1
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Mengatur jarak kelahiran sangat bermanfaat bagi kesehatan ibu dan anak (Rahman and Akter, 2009). Data di Indonesia jarak kelahiran kurang dari 18 bulan sebesar 6%, jarak kelahiran 18-23 bulan sebesar 13% dan jarak kelahiran 24-35 bulan sebesar 17%. Sedangkan jarak kelahiran lebih dari 36 bulan sebesar 64% (Badan Pusat Statistik and Macro International, 2008). Jarak kelahiran di Indonesia telah mencapai jarak optimal seperti yang direkomendasikan oleh Catalyst Consortium yaitu antara 3-5 tahun (The CATALYST Consortium, 2002). Amenore postpartum penting dalam kesehatan reproduksi wanita, terutama dalam memperpanjang jarak kelahiran, dengan interval berbeda-beda tiap individu, berkisar antara 2-14 bulan (Rogers, 1997). Selain itu menyusui dianggap sebagai kontrasepsi alamiah yang memadai bagi beberapa wanita karena cenderung meningkatkan jarak kelahiran. Di negara berkembang, termasuk Indonesia, wanita postpartum dianjurkan untuk segera memakai salah satu metode kontrasepsi. Hal ini disebabkan rendahnya cakupan menyusui eksklusif hingga usia 6 bulan, sebesar 15.3% (Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 2010), sedangkan pengguna kontrasepsi 6 bulan postpartum sebesar 14%. Kondisi ini mengalami penurunan drastis selama beberapa tahun terakhir (Statistics Indonesia et al., 2008). Semakin singkat periode menyusui eksklusif, durasi amenore selama laktasi semakin pendek, sehingga kembalinya ovulasi postpartum diduga semakin cepat (Kapp et al., 2010). Menyusui jangka panjang terkait dengan lamanya anovulasi sehingga akan memperpanjang durasi amenore postpartum (Diaz et al., 1988, Singh et al., 2012 ). Wanita yang pernah menyusui menunjukkan hampir 2 kali lipat durasi amenore postpartum dibanding mereka yang tidak menyusui. Wanita yang menyusui jangka panjang atau lebih 13 bulan menunjukkan 2.5 kali lebih lama durasi amenore postpartum dibanding mereka yang menyusui jangka pendek kurang dari 5 bulan. Efektivitas kontrasepsi amenore laktasi tergantung
2
pada faktor pola menyusui, variasi biologis, nutrisi, geografi, budaya dan sosial ekonomi. Oleh karena itu amenore laktasi tidak lagi sebagai metode kontrasepsi efektif, sehingga banyak wanita dan pasangan menginginkan tambahan perlindungan kontrasepsi saat menyusui (Rahman and Akter, 2009, Kapp et al., 2010). Metode yang dianjurkan pada masa laktasi selain mempertimbangkan kesehatan ibu, juga tidak mempengaruhi produksi ASI dan kesehatan anak. Saat ini telah tersedia berbagai macam metode dan bentuk kontrasepsi, termasuk kontrasepsi hormonal dengan manfaat dan risiko masing-masing. Pemahaman manfaat dan risiko memungkinkan dokter memberikan pilihan lebih luas dalam merekomendasikan kontrasepsi hormonal yang efektif. Progesteron dosis rendah diketahui aman bagi ibu menyusui. Bentuk sediaan kontrasepsi progestin saja telah dikembangkan, termasuk pil, suntikan, implan dan perangkat intrauterin (POGI et al., 1996). Di Indonesia pengguna KB usia 20-35 tahun sebesar 60.8%, kontrasepsi pil 13.2%, kedua terbanyak setelah kontrasepsi suntik 40.13% (Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 2010). Progestin Only Pills (POP) atau ”minipills” adalah kontrasepsi pil yang mengandung progestin dengan dosis sangat kecil menyerupai hormon progesteron alami pada wanita. POP menjadi pilihan bagi sebagian wanita karena aman bagi ibu menyusui, tidak memiliki efek negatif terhadap kualitas dan kuantitas ASI, dapat dihentikan kapan saja tanpa bantuan petugas dan tidak mempengaruhi hubungan seks (Kapp et al., 2010). Efek samping POP meliputi perubahan pola perdarahan seperti memperpanjang amenore laktasi postpartum, perdarahan tidak teratur, perdarahan memanjang dan amenore. Selain itu juga dapat menimbulkan sakit kepala, pusing, perubahan emosi, rasa penekanan pada payudara, nyeri perut dan mual (WHO, 2011). Survei yang dilakukan pada 1970-an dan 1980-an menunjukkan bahwa amenore tidak dapat diterima oleh kebanyakan wanita, terutama di negara berkembang. Namun penelitian lain menunjukkan wanita di negara maju lebih memilih menjarangkan menstruasi. Oleh karena itu, banyak wanita menggunakan kontrasepsi pil progesteron dengan harapan terjadi amenore (Glasier et al., 2003). Kontrasepsi progestin saja menyebabkan perubahan
3
estrogen endometrium, mengubah lendir serviks dan dalam beberapa kasus, menghambat ovulasi. Selain itu progestin menekan aktivitas endometrium dan seiring waktu menyebabkan atrofi endometrium, sehingga memberikan efek mengurangi jumlah darah menstruasi dan berpotensi amenore. Kegagalan sekitar 8-9% per tahun, namun dengan penggunaan sempurna tingkat kegagalan 0.3% per tahun. Selain itu penggunaan POP telah direkomendasikan untuk wanita menyusui karena tidak berpengaruh buruk terhadap laktasi (Burke, 2011). Penelitian sebelumnya di negara maju menunjukkan bahwa wanita yang menggunakan kontrasepsi progesteron saja akan memperpanjang amenore laktasi dibandingkan wanita yang menggunakan kontrasepsi non hormonal (Perheentupa et al., 2003). Durasi amenore postpartum pada pengguna pil progesteron mengandung lynestrenol dan levonorgestrel perlu diketahui sebagai bahan pertimbangan pilihan bagi mereka yang mengharapkan amenore lebih lama dibanding pengguna kontrasepsi non hormonal/IUD. Pengguna kontrasepsi progesteron saja akan mengalami periode amenore laktasi 4-5 bulan lebih lama dibandingkan IUD atau non hormonal (Díaz et al., 1997). Banyak penelitian menunjukkan dengan menggunakan Lactational Amenorrhea Method (LAM), menstruasi dapat ditunda rata-rata 7 hingga 9 bulan. Frekuensi dan durasi menyusui adalah faktor utama yang mempengaruhi lamanya amenore postpartum. Frekuensi menyusui menyebabkan perubahan dalam hipotalamus yang mempengaruhi steroid ovarium. Menurut WHO pengenalan makanan dan cairan lainnya pada bayi dipengaruhi variasi individu dan masyarakat. Hal ini dapat mengurangi frekuensi dan durasi menyusui, sehingga dapat meningkatkan risiko ovulasi dan memperpendek amenore laktasi melalui penekanan hormon yang merangsang pematangan dan pelepasan ovum. Selain itu stimulus menyusui akan menekan ovulasi, meskipun mekanisme pasti masih belum diketahui. Inisiasi menyusui dini mendukung keberhasilan menyusui eksklusif dan dapat memperpanjang amenore postpartum (Radwan et al., 2009). Di Indonesia waktu mulai menyusui kurang dari 1 jam postpartum sebesar 29.3%, tidak jauh berbeda di Provinsi D. I Yogyakarta 29.8% (Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 2010).
4
Delapan puluh persen wanita usia reproduksi mengalami perubahan fisik berkaitan dengan menstruasi dan 20-40% mengalami gejala terkait siklus haid. Hal ini berdampak luas terhadap ekonomi wanita dan masyarakat, akibat waktu untuk bekerja yang hilang dan penurunan produktivitas. Banyak wanita yang memilih untuk menghilangkan atau mengurangi frekuensi menstruasi mereka. Secara medis amenore dapat mengurangi gejala dan gangguan terkait siklus haid. Penggunaan terus menerus kontrasepsi oral tanpa periode bebas hormon di setiap siklus haid, telah digunakan selama puluhan tahun sebagai metode yang aman dan efektif dalam menekan menstruasi atau perdarahan untuk mengatasi dismenore dan menorrhagia (Archer, 2006). Perdarahan yang berhubungan dengan metode kontrasepsi merupakan faktor penting bagi akseptor untuk melanjutkan metode yang dipilih (Bachmann and Korner, 2007). Oleh karena itu kontrasepsi postpartum yang efektif, terjangkau dengan efek samping terhadap pola perdarahan minimal dan aman bagi ibu menyusui sangat diperlukan dalam program nasional. Salah satunya adalah menggunakan kontrasepsi ‘minipills’ (POP) generik lynestrenol dan levonorgestrel (LNG) yang dapat diproduksi di Indonesia dengan harga cukup terjangkau oleh masyarakat Indonesia. B. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang di atas, maka perumusan masalah yang diambil adalah “Bagaimana pengaruh penggunaan kontrasepsi hormonal pil mengandung lynestrenol dan LNG terhadap kualitas dan pemberian ASI serta durasi amenore postpartum pada ibu menyusui?” C. Tujuan Penelitian 1.
Tujuan umum Mengetahui pengaruh penggunaan kontrasepsi hormonal pil mengandung lynestrenol dan LNG terhadap kualitas dan pemberian ASI serta durasi amenore postpartum pada ibu menyusui.
5
2.
Tujuan khusus a. Mengetahui durasi amenore postpartum yang terjadi pada ibu menyusui yang menggunakan kontrasepsi hormonal pil mengandung lynestrenol dan LNG. b. Mengetahui durasi amenore postpartum yang terjadi pada ibu menyusui yang menggunakan kontrasepsi non hormonal. c. Membandingkan durasi amenore postpartum pada ibu menyusui yang menggunakan kontrasepsi hormonal pil mengandung lynestrenol dan LNG dengan durasi amenore postpartum pada ibu menyusui yang menggunakan kontrasepsi non hormonal. d. Menganalisis pengaruh kualitas dan pemberian ASI, paritas, berat badan dan usia ibu terhadap durasi amenore postpartum. e. Menganalisis pengaruh penggunaan kontrasepsi hormonal pil mengandung lynestrenol dan LNG terhadap kualitas dan pemberian ASI. D. Manfaat Penelitian
1.
Bagi penulis Sebagai media pembelajaran dalam menyusun, melaksanakan dan menulis hasil penelitian dalam bentuk tulisan ilmiah.
2.
Bagi masyarakat Hasil penelitian ini diharapkan sebagai bahan informasi dalam upaya meningkatkan kualitas hidup keluarga melalui penggunaan kontrasepsi pil yang lebih aman dan efektif bagi ibu maupun bayi yang disusuinya.
3.
Bagi pelayanan kesehatan Sebagai masukan dalam membuat kebijakan tentang penggunaan kontrasepsi pil mengandung lynestrenol dan levonorgestrel yang aman dan efektif pada ibu setelah melahirkan dan menyusui.
4.
Bagi ilmu pengetahuan Proses pengembangan pengetahuan terkait bidang kesehatan ibu dan anak serta kesehatan reproduksi serta bahan referensi untuk penelitian selanjutnya.
6
E. Keaslian Penelitian Ada beberapa penelitian sebelumnya yang serupa dengan penelitian ini, sebagai berikut: 1. Díaz et al. (1997), melaksanakan penelitian tentang “Fertility Regulation in Nursing Women IX. Contraceptive Performance, Duration of Lactation, Infant Growth, and Bleeding Patterns During Use of Progesteron Vaginal Rings, Progestin-Only Pills, Norplant@ Implants, and Copper T 380-A Intrauterine Devices”. Tujuan penelitian adalah mengevaluasi kinerja progesteron yang digunakan wanita selama menyusui dalam berbagai bentuk kontrasepsi termasuk pil progestin saja dalam hal khasiat, pola perdarahan, durasi menyususi dan pertumbuhan bayi dibandingkan dengan wanita yang tidak menggunakan kontrasepsi selama menyusui, dimulai 57±3 hari postpartum. Didapatkan hasil bahwa untuk tahun pertama penggunaan, semua metode sangat efektif mencegah kehamilan (kehamilan < 1%), tidak mempengaruhi ASI dan laju pertumbuhan bayi. Pengguna kontrasepsi progesteron saja akan mengalami periode amenore laktasi 4-5 bulan lebih lama dibandingkan kontrasepsi IUD atau non hormonal. Persamaan dengan penelitian ini pada subjek, tujuan dan desain penelitian. Perbedaan dengan penelitian ini adalah pada lokasi dan variabel. 2. Archer (2006), melakukan penelitian tentang “Menstrual-cycle-related symptoms: a review of the rationale for continuous use of oral contraceptives”. Tujuan penelitian adalah membahas dampak gangguan menstruasi, gejala dan kondisi terkait pada wanita serta mencari bukti yang mendukung induksi aman amenore dengan penggunaan kontrasepsi pil terus menerus. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa penggunaan kontrasepsi pil kombinasi terus menerus dapat mengurangi gejala dan memperpanjang siklus menstruasi serta menginduksi amenore sehingga dapat meningkatkan kualitas hidup dan kenyamanan bagi kebanyakan wanita. Persamaan dengan penelitian ini pada tujuan dan subjek. Perbedaan penelitian ini pada lokasi, variabel dan metode.
7
3. Bachmann and Korner (2007), melakukan penelitian berjudul “Bleeding patterns associated with oral contraceptive use: a review of the literature”. Tujuan penelitian adalah membandingkan secara objektif pola perdarahan yang berbeda diantara produk kontrasepsi pil. Hasil penelitian ini bahwa penggunaan kontrasepsi pil memiliki pengaruh terbesar pada pola perdarahan. Secara keseluruhan data yang tersedia menunjukkan kontrasepsi pil progestin saja berhubungan dengan penurunan jumlah hari perdarahan/bercak. Persamaan dengan penelitian ini pada tujuan dan subjek. Perbedaan penelitian ini pada lokasi, variabel dan metode. 4. Sulak (2008), melakukan penelitian berjudul “Continuous oral contraception: changing times”. Tujuan penelitian adalah menelusuri masalah yang timbul dalam penggunaan rejimen standar kontrasepsi oral dan modifikasi yang dapat meningkatkan efektivitas dan menekan efek samping obat. Hasil penelitian menunjukkan terjadi perbaikan dalam pemberian kontrasepsi oral, seperti menurunkan kadar estrogen untuk meminimalkan komplikasi, khasiat dosis rendah pil dan pengenalan progestin baru. Perubahan ini terjadi karena bukti uji klinis dan penilaian ilmiah dari rejimen kontrasepsi oral. Peniadaan interval 7 hari bebas hormon bertujuan mengurangi perdarahan, meminimalkan gejala penarikan
hormon
dan
memaksimalkan
penekanan
folikel
ovarium.
Persamaan dengan penelitian ini pada subjek dan desain penelitian. Perbedaan dengan penelitian ini adalah pada lokasi, tujuan dan variabel. 5. Kapp et al (2010), melakukan penelitian tentang “Progestogen-only contraceptive use among breastfeeding women: a systematic review”. Tujuan penelitian adalah mencari jawaban dari literatur apakah penggunaan kontrasepsi progesteron oleh wanita menyusui menyebabkan efek merugikan pada laktasi atau pertumbuhan dan kesehatan bayi jika dibandingkan yang tidak menggunakan kontrasepsi progesteron. Hasil penelitian ini tidak ada pengaruh merugikan dari berbagai metode kontrasepsi progesteron pada wanita menyusui sampai 12 bulan postpartum. Tidak ada efek samping terhadap kesehatan, pertumbuhan atau perkembangan bayi usia 6 bulan sampai 6 tahun. Persamaan dengan penelitian ini pada subjek penelitian.
8
Perbedaan dengan penelitian ini adalah pada lokasi, tujuan, variabel dan metode. 6. Burke (2011), melaksanakan penelitian tentang “The state of hormonal contraception today: benefits and risks of hormonal contraceptives: progestinonly contraceptives”. Tujuan penelitian ini adalah memberi pemahaman manfaat dan risiko kontrasepsi pil progestin saja, sehingga memungkinkan dokter memberikan pilihan lebih luas dalam merekomendasikan kontrasepsi hormonal efektif. Hasil diperoleh bahwa kontrasepsi progestin saja bermanfaat dalam efektivitas, keamanan dan perbaikan gejala menstruasi (dismenore, menorrhagia, sindroma premenstruasi dan anemia). Namun perlu kepatuhan tinggi untuk menghindari kegagalan, karena progestin serum bisa tidak terdeteksi dalam 24 jam setelah konsumsi pil. Progestin saja telah direkomendasikan untuk wanita menyusui karena tidak berpengaruh buruk terhadap laktasi. Efek samping progestin saja adalah perdarahan tidak teratur dan berpotensi amenore serta ketersediaan lebih terbatas, sehingga biaya lebih mahal dibanding pil kombinasi. Sedangkan risiko progestin saja meliputi kanker payudara, sirosis berat, dekompensasi hati, tumor hati, trombosis vena akut atau berulang, emboli paru dan stroke. Persamaan dengan penelitian ini pada tujuan dan subjek. Perbedaan penelitian ini pada lokasi, variabel dan metode.