan seperti itulah yang membuat para pembuat film semakin bersemangat dalam mengubah konten teks menjadi visual dan audio. “Semangat” dalam novel yang akan diadaptasi tersebut dijadikan sebagai ciri khas yang tak boleh dihilangkan agar koneksi antara khalayak dan penulisnya tidak terputus. Sebuah adaptasi tidak harus menampilkan setiap bagian dalam novel. Akan tetapi beberapa bagian seperti: seni; kemandirian; kreasi dan koheren yang meyakinkan dan ditonjolkan dengan cara yang unik tanpa mengurangi arti dari pesan yang ingin disampaikan. Dengan kata lain, karya adaptasi harus setia dengan logika internal asli yang diciptakan dalam bentuk baru. Di Indonesia sendiri, kecenderungan adaptasi konten ke dalam bentuk visual sudah menjamur. Konten teks literatur telah mengalami bermacam40
Christian Metz. 1974. Film Language: A Semitiocs of The Cinema. New York: Oxford University Press. Hal.44.
20
macam adaptasi, direka ulang oleh penulis lain dengan perubahan sudut pandang, diposisikan sebagai sebuah legenda atau cerita rakyat, dipentaskan berulang-ulang oleh sejumlah kelompok teater tradisional maupun modern, atau disalin ke dalam bentuk naskah atau manuskrip. Adaptasi yang paling mendominasi adalah perubahan dari novel menjadi film, atau sebaliknya, yaitu dari film diwujudkan menjadi sebuah novel. Utamanya pada dekade terakhir ini, pada awal tahun 2000-an misalnya, tercatat cukup banyak novel atau film yang mengalami adaptasi, khususnya pada karyakarya yang cenderung dikategorikan sebagai karya populer. Sejumlah karya yang merupakan perwujudan dari adanya adaptasi semacam ini terjadi misalnya pada novel laris yang berjudul Ayat-Ayat Cinta (Republika, 2004) karya Habiburrahman El Shirazy yang difilmkan dengan judul sama oleh Hanung Bramantyo pada tahun 2007, Jomblo (Gagas Media, 2003) karya Adhitya Mulya yang juga difilmkan oleh Hanung Bramantyo, Eiffel I’m in Love (Gagas Media, 2003) karya Rachmania Arunita yang dilayarlebarkan oleh Nasry Cheppy dengan durasi sepanjang 195 menit, dan Ca-Bau-Kan (Kepustakaan Populer Gramedia, 1999) karya Remy Sylado yang digarap menjadi film oleh Nia Dinata pada tahun 2002.
21
No.
Judul Film
Jumlah Penonton
1
Cinta Brontosaurus
892.915
2
Coboy Junior The Movie
683.604
3
99 Cahaya di Langit Eropa
577.691
4
Taman Lawang
526.761
5
Manusia Setengah Salmon
429.768
6
308
352.248
7
Get M4rried
306.886
8
Refrain
281.922
9
Soekarno
264.703
10
La Tahzan
235.718
Tabel 1.1 Daftar Film Indonesia Terlaris Pada Semester Awal 2013 41 Data di atas menunjukkan bahwa lima dari sepuluh film terlaris merupakan film yang diadaptasi dari novel, yaitu: Cinta Brontosaurus, 99 Cahaya di Langit Eropa, Manusia Setengah Salmon, Refrain dan La Tahzan. Hal ini menunjukkan bahwa trend adaptasi konten dari novel ke film memang cukup menjanjikan dalam hal memperoleh keuntungan. Asumsi ini didukung oleh pengamat film Yan Wijaya yang mengungkapkan, cerita dari novel sudah tentu akan menjamin kebagusan dari cerita sehingga memungkinkan pembaca novelnya juga berminat menonton filmnya. “Jadi menangguk untung calon penonton, yang juga pembaca bukunya,” katanya. Senada dengan Yan Wijaya, pengamat sekaligus Ketua Seksi Film dan Budaya PWI Jaya Teguh Imam Suryadi mengatakan bahwa
41
Terarsip dalam http://musicshow.info/10-film-indonesia-terlaris-2013/ diakses pada 23 Maret 2014.
22
sebagian besar film laris adalah berbasis novel. Ini bukan konsep baru dalam bisnis film 42. 5. Adaptasi Konten dari Novel ke Komik dan Peran Penulis Novel Novel adalah sebuah karya fiksi prosa yang tertulis dan naratif. Biasanya dalam bentuk cerita. Novel berasal dari bahasa Italia Novella yang secara bahasa berarti ‘sebuah barang baru yang kecil’, dan kemudian diartikan sebagai ‘cerita pendek dalam bentuk prosa’ 43. Novel lebih panjang, setidaknya 40.000 kata, dan lebih kompleks dari cerpen, dan tidak dibatasi keterbatasan struktural dan metrikal sandiwara atau sajak. H.B. Jassin mengemukakan bahwasannya novel adalah “suatu karangan prosa yang bersifat cerita yang menceritakan suatu kejadian yang luar biasa dari kehidupan orang-orang, luar biasa karena dari kejadian ini terlahir suatu konflik, suatu pertikaian, yang mengalihkan jurusan nasib mereka” 44. Dalam novel, terdapat dua elemen penting yang membantu terbentuknya karya sastra dan membuat pembaca lebih mengerti isi novel dengan lebih baik. Pertama, elemen intrinsik di mana terdapat tema (theme), alur cerita (plot), latar (setting), sudut pandang (point of view), tokoh (character), dan ironi (irony). Alur cerita atau yang dikenal dengan sebutan plot adalah salah satu elemen intrinsik yang membantu terbentuknya karya sastra. Menurut Laurence Perrine 45 alur cerita adalah susunan peristiwa yang terjadi dalam sebuah cerita. Di sisi lain Mario Klarer 46 berpendapat “Plot is the logical interaction of various thematic element of a text which leads to change of original situation as pretended at outset of narrative”. Alur cerita menjadi sangat penting karena setiap kejadian-kejadiannya mulai dari konflik sampai suatu klimaks dari sebuah cerita terdapat di dalam alur cerita tersebut.
42
Terarasip dalam http://www.koran-sindo.com/node/300062 diakses pada 13 Mei 2014. Burhan Nurgiyantoro. 1998. Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta: Gajah Mada Univesity Press. Hal. 9. 44 Suroto. 1989. Teori dan Bimbingan Apresiasi Sastra Indonesia. Jakarta: Erlangga. Hal. 19. 45 Laurence Perrine. 1987. Sound and Sense: An Introduction to Poetry. San Diego : Harcourt Brace Jovanovich. Hal. 41. 46 Klarer, Mario. 1998. An Introduction to Literary Studies. New York: Routledge. Hal. 15. 43
23
Selain itu Klarer 47 juga menyatakan terdapat empat elemen yang biasa terkandung di tiap alur cerita. Elemen yang pertama adalah penunjukakan (exposition) dimana suatu cerita dimulai untuk memperkenalkan kondisi yang ada pada saat itu dan tokoh-tokoh yang berperan didalamnya. Biasanya tokoh utamalah yang mengambarkan suasana awal yang ada di dalam cerita tersebut. Elemen kedua adalah komplikasi (complication) yang merupakan suatu indikasi permasalahan yang mulai dan akan muncul dalam cerita. Selanjutnya adalah klimaks (climax) dimana si tokoh utama menghadapi atau mendapatkan permasalahan yang serius dan rumit; lalu sang tokoh diharuskan memecahkan masalah yang dihadapinya. Kemudian elemen terakhir adalah pemecahan (resolution) dimana si tokoh berhasil mengatasi masalah yang ada atau masalah yang timbul berangsur-angsur selesai dan kondusif. Dengan melihat elemen-elemen pada alur cerita yang dijelaskan oleh Klarer 48 dapat disimpulkan bahwa di dalam setiap cerita fiksi selalu terdapat konflik. Pendapat ini juga dikemukakan oleh Perrine 49, menurutnya konflik (conflict) adalah suatu perselisihan atau ketidakcocokan dari suatu tindakan, gagasan, keinginan atau hasrat.Dengan ini terindikasi bahwa konflik dalam sebuah cerita selalu muncul di dalam cerita tersebut. Aminuddin 50 mendefinisikan tokoh (character) adalah pelaku yang mengemban peristiwa dalam cerita rekaan sehingga peristiwa itu menjalin suatu cerita, sedangkan cara sastrawan atau pengarang menampilkan tokoh disebut penokohan (characterization). Di dalam karya sastra khususnya novel dan cerita pendek (cerpen), tokoh-tokoh yang ada di dalam suatu cerita selalu mempunyai sifat, sikap, tingkah laku atau watak-watak tertentu. Dilihat dari peranan dan keterlibatan dalam cerita, tokoh dapat dibedakan atas tiga macam. Tokoh primer adalah tokoh utama (the main character) yang memiliki peranan penting dalam cerita. Biasanya cerita itu menceritakan
47
Ibid., Hal. 45. Ibid., Hal. 15. 49 Perrine. Op. Cit., Hal. 42. 50 Aminudin. 1984. Pengantar Memahami Unsur-Unsur dalam Karya Sastra. Malang : FPBS IKIP. Hal 85. 48
24
tentang kehidupan atau pengalaman yang dijalani oleh sang tokoh. Sedangkan tokoh sekunder adalah tokoh bawah yang selalu ada dan menemani tokoh utama dalam menjalani sebuah cerita. Tokoh komplementer adalah yang disebut juga sebagai tokoh tambahan atau hiasan yang jarang sekali muncul dalam cerita dan biasanya. Di dalam sebuah cerita fiksi, biasanya pengarang tidak hanya menceritakan sebuah alur cerita (plot) yang lurus tanpa masalah dan sesuai rencana atau harapan dari si tokoh. Namun terkadang sebuah cerita terjadi tidak sesuai dengan harapan atau bayangan si tokoh. Elemen intrinsik di dalam sebuah cerita inilah yang disebut Ironi (irony). Ironi adalah kejadian atau situasi yang bertentangan dengan apa yang diharapkan atau seharusnya terjadi. Elemen ekstrinsik adalah elemen yang membangun atau membantu terbentuknya karya sastra dari luar kandungan karya sastra itu sendiri. Di dalam bukunya, Drs. Iswanto 51, berpendapat bahwa unsur-unsur seperti biografi si pengarang, sosial budaya, sejarah, ekonomi biografi, dan kondisi politik pada saat itu adalah termasuk elemen-elemen ekstrinsik yang ikut membantu terbentuknya sebuah karya sastra ataupun cerita-cerita fiksi. Namun kenyataannya elemen ekstrinsik kurang dipahami atau disadari oleh para pembaca. Komik, menurut Scott McCloud 52, ialah gambar-gambar dan bentukanbentukan lain yang berderetan dalam urutan yang disengaja, dimaksudkan untuk memberi informasi dan/atau menghasilkan respon estetis bagi pembacanya. Secara umum, pengertian komik adalah gambar-gambar yang bercerita dengan narasi tulisan. Karenanya, pengkajian komik sebagai karya seni bukan semata-mata memperhatikan aspek seni rupa: gaya gambar, grafis, atau komposisi; melainkan juga aspek sastra, seperti genre cerita, gaya penulisan,
51
Dikutip dalam Jabrohim (Ed). 2003. Metodologi Penelitian Sastra. Yogyakarta: Hanindita Graga Widya. Hal. 62. Scott McCloud. 1993. Understanding Comics. New York: HarperCollins Publishers Inc. Hal. 9. “Juxtaposed pictorial and other images in deliberate sequence, intended to convey information and/or to produce an aesthetic response in the viewer”. 52
25
dan tema. Perpaduan rupa dan cerita itu menjadi ‘isi’, tempat penyampaian ideide pembuatnya. Seni komik dunia di setiap negara memiliki gaya yang khas. Keragaman itu muncul dari tradisi komik dan seni rupa dalam konteks kebudayaan masingmasing. Sebagai contoh, komik Amerika dan Eropa sama-sama memberikan penekanan pada logika pembaca dan gaya tutur yang stabil. Komik Jepang bertutur dengan lebih banyak memunculkan efek emosi dari gambar-gambar suasana. Komik Amerika lebih banyak membuat cerita-cerita pendek, sedangkan komik Eropa hampir selalu berisi petualangan panjang. Pembuatan komik modern di Amerika lebih banyak merupakan kerja tim yang melibatkan banyak pihak dengan spesialisasi mereka masing-masing: penggagas cerita, penulis, pembuat teks, editor, penata letak, penggambar sketsa, penebal garis, pemberi warna, dan lain-lain. Di Eropa dan Jepang, orang yang terlibat dalam pembuatan komik jumlahnya lebih sedikit. Produksi hanya dikerjakan oleh satu seniman yang mengerjakan semua proses. Terdapat beberapa langkah dalam pembuatan komik 53, yaitu: 1.
Perumusan ide cerita dan pembentukan karakter;
2.
Sketching (pembuatan sketsa): menuangkan ide cerita dalam media gambar secara kasar;
3.
Inking (penintaan): penintaan pada goresan pensil sketsa;
4.
Coloring (pewarnaan): pemberian warna komik yang dapat dilakukan, baik itu black and white (hitam dan putih) maupun full color (berwarna); dan
5.
Lattering: pembuatan teks pada komik. Sebagai salah satu bentuk media yang memiliki rating tertinggi dalam hal
penjualan media cetak, komik memiliki sesuatu yang membuat suatu alur cerita
53
Suci Lestari, Sukma Putri C, dan Tuniarti. 2009. Media Grafis: Media Komik. Bandung: Universitas Pendidikan Indonesia. Hal. 2. Terarsip dalam http://file.upi.edu/Direktori/FIP/JUR._KURIKULUM_DAN_TEK._PENDIDIKAN/197706132001122LAKSMI_DEWI/MEDIA_GRAFIS/MEDIA_GRAFIS-HSL_MHSISSWA/komik/Medgraf,.pdf diakses pada 12 Mei 2014.
26
menjadi rangkaian yang saling menguatkan. Selain dengan pencitraan, alur cerita, dialog, dan gestur; terdapat beberapa pemilihan intrinsik yang menjadi dasar 54: 1. Pemilihan momen di mana ada momen-momen yang harus ditampilkan ataupun dibuang. Ditambah dengan pemilihan transisi panel yang baik, komikus dapat menghemat panel demi efisiensi, menambah panel demi penekanan, mengatur intensitas cerita, dan sebagainya. 2. Pemilihan bingkai yang merupakan tahap di mana komikus menentukan jarak antarbingkai untuk membangkitkan kesan saat berada di tempat kejadian. Proses ini ditentukan oleh beberapa faktor komposisi, diantaranya: tata pandang (cropping), keseimbangan (balance), dan kemiriangan (tilt); yang bisa memengaruhi tanggapan pembaca terhadap dunia dalam komik serta posisi mereka di sana. 3. Pemilihan citra yang mampu membawa dunia cerita yang dibuat ke dalam bentuk rupa yang terlihat hidup. Pemilihan citra ini bisa dibilang sebagai “gaya” komikus karena pada dasarnya inilah yang menjadi cri khas komikus tersebut kelak. 4. Pemilihan kata yang mampu menjelaskan gambar menjadi sebuah narasi, berperan maksimal sebagai dialog atau percakapan yang berbentuk balon kata, dan mengambil fungsi efek suara (sound effect) untuk membuat pembaca mendengar bunyi yang terjadi dalam komik. 5. Pemilihan alur yang berkaitan erat dengan tata panel. Dalam komik, alur baca yang baik ditentukan dengan pengaturan panel ke panel, baik secara penempatan maupun jarak, sehingga tidak membuat pembaca menjadi kebingungan. Melihat perbandingan unsur intrinsik kedua jenis media cetak tersebut, tentu bukan hal yang mudah melakukan adaptasi konten dari novel ke komik. Meski memiliki beberapa unsur yang sama, tantangan jelas terlihat dalam 54
Ibid., Hal. 4-5.
27
proses produksi. Perbedaan yang cukup besar terlihat di sini adalah pemilihan citra di mana penggambaran setiap tokohnya kelak yang menjadi identitas yang melekat bagi cerita tersebut dan mejadi ciri khas bagi komikus. Kebanyakan adaptasi bergantung kepada interpretasi dan imajinasi dari pembuat adaptasi, dalam kasus ini, pembuat komik (komikus). Namun bukan hal yang mustahil bagi pengelola media untuk melibatkan penulis dari proyek ini. “Publishers small and large should seek to gain membership of Interactive Media Associations, it should seek to use metadata to allow search, customer proiling and intuition. This kind of data can help produce better, faster, more effective marketing, production and distribution. Almost certainly more importantly than any of these steps, important though they are is that the book publishing industry should strive to convince authors that this type of change should be embraced. It is the content, the idea of the book that has kept it relevant since its inception, not merely the form... A radical shift in approach, methodology and practice led by the book publishing industry can simply consolidate the position of the book in today’s multi-literate society and get writers and readers thinking about their next book.” 55 Pernyataan di atas membuktikan bahwa suatu penerbit, sebelum mengambil langkah lebih lanjut dalam mengembangkan suatu karya penulis ke dalam konten lain (adaptasi), melakukan berbagai survey untuk menunjang pembuatan konten tersebut. Dari berbagai data yang dicari, terlihat bahwa penulis menjadi salah satu faktor penting untuk mempertahankan relevansi ide cerita. Kemungkinan untuk diterbitkannya sekuel suatu konten hasil adaptasi juga sudah diperkirakan sebelumnya. Melihat hal tersebut, penulis pada dasarnya memang memiliki peran yang berarti dalam hal adaptasi konten. Untuk bisa memaksimalkan adaptasi konten, dalam hal ini dari novel ke komik, ada beberapa faktor utama di mata penulis bisa dilibatkan. Visualisasi dan penceritaan yang interaktif menjadi dua hal pokok yang bisa ditonjolkan. Sebagaimana dinyatakan di atas, sebelumnya telah menyatakan bahwa komik dapat membantu memvisualisasikan di mana dan bagaimana rincian 55
Julius Ayodeji. 2011. “The Book an Adaptation from the Film: Technology, Narrative, Bussiness, & How the Book Industry Might Adapt the Film” dalam The International Journal of The Book. Illinois: Common Ground Publishing LLC. Hal. 11
28
spesifik cerita interaktif diimplementasikan dengan memasukkan mereka dalam tata letak komik. Segel dan Heber 56 telah menggunakan analogi mendongeng untuk membahas beberapa kasus menyangkut pembuatan komik adaptasi yang melibatkan penulis aslinya. Mereka membandingkan kekuatan dan kelemahan teknik visualisasi yang mampu menceritakan ulang ide cerita. Dalam hal ini, desain visualisasi yang disajikan dapat menyeimbangkan apa yang seharusnya diharapkan oleh kedua pihak, yaitu penulis dan khalayak. Dikatakan bahwa beberapa visualisasi yang terbaik adalah gambar yang memberikan ikhtisar narasi singkat untuk memfasilitasi pemahaman khalayak terhadap hal yang ingin disampaikan secara jelas. Penulis, selaku pencipta ide, bisa lebih detail dalam memberikan karakteristik yang memberi ‘roh’ pada setiap detail gambar yang dibuat. Kedua, penceritaan yang interaktif juga membutuhkan pengalaman yang lebih banyak lagi. Dalam hal ini, penulis yang merupakan pemeran utama cerita bisa dimanfaatkan untuk menambah referensi pembuatan komik. Interaktivitas yang dimaksud dalam hal ini adalah pengembangan cerita dimana, tanpa menghilangkan originalitas dari cerita asli, terdapat tambahan kisah yang menambah rasa penasaran khalayak untuk membaca komik tersebut. Oleh karena itu, supaya tidak menyimpang dari keaslian, campur tangan penulis novel tidak bisa disepelekan. “It makes the story ‘come to life’ visually, by creating illustrations of characters, creating backstories and branching narrative to fill gaps and explore specific characters or plots in more detail, adding paratexts such as author interviews, adding extra content based on original writing material that never made it to the final edited version of the book and other forms of content that expand the story.” 57 Hal lain yang juga tak bisa dilewatkan dari adaptasi konten yang ingin melibatkan penulisnya adalah melakukan wawancara untuk membuat interaksi keseharian dengan penulis tersebut. Interaksi yang diharapkan kiranya nanti mampu memberi hiburan tersendiri di mana khalayak merasa menjadi lebih dekat secara personal dengan penulis. 56
Dikutip dalam Alexis Weedon. 2014. “Crossing Media Boundaries: Adaptations and New Media Forms of The Book” dalam Convergence: The International Journal of Research into New Media Technologies, Vol. 20 (I). Hal. 110. 57 Ibid. Hal. 114.
29
F. KERANGKA KONSEP Media sebagai suatu industri tentu tak akan terus melakukan berbagai usaha untuk memperoleh tujuan lain selain sebagai pusat informasi dan hiburan. Seperti yang sudah dibahas dalam latar belakang penelitian ini, mendapatkan keuntungan menjadi salah satu tujuan yang utama, di mana memperluas pasar merupakan salah satu cara ampuh yang bisa dilakukan. Oleh karena itu, untuk menarik pasar yang lebih luas, adaptasi konten menjadi salah satu pilihan. Dilihat dari kacamata ekonomi politik, salah satu bentuk aktivitas utama dalam pencapaian profit adalah komodifikasi yang merupakan suatu proses transformasi barang dan jasa beserta nilai gunanya menjadi suatu komoditas yang mempunyai nilai tukar di pasar di mana proses produksi dinilai sebagai inti dari perubahan tersebut. Hal inilah yang menjadi salah satu penyebab perkembangan media. Adaptasi konten yang merupakan salah satu bentuk pengembangan media untuk terus bertahan dalam industri ini bisa menjadi salah satu pilihan yang menggiurkan. Berbagai bentuk adaptasi konten yang dilakukan tentunya tak sembarang karya. Kebanyakan konten yang diadaptasi sudah memiliki banyak penggemar. Karena itu, tak heran bila trend adaptasi kontan semakin berkembang sekarang ini. Adaptasi konten yang dilihat sebagai pengulangan tanpa peniruan, menurut Hutcheon (2006), membuat konten adaptasi dapat dikategorikan sebagai produk dan kreasi baru. Berbagai bentuk adaptasi yang dilakukan pada dasarnya menceritakan suatu bagian ide cerita awal dengan memberikan rasa yang lain. Beberapa faktor yang terdapat dalam konten tentunya mempengaruhi bagaimana proses adaptasi. Pengembangan tema, peristiwa, dunia, karakter, motivasi, sudut pandang, konsekuensi, konteks, simbol, citra, dan sebagainya menjadi hal-hal yang patut diperhitungkan ketika proses adaptasi konten dilakukan. Selain membahas tentang isi dalam konten, masalah hak cipta sebagai bentuk kepemilikan juga perlu diperhatikan. Hak cipta yang terdapat dalam konten pertama dan konten adaptasi harus jelas diberikan kepada pihak mana; pengarang,
30
penerbit atau distributor. Selain itu, menyangkut kekayaan intelektual yang terdapat dalam konten adaptasi, bagian yang nantinya akan dihilangkan atau dimunculkan juga aka menjadi pertimbanagan tersendiri. Hal inilah yang menjadi salah satu alasan mengapa banyak pihak bisa terlibat dalam proses adaptasi konten. Oleh karena itu, maka dalam pembuatan proses produksi adaptasi konten novel “Anak Kos Dodol” ke komik “Anak Kos Dodol Dikomikin” akan menjadi pokok permasalahan dalam penelitian ini. Karena dalam proses pembuatan komik tersebut ternyata melibatkan penulis, maka peran penulis yang berkaitan dengan beberapa faktor yang mempengaruhi akan dibahas. Hal spesifik yang diteliti adalah bagaimana keterlibatan penulis dalam pembuatan komik “Anak Kos Dodol Dikomikin” yang secara langsung dan personal berhubungan dengan komikus. Proses keterlibatan pembuatan komik sendiri lebih kepada unsur intrinsik dalam memperkuat rangkaian alur cerita yang terdapat dalam komik. Pemilihan momen, bingkai, citra, kata, dan alur diperkirakan membutuhkan keterlibatan penulis. Dari penelitian ini nantinya didapat proses adaptasi konten dalam komik “Anak Kos Dodol Dikomikin” yang melibatkan secara langsung Dewi ‘Dedew’ Rieka selaku penulis dan pemeran utama dalam cerita tersebut. Kemudian dari proses itu juga nantinya dapat diambil kesimpulan apakah dengan adanya keterlibatan penulis secara langsung dalam proses adaptasi mampu memberi pengaruh yang besar untuk mencapai tujuan dilakukannya adaptasi konten, yaitu memperluas pasar.
G. METODOLOGI 1. Pendekatan dan Metode Penelitian Pendekatan yang dipakai dalam penelitian ini adalah pendekatan penelitian kualitatif dengan menggunakan metode studi deskriptif. Alasan penelitian ini menggunakan metode tersebut adalah metode ini mampu memberikan jawaban yang sesuai mengkaji topik penelitian. Pendekatan kualitatif diyakini
31
peneliti mampu memberikan deskripsi yang mendalam dan lengkap terkait dengan rumusan masalah yang diambil oleh peneliti, yaitu tentang adaptasi konten media cetak, di mana lokus produksi dijadikan sebagai pokok permasalahan. Penelitian deskriptif bertujuan untuk membuat deskripsi, gambaran tau lukisan secara sistematis faktual dan akurat mengenai fakta, sifat, dan hubungan antara fenomena yang diselidiki 58. Penelitian ini berusaha memberikan gambaran
bagaimana
proses
adaptasi
konten
dilakukan
berdasarkan
pengalaman penulis dan komikus yang terlibat secara langsung dan tertuang dalam komik tersebut. Whitney 59 berpendapat, metode deskriptif adalah pencarian fakta dengan interpretasi yang tepat. Penelitian deskriptif mempelajari masalah-masalah dalam masyarakat, serta tata cara yang berlaku dalam masyarakat serta situasi-situasi tertentu, termasuk tentang hubungan, kegiatan-kegiatan, sikap-sikap, pandangan-pandangan serta proses-proses yang sedang berlangsung dan pengaruh-pengaruh dari suatu fenomena. 2. Obyek Penelitian Obyek dalam penelitian ini adalah proses adaptasi konten yang dilakukan dari novel “Anak Kos Dodol” ke komik “Anak Kos Dodol Dikomikin”. Dalam hal ini, tidak hanya komikus dan pihak penerbit saja yang dinilai memiliki peran besar. Seperti yang sudah disebutkan pada latar belakang, keterlibatan penulis dalam dalam adaptasi konten dari novel ke komik ini dirasa cukup memengaruhi produksi pembuatan komik tersebut. Hal inilah yang menjadi salah satu alasan mengapa perlu dilakukan wawancara secara mendalam dengan pihak penulis (Dewi ‘Dedew’ Rieka), ilustrator (K. Jati), dan penerbit (Gradien Mediatama) untuk mengetahui secara mendetail bagaimana proses adaptasi konten pada novel “Anak Kos Dodol” ke komik “Anak Kos Dodol Dikomikin”. Penelitian ini juga akan menjadikan konten dalam novel dan komik sebagai obyek dimana nantinya akan dibandingkan apakah gambaran yang ditulis dalam novel teradaptasi dengan baik dalam bentuk gambar di komik.
58 59
Nadzir, Muh. 1989. Metode Penelitian. Jakarta: PT Galia Indonesia. Hal. 63. F. L. Whitney. 1960. The Elements of Research. New Jersey: Pretince Hall. Inc. Hal. 160.
32
3. Teknik Pengumpulan Data a.
Wawancara Mendalam Wawancara mendalam menurut Moser dan Kalton dalam Survey Methods in Social Investigation (1979) adalah wawancara yang berusaha menggali sedalam-dalamnya dan mendapat pengertian yang seluas-luasnya dari jawaban yang diberikan oleh responden. Wawancara dilakukan sebagai sumber data primer dalam penelitian ini. Berbagai pertanyaan seputar adaptasi konten seperti bagaimana proses pembuatan komik “Anak Kos Dodol Dikomikin”, faktor-faktor yang mempengaruhi pembuatan komik, serta tantangan dan kendala yang dialami ketiga pihak dalam mengadaptasi konten tersebut. Dengan wawancara mendalam diharapkan peneliti dapat memperoleh informasi yang tidak bisa didapatkan dengan cara lain. Wawancara
dilakukan
dengan
menggunakan
panduan
wawancara
(interview guide). Namun tidak menutup kemungkinan akan ada pertanyaan tambahan di lapangan. b.
Studi Pustaka Studi pustaka merupakan metode pengumpulan data dan acuan analisis dengan memanfaatkan novel-novel, makalah seminar, newsletter, dan penelusuran sumber-sumber di internet (situs-situs tertentu, online journal, online research, dan bahan presentasi). Metode ini dilakukan untuk mengetahui berbagai data atau informasi seputar adaptasi konten yang dapat membantu penelitian ini.
c.
Studi Dokumen Penggunaan dokumen dalam hal ini mengacu pada salah satu isi konten yang ada dalam komik “ Anak Kos Dodol Dikomikin” untuk menunjukkan bagaimana bentuk visualisasi dari kejadian yang tertulis di dalam novel. Di sini nanti akan dianalisis bagaimana bentuk transformasi yang dilakukan.
33
4. Teknik Analisis Data Menurut
Patton 60,
analisis
data
adalah
proses
mengatur
data,
mengorganisasikannya ke dalam suatu pola, kategori, dan satuan uraian dasar. Analisis data dalam penelitian ini menggunakan pengolahan data kualitatif yang tersedia, yang diperoleh dari sumber yang telah ditetapkan, dengan cara mengkategorikan, menyusun, dan menggabungkan data-data yang telah dikumpulkan. Data tersebut nantinya dihubungkan dengan proposisi teoritis yang sudah dibangun, diorganisasikan dalam kerangka deskripsi, kemudian diinterpretasikan untuk mendapatkan sebuah deskripsi kasus yang diteliti. Hasil data keseluruhan proses penelitian yang telah dianalisis dan dilihat apakah temuan penelitian sesuai dengan teori yang ada. Kemudian peneliti akan menyusunnya dengan deskripsi yang sistematis sehingga akan memudahkan pembaca untuk memahami hasil tersebut.
60
Dikutip dalam Moleong, Lexy. 2010. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: Rosda Karya. Hal 280.
34