BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Jepang merupakan negara yang unik karena konsep pasifis dan anti militer yang dimilikinya walaupun memiliki potensi besar untuk memiliki militer yang kuat. Keunikan ini muncul akibat kekalahannya pada Perang Dunia kedua. Keunikannya yaitu, tidak seperti negara normal lainnya Jepang melepaskan hak kedaulatannya untuk menyatakan perang sebagaimana tercantum dalam konstitusi Jepang 1947. Sebagai gantinya, Jepang mengadakan perjanjian pertahanan dengan Amerika Serikat (AS) untuk membantu menjaga wilayah kedaulatannya. Pada masa perang dingin ini, Jepang melancarkan politik isolasi yang didasarkan pada Doktrin Yoshida yang berimplikasi pada perilaku Jepang yaitu minim berkontribusi pada isu–isu keamanan internasional dan fokus pada pembangunan dalam negeri. Namun tidak dipungkiri bahwa terdapat usaha untuk membangun kekuatan militer melalui pembentukan Japan Self Defense Force (JSDF) pada masa itu. Akan tetapi pembentukan JSDF merupakan gagasan yang dikeluarkan oleh AS, bukan dari dometik Jepang. JSDF dibanun dengan tujuan untuk melindungi dari dampak Perang Besar Korea. AS juga ingin membagi beban melindungi Jepang dengan pemerintah Jepang dan memanfaatkannya sebagai bantuan pasukan AS dalam Perang Dingin. Harapan AS terhadap potensi tambahan kekuatan dari Jepang tidak terpenuhi karena kuatnya pengaruh dari PM Yoshida dan doktrinnya, sehingga perkembangan JSDF tidak signifikan dan tetap bergantung besar pada AS sebagai pelindung utamanya. Memasuki masa setelah perang dingin, secara perlahan mulai terjadi perubahan pada politik domestik Jepang, tepatnya pada konsep kebijakan pertahanan. Perubahan kebijakan pertahanan pertama tertuang dalam National Defense Program Guidelines (NDPG) 1997 yaitu kini JSDF berperan sebagai kekuatan utama pelindung Jepang dari ancaman dan menjadikan tentara AS sebagai kekuatan cadangan.1 Sebelum Pedoman Pertahanan Nasional 1997 tersebut, tentara AS menjadi kekuatan utama dalam hubungan kerja sama pertahanan ini. Perubahan konsep hubungan ini sangat mempengaruhi faktor kemandirian Jepang dalam 1
E. J. L Southgate, ‘From Japan to Afghanistan: The U.S – Japan Joint Security Relationship, the War on Terror, and the Ignominious End of the Pacifist State?’, University of Pennsylvania Law Review, Vol. 151, No. 4, April 2003, p. 1616.
4
bidang pertahanan sehingga memicu berbagai macam perubahan. Beberapa contoh dari perubahan arah kebijakan politik pertahanan yaitu pengiriman pengiriman SDF Jepang pada 15 Desember 2003 dalam perang Irak 2 , pembentukan Kementrian Pertahanan pada 2007, adopsi strategi Defense Capacibility dalam Pedoman Pertahanan Nasional 2004 yang lebih agresif dan lainnya. Perubahan ini menandakan munculnya perubahan pada paham pasifis yaitu muncul kelonggaran toleransi terhadap penggunaan dan pengembangan kekuatan militer oleh domestik Jepang mengikuti perubahan keadaan yang dihadapi. Pada 23 November 2013, Tiongkok mengeluarkan kebijakan perluasan zona identifikasi pertahanan udara atau Air Defense Identification Zone (ADIZ) yang mencakup wilayah udara kepulauan Senkaku milik Jepang. 3 Jika ada yang melewati wilayah udara Senkaku namun tidak mengikuti peraturan identifikasi Tiongkok, maka akan dianggap ancaman dan akan ditembak jatuh oleh Tingkok. Konflik perluasan ADIZ ini telah meningkatkan lebih jauh tingkat ancaman keamanan Jepang dari yang sebelumnya. Sebelum perluasan ADIZ terjadi, Jepang telah lebih dulu dikelilingi oleh negara tetangga yang memiliki potensi ancaman yang besar. Ancaman ini muncul akibat sejarah penjajahan yang dilakukannya pada Perang Dunia kedua dan perbedaan kepentingan. Negara tetangga yang memiliki hubungan buruk dengan Jepang yaitu Rusia, Tiongkok, Korea Utara dan Korea Selatan. Hubungan buruk tersebut telah memuncullkan beberapa konflik besar dan kecil. Dari semua Negara yang disebutkan, Tiongkok termasuk salah satu Negara yang memiliki hubungan diplomatis yang buruk dan patut diwaspadai. Namun selama ini dalam menghadapi semua ancaman tersebut, postur pertahanan Jepang yang bergantung banyak pada AS telah sangat cukup dalam menghadapi ancaman keamanan. Tindakan sepihak Tiongkok tersebut merupakan ancaman terhadap keamanan dan kedaulatan Jepang serta kemungkinan eskalasi konflik lebih lanjut. Posisi Tiongkok yang semakin kuat secara ekonomi dan militer juga akan semakin sulit dihadapi Jepang. Konflik ini juga akan menjadi pusat perhatian dunia, mengingat pihak-pihak yang terlibat dalam konflik ini adalah negara maju. Maka dari itu Jepang merasa wajib untuk menunjukkan kekuatannya di mata dunia, terutama Tiongkok, untuk menjaga wibawanya dan keutuhan wilayah kedaulatannya. Kasus ini juga menunjukkan bahwa AS pengaruh intervensi AS tidak 2
The Asahi Shimbun, Koizumi commits SDF personnel to Iraq (daring), 10 Desember 2003,
, diakses 26 Januari 2014. 3 J. Osawa, ‘China’s ADIZ over the East China Sea: A “Great Wall in the Sky”?’, Brookings (daring), 17 Desember 2013, , diakses 25Maret 2014.
5
efektif di hadapan Tiongkok setelah sebelumnya dapat melindungi Jepang dengan efektif. Kondisi ini menyadarkan Jepang untuk meraih kemandirian dalam mempertahankan kedaulatannya. Namun bukan berarti Jepang dapat mengeluarkan pernyataan atau kebijakan agresif yang langsung ditujukan pada Tiongkok karena adanya ketergantungan ekonomi antar keduanya. Karena itu, Jepang berfokus pada menggunakan jalur diplomasi dan kepercayaan kepada Tiongkok untuk menyelesaikan konflik ini dengan damai. Jalur diplomasi yang kurang efektif menjadikan jalur militer sebuah alternatif pilihan. Pemerintah Jepang merespon situasi ini dengan secara hati-hati yaitu dengan menjadikan menambah bagian pengembangan kekuatan militer dalam kebijakan pertahanannya dengan alasan pertahanan diri. Militer kini sejajar dengan diplomasi yaitu menjadi salah satu cara penting dalam melindungi kepentingan dan keamanan negara dari ancaman global dan regional. Jepang memberi perhatian lebih pada masuknya ancaman keamanan ke wilayah udara dan laut. Ancaman yang masuk tersebut akan dihdapi oleh kekuatan pertahanan domestik dan gabungan kekuatan pertahanan bersama AS dan negara kawan lainnya. Maka muncul kebutuhan untuk memiliki militer yang kuat dan kerja sama pertahanan dengan negara yang lebih banyak. Pemilihan jalur militer untuk merespon konflik ini menjadi kajian yang menarik, mengingat konsep pasifis selalu dominan dalam kebijakan pertahanan Jepang selama ini. B. Rumusan Masalah Skripsi ini akan menjawab permasalahan, yakni: Bagaimana respon Jepang terhadap perluasan Wilayah ADIZ Tiongkok dan apa implikasinya terhadap kebijakan pertahanan Jepang tahun 2014? C. Landasan Konseptual Guna menjawab dan menganalisa permasalahan yang telah penulis tuliskan di atas, landasan konseptual yang akan penulis gunakan ialah: 1. Teori Hukum Angkasa Internasional Organisasi Penerbangan Sipil Internasional atau International Civil Aviation Organization (ICIAO) merupakan agensi spesial milik PBB yang mengatur mengenai penerbangan internasional. Organisasi ini memiliki dasar hukum yaitu Konvensi Penerbangan Sipil Internasional mengatur pemakaian wilayah udara internasional antar negara. Organisasi 6
ini memiliki anggota sebanyak 191 negara terhitung menurut data tahun 2013. 4 Beberapa anggotanya yaitu Jepang, AS, dan Tiongkok merupakan anggota dewan dari ICIAO. 5 Tujuan utamanya adalah menjadi forum penerbangan internasional dan membuat standarisasi serta membangun dunia penerbangan sipil.6 Anggotanya menyetujui Konvensi Penerbangan Sipil Internasional yang didasarkan atas Konvensi Chicago dan menjadi dasar hukum internasional angkasa dunia. Berikut adalah beberapa hukum penting yang yang terkait dengan bidang penelitian tulisan ini dalam Konvensi Penerbangan Sipil Internasional: a) Bab satu artikel satu menyatakan bahwa setiap negara yang menyetujui konvensi ini mengakui bahwa setiap negara memiliki kedaulatan utuh dan ekslusif atas wilayah udara diatas teritorinya. 7 b) Bab satu artikel tiga b menyatakan bahwa pesawat yang digunakan dalam militer, dimodifikasi, dan milik polisi dikategorikan sebagai Pesawat Negara. 8 c) Bab satu artikel tiga c menyatakan bahwa tidak boleh ada Pesawat Negara dari negara yang menyetujui konvensi ini, terbang memasuki wilayah negara lain tanpa persetujuan kecuali jika ada perjanjian tertentu. 9 d) Bab satu artikel tiga bis menyatakan bahwa negara yang menyetujui konvensi ini mengakui bahwa negara harus menghindari penggunaan senjata pada pesawat sipil yang sedang terbang. Jika terjadi pencegatan, maka keselamatan penumpang haruslah diutamakan. 10 e) Bab 19 artikel 89 menyatakan bahwa pada saat perang dan kondisi darurat, konvensi ini tidak akan membatasi kebebasan negara untuk bertindak. 11 Konvensi ini hanya berupa fondasi dasar bagi negara-negara untuk dapat bekerja sama dalam bidang udara sipil. Tujuannya agar tercipta kerja sama yang teratur, adil, dan menguntungkan semua pihak. 4
International Civil Aviation Organization, Member States (daring), < http://www.icao.int/abouticao/Pages/member-states.aspx>, diakses 11 April 2015. 5 International Civil Aviation Organization, Member States (daring. 6 International Civil Aviation Organization, Vision & Mission (daring), < http://www.icao.int/abouticao/Pages/vision-and-mission.aspx>, diakses 11 April 2015. 7 International Civil Aviation Organization, Convention on International Civil Aviation - Doc 7300 (daring), < http://www.icao.int/publications/Documents/7300_cons.pdf>, p.2, diakses 11 April 2015. 8 International Civil Aviation Organization, Convention on International Civil Aviation - Doc 7300 (daring), p. 2. 9 International Civil Aviation Organization, Convention on International Civil Aviation - Doc 7300 (daring), p. 2. 10 International Civil Aviation Organization, Convention on International Civil Aviation - Doc 7300 (daring), p. 3. 11 International Civil Aviation Organization, Convention on International Civil Aviation - Doc 7300 (daring), p. 40.
7
2. Teori Negara Pasifis Proaktif Kamiya Matake seorang profesor di akademi pertahanan nasional Jepang (National Defense Academy of Japan) membuat sebuah tulisan berjudul A Nation of Proactive Pacifism National Strategy for Twenty-first-Century Japan. Tulisan ini menjelaskan mengenai bagaimana Jepang harus bersikap untuk menyesuaikan diri di abad ke-20. Jepang pasca perang dunia kedua memiliki tiga tujuan yaitu (1) keamanan negara di bawah perlindungan aliansi keamanan AS dalam perang dingin, (2) pemulihan ekonomi bekerja sama dengan AS dan (3) menyelesaikan masalah pasca perang dengan negara-negara Asia. 12 Tiga tujuan tersebut tidak lagi relevan pada setelah perang dingin karena tujuan pertama tidak lagi relevan dan tujuan kedua serta ketiga telah tercapai. Untuk itu Jepang membutuhkan tujuan nasional yang baru untuk sebagai pedoman untuk melindungi kepentingan-kepentingan Jepang di kancah internasional. Profesor Matake mengusulkan konsep Negara pasifis proaktif sebagai citra Jepang yang baru. Konsep ini mendefinisikan Jepang sebagai negara yang tidak akan pernah menggunakan kekuatan militer untuk memenuhi ambisi negara namun tidak menutup pilihan untuk berkontribusi secara militer yang setara dengan kekuatan negaranya untuk membuat dan menjaga perdamaian internasional.13 Konsep tersebut akan dijalankan sebagai berikut yaitu Jepang (1) tidak akan bertujuan menjadi kekuatan militer besar dan akan mempertahankan sebanyak mungkin aspek pembatasan kekuatan militer diri sendiri, (2) menghindari aksi militer selain dalam situasi perlindungan diri sendiri dan kerja sama internasional untuk perdamaian, (3). tapi tetap mengembangkan kemampuan militer yang dibutuhkan untuk pertahanan dan kerja sama dengan negara lain tanpa adanya larangan, (4) aktif bekerja sama dalam aksi perdamaian internasional sepadan dengan kekuatan nasional Jepang dalam bentuk militer dan non-militer.14 3. Teori Negara Normal Jepang yang normal menurut Mike M. Mochizuki adalah Jepang yang memiliki kebijakan pertahanan yang bebas, berdaulat penuh untuk mengaturnya sendiri. Normalisasi 12
K. Matake, ‘A Nation of Proactive Pacifism — National Strategy for Twenty-first-Century Japan’, Discuss Japan (daring), , diakses 25 Maret 2014. 13 K. Matake, ‘A Nation of Proactive Pacifism — National Strategy for Twenty-first-Century Japan’, Discuss Japan (daring). 14 K. Matake, ‘A Nation of Proactive Pacifism — National Strategy for Twenty-first-Century Japan’, Discuss Japan (daring).
8
ini dicapai melalui menghapus konstitusi 1947 pasal 9, mengembangkan militer Jepang secara mandiri, kesetaraan peranan AS-Jepang dalam kerja sama dan bahkan menghapus kerja sama keamanan dengan AS.15 Menurutnya ini merupakan satu-satunya cara agar Jepang lepas dari ketergantungan pada kekuatan eksternal dan menjadi Negara normal yang berdaulat seutuhnya. Namun mayoritas parlemen Jepang menginginkan perkembangan kebijakan militer yang bersifat pasifis dan menyesuaikan dengan perkembangan militer AS. Pandangan mayoritas ini juga dianut oleh masyarakat Jepang berkat sejarah keberhasilan Doktrin Yoshida dan dukungan legal pasal 9 konstitusi 1947. Selama tidak ada bahaya yang sangat mengancam, maka kebijakan pertahanan seperti negara normal akan sukar untuk dicapai. Pandangan mayoritas ini bertahan dengan kuat dan lama selama Perang Dingin dan awal pasca Perang Dingin. Namun perubahan situasi dan kondisi dunia membuat pandangan mayoritas tidak lagi cukup untuk melindungi kepentingan Jepang. Peningkatan ancaman regional dan global, pergeseran perimbangan kekuatan dunia dengan munculnya Negara kuat yang baru, dan menurunnya pengaruh AS memaksa Jepang harus lebih mandiri melindungi kepentingannya. Reaksi yang muncul dari parlemen Jepang adalah keinginan untuk lebih aktif secara militer dengan memperkuat militer dan keinginan merevisi hukum yang membatasi pengembangan dan pemanfaatan kekuatan militer. Selain militer yang lebih kuat, Jepang juga menginginkan kerja sama pertahanan yang lebih baik. Kerja sama yang lebih baik merupakan kerja sama pertahanan di mana Jepang tidak hanya menjadi pihak yang dilindungi namun juga ikut melindungi dan berkontribusi aktif dalam bidang militer. Pada akhirnya kebijakan ini selain meningkatkan keseluruhan kekuatan militer, juga akan meningkatkan martabatnya di mata internasional sesuai dengan statusnya sebagai Negara besar yang berdaulat penuh. Perkembangan konsep kebijakan pertahanan ini akan mengarahkan Jepang menjadi Negara normal, seperti negara besar lainnya yang berdaulat penuh. D. Argumen Utama Bagi Jepang, perluasan wilayah ADIZ Tiongkok telah meningkatkan ancaman keamanan. Kebijakan Tiongkok tersebut dapat memiliki kemungkinan besar untuk memicu terjadinya konflik bersenjata antara Tiongkok dan Jepang. Kemungkinan terburuk yang dapat
15
M. M. Mochizuki, ‘Japan’s search for strategy,’ International Security, vol. 8, no. 3, winter 1983/ 84, pp. 151– 179;
9
dihadapi Jepang adalah kalah dalam menyaingi kekuatan Tiongkok dan melepaskan kepemilikan atas kepulauan Senkaku. Kasus ini juga memunculkan dua fakta yang menjadi masalah yaitu munculnya batasan kemampuan intervensi AS dan bidang pertahanan Jepang yang tidak mencukupi untuk melindungi diri sendiri. Menghadapi situasi ini, mayoritas Jepang sadar bahwa Jepang harus dapat mandiri melindungi diri sendiri. Jepang juga harus memulai kerja sama dengan negara lainnya karena tidak dapat mengandalkan AS semata untuk mendapatkan perlindungan. Untuk memenuhi kebutuhan tersebut, maka dibuatlah kebijakan pertahanan yang berorientasi pada pengembangan militer secara mandiri yang dapat menjadi penghalau ancaman dan dapat berperan aktif dalam kerja sama pertahanan. Kebijakan pertahanan tersebut akan menghasilkan Jepang negara normal yang memiliki pertahanan yang kuat dan berdaulat bebas mengaturnya. Bentuk Jepang sebagai negara normal ini sesuai dengan pandangan PM Shinzo Abe yang menginginkan Jepang lebih mandiri dan aktif menggunakan dan mengembangkan kekuatan militernya untuk kepentingan negara. Selama ini usaha normalisasi Jepang oleh Abe terhambat oleh kuatnya paham pasifis anti militer dan keinginan untuk tetap bergantung pada AS. Namun dengan adanya kasus perluasan ADIZ telah memudahkan usaha Abe dalam normalisasi Jepang. E. Metode Penelitian Skripsi ini akan menggunakan metode penelitian kualitatif, dengan teknik pengumpulan data melalui studi data resmi yang dipublikasikan oleh pemerintah Jepang, berita online yang terpercaya dan studi literatur terkait. Jepang merupakan negara yang memberi publikasi lengkap terhadap data-data dari tiap kementriannya, terutama kementrian pertahanan dan luar negeri. Data-data resmi pemerintah Jepang sangat lengkap dan dapat diakses secara mudah melalui jaringan internet. Pemberitaan online yang terpercaya digunakan untuk melengkapi dan memperkuat analisa karena berita menyajikan data-data terbaru. Studi literatur terkait juga menjadi bahan acuan untuk memperkuat teori agar dapat mempertajam analisa dalam skripsi ini. F. Jangkauan Penelitian Penulis akan membatasi penelitian ini pada kebijakan pertahanan pemerintahan perdana menteri Shinzo Abe yang kedua dari hingga Juni 2014. Pembatasan ini ditujukan untuk memberikan penjabaran yang lebih berfokus.
10
G. Sistematika Penulisan Skripsi ini akan terdiri dari lima bab; pada bab I, penulis akan menjabarkan latar belakang permasalahan skripsi. Pada bab II, penulis apa, mengapa dan bagaimana perluasan ADIZ Tiongkok terjadi dari sudut pandng sejarah dan Tiongkok untuk memahami dasar permasalahan. Pada bab III, penulis akan menjabarkan bagaimana Jepang merespon kebijakan perluasan wilayah ADIZ Tiongkok. Kebijakan apa saja yang diambil oleh Jepang setelah terjadinya kasus ADIZ akan dibahas sehingga dapat dimengerti konsep kebijakan yang diambil. Bab IV akan menyampaikan implikasi kebijakan Jepang dalam merespon perluasan ADIZ Tiongkok pada postur pertahanan Jepang pada tahun 2014 dimasa kepemimpinan Shinzo Abe. Bab V merupakan kesimpulan akhir yang dapat ditarik dari skripsi ini.
11