BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia memiliki tantangan peningkatan jumlah tenaga kesehatan yang terlatih untuk memenuhi tuntutan yang berkembang. Indonesia telah mampu secara teratur dan andal menghasilkan dokter dari kedua sekolah kedokteran swasta dan publik. Meskipun terjadi peningkatan jumlah tenaga dokter, namun masih ada kesenjangan. Puskesmas yang berada di daerah tertinggal sering mengalami kekurangan berbagai jenis tenaga. Sebagai implikasinya, selain kemampuan masyarakat yang kurang karena kemiskinan, pelayanan yang diperoleh juga kurang optimal karena banyaknya puskesmas yang kekurangan tenaga kesehatan. Fasilitas kesehatan yang relatif banyak dimanfaatkan penduduk untuk berobat jalan adalah Puskesmas/Pustu (37,26%), praktek dokter (24,39%) dan praktek petugas kesehatan (18,51%). Pendudukan pedesaan lebih banyak memanfaatkan puskesmas/pustu (42,40%) dan praktek petugas kesehatan (23,42%) (BAPPENAS, 2005). Tenaga kesehatan merupakan kunci utama dalam keberhasilan pencapaian tujuan pembangunan kesehatan. Tenaga kesehatan memberikan kontribusi hingga 80% dalam keberhasilan pembangunan kesehatan dan merupakan input yang paling penting untuk setiap sistem kesehatan dan juga memiliki dampak yang kuat pada sistem kinerja kesehatan secara keseluruhan (Rigoli & Dussault, 2003). Data Riset Fasilitas Kesehatan menyebutkan bahwa dari 8.980 puskesmas di Indonesia hampir seluruh puskesmas ada tenaga dokter (95,8%) namun masih ada puskesmas yang tidak memiliki tenaga dokter (4,2%). Puskesmas tanpa keberadaan dokter masih dominan di wilayah Indonesia Timur khususnya di papua dan papua barat sampai lebih 16% dari jumlah puskesmas yang ada. Beberapa provinsi dimana 10-15% dari puskesmas masih tidak ada tenaga dokter. Sementara perawat yang tersebar di wilayah Indonesia seperti di NTB, Sulawesi Tenggara, Gorontalo dan Papua juga 1
2
masih ada kisaran 1-3 puskesmas yang tidak ada tenaga perawat. Puskesmas yang tidak memiliki bidan juga terdapat di daerah Papua (20,1%), Papua Barat (5,8%) dan Maluku (6,8%). Puskesmas yang tidak ada tenaga kesehatannya seharusnya tidak terjadi jika distribusinya bisa merata di seluruh puskesmas (Rifaskes, 2011). Mulai tahun 1980-an Departemen Kesehatan telah menggunakan beberapa pendekatan untuk menentukan kebutuhan staf, menggunakan proyeksi berdasarkan status kesehatan masyarakat, perubahan demografi dan program kesehatan yang ada. Awal pendekatan adalah dengan menggunakan standar minimum untuk kebutuhan staf, misalnya, satu dokter untuk setiap puskesmas. Namun, hal ini secara luas dianggap tidak praktis karena tidak mencerminkan kebutuhan yang sebenarnya (World Bank, 2008). Ketersediaan tenaga kesehatan pada umumnya terkonsentrasi di pulau Jawa, sedangkan luar Jawa/Bali sebagian besar mengalami kekurangan. Hampir seluruh wilayah Indonesia Timur memiliki tingkat distribusi tenaga kesehatan yang rendah, berada di bawah 40%. Di pulau Sulawesi, hanya Provinsi Sulawesi Selatan dan Sulawesi Utara saja yang menunjukkan distribusi sedang, antara 40-75% (Kurniati & Efendi, 2012). Distribusi yang tidak seimbang antara tenaga kesehatan di dalam negara adalah masalah lama yang juga terjadi di seluruh dunia dan serius. Semua negara kaya dan miskin, melaporkan proporsi yang lebih tinggi untuk tenaga kesehatan di daerah perkotaan dan kaya. Indonesia dengan wilayah yang luas dan medan yang sulit menyajikan tantangan besar bagi pelayanan kesehatan dan pemerataan distribusi tenaga kesehatan. Dokter dan perawat enggan untuk pindah ke pulau-pulau terpencil dan lokasi hutan yang menawarkan komunikasi yang buruk (Dussault dan Franceschini, 2006). Kurang meratanya tenaga kesehatan terjadi terutama di daerah yang tertinggal, terpencil, rawan kerusuhan, bencana alam, pemekaran, daerah perbatasan dan wilayah yang kurang diminati (Bambang, 2012). Kesenjangan yang signifikan pada jumlah tenaga kesehatan antara daerah perkotaan dan pedesaan sangat jelas terlihat. Pada tahun 2005, hampir 70%
3
penduduk Indonesia tinggal di daerah pedesaan, daerah perkotaan di seluruh wilayah secara konsisten memiliki lebih banyak dokter per 100.000 penduduk, dengan rasio setidaknya enam kali lebih besar dibandingkan dengan di daerah pedesaan. Pada tahun 2007, daerah perkotaan memiliki 36 dokter untuk setiap 100.000 penduduk, sedangkan daerah pedesaan hanya 6 dokter untuk setiap 100.000 penduduk (Rokx et al., 2010). Terkait dengan situasi saat ini, dari sisi pelayanan kesehatan telah diidentifikasikan tingkat ketersediaan dan sejumlah masalah yang masih menghambat implementasi Jaminan Kesehatan Nasional (JKN). Saat ini, tersedia lebih dari 85.000 dokter praktik umum dan lebih dari 25.000 dokter praktik spesialis, belum termasuk dokter gigi. Secara nasional, jumlah tersebut cukup untuk melayani seluruh rakyat berdasarkan rasio satu dokter praktik umum melayani 3.000 orang. Pelayanan kesehatan saat ini juga didukung oleh jumlah perawat dan bidan yang jumlahnya telah mencukupi, dan tempat tidur di rumah sakit milik Pemerintah dan milik swasta, termasuk tempat tidur di puskesmas yang rasionya telah mendekati satu tempat tidur untuk setiap 1.000 penduduk. Namun demikian, ketersediaan layanan kesehatan tersebut terkendala oleh penyebarannya yang jauh lebih banyak di kota-kota besar (Peta Jalan JKN, 2012). Dengan diberlakukannya Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) per 1 Januari 2014, data statistik Kementerian Kesehatan Republik Indonesia menunjukan adanya ketimpangan dalam penyebaran atau distribusi tenaga terampil kesehatan sesuai jenis dan sifat pekerjaan. Dari data yang ada, secara nasional, jumlah tenaga kesehatan belum memenuhi target per 100.000 penduduk. Jumlah dokter spesialis baru mencapai 7,73 dari target 9; Dokter umum tercatat baru mencapai 26,3 dari target 30. Sementara perawat baru mencapai 157,75 dari target 158 dan bidan 43,75 dari target 75 per 100.000 penduduk. Dengan kondisi seperti ini, tentunya bisa dibayangkan, ketersediaan tenaga kesehatan di Daerah Tertinggal Terpencil Perbatasan (DTTPK) khususnya di bagian Indonesia Timur seperti Nusa Tenggara Timur dan Papua. Namun demikian, persoalan ini tidaklah berdiri sendiri tetapi
4
terkait erat dengan berbagai faktor seperti : kondisi geografis, transportasi, infrastruktur serta yang paling dasar adalah regulasi terkait kuantitas dan kualitas dan pemerataan distribusi tenaga kesehatan dimaksud (Observatori SDMK Indonesia, 2014). Masalah utama dalam sumber daya manusia kesehatan adalah tenaga kesehatan di Indonesia yang hingga saat ini tidak merata, sehingga pelayanan di kota dan desa sangat berbeda. Selain itu, tidak meratanya tenaga kesehatan karena masih kurangnya tenaga kesehatan yang ada atau bahkan ada puskesmas yang tidak memiliki dokter. Kelambatan pengiriman tenaga ke daerah karena lamanya prosedur administrasi dan juga over-staffing untuk tenaga non-profesional (non-tekhnis) dan under-staffing untuk tenaga profesional (tenaga tekhnis), dimana jumlah bidan dan dokter selalu tidak mencukupi karena siklus kerja yang pendek juga merupakan masalah lain dari sumber daya manusia kesehatan (Meliala, 2005). Tenaga kesehatan yang ditempatkan pemerintah daerah di kampung pada beberapa distrik yang dari ibu kota kabupaten tidak berada di tempat. Tenaga kesehatan PNS maupun pegawai kontrak di kampung tidak disiplin menjalankan tugas (Ajamiseba, 2014). Faktor lain yang juga menghambat pemerataan distribusi tenaga kesehatan dipengaruhi oleh kekuatan politik dan ekonomi, seperti di negaranegara berkembang terutama di daerah perkotaan, kekuatan politik dan ekonomi memperkuat penyediaan jasa, kesenjangan akses terhadap pelayanan kesehatan dan kualitas kesehatan (Atkinson et al., 2005). Perubahan politik ekonomi yang terjadi dalam kebijakan kesehatan, menyebabkan perubahan pada komponen struktural dan fungsional pada level provinsi dan kabupaten/kota. Hal ini juga dapat mempengaruhi distribusi tenaga kesehatan dari daerah pedesaan dan terpencil yang cenderung lebih miskin (Fritzen, 2007). Pemerataan distribusi tenaga kesehatan juga dipengaruhi oleh mekanisme pasar. Sistem ekonomi mekanisme pasar mengedepankan kesempurnaan sistem pasar dan menyerahkan penentuan tingkat harga pada mekanisme
5
pasar (Pudjirahardjo, 2011). Di banyak negara, kekurangan tenaga kesehatan juga terjadi karena maldistribusi, namun bukan karena kurangnya tenaga kesehatan tetapi ketidaksesuaian pasar tenaga kerja (Sousa et al., 2014). Secara umum, semakin tinggi upah yang ditawarkan, semakin besar jumlah tenaga kesehatan, akibatnya tenaga kesehatan akan banyak menumpuk di daerah yang pasarnya tinggi dengan menjanjikan upah yang tinggi. Pasar gagal terjadi apabila harga tidak fleksible (harga yang ditetapkan oleh proses legislatif atau birokrasi pemerintah atau jadwal pegawai negeri sipil tidak sensitif terhadap kondisi pasar) dan permintaan atau penawaran tidak menyesuaikan dengan harga pasar (Mcpake et al., 2013). Distribusi tenaga kesehatan seharusnya mengikuti mekanisme pasar dimana penentuan besaran harga menjadi faktor kunci agar tenaga kesehatan baik dokter, perawat, bidan maupun spesialis dan fasilitas kesehatan dapat tersebar merata ke daerah-daerah yang membutuhkan. Secara umum, semakin besar tingkat ekonomi suatu daerah, maka akan semakin banyak tenaga kesehatannya. Dengan mempertimbangkan harga keekonomian yang layak maka akan terjadi keseimbangan yang memadai antara permintaan dan penyediaan. Kebijakan pemerintah melalui desentralisasi yang dimulai pada tahun 2001 membawa perubahan yang cepat dari negara yang tersentralisasi di dunia menjadi negara yang terdesentralisasi. Indonesia juga menerapkan desentralisasi fiskal, politik dan administrasi pada saat yang sama (World Bank, 2003). Desentralisasi dalam kerangka pembangunan kesehatan dimaksudkan untuk lebih mengoptimalkan pembangunan bidang kesehatan dengan cara lebih mendekatkan pelayanan kesehatan kepada masyarakat dan memperpendek jalur birokrasi pelayanan kesehatan untuk masyarakat. Di samping itu, sistem desentralistik juga memberi kewenangan bagi daerah untuk menentukan sendiri program serta pengalokasian dana pembangunan kesehatan
di
daerahnya.
Dengan
sistem
desentralistik
diharapkan
pembangunan kesehatan dilakukan dengan mempertimbangkan masalah dan kebutuhan kesehatan dan potensi setempat (Adisasmito, 2012). Namun
6
seiring berjalannya sistem desentralisasi, implementasinya diartikan secara berbeda oleh setiap tingkat pemerintahan masing-masing daerah. Transfer kekuasaan dipersepsikan sebagai independensi dalam mengatur dan mengendalikan pemerintahannya termasuk sektor kesehatan. Secara umum, terjadi tarik-menarik kepentingan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Peneliti tertarik meneliti tentang kesenjangan distribusi tenaga kesehatan di wilayah Indonesia Timur karena melihat ketidakadilan penyebaran tenaga kesehatan di Indonesia Timur sehingga pemerintah dapat menangani secara serius dan tegas terhadap permasalahan distribusi tenaga kesehatan, khususnya daerah yang sulit dijangkau dengan menggunakan data skala besar dari Indonesia Family Life survey (IFLS) East yang dipublikasikan oleh RAND Corporation bekerjasama denganSurvey METER atas nama TNP2K, PRSF, dan AusAID. Selain itu peneliti juga ingin membandingkan situasi sumber daya manusia kesehatan dengan kebijakan yang telah ditetapkan oleh pemerintah.
B. Rumusan Masalah Bagaimana kesenjangan distribusi tenaga kesehatan di puskesmas di wilayah Indonesia Timur tahun 2012.
C. Tujuan Penelitian 1. Tujuan Umum Untuk mengetahui ketidakmerataan distribusi tenaga kesehatan di puskesmas wilayah Indonesia Timur.
2. Tujuan Khusus a. Mengetahui hubungan kepadatan jumlah penduduk terhadap ketersediaan tenaga kesehatan di Puskesmas wilayah Indonesia Timur.
7
b. Mengetahui hubungan usia puskesmas terhadap ketersediaan tenaga kesehatan di Puskesmas wilayah Indonesia Timur. c. Mengetahui hubungan status ekonomi terhadap ketersediaan tenaga kesehatan di Puskesmas wilayah Indonesia Timur. d. Mengetahui hubungan karakteristik geografis berdasarkan daerah perkotaan dan pedesaan terhadap ketersediaan tenaga kesehatan di Puskesmas wilayah Indonesia Timur. e. Mengetahui hubungan karakteristik geografis berdasarkan daerah terpencil dan tidak terpencil terhadap ketersediaan tenaga kesehatan di Puskesmas wilayah Indonesia Timur. f. Mengetahui
hubungan
masing-masing
provinsi
terhadap
ketersediaan tenaga kesehatan di Puskesmas wilayah Indonesia Timur.
D. Manfaat Penelitian Dari hasil penelitian ini sebagaimana terdapat dalam tujuan penelitian diharapkan akan dapat bermanfaat kepada: 1. Melalui hasil penelitian ini, pemerintah dapat menjadikan bahan pertimbangan dalam mengambil kebijakan yang tepat untuk pemerataan tenaga kesehatan sehingga dapat meningkatkan status kesehatan masyarakat di wilayah Indonesia Timur. 2. Dinas kesehatan provinsi dapat menjadikan bahan advokasi/negosiasi untuk stakeholder dalam menyusun kebijakan dan perencanaan tenaga kesehatan khususnya di wilayah Indonesia Timur untuk pemerataan tenaga kesehatan, sehingga kebijakan yang diambil sesuai dengan kebutuhan tenaga kesehatan di Indonesia Timur. 3. Bagi
peneliti,
dapat
menambah
pengetahuan,
pengalaman
dan
melengkapi penelitian sebelumnya dengan menggambarkan kondisi penyebaran tenaga kesehatan di wilayah Indonesia Timur.
8
E. Keaslian Penelitian Penelitian mengenai Kesenjangan Distribusi Tenaga Kesehatan di Puskesmas wilayah Indonesia Timur belum pernah dilakukan. Penelitian yang hampir sama dengan topik Kesenjangan Distribusi Tenaga Kesehatan di Puskesmas:
Tabel 1. 1 Keaslian Penelitian Rincian studi Ihsan Husain (2006) Jumlah dan Kualitas Judul Tenaga Kesehatan Puskesmas Studi Distribusi Desa-Kota dan Regional Analisis Data Sakerti 2000 Untuk mengetahui Tujuan perbandingan sebaran penelitian tenaga kesehatan dan kualitas tenaga kesehatan di puskesmas Kuantitatif Metode penelitian Jumlah dan kualitas Hasil tenaga menunjukkan penelitian bahwa tenaga di kota lebih baik daripada di desa.
Gupta et al. (2003) Uses of population census data for monitoring geographical imbalance in the health workforce: snapshots from three developing countries
(Munga & Mæstad, 2009) Measuring inequalities in the distribution of health workers: the case of Tanzania
(Ferrinho et al., 2011) The human resource for health situation in Zambia: deficit and maldistribution
Memantau ketidakmerataan Mengetahui gambaran geografis tenaga kerja ketimpangan dalam alokasi kesehatan melalui data sensus tenaga kesehatan penduduk
Untuk menilai dimensi kekurangan dan ketidakseimbangan dalam distribusi tenaga kesehatan
Kuantitatif
Kuantitatif, dengan data sekunder Distribusi menunjukkan staf condong berada di daerah urban dan ketidakseimbangan yang lebih parah tercermin dalam tingkat kekosongan tenaga di beberapa fasilitas kesehatan.
Ketidakseimbangan pasokan, penyebaran dan komposisi ditemukan dalam distribusi geografis tenaga kerja kesehatan yang kepadatan tenaga tertinggi berada di ibukota.
Kuantitatif dengan metode kurva lorenz dan indeks gini Di perkotaan tenaga kesehatan 2 kali lebih besar dibanding di pedesaan. Rata-rata tenaga kesehatan hanya 1,4/1000 penduduk.
9