BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Kejadian kabut asap akibat kebakaran hutan dan lahan di Kalimantan Barat telah dikenal sejak tahun 1997 dan merupakan bencana nasional yang terjadi setiap tahun hingga kini (Adam, 2012). Wilayah hutan dan lahan yang berpotensi terbakar di Indonesia antara lain Riau, Jambi, Sumatera Utara, Sumatera Selatan, Kalimantan Barat, Kalimantan Timur, dan Kalimantan Selatan. Hal ini biasanya terjadi pada musim kemarau atau pada masa peralihan (transisi) (Bahri, 2002). Kebakaran hutan dan lahan di Indonesia secara umum disebabkan oleh dua faktor, yaitu faktor kelalaian dan faktor kesengajaan. Kedua faktor ini samasama diakibatkan oleh aktivitas manusia. Faktor kelalaian terjadi sebagai akibat kurang hati-hatinya dalam beraktivitas di dalam hutan, sedangkan faktor kesengajaan terjadi sebagai akibat dari aktivitas pembukaan lahan baru dengan cara membakar atau untuk peremajaan tanaman industri di wilayah industri. Bila dibandingkan, kebakaran hutan karena faktor kelalaian manusia jauh lebih kecil dibanding dengan faktor kesengajaan membakar hutan (Bahri, 2002). Di Kalimantan Barat, dari 14,68 Ha luas areal yang ada hanya sekitar 0,83% yang digunakan untuk permukiman. Data tersebut menunjukkan bahwa, sebagian besar luas tanah di Kalimantan Barat merupakan lahan bervegetasi yaitu sekitar 42,32% adalah hutan dan padang atau semak belukar sekitar 34,11% (BPS, 2013a). Besarnya penggunaan lahan untuk vegetasi baik di bidang pertanian dan perkebunan menjadi sumber bencana bagi makhluk hidup di sekitar. Hal ini disebabkan oleh aktivitas pembakaran hutan dan lahan yang dilakukan oleh para petani maupun para pengusaha yang bergerak di bidang perkebunan atau para pengusaha di bidang kehutanan seperti Hak Pengusahaan Hutan (HPH), Hutan Tanaman Industri (HTI), maupun lainnya (Saptomo, 2004).
1
2
Menurut Faisal dkk. (2012) dampak yang ditimbulkan dari kebakaran hutan dan lahan dapat berpengaruh di berbagai sektor kehidupan seperti terjadinya kerusakan ekologis, penurunan pariwisata, terganggunya aktivitas kehidupan sehari-hari, terhambatnya jalur transportasi, dampak pada ekonomi dan politik serta gangguan kesehatan masyarakat. Siregar (2010) telah meneliti mengenai dampak kebakaran hutan dan lahan di Kalimantan Barat terhadap kualitas udara Kota Pontianak, hasil yang didapat yaitu semakin banyak jumlah titik panas (hotspot) yang terpantau, berpengaruh terhadap kualitas udara di Kota Pontianak. Penurunan kualitas udara Kota Pontianak sebagai akibat dari peristiwa kebakaran hutan dan lahan ini dapat menyebabkan peningkatan jumlah penderita penyakit infeksi saluran pernafasan akut (ISPA) dan gangguan saluran pernafasan lainnya. Di Kota Pontianak, kasus ISPA termasuk pneumonia setiap tahunnya selalu menempati urutan pertama dalam sepuluh kasus penyakit terbesar di Kota Pontianak (BPS, 2013b). Polutan yang dihasilkan dari kebakaran hutan dan lahan berupa gas dan partikel yang mengganggu kesehatan masyarakat meliputi gas sulfur dioksida (SO2), karbon monoksida (CO), formaldehid (HCOH), benzen (C6H6), nitrogen oksida (NOx) dan ozon (O3) serta partikel yang dikenal sebagai materi partikulat (PM). Zat-zat tersebut dapat menimbulkan penyakit seperti iritasi mata, infeksi saluran pernafasan akut, iritasi dan alergi kulit manusia, serta efek yang berkepanjangan seperti penyakit jantung, asma maupun kanker paru-paru (Faisal dkk., 2012). Kejadian penyakit tersebut disebabkan oleh tingginya kadar debu di udara yang telah melampaui ambang batas (Perwitasari dan Sukana, 2012). Partikel dalam jumlah yang sangat banyak dapat masuk ke dalam alveoli dan melumpuhkan pertahanan mukosiliar, yang apabila pertahanan tersebut hancur maka mikroorganisme mudah masuk ke dalam paru-paru dan menyebabkan infeksi seperti pneumonia, bronkopneumonia, bronkitis dan edema paru (Syafrizal, 2003 dalam Perwitasari dan Sukana, 2012). Gangguan kesehatan yang terjadi akibat kebakaran hutan ini akan lebih nyata dijumpai pada Manula (lanjut usia) dan Balita atau mereka yang telah mengalami penyakit paru-paru sebelumnya (Aditama, 1999).
3
Anak Balita merupakan kelompok yang paling rentan terhadap pneumonia karena sistem kekebalan tubuh mereka yang masih rendah. Di Indonesia, period prevalence pneumonia tertinggi terjadi pada kelompok umur 1-4 tahun (Kemenkes, 2013). Angka kematian akibat pneumonia pada Balita sebesar 1,19%, pada kelompok bayi angka kematian lebih tinggi yaitu sebesar 2,89% dibandingkan pada kelompok umur 1-4 tahun yang sebesar 0,20%. (Kemenkes, 2014). Pneumonia pada Balita dapat terjadi karena Balita tersebut tinggal di lingkungan polusi, atau sedang terjadi pergantian cuaca sehingga terhirupnya asap atau debu secara berulang-ulang (Pudiastuti, 2011). Penelitian ini merupakan penelitian yang mengkaitkan kecenderungan (trend) penyakit terhadap waktu yang kemudian secara jelas dapat memberikan gambaran dan menjelaskan selama kabut asap ini terjadi berdasarkan faktor-faktor yang mempengaruhi angka penyakit tersebut. B. Perumusan Masalah Penyakit Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA) selalu menempati peringkat pertama dalam jumlah kasus dari 10 penyakit terbesar berdasarkan pasien yang berobat ke Puskesmas dan kasus penyakit menular di Kota Pontianak. Kasus pada gangguan saluran pernafasan meningkat apabila terjadi kabut asap akibat pembakaran lahan ditambah intensitas curah hujan sangat rendah atau tidak terjadi hujan sama sekali dalam waktu yang lama (BPS, 2013b). Berdasarkan sumber data dari Dinas Kesehatan Kota Pontianak, jumlah kasus pneumonia berfluktuatif, pada tahun 2010 jumlah kasus pneumonia sebanyak 1290 kasus, pada tahun 2011 dan tahun 2012 mengalami penurunan dari tahun sebelumnya yaitu secara berturut-turut sebanyak 924 kasus dan 915 kasus, sedangkan pada tahun 2013 terjadi peningkatan jumlahnya yaitu sebanyak 1385 kasus dan pada tahun 2014 mengalami penurunan menjadi 1162 kasus. Kabut asap di Kota Pontianak terjadi sebagai akibat adanya transboundary haze pollution. Titik panas (hotspot) sebagai pemicu terjadinya kabut asap di Kota Pontianak sebagian besar bukan berasal dari wilayah itu sendiri. Ini dikarenakan aktivitas pembukaan hutan dan ladang tidak terjadi di wilayah tersebut, namun di
4
kabupaten terdekat dari Kota Pontianak, apabila ada titik hotspot di wilayah tersebut biasanya dalam jumlah yang sangat kecil. Pada tahun 2012, terdapat 6.548 titik panas di wilayah Kalimantan Barat, namun jumlah titik panas yang terdapat di Kota Pontianak hanya sebanyak 3 titik panas. Pada tahun 2013 terdapat 3.198 titik panas di wilayah Kalimantan Barat dengan jumlah titik panas di Kota Pontianak sebanyak 4 titik panas (Dinas Kehutanan Kalimantan Barat, 2014). Menurut Iriani (2004) besarnya konsentrasi zat pencemar di udara, dipengaruhi oleh kondisi meteorologi. Hal inilah yang mungkin menyebabkan kualitas udara ambien di Kota Pontianak akibat kabut asap di Kalimantan Barat selalu melebihi ambang batas saat terjadi kebakaran hutan pada musim kemarau, yang secara tidak langsung selalu meningkatkan angka penyakit saluran pernafasan di Kota Pontianak.
C. Tujuan 1. Tujuan Umum Mengetahui pengaruh kabut asap terhadap penyakit pneumonia pada Balita di Kota Pontianak. 2. Tujuan Khusus a. Memberikan gambaran distribusi kondisi meteorologi, jumlah titik panas (hotspot), kualitas udara, dan penyakit pneumonia pada Balita di Kota Pontianak pada tahun 2010-2014, serta pola kecenderungan (trend) penyakit pneumonia pada Balita dengan kualitas udara ambien terhadap periode waktu. b. Mengetahui hubungan kondisi meteorologi dengan titik panas (hotspot) di Kota Pontianak pada tahun 2010-2014. c. Mengetahui hubungan titik panas (hotspot) dengan kualitas udara ambien di Kota Pontianak pada tahun 2010-2014. d. Mengetahui hubungan kondisi meteorologi dengan kualitas udara ambien di Kota Pontianak pada tahun 2010-2014.
5
e. Mengetahui pengaruh kondisi meteorologi, titik panas (hotspot), dan kualitas udara ambien terhadap penyakit pneumonia Balita di Kota Pontianak pada tahun 2010-2014. D. Manfaat a. Memberikan informasi mengenai hubungan antara pengaruh kabut asap terhadap penyakit pneumonia pada Balita di Kota Pontianak kepada instansi pemerintah terkait, khususnya kepada Dinas Kesehatan Kota Pontianak untuk program pemberantasan penyakit infeksi saluran pernafasan akut (P2 ISPA) sebagai upaya preventif terhadap pengendalian penyakit pneumonia pada Balita di Kota Pontianak. b. Memberikan tambahan pengetahuan kepada peneliti dan mahasiswa khususnya mahasiswa Ilmu Kesehatan Masyarakat Universitas Gadjah Mada Yogyakarta. c. Memberikan informasi tambahan kepada masyarakat di Kota Pontianak tentang penyakit pneumonia pada anak Balita sehingga masyarakat bisa lebih aktif dalam upaya mengurangi faktor resiko pneumonia anak Balita.
E. Keaslian Penelitian Sepengetahuan penulis, penelitian yang membahas tentang pengaruh kabut asap terhadap penyakit pneumonia pada Balita di Kota Pontianak Propinsi Kalimantan Barat belum pernah dilakukan oleh peneliti lain. Beberapa peneliti yang hampir sama dengan penelitian ini adalah sebagai berikut : 1. Iriani (2004) meneliti hubungan iklim, Indeks Standar Pencemar Udara (ISPU) dan kejadian serangan asma/bronkitis di DKI Jakarta Tahun 2002-2003 2. Pawenang (2001) meneliti hubungan antara faktor meteorologi, kualitas udara ambien dan kejadian gangguan saluran pernafasan di Kecamatan Pedurungan Semarang
6
3. Perwitasari dan Sukana (2012) meneliti gambaran kebakaran hutan dengan kejadian penyakit ISPA dan Pneumonia di Kabupaten Batang Hari Propinsi Jambi Tahun 2008. Persamaan dan perbedaan penelitian di atas dengan penelitian yang dilakukan penulis dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1. Persamaan dan Perbedaan dengan Penelitian Sebelumnya Nama Peneliti Iriani (2004)
Tujuan Penelitian Mengetahui hubungan iklim dengan parameter ISPU serta hubungan parameter ISPU dengan serangan asma/bronkitis
Lokasi Penelitian Penurunan Provinsi kualitas udara DKI Jakarta akibat aktivitas jalan raya dan kawasan industri meningkatkan jumlah penderita asma/bronkitis
Rancangan Penelitian Studi ekologi dan analisis trend times
Pawenang (2001)
Mengetahui hubungan antara faktor meteorologi, kualitas udara ambien dan kejadian gangguan saluran pernafasan
Penurunan Kecamatan kualitas udara Pedurungan akibat aktivitas Semarang kawasan industri meningkatkan angka kejadian ISPA
Studi korelasi
Permasalahan
Hasil Pola kunjungan asma dan bronkitis tidak mengikuti pola konsentrasi ISPU. Tingginya NO2 di udara akan meningkatkan jumlah kunjungan pasien yang terserang asma/bronkitis
Model yang mempunyai hubungan persamaan paling kuat adalah PM10 dengan kejadian penyakit gangguan saluran pernafasan.
7
Nama Peneliti
Tujuan Penelitian
Perwitasari dan Sukana (2012)
Mengetahui adanya dampak yang ditimbulkan kebakaran hutan terhadap penyakit ISPA dan Pneumonia
Permasalahan
Lokasi Penelitian
Peningkatan Kabupaten titik panas Batanghari, meningkatkan Jambi prevalensi ISPA dan Pneumonia
Rancangan Penelitian Cross sectional study
Hasil Kebakaran hutan tidak mempengaruhi secara langsung kasus ISPA dan Pneunomia